“Maaf ya, Bas. Nenek pikir tadi kau adalah Radit. Makanya dia mengomel terus.” Amanda meringis usai memperhatikan wajah sendu Sebastian. Setelahnya wanita itu meletakkan nampan berisi pisang goreng dan segelas kopi di atas meja. Lantas duduk di kursi seberang lalu tersenyum lembut.“Iya, Man. Santai,” kata Sebastian memaksakan senyumnya. “Kalau tahu bakal disambut dengan sumpah serapah tadi, mendingan aku suruh Radit yang ke sini.”“Maaf ya,” ulang Amanda lagi. Sebastian pun mengangguk-angguk. Tak pelak dia mulai menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap itu.“Sepertinya kau betah di sini.”“Hu um,” sahut Amanda cepat. Tangannya meraba perut yang sejak tadi menjadi perhatian Sebastian. “Jangan bilang dia dulu ya.”“Iya. Dia memang harus dikasih pelajaran,” ucap Sebastian yang kali ini malah berpihak pada Amanda. “Aku juga setuju kalau kau jangan mau dijemput olehnya dengan mudah. Dia harus benar-benar dibuat kapok, Man. Aku akan mengerjainya.”“Maksudmu?”
Sebastian menepuk jidatnya sendiri begitu melihat pasangan suami istri tersebut saling memandang dalam diam. Dia tahu betul bahwa situasi berjalan tidak sesuai dengan rencana. Alih-alih mengerjai Radit, yang ada hubungan mereka malah semakin terancam. Bahkan bisa jadi … ah. Membayangkan saja dia bergidik ngeri. Lihat saja. Belum apa-apa wajah Amanda sudah tampak sedih dan kecewa. Wanita mana yang tidak sakit hati mendengar suaminya berkata demikian?“Manda,” sapa Radit dengan suara yang begitu lirih. Nyaris tak terdengar lantaran ekspresi terkejut usai menyaksikan perubahan tubuh istrinya. Radit maju satu langkah hendak menghampiri Amanda. Namun, wanita itu malah mundur perlahan. Kepalanya menggeleng sebagai pertanda tak ingin didekati sang suami.“Pergi saja!”“Sayang?” Radit mati-matian menahan kesabarannya untuk bertanya lebih. Dia ingin sekali mendekap tubuh wanita yang begitu dirindukannya. “Aku sudah lama mencarimu.”“Jangan mendekat!” l
“Apa aku tidak salah dengar?” Amanda balik bertanya sambil terkekeh. “Kau bertanya bagaimana aku bisa hamil? Pertanyaan macam apa itu, Radit?”“Sayang?”“Atau … kau meragukan kalau ini adalah anakmu??”Radit pun jadi gelagapan. Terlebih saat mendengar luapan puncak emosi istrinya yang sudah bertanya dengan nada tinggi. “Sa-sayang. Bukan begitu. Seingatku kau pernah mengatakan sedang haid di akhir pertemuan kita. Ja-jadi aku bingung.” Pria itu mengembuskan napas berat setelahnya. Merasa lega usai mengungkapkan apa yang sejak tadi mengganggu isi pikiran ketika melihat perut sang istri yang membuncit. Beruntung dia tak langsung menuduh Amanda yang macam-macam. Kalau sampai yang demikian terjadi, mata tamat sudah riwayatnya sekarang.“Aku salah duga,” kata Amanda kemudian. Suaranya pun memelan. &l
Amanda hendak menyikut perut orang yang membekap mulutnya itu. Namun, aroma tubuh yang tak sengaja terhidu oleh indera penciumannya membuat wanita hamil tersebut mengulurkan niat seketika. Terlebih saat merasakan dekapan hangat yang begitu ia rindukan. “Jangan takut. Ini aku,” bisik Radit kemudian yang perlahan menurunkan tangannya dari mulut sang istri. Pria itu kemudian membimbing Amanda untuk berjalan menuju teras belakang dan duduk di bangku panjang yang ada di sana. Lampu sentir yang tergantung di bawah atap rumbia cukup menjadi penerangan bagi mereka. “Kau membuatku terkejut,” kata Amanda yang sudah mengerucutkan bibirnya. “Kenapa tiba-tiba muncul sih? Aku pikir tadinya maling.” Alih-alih menjawab pertanyaan barusan, Radit malah menarik Amanda ke dalam dekapan. Mengecup lama puncak kepala sang istri serta pelipis wajah wanitanya itu dengan kasih sayang. “Aku mana bisa tidur,” kata Radit akhirnya. “Jauh-jauh datang dari Medan kemari ingin melihatmu. Sekalinya bertemu malah d
“Nenek enggak mungkin mengajakmu ke desa sebelah, apalagi ‘kan kau lagi hamil. Pamalih, Nda.” Sang nenek menatap Amanda dengan raut wajah gelisah. Sementara Radit malah sedang menahan senyum. Merasa beruntung di tengah kondisi yang menyulitkan seperti saat ini.“Nenek pergi saja ke sana,” kata Radit menyarankan. “Kasihan istri Pak Kades. Beliau ‘kan tengah berduka ditinggal orangtuanya. Biarin aku yang jaga Manda di sini.”“Enak saja! Nanti kau malah apa-apakan cucuku!” tolak si nenek dengan nada ketus. Oh ya ampun. Sudah hampir hitungan 1x24 jam Radit di sana, ia masih juga tak mendapatkan rasa simpati dari sang nenek. Tampaknya perempuan sepuh itu benar-benar menyimpan dendam kesumat pada suami Amanda tersebut.Radit menghela napas pelan. Berusaha memaklumi sifat defensif barusan. Dirinya lantas kembali bersuara. “Terus bagaimana? Apa Nenek mau ajak Manda ke sana juga? Jalanan desa sebelah ‘kan masih bebatuan. Enggak baik sama kandungan Manda.”“Iya, Nek,
Helaan napas berat lolos dari mulut manis Amanda. Wanita itu tak kuasa menahan suara akibat sentuhan nakal suaminya. Hampir tiga bulan mereka berpisah kini bertemu dengan perasaan cinta dan rindu yang sudah menggebu-gebu. Jadilah sekarang adalah waktu yang tepat untuk meledakkan semua yang dipendam. Termasuk apa yang dilakukan oleh Radit sekarang. “Kau mau appah, hmm?” rengek Amanda saat tangan Radit sudah berada di belakang lututnya. Sementara lengan yang lain sudah menopang tengkuk wanita cantik itu. “Menurutmu?” ucap Radit balik bertanya. “Waktunya tidur siang. Kau perlu istirahat, Sayang.” Cahaya di kedua netra Amanda pun perlahan meredup begitu mendengar jawaban barusan. Di saat dirinya sudah siap menerima sentuhan cinta, kenapa malah berakhir demikian? Jelas dia kecewa. Tanpa Amanda tahu bahwa kini Radit tengah mengulum senyumnya. Pria itu ternyata sedang mengerjainya sekarang. Lihat saja. Radit sengaja duduk di tepi ranjang usai me
“Enggak, Sayang. Aku bercanda,” kekeh Radit yang kemudian menjiwil lembut dagu lancip istrinya. Amanda pun hendak memukul paha sang suami. Namun, Radit lebih dulu menangkap lengannya dan mengecup punggung tangan wanitanya itu.“Aku mau mandi, Radit. Udah mau gelap nih harinya,” rengek Amanda saat ditatap dengan mata penuh gairah oleh pria tampan tersebut. Sampai sekarang ia masih saja salah tingkah saat bertemu pandang dengan netra Radit.“Iya iya. Mandi barengan aja yuk. Takutnya keburu malam kalau harus gantian.”“Modus ih,” kata Amanda.“Enggak, Manda. Di desa ini bahaya kalau ‘mantap-mantap’ sambil mandi. Rawan diintip sama remaja tanggung,” kekeh Radit.“Oh berarti dulu waktu kau masih remaja hobi ngintipin cewek mandi. Ketahuan belangnya sekarang.”“Enggak ah,&rd
Perih yang terasa di kulitnya sama sekali tak berarti bagi Radit. Pria itu bahkan terlihat sangat menikmati wajah cantik Amanda yang tampak salah tingkah.“Udah ya, Sayang. Jangan marah lagi,” kata Radit setelah menyudahi aksinya mengeringkan rambut sang istri. “Kalau tahu bakalan begini, aku enggak akan cerita.”Alih-alih mendengarkan ungkapan suaminya tadi, Amanda malah kembali membayangkan pengalaman menyebalkannya kala itu. Mulut mungilnya pun kembali mengerucut. “Gara-gara kejadian itu aku malu, Radit. Orang-orang di sana … ih pokoknya enggak enak diingat. Semua karena kau!!”“Iya. Maafin ya,” bujuk Radit lagi. “Enggak ada yang ingat kok. Apalagi Pak Kades yang waktu itu udah meninggal. Kalau enggak salah tahun lalu. Kalau enggak percaya tanya aja sama ibu.”&
Radit tahu bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Yang Kuasa. Namun, entah mengapa sulit sekali menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Sungguh pengalaman pamit saat menyambut kelahiran Ayra dulu masih membekas jelas di dalam ingatannya. “Kalau Bapak mau ke luar dari sini silakan. Operasi akan segera dimulai,” kata seorang perawat kemudian. Tidak. Radit tak akan mau meninggalkan Amanda yang sedang berjuang melahirkan para buah cinta mereka. Pria itu bangkit lalu berjalan perlahan ke sisi sang istri. Kini kedua mata mereka saling bertemu pandang seolah sedang berbicara dari hati ke hati. Operasi pun dimulai. Efek anastesi mulai berjalan sehingga Amanda tak lagi bisa merasakan sayatan demi sayatan yang perlahan mulai membuka kulit perutnya. Sementara Radit terus melantunkan do’a di dalam kalbu. Memohon pada Tuhan agar orang-orang yang dicintainya selamat dan tidak kekurangan sesuatu apapun. “Aku mencintaimu, Sayang.” Amanda mengatakann
Tadinya Radit yang sudah terserang bucin akut pada Amanda sangat khawatir begitu melihat orang yang ada di hadapan mereka saat ini. Namun, rasa cemas pun perlahan sirna usai menyaksikan sendiri betapa wanitanya tidak lagi ingin menghindar.“Nama anak cantiknya siapa?” tanya Amanda sambil tersenyum. Bayi perempuan usia satu tahunan yang ada di pangkuan mamanya itu menggeliat kecil. Lantas tersenyum malu dan tampak salah tingkah.“Nama aku Aulia, Tante.” Adalah Tisa selaku sang mama yang menjawab pertanyaan barusan. Tak lama kemudian Amanda mengulurkan tangannya dan disambut dengan kecupan oleh si bayi. Membuat Ayra yang tadi duduk anteng di baby chair-nya mendadak berontak. Kelakuan calon kakak dari anak-anak kembar Amanda tersebut menjadi perhatian para orang dewasa di sekitarnya.“Ni Mama Aia!!” pekik Ayra dengan mata yang sudah melirik sinis. Dia bahkan menggeleng saat Radit hendak memperkenalkannya pada putri Tisa dan Andre itu.“Ya ampun!
“Sayang, masih lama?” Radit yang sedang mengemudi menoleh sekilas ke arah istrinya lalu menjawab, “Sebentar lagi kita akan sampai. Sabar ya, Sayang.” Amanda mengangguk. Wanita cantik itu tersenyum manis walaupun dalam keadaan mata yang masih tertutup sejak mereka meninggalkan rumah tadi. Hingga hampir setengah jam kemudian mobil yang dikendarai Radit pun berhenti. Pria itu bergegas membuka sabuk pengaman dirinya dan sang istri. “Apa aku boleh buka penutup matanya?” tanya Amanda yang sudah tak sabaran. “Jangan dulu,” jawab Radit yang seketika menggenggam erat tangannya. “Kita melangkah perlahan agar kau tak tersandung. Hati-hati.” Amanda bergumam pelan seraya menganggukkan kepala. Dia terus melangkah sesuai tuntunan sang suami hingga berhenti beberapa saat kemudian. “Apa sudah bisa dimulai, Pak?” tanya seseorang yang berdiri di kejauhan. Radit mengangguk. Pria itu kemudian mengambil posisi di belakang sang istri lalu membuka ikatan penutup mata tadi. “Silakan, Sayang.” Kini k
Satu harian ini Amanda jadi misuh-misuh sendiri di dalam kamar. Wanita cantik tersebut hanya keluar untuk mengisi perut atau sesekali melihat keadaan Ayra. Tentu saja dia masih kesal karena sang suami pergi tanpa mau mengajaknya. Padahal apa yang dikatakan Radit tadi ada benarnya. Dia mungkin akan kelelahan karena aktifitas mereka yang sangat padat hingga malam hari. Meskipun begitu, tetap saja hati kecil Amanda tidak terima. Jadilah dia cemberut sekarang.TOK TOK!!“Masuk aja. Enggak dikunci kok,” kata Amanda yang mematut diri di depan cermin. Beberapa detik kemudian Bu Ningsih muncul sembari menggendong Ayra yang sudah terlelap. Ibu mertuanya itu masuk lalu merebahkan sang cucu di atas ranjang.“Ibu dan Tiara mau keluar ya. Ayra samamu dulu.”Amanda langsung manyun. Kenapa mereka juga tak mau mengajaknya? Atau paling tidak berbasa-basi. “Kalian mau ke mana, Bu?”“Si Tiara minta ditemenin ke supermarket. Beli buah-buahan katanya,” jawab Bu Ni
“Jangan mancing-mancing.” Amanda menjauhkan kepalanya dari Radit lalu melirik sebal pria yang sudah mengulum senyum itu. Tentulah ia tahu apa maksud dari serangan kecil barusan. “Boleh aku bicara jujur?” Radit masih saja mengeluarkan jurus jitunya. Apalagi kalau bukan menggoda Amanda. “Apa?” “Kau semakin cantik dan seksi,” bisik Radit sembari mendekatkan tubuh mereka kembali. “Semuanya padat dan berisi.” “Berhentilah membual,” desis Amanda saat tangan nakal itu sudah mulai menjalar ke mana-mana. “Ini masih pagi dan situasinya enggak tepat.” Namun, Radit yang sudah terbakar gairah sepertinya tidak peduli. Dia malah semakin bersemangat untuk menggempur tubuh sang istri. Pertarungan di atas ranjang pun menggantikan olahraga paginya kali ini. Bunyi kecipak dan ayunan lembut yang mereka ciptakan sendiri menjadi suara yang begitu memabukkan. Bahkan ketika ledakan cinta didapat, keduanya masih ingin menggapai momen itu kembali. Sayangnya gagal karena pintu kamar sudah terbuka seba
Amanda refleks melebarkan kelopak matanya saat merasakan nyeri di bagian perut. Begitu juga dengan Radit yang baru menyadari sang putri sudah terbangun."Mama Aia!!""Iya, Sayang. Kenapa malah mukul tangan papa sih? Perut mama juga kena jadinya." Radit mengomel sembari melihat ke arah istrinya."Enggak pa-pa," ucap Amanda yang kemudian mendudukkan diri. Lantas dia tersenyum pada Ayra yang sudah cemberut. "Anak mama kenapa ya kok main pukul-pukul lagi? Katanya sayang sama papa juga, kenapa begitu, hmm?""Mama Aia!!"Gadis kecil itu malah menatap tajam sang papa. Seolah memberitahu bahwa Amanda hanya miliknya saja. Sementara kini Radit hanya menjadi pendengar kedua ibu dan anak tersebut yang mulai berbicara.Kini dengan suara lembutnya Amanda menjelaskan bahwa sikap Ayra barusan salah. Tak ada nada bicara meninggi ataupun rasa kesal yang tertangkap di wajah istri cantiknya tersebut. Membuat Radit semakin kagum pada wanitanya itu."Lain kali ngomongnya baik-baik ya, Sayang," kata Amanda
“Kau ini kenapa sih?? Istri lagi hamil kok malah dibuat stress. Maumu apa, hah??” Radit menggeleng pelan dengan kepala yang sudah tertunduk. Tak berani menatap wajah sang ibu yang sedang mengomel itu. Sementara Mama Tiara hanya diam sembari memandang keduanya secara bergantian.“Aku hanya mencemaskannya,” kata Radit dengan suara lirih. “Aku enggak pernah menyangka jika Manda hamil anak kembar. Itu sangat berisiko.” Ya. Bukannya Radit tidak bahagia, tetapi rasa khawatir yang ada pada dirinya melebihi apapun saat ini. Sungguh kepingan memori buruk perihal wafatnya sang istri terdahulu mulai menari-nari di dalam kepala.Melihat wajah gelisah itu, Bu Ningsih berdecak pelan lalu menarik kursi hingga dia dan Radit kini saling berhadapan. Satu tangannya menyentuh pundak anak semata wayangnya tersebut.“Relakan apa yang sudah terjadi. Ibu tahu kalau kau takut Manda mengalami kejadian serupa seperti yang lalu bukan?” tanyanya yang membuat Radit lekas mengiyakan. “Se
“Dokter ‘kan enggak cuma satu aja. Ada banyak pilihan dan menurutku … ini yang terbaik. Dia juga lebih pro ke persalinan normal.” Radit mengatakannya sambil tersenyum. Tidak lagi marah karena pembicaraan tentang Dinda kembali menjadi topik mereka walaupun memang bukan disengaja.“Ya sudah kalau gitu,” kata Amanda kemudian.“Atau kau sudah punya pilihan dokter sendiri, hem?” tanya Radit sembari memelankan laju kendaraannya.Amanda menggeleng cepat sebagai jawaban. “Aku ‘kan sudah lama sekali enggak balik ke sini. Jadi ya terserah kau saja kita mau ke mana.”“Siapa tahu ada saran dari teman atau rekan di sosial media,” gumam Radit.“Enggak sih. Temanku dulu cuma Tisa dan sekarang malas rasanya dekat sama siapapun juga. Lagian sudah ada suami dan anak-anak. Cukup kok buatku.” Keterangan barusan membuat Radit semakin menyadari bahwa wanita di sampingnya ini memang introvert sedari lama. Dulu saat dia sedang bersama mendiang Dinda pun, Amanda terlihat acuh tak a
Ada yang janggal. Itulah yang disimpulkan Amanda sekarang. Dia tak bisa bertanya pada Radit lantaran suasana tidak mendukung. Terlebih lagi Ayra mulai merengek lantaran ingin sekali berada di pangkuannya.“Ya udah iya. Sebentar ya, Sayang,” kata Radit pada sang putri. Dia pun mulai menepikan kendaraan lantas ke luar dari mobil.“Mu mama!!”Ayra sudah tak sabaran. Tangan dan kakinya yang sibuk meronta-ronta. Membuat Mama Tiara yang memangku jadi sedikit kewalahan. Hingga beberapa detik gadis kecil itu tersenyum saat sang papa sudah mengambil alih dan meletakkan tubuhnya di tempat yang ia inginkan.“Gimana, Sayang? Udah nyaman?” tanya Radit setelah memundurkan tempat duduk Amanda. Menyisakan jarak yang sedikit jauh agar kedua kaki istri cantiknya bisa bergerak dengan lebih leluasa.“Sudah,” jawab Amanda sekenanya. Barulah Radit kembali melajukan mobil seperti sedia kala. Sementara Ayra sudah tampak kegirangan karena berada di pangkuan mamanya.“Ana, Ma?”“Iya