Sebastian menepuk jidatnya sendiri begitu melihat pasangan suami istri tersebut saling memandang dalam diam. Dia tahu betul bahwa situasi berjalan tidak sesuai dengan rencana. Alih-alih mengerjai Radit, yang ada hubungan mereka malah semakin terancam. Bahkan bisa jadi … ah. Membayangkan saja dia bergidik ngeri. Lihat saja. Belum apa-apa wajah Amanda sudah tampak sedih dan kecewa. Wanita mana yang tidak sakit hati mendengar suaminya berkata demikian?“Manda,” sapa Radit dengan suara yang begitu lirih. Nyaris tak terdengar lantaran ekspresi terkejut usai menyaksikan perubahan tubuh istrinya. Radit maju satu langkah hendak menghampiri Amanda. Namun, wanita itu malah mundur perlahan. Kepalanya menggeleng sebagai pertanda tak ingin didekati sang suami.“Pergi saja!”“Sayang?” Radit mati-matian menahan kesabarannya untuk bertanya lebih. Dia ingin sekali mendekap tubuh wanita yang begitu dirindukannya. “Aku sudah lama mencarimu.”“Jangan mendekat!” l
“Apa aku tidak salah dengar?” Amanda balik bertanya sambil terkekeh. “Kau bertanya bagaimana aku bisa hamil? Pertanyaan macam apa itu, Radit?”“Sayang?”“Atau … kau meragukan kalau ini adalah anakmu??”Radit pun jadi gelagapan. Terlebih saat mendengar luapan puncak emosi istrinya yang sudah bertanya dengan nada tinggi. “Sa-sayang. Bukan begitu. Seingatku kau pernah mengatakan sedang haid di akhir pertemuan kita. Ja-jadi aku bingung.” Pria itu mengembuskan napas berat setelahnya. Merasa lega usai mengungkapkan apa yang sejak tadi mengganggu isi pikiran ketika melihat perut sang istri yang membuncit. Beruntung dia tak langsung menuduh Amanda yang macam-macam. Kalau sampai yang demikian terjadi, mata tamat sudah riwayatnya sekarang.“Aku salah duga,” kata Amanda kemudian. Suaranya pun memelan. &l
Amanda hendak menyikut perut orang yang membekap mulutnya itu. Namun, aroma tubuh yang tak sengaja terhidu oleh indera penciumannya membuat wanita hamil tersebut mengulurkan niat seketika. Terlebih saat merasakan dekapan hangat yang begitu ia rindukan. “Jangan takut. Ini aku,” bisik Radit kemudian yang perlahan menurunkan tangannya dari mulut sang istri. Pria itu kemudian membimbing Amanda untuk berjalan menuju teras belakang dan duduk di bangku panjang yang ada di sana. Lampu sentir yang tergantung di bawah atap rumbia cukup menjadi penerangan bagi mereka. “Kau membuatku terkejut,” kata Amanda yang sudah mengerucutkan bibirnya. “Kenapa tiba-tiba muncul sih? Aku pikir tadinya maling.” Alih-alih menjawab pertanyaan barusan, Radit malah menarik Amanda ke dalam dekapan. Mengecup lama puncak kepala sang istri serta pelipis wajah wanitanya itu dengan kasih sayang. “Aku mana bisa tidur,” kata Radit akhirnya. “Jauh-jauh datang dari Medan kemari ingin melihatmu. Sekalinya bertemu malah d
“Nenek enggak mungkin mengajakmu ke desa sebelah, apalagi ‘kan kau lagi hamil. Pamalih, Nda.” Sang nenek menatap Amanda dengan raut wajah gelisah. Sementara Radit malah sedang menahan senyum. Merasa beruntung di tengah kondisi yang menyulitkan seperti saat ini.“Nenek pergi saja ke sana,” kata Radit menyarankan. “Kasihan istri Pak Kades. Beliau ‘kan tengah berduka ditinggal orangtuanya. Biarin aku yang jaga Manda di sini.”“Enak saja! Nanti kau malah apa-apakan cucuku!” tolak si nenek dengan nada ketus. Oh ya ampun. Sudah hampir hitungan 1x24 jam Radit di sana, ia masih juga tak mendapatkan rasa simpati dari sang nenek. Tampaknya perempuan sepuh itu benar-benar menyimpan dendam kesumat pada suami Amanda tersebut.Radit menghela napas pelan. Berusaha memaklumi sifat defensif barusan. Dirinya lantas kembali bersuara. “Terus bagaimana? Apa Nenek mau ajak Manda ke sana juga? Jalanan desa sebelah ‘kan masih bebatuan. Enggak baik sama kandungan Manda.”“Iya, Nek,
Helaan napas berat lolos dari mulut manis Amanda. Wanita itu tak kuasa menahan suara akibat sentuhan nakal suaminya. Hampir tiga bulan mereka berpisah kini bertemu dengan perasaan cinta dan rindu yang sudah menggebu-gebu. Jadilah sekarang adalah waktu yang tepat untuk meledakkan semua yang dipendam. Termasuk apa yang dilakukan oleh Radit sekarang. “Kau mau appah, hmm?” rengek Amanda saat tangan Radit sudah berada di belakang lututnya. Sementara lengan yang lain sudah menopang tengkuk wanita cantik itu. “Menurutmu?” ucap Radit balik bertanya. “Waktunya tidur siang. Kau perlu istirahat, Sayang.” Cahaya di kedua netra Amanda pun perlahan meredup begitu mendengar jawaban barusan. Di saat dirinya sudah siap menerima sentuhan cinta, kenapa malah berakhir demikian? Jelas dia kecewa. Tanpa Amanda tahu bahwa kini Radit tengah mengulum senyumnya. Pria itu ternyata sedang mengerjainya sekarang. Lihat saja. Radit sengaja duduk di tepi ranjang usai me
“Enggak, Sayang. Aku bercanda,” kekeh Radit yang kemudian menjiwil lembut dagu lancip istrinya. Amanda pun hendak memukul paha sang suami. Namun, Radit lebih dulu menangkap lengannya dan mengecup punggung tangan wanitanya itu.“Aku mau mandi, Radit. Udah mau gelap nih harinya,” rengek Amanda saat ditatap dengan mata penuh gairah oleh pria tampan tersebut. Sampai sekarang ia masih saja salah tingkah saat bertemu pandang dengan netra Radit.“Iya iya. Mandi barengan aja yuk. Takutnya keburu malam kalau harus gantian.”“Modus ih,” kata Amanda.“Enggak, Manda. Di desa ini bahaya kalau ‘mantap-mantap’ sambil mandi. Rawan diintip sama remaja tanggung,” kekeh Radit.“Oh berarti dulu waktu kau masih remaja hobi ngintipin cewek mandi. Ketahuan belangnya sekarang.”“Enggak ah,&rd
Perih yang terasa di kulitnya sama sekali tak berarti bagi Radit. Pria itu bahkan terlihat sangat menikmati wajah cantik Amanda yang tampak salah tingkah.“Udah ya, Sayang. Jangan marah lagi,” kata Radit setelah menyudahi aksinya mengeringkan rambut sang istri. “Kalau tahu bakalan begini, aku enggak akan cerita.”Alih-alih mendengarkan ungkapan suaminya tadi, Amanda malah kembali membayangkan pengalaman menyebalkannya kala itu. Mulut mungilnya pun kembali mengerucut. “Gara-gara kejadian itu aku malu, Radit. Orang-orang di sana … ih pokoknya enggak enak diingat. Semua karena kau!!”“Iya. Maafin ya,” bujuk Radit lagi. “Enggak ada yang ingat kok. Apalagi Pak Kades yang waktu itu udah meninggal. Kalau enggak salah tahun lalu. Kalau enggak percaya tanya aja sama ibu.”&
“HOEK HOEK!!” Lagi. Amanda terduduk lemas di lantai usai menumpahkan isi lambungnya barusan. Wanita itu bahkan tanpa sadar sudah menitikkan air mata karena rasa mual yang kembali melanda. Sudah menjadi kebiasaanya di pagi hari untuk mengalami hal yang seperti ini. Meskipun begitu, Amanda tak pernah mengeluh karena tahu bahwa dirinya akan menikmati hasil dari perjuangannya selama sembilan bulan ke depan nanti. Amanda hendak bangkit, tetapi tenaga yang dimiliki masih belum terkumpul sempurna. Jadilah ia berdiam di sana hingga usapan lembut di area tengkuk membuatnya menoleh perlahan. “Kenapa malah ditanggung sendiri, hem?” gumam Radit yang terdengar pelan di telinga. “Seharusnya kau membangunkanku.” “Enggak pa-pa.” Amanda menggeleng sambil tersenyum. “Udah biasa kok.” Radit menghela napas sebentar lalu dengan cepat menuangkan segelas air hangat untuk Amanda. Membiarkan wanita cantik itu duduk di atas pangkuannya sembari meneguk habis apa yang ia sodorkan barusan. Pun dengan cekat