Perih yang terasa di kulitnya sama sekali tak berarti bagi Radit. Pria itu bahkan terlihat sangat menikmati wajah cantik Amanda yang tampak salah tingkah.
“Udah ya, Sayang. Jangan marah lagi,” kata Radit setelah menyudahi aksinya mengeringkan rambut sang istri. “Kalau tahu bakalan begini, aku enggak akan cerita.”
Alih-alih mendengarkan ungkapan suaminya tadi, Amanda malah kembali membayangkan pengalaman menyebalkannya kala itu. Mulut mungilnya pun kembali mengerucut. “Gara-gara kejadian itu aku malu, Radit. Orang-orang di sana … ih pokoknya enggak enak diingat. Semua karena kau!!”
“Iya. Maafin ya,” bujuk Radit lagi. “Enggak ada yang ingat kok. Apalagi Pak Kades yang waktu itu udah meninggal. Kalau enggak salah tahun lalu. Kalau enggak percaya tanya aja sama ibu.”
&
“HOEK HOEK!!” Lagi. Amanda terduduk lemas di lantai usai menumpahkan isi lambungnya barusan. Wanita itu bahkan tanpa sadar sudah menitikkan air mata karena rasa mual yang kembali melanda. Sudah menjadi kebiasaanya di pagi hari untuk mengalami hal yang seperti ini. Meskipun begitu, Amanda tak pernah mengeluh karena tahu bahwa dirinya akan menikmati hasil dari perjuangannya selama sembilan bulan ke depan nanti. Amanda hendak bangkit, tetapi tenaga yang dimiliki masih belum terkumpul sempurna. Jadilah ia berdiam di sana hingga usapan lembut di area tengkuk membuatnya menoleh perlahan. “Kenapa malah ditanggung sendiri, hem?” gumam Radit yang terdengar pelan di telinga. “Seharusnya kau membangunkanku.” “Enggak pa-pa.” Amanda menggeleng sambil tersenyum. “Udah biasa kok.” Radit menghela napas sebentar lalu dengan cepat menuangkan segelas air hangat untuk Amanda. Membiarkan wanita cantik itu duduk di atas pangkuannya sembari meneguk habis apa yang ia sodorkan barusan. Pun dengan cekat
Suara lenguhan mesra kini memenuni kamar kecil yang ada di rumah sederhana itu. Adalah sepasang suami istri yang baru saja menciptakan lonjakan cinta di antara keduanya. Siapalagi kalau bukan Amanda dan Radit yang sama-sama berpelukan di atas ranjang sekarang.“Makasih, Sayang,” ucap Radit usai mendaratkan kecupan singkat di dahi Amanda. “Besok-besok kita enggak bisa ngelakuin ini lagi karena nenek bakalan pulang.”Wanita cantik itu hanya terkekeh. Lantas dia bangkit perlahan saat merasakan dorongan untuk segera ke kamar mandi.“Mau pipis kayaknya.”“Aku temani ya,” kata Radit menawarkan diri. Dia pun ikut masuk untuk menerangi istrinya berkemih di kamar mandi sana. Tanpa sadar bibir pria tampan itu membentuk lengkungan senyum saat me
“Maaf, Manda. Maafin aku, Sayang.” Radit memeluk erat istrinya yang sudah menangis sesenggukan di atas ranjang. Kali ini dia memang sudah keterlaluan karena tak bisa mengontrol emosi lantaran cemburu tak jelas. Sungguh dirinya kelewatan.“Kau sendiri yang melarang aku bahas tentang Dinda,” isak Amanda di sela tangisnya yang terdengar menyayat hati. “Tapi kau yang memancingnya lagi.”“Maafin aku ya. Aku memang bodoh, Sayang.” Ucapan barusan tidak digubris Amanda. Wanita itu hanya memasrahkan dirinya dalam pelukan Radit yang semakin erat. Tahu bahwa sang suami sedang menyesal, tetapi hatinya juga tak bisa berbohong karena kembali merasakan sakit yang sama. Baru saja berb
Apa yang dikatakan oleh sang nenek terbukti juga. Baru tiga hari Radit pergi, Amanda sudah dirundung perasaan rindu. Mantan model cantik itu menghela napas ketika melihat awan mendung di luar sana. Pastilah sinyal buruk dan menjadikan dirinya tak bisa bersua lewat panggilan video dengan sang suami. Semenjak saling mengutarakan perasaan satu sama lain, cinta yang di dalam hati semakin bertumbuh pesat saja. Beginilah risikonya terlebih mereka sedang menjalani hubungan jarak jauh.Amanda mengulum senyum sambil menggelengkan kepala karena menyadari bahwa ia sedang kasmaran. Hingga ketukan pintu membuatnya lekas menegakkan punggung kembali.“Ada banyak paket yang berdatangan, Nda,” lapor nenek seraya menunjuk ke arah pintu rumah. “Suamimu itu niatnya bikin kejutan tapi malah ngerepotin. Malu-maluin aja!”Amanda sontak mengerjapkan matanya. “Eh gimana, Nek? Radit ngirim sesuatu?”“Iya,” sahut sang nenek dengan cepat. “Dia enggak tahu alamat rumah ini di mana. Tap
“Udah masuk bulan kelima tapi kau masih mual terus ya, Nda. Nenek jadi kasihan samamu.”Amanda yang baru saja meneguk habis susu kehamilan tadi tersenyum simpul. Setelahnya ia berucap, “Aku juga sih mikirnya gitu, Nek. Bidan yang di puskesmas nyaranin buat USG lagi di kota. Mastiin kalau kandungan aku baik-baik aja.”“Benar itu, Nda. Nenek juga jadi kepikiran. Apalagi dokter kandungan yang biasa kemari minggu lalu enggak datang,” kata sang nenek ikut menyuarakan rasa cemasnya. Pembicaraan mereka terjeda saat rumah sederhana itu kedatangan tamu. Amanda kembali melangkah menuju halaman belakang untuk menghirup udara pagi. Sementara neneknya menyambut tetangga mereka tersebut. Kini pemandangan di depan mata tak seindah bulan kemarin. Musim panen baru saja berlalu. Jadilah area persawahan hanya menyisakan lahan yang kosong saja. Sebagiannya terendam air karena memang sudah tiga hari belakangan hujan terus mengguyur pedesaaan di sana. Amanda menghe
Radit tak langsung menjawab pertanyaan barusan. Pria itu menerbitkan senyuman untuk sang istri yang sedang dilanda perasaan bersalah. Lantas menarik lembut lengannya hingga mengikis jarak yang tercipta di antara mereka.“Enggak ada yang perlu disesali, Sayang,” bisik Radit yang tengah memeluk istrinya dari samping. Tak pelak mendaratkan kecupan pelan di pelipis wanitanya itu. “Ayra masih kecil. Dia belum ngerti kalau sebentar lagi bakalan punya adik.”“Justru itu, Radit. Aku enggak mau dia merasa tersaingi.”Radit kembali mengeratkan dekapannya hingga bisa merasakan perut Amanda yang melenting tersebut. “Hei, jangan takut begitu. Anak-anak kita enggak akan kekurangan kasih sayang. Tuhan enggak pernah salah menentukan takdir hamba-Nya.” Pembicaraan mereka tak lagi berlanjut karena Amanda sudah menguap beberapa kali. Pun begitu juga dengan Radit yang juga memutuskan untuk terlelap di samping istrinya. Kini keluarga kecil tersebut kompak tidur bersama di atas
“Enggak bisa gini, Sayang. Mana boleh dia panggil aku pake nama.” Radit terus menggerutu dengan suara setengah berbisik. Matanya kemudian menatap wajah polos Ayra yang sudah tertidur lelap di atas ranjang. Sementara Amanda hanya tersenyum sembari mengaduk susu yang ada di genggamannya.“Aku lupa kalau di usia Ayra bakalan gampang niru kata-kata dari orang di sekitarnya,” ucap Amanda kemudian. “Ya udah. Lain kali kita panggil mama dan papa atau sayang aja. Gimana?” Pria tampan itu mengangguk pelan. Lantas menerima gelas kosong yang diberikan oleh sang istri untuk disimpan di atas meja. Setelahnya memindahkan tubuh Ayra agar mepet ke tembok. Jadilah posisi Amanda yang berada di tengah ranjang dan dirinya di bagian paling pinggir.CUP!“Good night, Sayang. I love you,” bisik Radit yang segera memeluk Amanda dari arah samping. Tak pelak melabuhkan kecupan singkat di perut buncit itu lagi.“Love you too.” Mungkin karena tidur yang hampir menuju pag
“Iya. Sebentar!” Amanda akhirnya bersuara juga agar orang-orang di luar sana tak lagi sibuk memanggil. Wanita cantik itu tampak gelisah karena bingung harus berbuat apa. Sementara Radit malah memperhatikan dengan senyuman yang sungguh menyebalkan.“Sayang, hei,” panggil Radit yang lekas menyisipkan sebagian rambut Amanda ke belakang telinga. Lantas mengusap lembut buliran keringat yang tersisa di paras cantik itu. “Tenang dulu ya. Jangan panik. Apa yang harus kau takutkan, hem?”Amanda pun berdecak sebal. “Nenek sama yang lain udah datang, Radit. Lihat kita! Masih acak-acakan begini.”“Iya, Sayang. Aku tahu. Enggak usah panik segitunya. Jangan lupakan kalau kita adalah pasangan suami istri yang sah,” jelas Radit memang benar adanya.“Apapun itu … yang penting aku enggak mau kelihatan begini.”“Oke oke. Aku anterin kau ke kamar mandi,” gumam Radit kemudian.“Sprei-nya gimana? Kotor.”Radit mengangguk-angguk. Dia pun mengenakan celana dan baju atasan dengan gerakan taksis.