“Wajar sih kalau Manda butuh waktu sendiri. Apalagi dia sakit hati karena kau menolak untuk merayakan ulang tahun anakmu.” Mendengar kata ulang tahun yang dilontarkan oleh Sebastian, Radit lekas menepuk jidatnya sendiri. Ingatan pria itu kembali pada hari pertama mengucapkan ijab kabul untuk pernikahannya dengan Amanda.“Sial,” desisnya sambil menggeram rendah.“Lah?! Kok sial?” protes Sebastian yang sedang berkutat di depan laptopnya. “Kau menyesali kelahiran anakmu?”“Bukanlah,” ralat Radit cepat. “Aku baru ingat kalau ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami. Semoga saja tidak terjadi hal buruk juga.”Sebastian pun terkekeh. “Jangan berpikiran jelek begitu. Di hari ulang tahun pernikahan kau dan Dinda dulu kalian dihadiahi kelahiran Ayra. Siapa tahu sekarang Manda hamil.”“Enggak mungkin. Terakhir kali bertemu saja dia sedang haid.” Percakapan mereka terjeda usai Sebastian menunjuk sesuatu di layar laptopnya. Seketika Radit pun mengerutkan dahi.
Di belakang mejanya kini Radit masih senyam-senyum sendiri. Sama sekali tak mempedulikan hal yang terjadi di sekitar. Bahkan kedatangan Sebastian pun tidak disadari oleh pria itu.“Woi woi!!” Suara barusan membuat Radit buru-buru meletakkan ponselnya di atas meja. Wajahnya masih sumringah usai menatap kedatangan sang teman.“Kau bikin kaget saja,” kata Radit sambil mendengkus pelan. “Bagaimana? Bisa tidak kau menemaniku? Ayolah, Bas. Aku benar-benar sudah tak sabar lagi.”“Astaga dosen yang satu ini!!” Sebastian pun berdecak sebal. “Itu sih namanya bukan bertanya, tetapi kau memaksa. Dasar!!”“Aku bisa saja pergi sendiri, tapi aku butuh dirimu untuk memastikan Amanda mau bertemu denganku.” Pada akhirnya Sebastian pun mengangguk sebagai tanda setuju atas tawaran Radit. Tindakannya barusan membuat papa kandung Ayra tersebut langsung memekik kegirangan. Bahkan tanpa sadar dia sudah meloncat tak jelas.“Kau berdo’a saja semoga Manda masih mau bert
“Maaf ya, Bas. Nenek pikir tadi kau adalah Radit. Makanya dia mengomel terus.” Amanda meringis usai memperhatikan wajah sendu Sebastian. Setelahnya wanita itu meletakkan nampan berisi pisang goreng dan segelas kopi di atas meja. Lantas duduk di kursi seberang lalu tersenyum lembut.“Iya, Man. Santai,” kata Sebastian memaksakan senyumnya. “Kalau tahu bakal disambut dengan sumpah serapah tadi, mendingan aku suruh Radit yang ke sini.”“Maaf ya,” ulang Amanda lagi. Sebastian pun mengangguk-angguk. Tak pelak dia mulai menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap itu.“Sepertinya kau betah di sini.”“Hu um,” sahut Amanda cepat. Tangannya meraba perut yang sejak tadi menjadi perhatian Sebastian. “Jangan bilang dia dulu ya.”“Iya. Dia memang harus dikasih pelajaran,” ucap Sebastian yang kali ini malah berpihak pada Amanda. “Aku juga setuju kalau kau jangan mau dijemput olehnya dengan mudah. Dia harus benar-benar dibuat kapok, Man. Aku akan mengerjainya.”“Maksudmu?”
Sebastian menepuk jidatnya sendiri begitu melihat pasangan suami istri tersebut saling memandang dalam diam. Dia tahu betul bahwa situasi berjalan tidak sesuai dengan rencana. Alih-alih mengerjai Radit, yang ada hubungan mereka malah semakin terancam. Bahkan bisa jadi … ah. Membayangkan saja dia bergidik ngeri. Lihat saja. Belum apa-apa wajah Amanda sudah tampak sedih dan kecewa. Wanita mana yang tidak sakit hati mendengar suaminya berkata demikian?“Manda,” sapa Radit dengan suara yang begitu lirih. Nyaris tak terdengar lantaran ekspresi terkejut usai menyaksikan perubahan tubuh istrinya. Radit maju satu langkah hendak menghampiri Amanda. Namun, wanita itu malah mundur perlahan. Kepalanya menggeleng sebagai pertanda tak ingin didekati sang suami.“Pergi saja!”“Sayang?” Radit mati-matian menahan kesabarannya untuk bertanya lebih. Dia ingin sekali mendekap tubuh wanita yang begitu dirindukannya. “Aku sudah lama mencarimu.”“Jangan mendekat!” l
“Apa aku tidak salah dengar?” Amanda balik bertanya sambil terkekeh. “Kau bertanya bagaimana aku bisa hamil? Pertanyaan macam apa itu, Radit?”“Sayang?”“Atau … kau meragukan kalau ini adalah anakmu??”Radit pun jadi gelagapan. Terlebih saat mendengar luapan puncak emosi istrinya yang sudah bertanya dengan nada tinggi. “Sa-sayang. Bukan begitu. Seingatku kau pernah mengatakan sedang haid di akhir pertemuan kita. Ja-jadi aku bingung.” Pria itu mengembuskan napas berat setelahnya. Merasa lega usai mengungkapkan apa yang sejak tadi mengganggu isi pikiran ketika melihat perut sang istri yang membuncit. Beruntung dia tak langsung menuduh Amanda yang macam-macam. Kalau sampai yang demikian terjadi, mata tamat sudah riwayatnya sekarang.“Aku salah duga,” kata Amanda kemudian. Suaranya pun memelan. &l
Amanda hendak menyikut perut orang yang membekap mulutnya itu. Namun, aroma tubuh yang tak sengaja terhidu oleh indera penciumannya membuat wanita hamil tersebut mengulurkan niat seketika. Terlebih saat merasakan dekapan hangat yang begitu ia rindukan. “Jangan takut. Ini aku,” bisik Radit kemudian yang perlahan menurunkan tangannya dari mulut sang istri. Pria itu kemudian membimbing Amanda untuk berjalan menuju teras belakang dan duduk di bangku panjang yang ada di sana. Lampu sentir yang tergantung di bawah atap rumbia cukup menjadi penerangan bagi mereka. “Kau membuatku terkejut,” kata Amanda yang sudah mengerucutkan bibirnya. “Kenapa tiba-tiba muncul sih? Aku pikir tadinya maling.” Alih-alih menjawab pertanyaan barusan, Radit malah menarik Amanda ke dalam dekapan. Mengecup lama puncak kepala sang istri serta pelipis wajah wanitanya itu dengan kasih sayang. “Aku mana bisa tidur,” kata Radit akhirnya. “Jauh-jauh datang dari Medan kemari ingin melihatmu. Sekalinya bertemu malah d
“Nenek enggak mungkin mengajakmu ke desa sebelah, apalagi ‘kan kau lagi hamil. Pamalih, Nda.” Sang nenek menatap Amanda dengan raut wajah gelisah. Sementara Radit malah sedang menahan senyum. Merasa beruntung di tengah kondisi yang menyulitkan seperti saat ini.“Nenek pergi saja ke sana,” kata Radit menyarankan. “Kasihan istri Pak Kades. Beliau ‘kan tengah berduka ditinggal orangtuanya. Biarin aku yang jaga Manda di sini.”“Enak saja! Nanti kau malah apa-apakan cucuku!” tolak si nenek dengan nada ketus. Oh ya ampun. Sudah hampir hitungan 1x24 jam Radit di sana, ia masih juga tak mendapatkan rasa simpati dari sang nenek. Tampaknya perempuan sepuh itu benar-benar menyimpan dendam kesumat pada suami Amanda tersebut.Radit menghela napas pelan. Berusaha memaklumi sifat defensif barusan. Dirinya lantas kembali bersuara. “Terus bagaimana? Apa Nenek mau ajak Manda ke sana juga? Jalanan desa sebelah ‘kan masih bebatuan. Enggak baik sama kandungan Manda.”“Iya, Nek,
Helaan napas berat lolos dari mulut manis Amanda. Wanita itu tak kuasa menahan suara akibat sentuhan nakal suaminya. Hampir tiga bulan mereka berpisah kini bertemu dengan perasaan cinta dan rindu yang sudah menggebu-gebu. Jadilah sekarang adalah waktu yang tepat untuk meledakkan semua yang dipendam. Termasuk apa yang dilakukan oleh Radit sekarang. “Kau mau appah, hmm?” rengek Amanda saat tangan Radit sudah berada di belakang lututnya. Sementara lengan yang lain sudah menopang tengkuk wanita cantik itu. “Menurutmu?” ucap Radit balik bertanya. “Waktunya tidur siang. Kau perlu istirahat, Sayang.” Cahaya di kedua netra Amanda pun perlahan meredup begitu mendengar jawaban barusan. Di saat dirinya sudah siap menerima sentuhan cinta, kenapa malah berakhir demikian? Jelas dia kecewa. Tanpa Amanda tahu bahwa kini Radit tengah mengulum senyumnya. Pria itu ternyata sedang mengerjainya sekarang. Lihat saja. Radit sengaja duduk di tepi ranjang usai me