Tidak salah lagi. Orang itulah yang sudah menganggu ketenangan keluarga mereka.“Arini??” ucap Radit setelah melihat nomor kontak yang diserahkan istrinya barusan. “Mau apalagi dia?”Amanda yang kembali terisak menatap nyalang Radit. “Pasti dia yang udah cerita semuanya sama papa. Makanya papa kaget dan kena serangan jantung.”“Cerita apa maksudmu, Manda?” Mama Tiara yang sempat terdiam menoleh cepat pada keduanya sekarang. Menanti apa yang akan dijelaskan oleh pasangan suami istri itu. Hingga setelah Radit menjelaskan secara gamblang barulah Mama Tiara mengembuskan napas kasar. Menyesal juga tidak akan berguna. Toh suaminya sudah terkubur di dalam tanah sana.“Maaf, Ma,” ucap Radit dengan segudang penyesalan yang lagi-lagi ia rasakan.“Susah payah mama mengupayakan kesehatan papa, tapi pada akhirnya dirusak oleh menantu sendiri.” Mama Tiara terduduk lemas di atas kursi taman. Tak mau lagi bersuara setelah lengannya diusap pelan oleh Amanda. K
Radit langsung membelalakkan matanya usai mendengar perkataan barusan. Kedua alis pria itu saling bertautan dengan dahi yang mulai berkerut dalam.Apa tadi? KUA? Apa Amanda akan menggugat cerai dirinya lagi?“Manda ke KUA?” tanya Radit ingin memastikan gendang telinganya masih bisa berfungsi dengan baik. Anggukan cepat sang ibu membuat ia berdecak pelan. “Kenapa ibu enggak bilang padaku?”“Lah?! Yang tadi apa? Kau ini budeg ya?” Bu Ningsih malah sewot. Radit pun langsung menggeram rendah. Tahu kalau tidak ada gunanya berdebat dengan sang ibu. Pastilah dia akan kalah bagaimanapun juga.“Pak Radit jadi nganterin?” celetuk Bi Asih kemudian. “Kalau enggak biar bibi batalin ngabarin sopirnya Nyonya Mama.”“Jadi,” jawab R
[“Kau … mau apa ke sana?”] “Aku sedang mengurus tanah wakaf. Sesuai dengan yang sempat diamanahkan sama papa waktu itu,” jawab Amanda kemudian. “Kenapa sih kau malah marah?” Bukannya menjawab pertanyaan sang istri, Radit malah mendesah lega. Sekaligus merutuki pikiran buruk yang sempat lewat di dalam kepala tadi. Barulah ia terkesiap saat Amanda berdecak di seberang sana. [“Enggak. Aku mana berhak marah. Oh ya. Aku mau lihat Ayra.”] “Ya sudah. Ayra ‘kan anakmu. Enggak perlu minta ijin!!” Radit hendak membuka mulutnya untuk meminta maaf. Namun, panggilan tadi sudah terputus secara sepihak oleh Amanda. Alhasil dia pun mengangguk-anggukan kepala. Paham pastilah sang istri kesal karena mendengar suara bentakannya beberapa saat lalu. Sayang sekali. Begitu Radit kembali ke rumah besar itu, Ayra tengah terlelap. Barulah ia tahu kalau di jam segini memang sang putri sedang tidur siang. Jelas saja dirinya kecewa. Mau pulang pun per
Sontak Radit mengelus pipinya yang memanas. Memandangi sang pelaku yang sama sekali tak merasa bersalah. Hah. Kalau saja bukan anaknya, maka pria itu akan membuat perhitungan dengan cepat. “Sayang, kenapa papanya malah ditabok sih?” tegur Amanda usai terduduk di lantai dengan posisi memangku Ayra.Bayi polos tersebut malah berceloteh sambil geleng-geleng kepala. “No no no! Ni mmah Yia.” Maksudnya ingin mengatakan kalau Amanda adalah mamanya seorang. Jadi sang papa tidak boleh mendekat. Dia pun memeluk posesif istri Radit tersebut.“Segitunya Ayra sama papa ya?” gemas Radit yang tak kapok juga. Malahan dia sengaja mendekat ke sisi Amanda yang lain. Bersiap hendak menempelkan kepala di bahu kanan sang istri yang kosong.“No!” pekik Ayra yang sudah bersikap galak. “Mamah Yiaa!!”“Iya iya. Mamanya Ayra, tapi ini ‘kan istri papa, Sayang.” Radit terkikik geli. Amanda yang mendengar kedua anak dan papa itu berdebat pun mengembuskan napas kasar. Tak p
“Tentu saja iya. Memangnya apalagi?” sambar Radit cepat. Matanya melotot saat beradu tatap dengan sang istri yang sudah tersenyum tipis. “Aku tidak mau sampai digugat dua kali olehmu.”“Kalau begitu kau saja yang urus perpisahan kita. Bagaimana?”“Ya ampun, Manda!” Radit mengerang frustrasi. “Sudah berapa kali kukatakan bahwa kita tidak usah bercerai. Aku juga sudah membuktikan kalau aku tak bersalah dalam kasus yang menimpa asistenku. Kau mau apalagi, hem?”Amanda malah mengendikkan bahu. “Pernikahan kita ini terlalu berat, Radit. Mendingan diakhiri saja. Lagian dulu kita bertahan karena papa. Sekarang sudah tidak ada yang menghalangi lagi.” Mendengar suara lirih tersebut jelas Radit langsung menggeleng cepat. Sama sekali tidak pernah terbesit di dalam hatinya untuk bercerai dari Amanda. Kenapa istrinya seolah ingin berpisah?“Kenapa kau mengatakan itu, Manda?” tanya Radit kemudian. “Aku ke sini justru ingin mengajakmu dan Ayra pulang ke rumah. Sepertinya Mama Tiara tid
Di saat suaminya yang terlihat mulai gelagapan, Amanda malah kembali fokus menata kepingan biscuit di dalam toples. Membiarkan sang mertua untuk berbicara semaunya.“Memangnya Ibu dan Mama Tiara mau nanya apa?” Radit pun tersenyum paksa.Bu Ningsih berdehem sejenak lalu kemudian meletakkan kedua tangannya bersidekap di dada. “Kau selalu mengatakan bahwa Manda ibu yang baik untuk Ayra.”“Memangnya aku salah? Ibu juga berpikiran begitu ‘kan?” tanya Radit balik.“Iyalah, tapi … kau sadar tidak?” Sang ibu lantas menatap sinis padanya. “Di sini status Manda bukan hanya sebagai seorang mama saja. Dia juga istrimu. Kau tak pernah mengatakan kalau dia ini adalah sosok yang benar-benar kau puja.”“Ibu,” tegur Amanda yang mulai menggeleng pelan.“Diam kau, Manda!” ketus mertuany
“Kau kenapa, Dit? Wajahmu kayak enggak dikasih jatah aja.” Suara Sebastian yang menyeletuk dari arah belakang membuat Radit mengembuskan napas kasar. Malas sekali rasanya meladeni ocehan sang teman barusan. Namun, ia tak punya pilihan karena memang pria itulah sosok yang begitu peduli padanya.“Kau kepo sekali,” gerutu Radit saat Sebastian sudah menarik kursi tepat di hadapan mejanya. “Mendingan nikah sana.”Sebastian menggeleng sambil berpangku tangas di atas meja. Bibirnya mengerucut lalu berkata, “Enggak ah. Orang di depanku ini saja kelihatan menderita. Aku malah enggak yakin kalau nikah bisa bikin bahagia.” Jarinya menunjuk tepat pada wajah tampan Radit yang kelihatan layu itu.“Ck. Kau benar memang,” sahut Radit sambil tersenyum kecut. “Tapi ‘kan setiap pernikahan ujiannya enggak sama.”“Aku belum minat. Masih betah digodain sama mahasiswi di sini.” Sebastian pun tergelak sendiri. Setelahnya tak ada pembicaraan lagi karena mereka sama-sama menikmati n
Percuma Radit mengancam dengan cara apapun. Toh sudah satu jam dia di sana masih tak kunjung mendapatkan jawaban juga.“Kami memang beneran enggak tahu, Nak,” kata Mama Tiara yang memandang iba Radit sekarang. “Semenjak meninggalkan rumah ini memang Manda pernah berkunjung untuk melihat Ayra. Terakhir dua minggu yang lalu. Sekarang kami hanya bertukar kabar saja.”“Kalau gitu mana nomor hapenya? Kasih tahu aku, Ma.” Radit mengembuskan napas kasar karena rasa kesal luar bisa saat ini. Mama Tiara pun lekas mengeluarkan ponselnya. Menunjukkan beberapa nomor asing yang tidak memilik nama di layar benda pipih tersebut. Terakhir ada panggilan yang terjadi tepat di jam delapan pagi. Sayang, tak ada satupun dari yang tertera di sana bisa dihubungi kembali. Membuat Radit berdecak pelan karena kehilangan jejak sang istri.“Sabarlah, Dit. Kau jangan marah-marah begini,” tegur ibunya. “Kasihan Ayra dari tadi nangis karena diabaikan papanya. Lihat tuh! Ana