Pada akhirnya janji hanyalah sebuah wacana. Bahkan Amanda tak lagi kecewa karena sang suami memang sudah terbiasa mangkir dari ucapannya. Namun, hal yang paling menyakitkan karena dia mendapati wajah Ayra kini tampak murung. Sepertinya bayi itu juga sedang menanti kedatangan sang papa.
“Dadada!” Ayra merengek manja saat melihat Amanda masih duduk di tempatnya. Bahkan tangan mungil bayi usia delapan bulan lebih itu sudah menarik baju sang mama.
“Iya, Sayang. Sebentar ya.” Amanda mencoba tersenyum manis di depan putrinya. “Mama enggak enak badan nih. Apa kita main di rumah aja ya? Atau mama teleponin susternya Kak Bella. Mau?”
Ayra hanya bengong sembari menunjukkan tatapan polosnya. Entah apa yang dikatakan sang mama, tetapi setelah melihat wanita cantik itu mengangguk usai
“Kau demam.” Dua kata barusan membuat Amanda lekas mengerutkan dahi. Ada sesuatu yang terasa hangat sedang menempel di sana. Lebih tepatnya itu adalah kompresan yang diberikan sang suami untuk pertolongan pertama.“Ayra mana?” Matanya pun melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan hampir pukul delapan malam. “Ayra belum makan, Radit. Dia pasti kelaparan.” Amanda lantas menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya sebatas pinggang. Bergegas hendak melihat keadaan Ayra. Namun, tangan besar Radit segera menggagalkan niatnya lewat cekalan lembut pada lengan kanan sang istri.“Ayra lagi makan sama Bi Asih di luar. Dia baik-baik saja,” kata Radit.“Ya udah. Aku mau lihat dia.”“Kau tidak dengar apa yang kukatakan tadi, hem?” ucap Radit dengan suara pelan. “Kau sedang sakit, Manda. Harus makan dan minum obat. Aku sudah bawakan ke sini.” Tangan Radit kemudian menyambar nampan berisi makanan. Bersiap hendak menyuapkannya ke dalam mulut sang istri, te
Apa Radit peduli? Sayangnya tidak untuk yang sekarang. Pria itu bersiap hendak menyerahkan butiran obat ke hadapan Amanda, tetapi gagal karena istri cantiknya tersebut sudah berlari keluar kamar.“Manda!” pekik Radit dengan suara yang tertahan. Dia tak mau berteriak keras lantaran mengingat ada Ayra yang tengah tertidur pulas. Alhasil Radit pun bergegas menyusul sang istri. Hah. Ke mana larinya wanita itu? Bahkan ia sudah mencari hampir ke setiap sudut ruangan.“Iya, Pak. Saya jamin Bu Manda enggak keluar pagar,” kata satpam yang berjaga. Dahi pria berkumis itu mengernyit saat melihat Radit menggenggam sesuatu. Tanpa sadar dirinya sudah mengulum senyum.“Ada apa?”“En
Radit pikir Mama Tiara akan marah dengan pernyataannya tadi. Namun, perempuan berwajah teduh itu mengangguk lalu tersenyum lembut.“Kami ngerti kok, Nak. Sulit memang berada di posisimu yang sekarang. Enggak pa-pa.”“Makasih, Ma untuk pengertiannya,” kata Radit sedikit lega. “Aku cuma enggak mau Manda jadi ngerasa pelampiasan aja.”Mama Tiara lagi-lagi mengangguk. “Jadi kau mau ke mana? Mau tetap masuk ke kamar ini juga? Semua barang peninggalan Dinda ada di gudang bawah.”“Aku ke kamar Manda saja.”CKLEK!! Pemandangan pertama yang membuat hatinya menghangat adalah Amanda dan Ayra tengah memejamkan mata. Dua wanita itu semakin hari terlihat begitu mirip wajahnya. Padahal awalnya Radit mengira sang putri akan mendominasi wajah m
“Arini sedang sakit katanya,” ucap Radit kemudian. “Aku ke mau temenin dia periksa ke rumah sakit dulu. Pulangnya langsung bimbingan dengan mahasiswa.” Apa Amanda bisa mencegahnya? Tentu saja tidak. Apalagi dia merasa tak berarti di hati sang suami. Alhasil wanita dengan rambut yang panjangnya melebihi bahu itu hanya menganggukkan kepala. Menatap kepergian Radit yang perlahan menghilang dari pandangannya. Sedih? Sudah tentu. Kecewa? Jangan ditanya lagi. Amanda pun akhirnya menangis dalam diam karena merasa cinta sepihak saja. *** “Happah Mmah!” Amanda tergelak saat lagi-lagi melihat kemajuan pesat anaknya. Sekarang Ayra sudah pintar merangkak dan bertepuk tangan berulang kali. Terlebih ketika mendapatkan biscui
“Maaf.” Amanda lekas memundurkan langkahnya hingga kemudian berjalan setengah berlari menuju kamar mandi. Meninggalkan Radit yang masih membeku dalam posisi berdiri seperti tadi. Ada debaran yang terasa aneh saat tubuhnya dipeluk oleh sang istri barusan. Radit tak bisa berbohong bahwa ia menyukai sentuhan fisik tadi. Meskipun durasinya hanya sebentar, tetapi efek yang ditimbulkan luar biasa. Kali ini tak salah lagi kalau mantan kakak ipar cantik tersebut perlahan mencuri hatinya. Sementara di dalam kamar mandi, Amanda kini merutuki apa yang telah terjadi. Merasa malu karena tak sengaja merespon dengan gerakan cepat tadi. Alhasil dia pun memilih berlama-lama di sana. Sengaja mengaplikasikan masker wajah untuk mengulur waktu.***“Sampai minggu depan aku tak bisa ijin dari kampus. Jadwalku padat,” kata Radit saat sarapan pagi tengah berlangsung.Amanda yang tengah mengawasi Ayra mengunyah di dalam baby chair mengangguk pelan. “Aku tahu kok. Engg
“Dari awal memang abang enggak pernah berjanji apa-apa ‘kan, Rin?” gumam Radit merasa yakin dengan ucapannya sendiri.Arini yang sudah bersimbah air mata menggeleng lemah. “Terus, kenapa selama ini Abang baik sama aku? Apa maksudnya, Bang? Abang cuma mainin aku ya? Sama seperti ke Kak Manda juga?”“Rin?”“Benar kata Kak Manda selama ini,” ucap Arini di sela tangisnya yang terdengar begitu lirih. Sengaja agar tak memancing perhatian banyak pengunjung café yang mulai ramai berdatangan ke sana. “Bang Radit enggak akan pernah mau buka hati untuk siapapun. Selamanya akan tetap terkunci untuk Dinda.”“Salah, Rin,” sanggah Radit cepat. “Aku sadar kalau aku sudah jatuh cinta pada Manda.” Arini justru tersenyum mengejek seraya menghapus kasar jejak air mata yang membasahi pipinya. Dit
“Gimana perasaan papa?”Alih-alih menjawab pertanyaan sang putri, Tuan Yuda malah berdecak pelan seraya memutar jengah bola matanya. Membuat Mama Tiara yang menyaksikan interaksi kedua anak dan ayah tersebut geleng-geleng kepala.“Dijawab dong, Pa. Manda ‘kan khawatir,” kata perempuan yang merupakan istrinya itu.“Males ah. Dijawab juga entar bakalan nanya lagi. Dari bangun tidur sampai menjelang sore gini sudah hampir sepuluh kali diteror.”Amanda yang merasa tersinggung lantas memberengut kesal. Dia pun mengerucutkan bibirnya. “Aku ‘kan anak Papa. Jadi ya wajar kalau nanyain terus. Gimana sih??”“Bukannya sembuh. Yang ada papa bisa jantungan, Manda,” balas Tuan Yuda kemudian. “Kau malah mengingatkan papa sama kemungkinan mati lebih cepat. Haduh.” Menyadari bahwa keduanya takkan berhenti berdebat, Mama Tiara pun segera mengelus lengan suaminya. “Sudah sudah. Lihat tuh! Ayra kebangun jadinya.” Baik Amanda dan Tuan Yuda kompak menoleh ke arah ranjang karpet
“Ya sudah. Ayra dimandiin sama mama dan papa,” ucap Amanda yang kemudian tersenyum menatap Ayra. “Senang ya papa udah nyusuli kita, hem?”“Happah mamah!” Lagi. Ayra bertepuk tangan mengekspresikan rasa senangnya saat ini. Sekarang pasangan suami istri tersebut kompak pamit undur diri menuju kamar. Radit bergegas melucuti pakaiannya hingga hanya menyisakan celana brief boxer saja. Dia masih menanti kedatangan Amanda yang berjanji akan ikut bergabung bersama dirinya dan Ayra di dalam kamar mandi.“Kau serius mandi dengan pakaian lengkap begitu?” tanya Radit ketika melihat sang istri masih mengenakan atasan dan bawahan seperti beberapa saat lalu.Amanda pun mengangguk yakin. “Maksudmu apa? Aku hanya ingin mengawasi kalian saja. Kalau dibiarkan di sini aku tak yakin Ayra bisa mandi dengan cepat.” Ucapan barusan membuat Radit mengembuskan napas pasrah. Sadar bahwa angannya memang terlalu tinggi. Mana mungkin Amanda mau menanggalkan pakaian. Hah. Da
Radit tahu bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Yang Kuasa. Namun, entah mengapa sulit sekali menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Sungguh pengalaman pamit saat menyambut kelahiran Ayra dulu masih membekas jelas di dalam ingatannya. “Kalau Bapak mau ke luar dari sini silakan. Operasi akan segera dimulai,” kata seorang perawat kemudian. Tidak. Radit tak akan mau meninggalkan Amanda yang sedang berjuang melahirkan para buah cinta mereka. Pria itu bangkit lalu berjalan perlahan ke sisi sang istri. Kini kedua mata mereka saling bertemu pandang seolah sedang berbicara dari hati ke hati. Operasi pun dimulai. Efek anastesi mulai berjalan sehingga Amanda tak lagi bisa merasakan sayatan demi sayatan yang perlahan mulai membuka kulit perutnya. Sementara Radit terus melantunkan do’a di dalam kalbu. Memohon pada Tuhan agar orang-orang yang dicintainya selamat dan tidak kekurangan sesuatu apapun. “Aku mencintaimu, Sayang.” Amanda mengatakann
Tadinya Radit yang sudah terserang bucin akut pada Amanda sangat khawatir begitu melihat orang yang ada di hadapan mereka saat ini. Namun, rasa cemas pun perlahan sirna usai menyaksikan sendiri betapa wanitanya tidak lagi ingin menghindar.“Nama anak cantiknya siapa?” tanya Amanda sambil tersenyum. Bayi perempuan usia satu tahunan yang ada di pangkuan mamanya itu menggeliat kecil. Lantas tersenyum malu dan tampak salah tingkah.“Nama aku Aulia, Tante.” Adalah Tisa selaku sang mama yang menjawab pertanyaan barusan. Tak lama kemudian Amanda mengulurkan tangannya dan disambut dengan kecupan oleh si bayi. Membuat Ayra yang tadi duduk anteng di baby chair-nya mendadak berontak. Kelakuan calon kakak dari anak-anak kembar Amanda tersebut menjadi perhatian para orang dewasa di sekitarnya.“Ni Mama Aia!!” pekik Ayra dengan mata yang sudah melirik sinis. Dia bahkan menggeleng saat Radit hendak memperkenalkannya pada putri Tisa dan Andre itu.“Ya ampun!
“Sayang, masih lama?” Radit yang sedang mengemudi menoleh sekilas ke arah istrinya lalu menjawab, “Sebentar lagi kita akan sampai. Sabar ya, Sayang.” Amanda mengangguk. Wanita cantik itu tersenyum manis walaupun dalam keadaan mata yang masih tertutup sejak mereka meninggalkan rumah tadi. Hingga hampir setengah jam kemudian mobil yang dikendarai Radit pun berhenti. Pria itu bergegas membuka sabuk pengaman dirinya dan sang istri. “Apa aku boleh buka penutup matanya?” tanya Amanda yang sudah tak sabaran. “Jangan dulu,” jawab Radit yang seketika menggenggam erat tangannya. “Kita melangkah perlahan agar kau tak tersandung. Hati-hati.” Amanda bergumam pelan seraya menganggukkan kepala. Dia terus melangkah sesuai tuntunan sang suami hingga berhenti beberapa saat kemudian. “Apa sudah bisa dimulai, Pak?” tanya seseorang yang berdiri di kejauhan. Radit mengangguk. Pria itu kemudian mengambil posisi di belakang sang istri lalu membuka ikatan penutup mata tadi. “Silakan, Sayang.” Kini k
Satu harian ini Amanda jadi misuh-misuh sendiri di dalam kamar. Wanita cantik tersebut hanya keluar untuk mengisi perut atau sesekali melihat keadaan Ayra. Tentu saja dia masih kesal karena sang suami pergi tanpa mau mengajaknya. Padahal apa yang dikatakan Radit tadi ada benarnya. Dia mungkin akan kelelahan karena aktifitas mereka yang sangat padat hingga malam hari. Meskipun begitu, tetap saja hati kecil Amanda tidak terima. Jadilah dia cemberut sekarang.TOK TOK!!“Masuk aja. Enggak dikunci kok,” kata Amanda yang mematut diri di depan cermin. Beberapa detik kemudian Bu Ningsih muncul sembari menggendong Ayra yang sudah terlelap. Ibu mertuanya itu masuk lalu merebahkan sang cucu di atas ranjang.“Ibu dan Tiara mau keluar ya. Ayra samamu dulu.”Amanda langsung manyun. Kenapa mereka juga tak mau mengajaknya? Atau paling tidak berbasa-basi. “Kalian mau ke mana, Bu?”“Si Tiara minta ditemenin ke supermarket. Beli buah-buahan katanya,” jawab Bu Ni
“Jangan mancing-mancing.” Amanda menjauhkan kepalanya dari Radit lalu melirik sebal pria yang sudah mengulum senyum itu. Tentulah ia tahu apa maksud dari serangan kecil barusan. “Boleh aku bicara jujur?” Radit masih saja mengeluarkan jurus jitunya. Apalagi kalau bukan menggoda Amanda. “Apa?” “Kau semakin cantik dan seksi,” bisik Radit sembari mendekatkan tubuh mereka kembali. “Semuanya padat dan berisi.” “Berhentilah membual,” desis Amanda saat tangan nakal itu sudah mulai menjalar ke mana-mana. “Ini masih pagi dan situasinya enggak tepat.” Namun, Radit yang sudah terbakar gairah sepertinya tidak peduli. Dia malah semakin bersemangat untuk menggempur tubuh sang istri. Pertarungan di atas ranjang pun menggantikan olahraga paginya kali ini. Bunyi kecipak dan ayunan lembut yang mereka ciptakan sendiri menjadi suara yang begitu memabukkan. Bahkan ketika ledakan cinta didapat, keduanya masih ingin menggapai momen itu kembali. Sayangnya gagal karena pintu kamar sudah terbuka seba
Amanda refleks melebarkan kelopak matanya saat merasakan nyeri di bagian perut. Begitu juga dengan Radit yang baru menyadari sang putri sudah terbangun."Mama Aia!!""Iya, Sayang. Kenapa malah mukul tangan papa sih? Perut mama juga kena jadinya." Radit mengomel sembari melihat ke arah istrinya."Enggak pa-pa," ucap Amanda yang kemudian mendudukkan diri. Lantas dia tersenyum pada Ayra yang sudah cemberut. "Anak mama kenapa ya kok main pukul-pukul lagi? Katanya sayang sama papa juga, kenapa begitu, hmm?""Mama Aia!!"Gadis kecil itu malah menatap tajam sang papa. Seolah memberitahu bahwa Amanda hanya miliknya saja. Sementara kini Radit hanya menjadi pendengar kedua ibu dan anak tersebut yang mulai berbicara.Kini dengan suara lembutnya Amanda menjelaskan bahwa sikap Ayra barusan salah. Tak ada nada bicara meninggi ataupun rasa kesal yang tertangkap di wajah istri cantiknya tersebut. Membuat Radit semakin kagum pada wanitanya itu."Lain kali ngomongnya baik-baik ya, Sayang," kata Amanda
“Kau ini kenapa sih?? Istri lagi hamil kok malah dibuat stress. Maumu apa, hah??” Radit menggeleng pelan dengan kepala yang sudah tertunduk. Tak berani menatap wajah sang ibu yang sedang mengomel itu. Sementara Mama Tiara hanya diam sembari memandang keduanya secara bergantian.“Aku hanya mencemaskannya,” kata Radit dengan suara lirih. “Aku enggak pernah menyangka jika Manda hamil anak kembar. Itu sangat berisiko.” Ya. Bukannya Radit tidak bahagia, tetapi rasa khawatir yang ada pada dirinya melebihi apapun saat ini. Sungguh kepingan memori buruk perihal wafatnya sang istri terdahulu mulai menari-nari di dalam kepala.Melihat wajah gelisah itu, Bu Ningsih berdecak pelan lalu menarik kursi hingga dia dan Radit kini saling berhadapan. Satu tangannya menyentuh pundak anak semata wayangnya tersebut.“Relakan apa yang sudah terjadi. Ibu tahu kalau kau takut Manda mengalami kejadian serupa seperti yang lalu bukan?” tanyanya yang membuat Radit lekas mengiyakan. “Se
“Dokter ‘kan enggak cuma satu aja. Ada banyak pilihan dan menurutku … ini yang terbaik. Dia juga lebih pro ke persalinan normal.” Radit mengatakannya sambil tersenyum. Tidak lagi marah karena pembicaraan tentang Dinda kembali menjadi topik mereka walaupun memang bukan disengaja.“Ya sudah kalau gitu,” kata Amanda kemudian.“Atau kau sudah punya pilihan dokter sendiri, hem?” tanya Radit sembari memelankan laju kendaraannya.Amanda menggeleng cepat sebagai jawaban. “Aku ‘kan sudah lama sekali enggak balik ke sini. Jadi ya terserah kau saja kita mau ke mana.”“Siapa tahu ada saran dari teman atau rekan di sosial media,” gumam Radit.“Enggak sih. Temanku dulu cuma Tisa dan sekarang malas rasanya dekat sama siapapun juga. Lagian sudah ada suami dan anak-anak. Cukup kok buatku.” Keterangan barusan membuat Radit semakin menyadari bahwa wanita di sampingnya ini memang introvert sedari lama. Dulu saat dia sedang bersama mendiang Dinda pun, Amanda terlihat acuh tak a
Ada yang janggal. Itulah yang disimpulkan Amanda sekarang. Dia tak bisa bertanya pada Radit lantaran suasana tidak mendukung. Terlebih lagi Ayra mulai merengek lantaran ingin sekali berada di pangkuannya.“Ya udah iya. Sebentar ya, Sayang,” kata Radit pada sang putri. Dia pun mulai menepikan kendaraan lantas ke luar dari mobil.“Mu mama!!”Ayra sudah tak sabaran. Tangan dan kakinya yang sibuk meronta-ronta. Membuat Mama Tiara yang memangku jadi sedikit kewalahan. Hingga beberapa detik gadis kecil itu tersenyum saat sang papa sudah mengambil alih dan meletakkan tubuhnya di tempat yang ia inginkan.“Gimana, Sayang? Udah nyaman?” tanya Radit setelah memundurkan tempat duduk Amanda. Menyisakan jarak yang sedikit jauh agar kedua kaki istri cantiknya bisa bergerak dengan lebih leluasa.“Sudah,” jawab Amanda sekenanya. Barulah Radit kembali melajukan mobil seperti sedia kala. Sementara Ayra sudah tampak kegirangan karena berada di pangkuan mamanya.“Ana, Ma?”“Iya