Tuan Yuda sudah menatap tajam putrinya. Sementara sang istri buru-buru menghampiri pria paruh baya tersebut. Takut kalau penyakitnya kambuh lagi.“Duduk dulu yuk, Pa,” ajak Mama Tiara yang lekas mengajaknya berjalan ke ruang tengah. “Ayra nangis tuh. Kau bawa dia ke kamar dulu ya,” ucap perempuan itu pada Amanda setelahnya.“Iya, Ma. Aku bawa Ayra ya.” Mama Tiara mengangguk, sedangkan sang papa masih saja memandang dengan tatapan permusuhan. Jelas membuat Amanda jadi ketar-ketir sendiri.“Papa bilang juga apa, Tir. Amanda itu keras kepala. Beda sekali dengan Dinda,” geram Tuan Yuda yang sudah kesal bukan main. “Maunya dia apa sih?”“Hussh! Jangan ngomong gitu, Pa!” bisik istrinya cepat.“Tiara, kau membelanya??”Mama Tiara menggeleng pelan. Satu tangannya kembali mengusap-usap lengan sang suami. Berharap bisa meredakan amarah pria tersebut. “Kita masih belum tahu duduk perkaranya apa. Jangan nyalahin Manda terus. Bisa aja ‘kan Radit yang enggak mau membuka
Begitu menyadari istri Radit yang ada di sana, Sebastian yang bertanya tadi lekas tersenyum manis. Satu tangannya memberi perintah pada asisten dosen tersebut untuk segera pergi.“Biar saya yang antarkan Ibu cantik ini,” kata Sebastian.“Baik, Pak. Saya permisi.” Dipandang dengan senyuman yang menurutnya aneh membuat Amanda jadi tak nyaman. Dia pun bersiap-siap hendak pergi dari hadapan Sebastian.“Eh eh? Kok malah kabur sih? Mau jumpa Radit ‘kan?” tanya pria itu kemudian.“Iya,” jawab Amanda singkat. “Aku cuma mau nganterin titipan mama dari rumah. Itu aja.” Entah kebetulan atau bagaimana. Di saat yang bersamaan Radit beserta Arini muncul. Pun
Tidak. Dia hanya menemani Arini belanja bulanan sama seperti yang sebelumnya. Radit berusaha menepis semua tudingan yang diarahkan Sebastian padanya. Berusaha meyakini bahwa apa yang dia lakukan sekarang masih terbilang wajar.“Terakhir kali aku ke rumah Abang waktu Ayra usia enam bulan ‘kan ya?” kenang Arini yang tengah berjalan di samping Radit. Perempuan itu sedikit mendongak demi menatap netra kehitaman miliknya. “Sekarang dia sudah … enam tambah dua bulanan ya. Delapan bulan ‘kan?”“Minggu depan umurnya sudah masuk sembilan bulan,” ucap Radit sambil tersenyum tipis. Tangannya masih mendorong stroller belanjaan dan memasukkan satu per satu barang yang memang terbiasa dibeli oleh Arini. Ya. Hampir enam bulan dia melakukan rutinitas seperti ini. Menem
“Lain kali jangan main hajar aja, Dit.”“I-iya, Ma.” Radit lantas menunduk malu. Merasa sangat bersalah atas kelakuan bodohnya tadi.“Kalau petugas keamanan enggak datang cepat, bisa-bisa kau sudah dipenjara. Untung papanya Bella langsung maafin. Haduh!” Mama Tiara geleng-geleng kepala sambil menatap ke arah Ayra yang ada di gendongannya. “Lagian kenapa mikirnya sampai ke sana sih? Selingkuh pula, hahaha. Memangnya kau lihat Amanda kissing atau pelukan ya tadinya?”“Enggak,” jawab Radit yang kemudian meraup kasar wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kalau ada pilihan menghilang di tempat, mungkin dia akan melakukannya detik ini juga. Sumpah. Rasanya benar-benar sangat memalukan.“Manda enggak sendirian. Dia ke sini sama mama dan Ayra. Tadi mama bawa anakmu ke toilet karena dia pup. Ck. Ada-ada saja,&rdquo
Menikah? Kenapa Amanda bisa bertanya begitu? Radit pun mengerutkan alisnya pertanda heran.“Apa maksudmu?” tanyanya kemudian.“Jadi kapan kau akan menikah dengan Arini? Aku bertanya agar hubunganmu dengannya bisa diperjelas. Ayra juga harus dipersiapkan supaya bisa mengenal calon mama tirinya kelak,” jelas Amanda panjang lebar.“Aku tidak mencintai Arini,” kata Radit dengan bola mata yang menatap lekat Amanda.Istrinya itu malah terbahak. Tak percaya dengan apa yang ia ungkapkan barusan. “Ya ampun. Ckck. Kasihan sekali dia. Jadi selama ini dirinya kau anggap apa, Radit?”“Bukankah kami hanya berteman? Sebatas itu saja,” ucap Radit dengan gampangnya.“Kalau saja mobilmu bisa bicara, dia akan mengatakan bahwa kau dan Arini saling mencintai.”“Dan atas dasar apa kau menuduhku begitu?
Pada akhirnya janji hanyalah sebuah wacana. Bahkan Amanda tak lagi kecewa karena sang suami memang sudah terbiasa mangkir dari ucapannya. Namun, hal yang paling menyakitkan karena dia mendapati wajah Ayra kini tampak murung. Sepertinya bayi itu juga sedang menanti kedatangan sang papa.“Dadada!” Ayra merengek manja saat melihat Amanda masih duduk di tempatnya. Bahkan tangan mungil bayi usia delapan bulan lebih itu sudah menarik baju sang mama.“Iya, Sayang. Sebentar ya.” Amanda mencoba tersenyum manis di depan putrinya. “Mama enggak enak badan nih. Apa kita main di rumah aja ya? Atau mama teleponin susternya Kak Bella. Mau?” Ayra hanya bengong sembari menunjukkan tatapan polosnya. Entah apa yang dikatakan sang mama, tetapi setelah melihat wanita cantik itu mengangguk usai
“Kau demam.” Dua kata barusan membuat Amanda lekas mengerutkan dahi. Ada sesuatu yang terasa hangat sedang menempel di sana. Lebih tepatnya itu adalah kompresan yang diberikan sang suami untuk pertolongan pertama.“Ayra mana?” Matanya pun melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan hampir pukul delapan malam. “Ayra belum makan, Radit. Dia pasti kelaparan.” Amanda lantas menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya sebatas pinggang. Bergegas hendak melihat keadaan Ayra. Namun, tangan besar Radit segera menggagalkan niatnya lewat cekalan lembut pada lengan kanan sang istri.“Ayra lagi makan sama Bi Asih di luar. Dia baik-baik saja,” kata Radit.“Ya udah. Aku mau lihat dia.”“Kau tidak dengar apa yang kukatakan tadi, hem?” ucap Radit dengan suara pelan. “Kau sedang sakit, Manda. Harus makan dan minum obat. Aku sudah bawakan ke sini.” Tangan Radit kemudian menyambar nampan berisi makanan. Bersiap hendak menyuapkannya ke dalam mulut sang istri, te
Apa Radit peduli? Sayangnya tidak untuk yang sekarang. Pria itu bersiap hendak menyerahkan butiran obat ke hadapan Amanda, tetapi gagal karena istri cantiknya tersebut sudah berlari keluar kamar.“Manda!” pekik Radit dengan suara yang tertahan. Dia tak mau berteriak keras lantaran mengingat ada Ayra yang tengah tertidur pulas. Alhasil Radit pun bergegas menyusul sang istri. Hah. Ke mana larinya wanita itu? Bahkan ia sudah mencari hampir ke setiap sudut ruangan.“Iya, Pak. Saya jamin Bu Manda enggak keluar pagar,” kata satpam yang berjaga. Dahi pria berkumis itu mengernyit saat melihat Radit menggenggam sesuatu. Tanpa sadar dirinya sudah mengulum senyum.“Ada apa?”“En