Seperti dugaannya, Mama masih ada di ruang tamu duduk dan menatap ke arahnya. Mama kemudian meminta Aya untuk duduk di sampingnya dan menjelaskan apa sebenarnya yang sedang terjadi. Kenapa bisa orang tua murid di tempat Mama membuka kantin, tiba-tiba datang dan ingin serius dengan Aya. Sementara Aya tidak pernah terlihat pacaran dan mengaku tidak kenal dengan Eric."Aya bingung, Ma.""Bingung apa? Kamu beneran gak hamil kan?""Ya ampun, Mama. Aya gak hamil. Gak percaya banget sama Aya. Mama kalau gak ngerestuin Aya, gak apa-apa. Aya gak masalah," ucap Aya dengan nada sewot di awal tapi berubah santai di akhir kalimatnya."Loh gimana sih kamu ini?" Mama jadi heran dengan sikap yang Aya tunjukkan."Memangnya Mama mau Aya sama dia? Duda satu anak?"Mama terdiam mendengar ucapan Aya barusan. Sebagai seorang ibu sebenarnya ingin Aya mendapat jodoh yang terbaik dan tentunya bukan seorang duda. Tapi kalau dilihat-lihat Eric juga bukan duda sembarangan. Dia mapan dan bukan duda yang bercerai
“Ay, jangan lupa minta tanda tangan Pak Eric ya. Aku jalan dulu mau ketemu vendor di luar,” pamit Wisnu meninggalkan ruangan tanpa sempat mendengar respon dari Aya.Gadis itu menghela nafas sembari meraih berkas yang ada di meja Wisnu. Ia kemudian keluar ruangan dan menuju ruangan Via berharap Via mau memintakan tanda tangan bos. Namun sayangnya Via tidak ada di mejanya saat Aya tiba. Mau tak mau ia masuk sendiri ke ruangan Eric.“Permisi, Pak,” ucap Aya setelah mengetuk pintu. Ia sangat senang saat melihat Via ada di dalam ruangan Eric. Itu artinya Eric tidak bisa macam-macam.“Via, ini tinggal aja,” perintah Eric.Mendengar itu cepat-cepat Aya meletakkan berkas di atas meja Eric lantas menggandeng tangan Via yang sudah berbalik siap untuk melangkah keluar.“Aya kamu tunggu di sini.”Spontan Via langsung melepaskan tangan Aya sembari mengedipkan mata ke arahnya. Dengan cepat ia keluar meninggalkan Eric dan Aya di ruangan.“Aku tanda tangan di mana?” tanya Eric membuat Aya mau tak ma
Setelah hampir dua minggu, siang ini Ajeng dan Tari akan balik ke Jakarta. Setelah menjemput Farah di sekolah mereka menyempatkan untuk makan siang dulu sebelum menuju bandara. Tentunya Aya juga ikut mengantar atas permintaan Farah. Ajeng dan Tari yang duduknya bersebelahan saling melirik saat Eric meletakkan potongan ikan yang durinya sudah ia bersihkan."Pak Eric gak usah repot-repot," kata Aya merasa kikuk dengan perlakuan Eric di depan Ajeng dan Tari."Biar kamu tinggal makan," sahut Eric cuek tidak menghiraukan Ajeng yang berdehem.Tidak berani mengangkat wajahnya Aya cepat menghabiskan makanannya. Begitu selesai makan, ia membawa Farah yang minta ditemani untuk cuci tangan."Perhatian banget kamu sama Aya?" celetuk Ajeng."Biasa aja.""Biasa aja gimana? Mama lihatnya beda," lanjut Ajeng."Tari juga lihatnya beda. Udah lah, Mas, daripada kelamaan Mas Eric langsung nikahin aja Mbak Aya," kata Tari ikut mengompori."Tuh liat Mbak Aya lagi ngomong sama cowok," lanjut Tari membuat Er
“Tapi Pak Eric juga harus ingat, saya melakukan ini semua karena Farah,” kata Aya membuat senyum di wajah Eric sedikit memudar.“Ya. Tidak masalah,” sahut Eric enteng.Ucapan Aya barusan jujur saja cukup mengganggunya tapi ia berusaha untuk tidak memikirkan. Ia yakin nantinya Aya juga akan memiliki perasaan yang sama dengannya.Mobil yang Eric kemudikan kemudian menepi di sebuah tempat makan pinggir jalan. Pria itu kemudian mengajak Aya untuk turun. Memesan dua porsi ayam bakar, mereka lantas duduk lesehan sambil menunggu makanan mereka datang."Farah gak apa-apa Pak Eric tinggal?" tanya Farah yang ingat kalau Bu Sri bekerja hanya sampai sore."Ada Bu Sri yang jagain," sahut Eric, "kalau di luar kantor bisa gak sih kamu jangan panggil aku pak," lanjut Eric."Kan Pak Eric memang Bapak, lalu saya harus panggil apa?"Belum sempat menjawab, terdengar suara orang memanggil nama Aya membuat mereka berdua reflek menoleh."Pak Eric," sapa orang yang memanggil Aya tadi agak sungkan. Mereka ada
Mendapatkan kabar kalau adiknya masuk rumah sakit lagi, tengah malam Mama membangunkan Aya untuk mencarikan tiket pesawat besok pagi. Dengan mata yang menahan kantuk gadis itu meraih ponselnya dan mencarikan tiket untuk Mama.“Ada nih, Ma. Pesawat jam lima pagi ya,” kata Aya menunjukkannya pada Mama.“Itu aja, Ay. Kamu gak apa-apa kan Mama tinggal lagi?”“Gak apa-apa, Ma,” sahut Aya tersenyum kemudian mengirimkannya kode booking pesawat pada Mama.Membantu Mama merapikan baju-baju yang akan dibawanya, Aya memilih untuk tidur di kamar Mama. Tentunya dengan memasang alarm diponselnya.Berbalut sweater oversize Aya mengantarkan Mama ke bandara tepat pukul empat pagi. Bandara masih tampak sunyi mereka tiba di sana.“Hati-hati ya, Ma. Kabar-kabarin kalau ada apa-apa,” kata Aya memeluk Mama setelah selesai check in.“Kamu juga hati-hati, Ay. Mama masuk dulu.” Mama melepaskan pelukan Aya dan berjalan masuk. Aya bisa memaklumi Mama yang begitu khawatir dengan keadaan adik satu-satunya itu.Se
Eric langsung keluar dari mobilnya saat Aya sudah berada di depan mobilnya. Pria itu terlihat masih lengkap mengenakan baju kerjanya. Sepertinya ia belum pulang ke rumah.“Mama gak ada di rumahnya ya? Dari tadi gak ada yang buka pintu waktu aku ketuk,” kata Eric mengiringi langkah Aya berjalan masuk.“Mama lagi ke rumah saudara. Pak Eric ngapain lagi ke sini? Farah gimana di rumah?" Aya memutar gagang pintu."Oh. Kamu tadi sama siapa? Wisnu?""Iya, Pak." Aya berdiri di depan pintu yang telah terbuka tapi tidak mempersilahkan Eric untuk masuk."Aku pikir Mama ada di rumah, makanya aku langsung ke sini. Maaf ya kamu jadi pulang sama Wisnu tadi," kata Eric terlihat sedikit gugup."Gak apa-apa, Pak.""Aku boleh masuk?" tanya Eric.Aya menatap Eric beberapa detik lantas mundur beberapa langkah seraya mempersilahkan pria itu masuk."Pak Eric mau minum apa?" tanya Aya memecah keheningan di antara mereka berdua. Entah kenapa Aya jadi merasa canggung berada berdua seperti ini."Kopi aja," sahu
Gadis itu langsung nyelonong masuk ke ruangan Eric. Dengan langkah terburu-buru Aya menghampiri Eric yang terlihat serius berbicara di telepon. Gadis itu menatap Eric tajam dengan tangan terlipat di dada. Ditatap seperti itu oleh Aya membuat Eric tidak konsen lantas memutuskan untuk mengakhiri panggilannya."Ketuk dulu kalau mau masuk," kata Eric sembari meletakkan ponselnya di atas."Kenapa? Gak boleh saya langsung masuk?!" Aya emosi dengan mata melotot."Buat kamu selalu boleh, Sayang," sahut Eric dengan suara lembut membuat Aya bergidik geli."Pak Eric ngapain bilang sama Wisnu masalah cincin ini?" tanya Aya sambil menunjukkan tangannya yang di salah satu jarinya terpasang cincin."Biar Wisnu tahu kalau kamu sudah ada yang punya, jadi dia bisa jaga jarak," sahut Eric tersenyum meraih tangan Aya lantas menciumnya.Aya spontan menarik tangannya saat terdengar suara Via dari depan pintu."Maaf, Pak." Via lantas menutup pintu itu lagi.Menatap Eric dengan wajah kesal, Aya berusaha mel
Khawatir Aya kenapa-kenapa, Eric cepat menyusulnya keluar. Gadis itu ternyata masuk ke dalam toilet yang menyebabkan terhenti tidak bisa ikut masuk ke dalam. Beberapa karyawan wanita yang keluar dari toilet kaget melihat Eric mondar mandir di depan toilet wanita.“Itu, Aya ngapain di dalam?” tanya Eric dengan wajah cemas. “Sebentar saya tanya dulu, Pak.”Wanita itu masuk dan memanggil nama Aya. Ia segera mendekat ke bilik nomor dua tempat dimana suara Aya terdengar."Kenapa?" tanya Aya membuka pintu bilik itu sedikit."Itu Pak Eric nyariin," ucap wanita itu."Bilang aja aku sakit perut," sahut Aya cepat. Netranya yang tidak sengaja melihat bungkusan yang wanita itu, lantas memintanya satu."Oh kamu lagi dapat tamu bulanan ya," ucap wanita itu sambil memberikan satu benda yang terbungkus plastik."Makasih ya," sahut Aya menerima benda itu kemudian menutup pintu.Berjalan keluar menemui Eric, wanita tadi menyampaikan pesan sesuai dengan permintaan Aya. Meski telah mendapatkan jawaban,