Eric akhirnya menyerah. Berkali-kali ia membujuk Aya untuk mengecek kondisi perutnya ke dokter tapi gadis itu tetap kekeh menolak. Ia bahkan mengancam Eric akan turun dari mobil kalau pria itu masih tetap memaksanya.“Kamu istirahat aja. Kalau perut kamu masih sakit, besok gak usah masuk kerja aja,” ucap Eric menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Aya.“Makasih banyak, Pak,” sahut Aya membuka sabuk pengaman.“Kalau kamu ada apa, cepat kabarin aku ya,” ucap Eric meraih tangan Aya sebelum gadis itu turun dari mobil.Aya mengangguk sambil tersenyum kecil. Begitu Aya hilang di balik pintu, Eric memacu laju mobilnya meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan menuju rumah, ia terus berpikir apa sebenarnya yang terjadi pada Aya. Kenapa gadis itu tidak mau memeriksakan dirinya ke dokter, padahal ia tahu kalau sedang sakit.Sementara itu, Aya yang baru saja selesai membersihkan diri langsung berbaring meringkuk di atas tempat tidur. Hingga rasa sakit itu hilang, Aya kemudian bangun dan membu
Mendengar ucapan yang keluar dari mulut Farah rasanya membuat hati Aya teriris.Bagaimana ia bisa mewujudkan keinginan Farah kalau kesehatannya saja seperti ini. Gadis itu mendongakkan kepala, memandang ke atas langit-langit rumah Eric, berusaha menahan air matanya yang hampir saja tumpah. Cukup lama mereka berada di situ, hingga akhirnya Aya mengajak Farah untuk tidur saat melihat gadis kecil itu menguap."Makasih ya Mama Aya sudah nemenin Farah ngerjain PR," kata Farah membawa tas miliknya."Sama-sama cantik," sahut Aya mengelus rambut Farah dan menuntunnya ke dalam kamar.Meletakkan tas sekolahnya di atas meja belajar, Aya lantas menemani Farah hingga gadis kecil itu tertidur. Aya masih asyik mengelus-elus lembut tangan Farah ketika Eric masuk secara perlahan."Farah sudah tidur, Pak. Kalau Pak Eric mau balik ke kantor, balik aja, Pak. Saya bisa pulang sendiri," ucap Aya beranjak pelan dari tepi tempat tidur."Aku lagi malas ke kantor" kata Eric seraya berjalan mendekati Aya."Kalau
Pagi ini Via sudah pusing mengatur ulang lagi jadwal meeting Eric. Seharusnya jam setengah sembilan pagi ini, Eric ada jadwal bertemu dengan klien. Namun harus diundur ke jam makan siang setelah Eric selesai mengantarkan Aya."Seharusnya Pak Eric gak usah repot-repot mengantar saya ke bandara. Kasian Via harus ngatur jadwal Pak Eric lagi," ucap Aya begitu mereka tiba di parkiran bandara."Kok tahu?""Ini Via ngasih tahu lewat WA. Saya jadi gak enak sama dia, Pak.”Eric menatap Aya. “Kamu gak enak sama Via, tapi kamu gak mikirin aku. Lalu kamu berapa lama di sana?”“Jatah cuti saya sih sebenarnya tinggal dua hari lagi, Pak.”“Tapi aku juga mungkin ngasih kamu cuti dia hari. Aku bukan orang sekejam itu,” ucap Eric menutup bagasi mobil setelah mengeluarkan koper milik Aya. Mereka lantas berjalan masuk ke gedung keberangkatan dan check in.Aya duduk santai menunggu Eric selesai dari salah satu konter. Dari tatapan pria itu, jelas terlihat ia tidak rela berpisah dengan Aya. Apalagi ia tida
Via yang melihat Aya baru saja keluar dari toilet lantai dua, langsung memotretnya diam-diam dan mengirim foto itu pada Eric. Dengan langkah tergesa-gesa ia menghampiri Aya."Astaga, Aya! Kamu sudah masuk kantor kok gak bilang-bilang?" pekik Via membuat Aya kaget."AKu baru hari ini masuk kantor, Vi. Emang kenapa sih?""Kamu bilang gak sama Pak Eric kalau kamu sudah balik?"tanya Via.Aya melotot menatap Via karena suaranya yang cukup nyaring tadi membuat beberapa karyawan yang lalu lalang dekat mereka menoleh ingin tahu."Sampai jam segini Pak Eric belum ke kantor tahu. Aku pusing ngatur jadwal dia," celoteh Via tak henti.Aya tak langsung menjawab. Ia merogoh saku celananya dan melihat layar ponselnya. Panggilan suara dari Eric."Pasti Pak Eric kan? Tanyain jam berapa ke kantor, biar aku enak ngatur jadwal ketemu klien," tebak Via yang langsung menolak saat Aya memintanya berbicara sendiri dengan Eric melalui ponselnya. Via hanya butuh informasi jam kedatangan Eric ke kantor.Sambil
Posisi Eric yang tengah memeluk Aya, tentu membuatnya jelas melihat apa yang ada di belakang tubuh gadis itu. Netranya terpaku pada tasnya yang terbuka dan memperlihat plastik putih kecil berisi beberapa strip obat-obatan. Perlahan satu tangannya meraih plastik itu dan membukanya. Ia kaget melihat nama dokter yang tertulis di kertas yang ada pada strip obat itu."Sudah?" tanya Eric melepas pelukannya dan menatap Aya dengan senyum kecil.Aya masih sesenggukan kecil sambil menyeka air matanya. Gadis itu mengangguk pelan dengan bibir tersenyum kecut."Kamu kenapa gak bilang kalau mau ke dokter? Aku pasti nemenin kamu, Sayang," ucap Eric dengan wajah sedikit kecewa.Aya menatap wajah Eric, terkejut pria itu tahu darimana kalau ia baru saja dari dokter."Astaga," umpatnya dalam hati saat melihat tasnya yang terbuka. Sudah bisa dipastikan kalau Eric melihat bungkusan obat di dalam tasnya."Lalu dokter bilang apa?" Eric menatap tajam Aya."Cuma dikasih obat aja, Pak," sahut Aya dengan wajah
Awalnya Aya tidak terpengaruh dengan apa yang Farah ucapkan di telepon pagi tadi, tapi lama kelamaan ia jadi kepikiran juga. Apalagi saat tiba di kantor, ia tidak melihat mobil Eric terparkir di halaman kantor. Biasanya Eric selalu datang paling pagi dibandingkan yang lain. Gadis itu kemudian turun menuju ruangan Via. Untung ia membawa berkas di tangannya. Agar tidak terlalu mencolok sedang mencari Eric, Aya pura-pura mau minta tanda tangan Eric."Tinggal dulu aja sini," kata Via dengan tangan menengadah, "Pak Eric belum datang. Gak biasanya, mungkin dia di sekolah Farah, Ay," lanjut Via.Aya terdiam sejenak."Oke deh." Aya berbalik meninggalkan ruangan Via.Gadis itu kembali ke ruangan dan mengambil tasnya. Sebelum pergi ia lebih dulu pamit keluar pada Wisnu. Menginjak pedal gasnya sedikit lebih dalam, Aya akhirnya tiba di rumah Eric. Dari dalam mobil ia melihat mobil bosnya itu terparkir tidak rapi. Bergegas ia turun dan mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Ia lantas mencoba memu
Eric yang tadinya terlihat lemah, lesu, dan tak berdaya berubah menjadi sangat kuat dan begitu bersemangat. Tidak ingin kejadian tempo lalu terulang kembali, Aya dengan cepat mengalihkan posisi tubuhnya begitu ada kesempatan. Eric tertawa kecil melihat tingkah Aya."Cukup, Pak," kata Aya kemudian duduk sedikit lebih jauh dari Eric.Eric berdiri dan berjalan menjauhi tempat tidur seraya mengangkat kedua tangan dan meregangkan ototnya."Saya jemput Farah dulu, Pak," ucap Aya lagi berjalan melewati Eric keluar dari kamar itu. Semakin lama berada di kamar bersama Eric, semakin horor Aya rasa. Beruntung ia bisa menyelamat diri dari Eric yang mungkin saja bisa lepas kendali. Walau nantinya mereka akan menikah, ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama lagi."Istirahat aja, Pak," kata Aya menoleh ke belakang melihat Eric yang ternyata mengikutinya.Begitu dekat hingga Eric dapat dengan mudah meraih pinggang gadis itu dan memeluknya. Suara Eric mengucapkan terima kasih begitu lembut terdenga
Tak berselang lama, Aya tiba di rumah Eric dengan membawakan pesanana makanan gadis kecil itu. Ada sup buah hingga ayam goreng."Papanya Farahnya mana?" tanya Aya masuk dan meletakkan bungkusan itu di meja tamu."Papa di kamar, Tante. Kayaknya baru selesai mandi," ucap Farah dengan wajah yang tidak sabar ingin makan makanan yang Aya bawa.Aya sedikit heran mendengar jawaban Farah tadi, karena kalau ia sakit ia pasti jarang mandi. Gaditu kemudian ke dapur dan membawa beberapa piring mangkuk serta sendok garpu ke ruang tamu depan. Langkahnya sempat terhenti saat melihat Eric sudah duduk di samping Farah dengan wajah yang terlihat sudah segar."Tapi badannya masih demam," gumam Aya dalam hati saat tak sengaja menyentuh tangan Eric saat memindahkan bungkusan sup buah ke mangkuk."Gak usah pakai es yang, Farah," kata Aya menyodorkan semangkuk penuh sup buah berwarna pink. Dengan wajah tersenyum dan menganggukan kepala, gadis kecil itu menerima mangkuk dari Aya lantas menyantapnya."Aku mau