Posisi Eric yang tengah memeluk Aya, tentu membuatnya jelas melihat apa yang ada di belakang tubuh gadis itu. Netranya terpaku pada tasnya yang terbuka dan memperlihat plastik putih kecil berisi beberapa strip obat-obatan. Perlahan satu tangannya meraih plastik itu dan membukanya. Ia kaget melihat nama dokter yang tertulis di kertas yang ada pada strip obat itu."Sudah?" tanya Eric melepas pelukannya dan menatap Aya dengan senyum kecil.Aya masih sesenggukan kecil sambil menyeka air matanya. Gadis itu mengangguk pelan dengan bibir tersenyum kecut."Kamu kenapa gak bilang kalau mau ke dokter? Aku pasti nemenin kamu, Sayang," ucap Eric dengan wajah sedikit kecewa.Aya menatap wajah Eric, terkejut pria itu tahu darimana kalau ia baru saja dari dokter."Astaga," umpatnya dalam hati saat melihat tasnya yang terbuka. Sudah bisa dipastikan kalau Eric melihat bungkusan obat di dalam tasnya."Lalu dokter bilang apa?" Eric menatap tajam Aya."Cuma dikasih obat aja, Pak," sahut Aya dengan wajah
Awalnya Aya tidak terpengaruh dengan apa yang Farah ucapkan di telepon pagi tadi, tapi lama kelamaan ia jadi kepikiran juga. Apalagi saat tiba di kantor, ia tidak melihat mobil Eric terparkir di halaman kantor. Biasanya Eric selalu datang paling pagi dibandingkan yang lain. Gadis itu kemudian turun menuju ruangan Via. Untung ia membawa berkas di tangannya. Agar tidak terlalu mencolok sedang mencari Eric, Aya pura-pura mau minta tanda tangan Eric."Tinggal dulu aja sini," kata Via dengan tangan menengadah, "Pak Eric belum datang. Gak biasanya, mungkin dia di sekolah Farah, Ay," lanjut Via.Aya terdiam sejenak."Oke deh." Aya berbalik meninggalkan ruangan Via.Gadis itu kembali ke ruangan dan mengambil tasnya. Sebelum pergi ia lebih dulu pamit keluar pada Wisnu. Menginjak pedal gasnya sedikit lebih dalam, Aya akhirnya tiba di rumah Eric. Dari dalam mobil ia melihat mobil bosnya itu terparkir tidak rapi. Bergegas ia turun dan mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Ia lantas mencoba memu
Eric yang tadinya terlihat lemah, lesu, dan tak berdaya berubah menjadi sangat kuat dan begitu bersemangat. Tidak ingin kejadian tempo lalu terulang kembali, Aya dengan cepat mengalihkan posisi tubuhnya begitu ada kesempatan. Eric tertawa kecil melihat tingkah Aya."Cukup, Pak," kata Aya kemudian duduk sedikit lebih jauh dari Eric.Eric berdiri dan berjalan menjauhi tempat tidur seraya mengangkat kedua tangan dan meregangkan ototnya."Saya jemput Farah dulu, Pak," ucap Aya lagi berjalan melewati Eric keluar dari kamar itu. Semakin lama berada di kamar bersama Eric, semakin horor Aya rasa. Beruntung ia bisa menyelamat diri dari Eric yang mungkin saja bisa lepas kendali. Walau nantinya mereka akan menikah, ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama lagi."Istirahat aja, Pak," kata Aya menoleh ke belakang melihat Eric yang ternyata mengikutinya.Begitu dekat hingga Eric dapat dengan mudah meraih pinggang gadis itu dan memeluknya. Suara Eric mengucapkan terima kasih begitu lembut terdenga
Tak berselang lama, Aya tiba di rumah Eric dengan membawakan pesanana makanan gadis kecil itu. Ada sup buah hingga ayam goreng."Papanya Farahnya mana?" tanya Aya masuk dan meletakkan bungkusan itu di meja tamu."Papa di kamar, Tante. Kayaknya baru selesai mandi," ucap Farah dengan wajah yang tidak sabar ingin makan makanan yang Aya bawa.Aya sedikit heran mendengar jawaban Farah tadi, karena kalau ia sakit ia pasti jarang mandi. Gaditu kemudian ke dapur dan membawa beberapa piring mangkuk serta sendok garpu ke ruang tamu depan. Langkahnya sempat terhenti saat melihat Eric sudah duduk di samping Farah dengan wajah yang terlihat sudah segar."Tapi badannya masih demam," gumam Aya dalam hati saat tak sengaja menyentuh tangan Eric saat memindahkan bungkusan sup buah ke mangkuk."Gak usah pakai es yang, Farah," kata Aya menyodorkan semangkuk penuh sup buah berwarna pink. Dengan wajah tersenyum dan menganggukan kepala, gadis kecil itu menerima mangkuk dari Aya lantas menyantapnya."Aku mau
Begitu jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit, Aya menghampiri Wisnu dan pamit hendak ke bandara mau menjemput Mama. Tapi sebelum itu ia minta tolong untuk tidak memberitahukan tujuannya pada Eric kalau pria itu bertanya. Ia cepat menuruni tangga dan masuk ke mobil. Namun perjalanannya menuju bandara harus terhambat karena di depannya ada kecelakaan truk terbalik. Mau tidak mau ia harus menunggu hingga truk itu bisa dievakuasi, karena posisinya yang tidak memungkinkan untuk putar balik."Ma, tunggu ya. Ini lagi ada macet," kata Aya menghubungi Mama."Iya, gak apa-apa," sahut Mama yang ternyata sedang menunggu di salah satu tempat makan bersama seorang wanita yang sempat duduk bersebelahan di dalam pesawat.Mama kemudian meletakkan ponselnya di atas meja dan kembali berbincang."Ada macet, jadi disuruh tunggu," ucap Mama memberitahu wanita yang tidak lain adalah Ajeng.Omanya Farah itu sengaja tidak memberitahukan kedatangannya pada Eric. Saat bertemu di pesawa
Sama seperti Eric, Aya juga langsung menginterogasi Mama begitu tiba di rumah. Pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di otaknya spontan keluar dari mulutnya. Bertubi-tubi hingga Mama tidak bisa menjawabnya."Satu-satu dong tanyanya, Ay? Kamu pikir Mama robot? Robot juga belum tentu bisa langsung jawab banyak pertanyaan," seloroh Mama melenggang menuju dapur membawa satu kardus cukup besar yang sepertinya makanan."Ya habisnya Aya heran aja, kok bisa Mama bisa akrab gitu sama Ibunya Pak Eric," ucap Aya mengekor Mama ke dapur."Namanya juga satu pesawat terus duduk sebelah-sebelah, ya kita pasti ngobrol lah," sahut Mama."Terus Mama ngomongin apa?""Urusan orang tua, Ay. Kamu banyak tanya deh," kata Mama memicingkan mata menatap anak gadisnya itu."Aya kan mau tahu, masa gak boleh?""Ini masih jam kerja, kamu gak balik kantor?"Mendengar jawaban Mama yang seperti itu, Aya memanyunkan bibirnya. Ia kemudian pamit balik ke kantor karena memang belum jam pulang kantor.Mobil Eric sudah terpa
Setelah terus ditanya oleh Eric, Aya akhirnya mau menceritakan sedikit mengenai keluarga papanya. Mendengar apa yang Aya ceritakan, Eric malah minta untuk dipertemukan agar ia bisa meminta izin. Jelas saja Aya menolak. Ia sudah kenyang mendengar cacian demi cacian."Tapi tetap aja kita harus minta izin, Sayang," ucap Eric mencoba membujuk."Gak penting, Pak. Minta izin atau enggak ya sama aja. Kalau kita ke sana itu namanya cari penyakit. Saya gak mau, Pak," tolak Aya tegas menatap Eric tajam.Tak ingin membuat gadis itu tambah bete, Eric kemudian melemah dan mengajaknya untuk pergi makan siang keluar.Hubungan Aya dan Eric sudah diketahui oleh semua orang kantor, jadi Eric tidak segan untuk menunjukkan perhatiannya pada Aya di depan umum. Namun hal itu terbading terbalik dengan Aya. Gadis itu masih segan bahkan enggan menunjukkan bahwa ia memiliki hubungan dengan Eric. Beberapa kali ia mendengar omongan yang tidak enak dari beberapa karyawan kantor."Kata Mama, Farah ikut pulang ke r
Setelah menunggu beberapa bulan sesuai dengan permintaan Mama, hari ini akhirnya tiba. Pernikahan Aya dan Eric akan dilangsungkan di salah satu ballroom hotel berbintang yang ada. Aya begitu beruntung karena tak perlu repot mengurus segala persiapan pernikahannya. Semua sudah diatur oleh Eric. Tamu yang datang didominasi oleh orang-orang kantor serta keluarga dan teman-teman Aya juga Mama. Penuh senyum Aya dan Eric menerima setiap tamu yang datang dan memberikan selamat."Selamat ya, Ay," ucap Via sembari memeluk Aya yang ini resmi menjadi istri bosnya itu."Jangan lupa cerita nanti gimana ya malam pertamanya," bisik Via membuat Aya melotot.Dari atas pelaminan, Aya dapat melihat kalau beberapa sepupu serta keluarga dari mendiang papanya datang dan turut mengantri hendak naik ke atas. Aya benar-benar berterima kasih karena mereka tidak berbuat yang aneh-aneh di acaranya hari ini. Meski tak ada senyum saat mereka memberikan selamat.Hingga pesta yang di mulai pukul empat sore akhirnya