Perlahan membuka matanya, Eric merasa kram di salah satu bahunya karena Aya tidur sangat dekatnya tepat di atas dadanya. Wajah Aya begitu tenang hingga Eric tidak tega untuk membangunnya. Dengan sangat hati-hati Eric menggeser Aya lantas menyelimuti istrinya itu. Bergegas ia mengenakan pakaian yang keluar dari kamar untuk mengecek Farah. Beruntung Bu Sri sudah datang dan membantu Farah bersiap-siap."Mama mana, Pa?" tanya Farah kala melihat Eric masuk ke dapur."Masih tidur. Papa antar sekarang?""Mama sakit, Pa? Farah mau lihat," kata Farah bersiap turun dari kursi."Gak usah, Sayang. Kasian nanti Mama kebangun, biar Mama istirahat dulu ya," ucap Eric cepat mencegah Farah yang ingin menghampiri Aya. Pasalnya Aya tidur hanya berbalutkan selimut.Setelah menghabiskan makanannya, Eric mengantar Farah untuk sekolah. Ia sempat bertemu dengan Mama di sekolah yang membawakan makanan untuk Eric dan juga Aya. Eric sempat berbincang sebentar dengan Mama sebelum memutuskan untuk pulang.Setiban
“Anda siapa? Kenapa anda bisa masuk ke kamar saya?!” Kening gadis itu tampak berkerut saat melihat seorang pria berdiri di depan kamar hotelnya dan menerobos masuk ke dalam. Tidak seperti orang normal pada biasanya, pria itu tampak sempoyongan dengan tatapan mata yang sayu. Dengan langkah gontai ia mendorong tubuh gadis itu masuk ke dalam kamar. Gadis yang memiliki sapaan akrab Aya itu, hari ini memang sedang menggunakan voucher menginap gratis di sebuah hotel. Aya mulai gugup, tapi ia juga tidak bisa mengelak saat pria itu tahu-tahu telah menimpa dirinya. Cukup berat, sehingga Aya kesusahan untuk bergerak. “T-tunggu! T-tuan, anda siapa? Ini salah!” Sekuat tenaga Aya berteriak tepat di telinga pria itu, berharap pria itu bisa segera sadar. Dengan suasana kamar yang minim penerangan Aya sama sekali tidak jelas melihat wajah pria itu. “Fania, ini aku,” ucap pria itu setengah sadar dengan mata menatap Aya yang berada tepat di bawahnya. Senyum mengembang di bibir pria itu. Reflek Aya
Hari ini Aya resmi pindah ke cabang utama. Badannya masih terasa lelah akibat perjalanan darat yang cukup lama, tapi ia tidak mungkin untuk izin karena ini adalah hari pertamanya bekerja.Selesai memarkirkan motornya, ia bersiap untuk masuk.“Semoga hari ini baik-baik saja,” doa Aya dalam hati.Baru saja hendak melangkah masuk ke dalam kantor, ia bertemu tatap dengan seorang pria yang sedari tadi berdiri di depan pintu masuk. Pria itu menatap Aya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan seksama. Awalnya Aya berniat untuk menyapa, tapi karena ekspresi wajah pria itu sangat dingin, niat itu Aya urungkan.Dengan kepala sedikit menunduk, gadis itu melangkah masuk.Agenda rutin pagi ini adalah pengarahan dari manajemen. Kegiatan yang cukup membosankan tapi harus tetap dilakukan. Sepanjang pengarahan berlangsung, Aya terus menatap ke arah layar besar yang menyajikan data kinerja kantor cabangnya. “Ada yang ingin disampaikan, Pak Eric?” tanya moderator untuk yang kedua kalinya.Tanpa koma
Aya berbalik dan mengerutkan kening menatap Farah. Ia heran mengapa anak perempuan itu memanggilnya dengan sebutan mama. Aya kemudian memutar kepalanya ke kiri dan kanan, melihat ke sekelilingnya. Sejauh yang ia lihat tidak ada orang selain mereka di tempat itu.. Sudah pasti telinganyatidak salah dengar dengan apa yang anak kecil itu ucapkan. Ucapan yang tertuju untuknya.“Maaf, Mbak. Saya Ajeng, Omanya Farah,” ucap Ajeng memperkenalkan diri sambil menghampiri mereka berdua.Aya tersenyum menatap Ajeng sambil menyebutkan namanya.“Ayo sama Oma ya,” bujuk Ajeng mencoba melepaskan tangan Farah yang erat menggenggam tangan Aya.“Sudah. Gak apa-apa, Bu,” ucap Aya tidak tega melihat Farah yang tampak manyun.“Ini Mama kan, Oma?” Pertanyaan Farah membuat Aya dan Ajeng saling berpandangan bingung. Terlebih Aya.Tidak ingin membuat Farah menangis di tempat umum, Ajeng kemudian meminta tolong pada Aya untuk mengajak Farah ke toko mainan. Tentunya ia tetap mengikuti di belakang sambil menghubun
“Astaga. Apa-apa ini?.” Aya terbangun dengan nafas ngos-ngosan. Keringat terlihat mengalir membasahi tubuhnya, padahal pendingin ruangan di kamarnya berada dalam suhu sejuk. Tangannya meraih ikat rambut yang ada di atas meja, lantas ia beranjak dari atas kasur dan berjalan keluar kamar. Terdengar suara-suara dari arah dapur."Tumben kamu cepet bangun, Ay?" Mama yang sedang menyiapkan masakan di dapur heran melihat anak perempuannya sudah bangun di jam lima pagi ini. Biasanya Aya akan bangun kalau sudah mepet-meper waktu. "Mimpi buruk," lirih Aya menopang dagunya.Mendengar ucapan Aya, Mama menghentikan aktivitasnya kemudian mendekat. Ia jadi penasaran ingin tahu seburuk apa mimpi yang anaknya alami."Jangan diam aja dong, Ay. Mama juga mau dengar cerita mimpi buruk kamu itu," ucap Mama memaksa Aya yang dari tadi diam saja saat Mama bertanya."Ya mimpi buruk, Ma. Tempatnya gelap gitu, gak jelas," ucap Aya asal. Ia tidak mungkin menceritakan mimpinya secara gamblang pada Mama.Mimpi ya
Hari ini sudah hampir sepuluh hari, Farah dan Ajeng berada di kota tempat Eric bekerja. Itu artinya sebentar lagi mereka harus segera kembali ke Jakarta, karena Farah yang akan kembali masuk sekolah setelah libur dua minggu. Selama bekerja di luar kota Jakarta, Eric memang tidak membawa Farah untuk ikut dengannya. Sebaliknya Eric yang rutin akan pulang menemui anak perempuannya.“Jadi mau pulang hari apa, Ma?” tanya Eric yang mulai mencari-cari tiket pesawat di salah satu aplikasi online.“Lusa mungkin, Ric. Biar Farah sempat istirahat sebelum balik sekolah,” sahut Ajeng. Saat ini mereka sedang bersantai sambil menonton TV setelah selesai makan malam.“Papa,” ujar Farah beringsut mendekati Eric. Ia duduk di samping Papanya dan menatap.Perasaan Eric tiba-tiba saja tidak enak. Melihat tatapan Farah yang sepertinya menginginkan sesuatu.“Farah mau sekolah di sini aja, boleh kan?”Eric dan Ajeng saling menatap kaget saat mendengar permintaan Farah itu. Ajeng lantas mendekat dan mengelus r
Mumpung akhir pekan dan tidak ada kegiatan, Aya memilih untuk bermalas-malasan dibalik selimut hingga jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Sedikit berat membuka mata, gadis itu meraih ponsel yang ia letakkan di meja samping kasurnya. Panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal."Siapa ini ya?" tanya Aya bingung melihat panggilan masuk itu lantas membiarkannya hingga panggilan itu mati dengan sendirinya.Aya kemudian mengecek ponselnya. Keningnya berkerut melihat ada banyak panggilan tak terjawab dari nomor yang sama.+628xxxxAngkat. Ini Eric.Matanya melotot membaca pesan yang masuk itu. Beberapa detik setelah Aya membaca pesan itu, panggilan dari nomor yang sama kembali masuk.“Iya, P-pak,” ucap Aya menampilkan ponsel itu di telinga kirinya.“Tunggu.”Aya kaget melihat layar ponselnya berubah menjadi panggilan video dan ada satu nomor tidak dikenal yang bergabung.“Halo, Tante mama,” suara Farah begitu girang saat melihat wajah Aya di layar ponsel Ajeng
Setelah mendapatkan jadwalnya yang kosong, siang ini Eric berangkat menuju Jakarta untuk menjemput serta mengurus kepindahan sekolah Farah ke kota tempat ia bekerja. Meski belum siap dengan segala konsekuensi yang akan muncul saat Farah tinggal bersamanya nanti, Eric mau tak mau menuruti permintaan putrinya itu. Itu semua karena Ajeng yang hampir kehabisan akal membujuk Farah setiap hendak pergi sekolah. Gadis kecil itu memainkan dramanya yang nyaris membuat penyakit jantung omanya kumat.Eric sendiri tak bisa berlama-lama di Jakarta. Ia hanya punya tiga hari untuk mengurus itu semua dan harus segera kembali. Sekretarisnya sudah mulai mengirimkan jadwal pekerjaan yang harus ia lakukan nanti.“Farah jangan buat Papa repot di sana ya,” pesan Ajeng mengantar cucunya.“Iya, Oma.” Farah memeluk Ajeng erat.“Tunggu Tante Tari libur kuliah ya. Nanti Tante pasti ke sana,” ucap Tari gantian memeluk keponakannya itu. Tari adalah adik perempuan Eric dengan beda usia hampir tujuh tahun. Saat ini