Home / CEO / MENIKAH DENGAN BOS DUDA / Pertemuan Di Mall

Share

Pertemuan Di Mall

Aya berbalik dan mengerutkan kening menatap Farah. Ia heran mengapa anak perempuan itu memanggilnya dengan sebutan mama. Aya kemudian memutar kepalanya ke kiri dan kanan, melihat ke sekelilingnya. Sejauh yang ia lihat tidak ada orang selain mereka di tempat itu.. Sudah pasti telinganyatidak salah dengar dengan apa yang anak kecil itu ucapkan. Ucapan yang tertuju untuknya.

“Maaf, Mbak. Saya Ajeng, Omanya Farah,” ucap Ajeng memperkenalkan diri sambil menghampiri mereka berdua.

Aya tersenyum menatap Ajeng sambil menyebutkan namanya.

“Ayo sama Oma ya,” bujuk Ajeng mencoba melepaskan tangan Farah yang erat menggenggam tangan Aya.

“Sudah. Gak apa-apa, Bu,” ucap Aya tidak tega melihat Farah yang tampak manyun.

“Ini Mama kan, Oma?” Pertanyaan Farah membuat Aya dan Ajeng saling berpandangan bingung. Terlebih Aya.

Tidak ingin membuat Farah menangis di tempat umum, Ajeng kemudian meminta tolong pada Aya untuk mengajak Farah ke toko mainan. Tentunya ia tetap mengikuti di belakang sambil menghubungi papanya Farah agar datang menjemput mereka di mall.

Gadis cilik itu terlihat senang saat berkeliling dengan Aya di dalam toko mainan.

“Farah mau itu, sama yang itu juga,” ucap Farah menunjuk dua buah mainan dengan ukuran yang cukup besar di atas rak.

“Sini Tante ambilkan ya,"ucap Aya mengambil dua mainan yang Farah maksud.

“Mama,” lirih Farah cemberut menatap Aya.

Aya lantas meletakkan mainan itu di lantai, sembari berlutut di hadapan Farah.

“Anak manis, panggilnya Tante Aya aja ya,” ucap Aya menunjuk dirinya kemudian menggenggam tangan kecil Farah.

Wajah Farah masih cemberut.

“Tapi wajahnya sama kayak Mama,” ucap Farah membelai pipi Aya.

Ajeng yang melihat kejadian itu merasa sangat pilu. Ia sangat tahu apa yang cucunya rasakan sekarang.

“Ma, mana Farah?” tanya seorang pria yang datang dan berdiri di samping Ajeng. Suara pria itu cukup kencang membuat Aya reflek menoleh.

“Pak Eric ngapain? Jangan bilang ini anaknya,” gumam Aya dalam hati. Ia kaget melihat Eric ada di tempat itu. Sebaliknya ekspresi yang Eric perlihatkan cukup tenang.

“Farah, ayo sini,” panggil Ajeng.

Gadis kecil itu cepat meraih tangan Aya, seolah tak ingin berpisah. Panggilan Eric juga tak membuat Farah mau melepaskan genggaman tangannya. Farah malah meminta Eric untuk membayar mainan yang ia mau.

“Maaf ya, Mbak. Cucu saya malah membuat repot,” ucap Ajeng pada Aya. Mereka menunggu di dekat pintu masuk sementara Eric berada di kasir.

“Gak apa-apa, Bu,” sahut Aya.

Begitu Eric selesai dari kasir dan menemui mereka, Farah tiba-tiba saja bilang lapar dan ingin makan.

“Kita makan di sana aja ya, Pa,” ucap Farah menunjuk salah satu tempat makan yang ada di lantai itu. Belum sempat menjawab, Farah sudah menarik tangan Aya untuk lebih dulu menuju tempat makan itu.

Mau tak mau Ajeng dan Eric mengikuti Farah dan Aya yang telah lebih dulu sampai di tempat itu.

Senyum tak hilang dari wajah Farah sepanjang mereka makan. Sesekali Aya membersihkan sudut bibir Farah yang belepotan.

“Es krimnya enak banget,” ucap Farah menyendok es krim dan memberikannya pada Aya.

“Iya, Cantik,” sahut Aya tersenyum menerima suapan dari Farah.

Melihat sikap Aya dan Farah, baik Eric dan Ajeng tidak berkomentar sama sekali. Mereka kompak membiarkan hal itu, demi kebahagiaan Farah hari ini.

Gadis kecil itu bahkan sempat menolak saat Eric dan Ajeng mengajaknya untuk pulang. Farah baru mau pulang bersama dengan Eric dan Ajeng, setelah Aya mengantarkannya masuk ke dalam mobil.

Aya melambaikan tangan sambil tersenyum kecil pada Farah yang telah duduk manis di dalam mobil. Ia sendiri benar-benar bingung dengan situasi yang baru ia hadapi ini. Apalagi selama di mall tadi, Eric tidak sedikitpun bicara dengannya. Mereka seperti orang yang tidak saling kenal. Tapi itu tidak masalah bagi Aya. Ia juga tidak ingin ikut campur dalam urusan keluarga Eric.

***

Setiba di rumah, Eric bergegas membersihkan diri sementara Ajeng menemani Farah di kamarnya. Sambil mengganti baju cucunya, Ajeng dengan hati-hati bertanya mengenai kejadian di mall tadi. Gadis kecil itu, bersikeras kalau Aya adalah mamanya, tidak peduli Ajeng telah menjelaskan panjang lebar.

“Harusnya Papa ajak Mama pulang ke rumah,” sungut Farah naik ke atas tempat tidur.

“Farah sayangnya Oma, yang tadi itu namanya Tante Aya. Mama kan sudah ada di surga, Sayang,” ucap Ajeng mengusap kepala cucunya itu.

“Pasti Mama sudah turun dari surga, Oma. Itu tadi ada. Farah bisa pegang tangannya,” ucap Farah lagi. Ajeng menghela nafas panjang. Bicara hal seperti ini dengan anak kecil memang harus ekstra sabar.

Setelah memastikan Farah tertidur, perlahan Ajeng keluar dari kamar itu. Ia bergegas mengganti pakaian lantas menemui Eric.

“Jadi ini gimana, Ric?” tanya Ajeng pada Eric yang sedang berbalas pesan di ponselnya.

“Gimana apanya, Ma?” Eric malah bertanya balik.

Ajeng lalu mengatakan apa yang Farah katakan saat di kamar tadi.

“Nanti Farah juga lupa kalau sudah balik ke Jakarta. Liburan sekolah kan cuma dua minggu,” ucap Eric meletakkannya ponselnya di meja.

“Mama gak yakin dia mau balik ke Jakarta setelah ketemu dengan orang tadi,” sahut Ajeng pesimis.

Eric terdiam. Melihat sikap keras Farah saat di mall tadi ia sebenarnya juga sangsi. Apalagi selama ini Farah selalu tidur dengan foto ibunya. Hal itu membuat Farah sangat hafal dengan wajah ibunya. Tidak heran Farah bersikap begitu saat bertemu Aya yang wajahnya sangat mirip.

Tapi anaknya itu tidak bisa serta merta tinggal di kota tempat Eric bekerja, sementara ia sudah bersekolah di Jakarta.

“Kita gak usah bahas lagi tentang kejadian di mall itu sama Farah, Ma. Biar dia lupa,” pinta Eric.

“Tergantung Farah,” sahut Ajeng, “tapi Mama juga kaget banget saat lihat dia. Benar-benar mirip. Sama persis. Gak ada bedanya kalau dilihat sekilas. Kamu juga ngerasa kan?”

Eric tak menjawab. Ia meraih lagi ponselnya dan pura-pura sibuk.

“Kamu kenal sama perempuan tadi? Kalau gak salah dia bilang namanya Aya,” ucap Ajeng menatap anak laki-lakinya itu.

“Eric kamu dengar Mama gak sih,” sergah Ajeng lagi. Eric seolah tidak mendengar.

“Apa sih, Ma? Kita gak usah bahas hal itu lagi. Eric tidur dulu, Ma,” pamit Eric beranjak dari sofa ruang tamu kemudian masuk ke dalam kamarnya.

Membaringkan tubuhnya di atas kasur, Eric tak bisa terlelap dengan cepat. Serba salah posisi tidur yang ia ambil. Pikirannya berkecamuk. Tidak pernah terlintas dalam benaknya akan bertemu dengan orang yang seratus persen mirip dengan mendiang istrinya. Ditambah lagi orang itu satu kantor dengannya. Sudah pasti membuat fokusnya terbagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status