Mumpung akhir pekan dan tidak ada kegiatan, Aya memilih untuk bermalas-malasan dibalik selimut hingga jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Sedikit berat membuka mata, gadis itu meraih ponsel yang ia letakkan di meja samping kasurnya. Panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
"Siapa ini ya?" tanya Aya bingung melihat panggilan masuk itu lantas membiarkannya hingga panggilan itu mati dengan sendirinya.Aya kemudian mengecek ponselnya. Keningnya berkerut melihat ada banyak panggilan tak terjawab dari nomor yang sama.+628xxxxAngkat. Ini Eric.Matanya melotot membaca pesan yang masuk itu. Beberapa detik setelah Aya membaca pesan itu, panggilan dari nomor yang sama kembali masuk.“Iya, P-pak,” ucap Aya menampilkan ponsel itu di telinga kirinya.“Tunggu.”Aya kaget melihat layar ponselnya berubah menjadi panggilan video dan ada satu nomor tidak dikenal yang bergabung.“Halo, Tante mama,” suara Farah begitu girang saat melihat wajah Aya di layar ponsel Ajeng.Reflek Aya mematikan kameranya. Wajah dan rambutnya masih awut-awut saat Farah melihatnya tadi. Dari ujung teleponnya terdengar suara Farah yang merengek karena wajah Aya tidak terlihat. Bergegas ia merapikan rambut dan mengoleskan pelembab bibir di wajahnya.“Tante mama dari mana?” tanya Farah saat melihat Aya sudah kembali.“Gak dari mana-mana, Farah. Farah lagi apa? Sudah makan?” tanya Aya yang kemudian ngobrol dengan Farah, sementara Eric dan Ajeng mengamati mereka berdua. Setelah sepuluh menit bicara, Farah akhirnya mengakhiri panggilan itu.“Terima kasih, Mbak Aya. Maaf ya Farah mengganggu waktu kamu,” ucap Ajeng.“Gak apa-apa, Bu.”Ajeng kemudian mematikan panggilan itu hingga tersisa Farah dan Eric saja. Tidak mengatakan apa-apa, Eric lalu mematikan panggilan itu lebih dulu.***Dengan diantar Mama, pagi ini Aya tiba di kantor terlalu cepat. Itu semua karena hujan yang mengguyur sedari subuh. Masuk ke dalam kantor, Aya berjalan pelan karena petugas kebersihan tengah mengepel lantai. Perlahan menaiki anak tangga, sayup-sayup Aya mendengar suara Eric yang seperti sedang video call. Ia sengaja memperlambat langkah untuk mendengar percakapan Eric dan Ajeng.“Farah harus sekolah dulu ya. Kan Papa sudah janji sama Farah,” ucap Eric berusaha membujuk anaknya.Dari balik dinding Aya mendengar suara rengekan Farah yang meminta agar ia bisa pindah sekolah ke kota tempat Eric berada, dan baru kali ini ia mendengar Eric berbicara dengan nada sedikit lembut.“Biar Mama coba bujuk dulu. Oh iya, Mama nanti minta nomor Aya boleh kan? Jadi kalau Farah mau ngomong gak harus nunggu kamu.”Aya membulatkan mata ketika mendengar namanya disebut.“Oke, Ma.”Mendengar tidak ada tanda ada lagi suara percakapan, Aya lantas ingin melanjutkan langkahnya. Namun terlambat karena Eric sudah lebih dulu berada di ujung tangga dan menatapnya.“Pagi, Pak,” sapa Aya kikuk kemudian mempercepat langkahnya naik.Pekerjaan hari ini cukup padat, seharian ia tidak berada di kantor karena mengunjungi beberapa nasabah. Ia dan Reza baru tiba di kantor pukul setengah enam.“Ay, aku pulang duluan ya. Mau bawa anak aku ke dokter,” pamit Reza membawa tasnya.“Oke, Za. Ntar aku beresin,” ucap Aya.Ruangan lantai tiga sudah mulai sepi saat Aya selesai mengerjakan pekerjaannya. Setelah mematikan komputernya, gadis itu menuruni tangga. Melewati ruangan Eric, terlihat Via, sekretaris Eric melambaikan tangan kepadanya.“Kenapa?” tanya Aya sambil bertanya balik kenapa Via belum pulang.Aya mengerutkan kening saat Via memberi tahu kalau Eric memintanya untuk masuk ke dalam. Ia sempat ragu tapi karena Via terus memaksa, Aya akhirnya mengiyakan. Itu juga ia lakukan agar ia bisa pulang cepat.Dengan diantar Via, Aya masuk ke ruangan Eric. Seumur-umur baru kali ini ia masuk ke ruangan Eric yang merupakan pemilik perusahaan.“Ada apa ya, Pak?” tanya Aya sungkan. Ia berdiri tepat di depan meja Eric yang terlihat fokus dengan layar laptopnya.Sambil menghela nafas ia mengalihkan pandangannya.“Farah mau bicara,” ucap Eric menyodorkan ponselnya yang tengah menghubungkan panggilan ke Ajeng.Dengan lirikan matanya, Eric memerintahkan Aya untuk mengambil ponselnya yang telah terhubung dengan Ajeng.Penuh senyum, Aya menyapa Farah yang muncul di dalam layar. Anak kecil itu begitu senang hingga lupa tak menyapa Eric.“Farah ngomong sama Papa juga dong,” ucap Ajeng saat Farah ingin mengakhiri panggilan itu setelah puas bicara dengan Aya.“Ini saya kasih ke Pak Eric dulu,” ucap Aya.Eric menyambut ponselnya dan menahan Aya untuk tetap tinggal di ruangannya. Sesekali ia melempar pandangan ke sekeliling ruangan Eric yang terlihat begitu luas dan nyaman. Wajar saja untuk ruangan seorang pemilik perusahaan.“Aya,” ucap Eric membuat netra Aya reflek menatap Eric yang telah mengakhiri panggilannya. Dengan tangan terlipat di depan dada, pria itu memandang Aya lekat.“Pak Eric mau bilang apa ya?” gugup Aya dalam hati.Pria itu masih tak bersuara, tapi matanya tetap memandang ke arah Aya.“Gak jadi. Kamu keluar sekarang.”Aya mengerutkan kening. Tapi ia juga tak berniat untuk bertanya balik. Diperintahkan seperti itu, Aya langsung menurut tanpa membantah.Setelah keluar dari ruangan Eric, ia menghampiri meja Via terpenuhi dulu. Dari cerita Via, Eric sedang pusing mengatur jadwal cutinya karena jadwalnya belakang sangat padat.“Tapi tadi kamu ngapain di dalam? Bahas tentang kerjaan?”Aya menganggukkan kepala.Setelah mendapatkan jadwalnya yang kosong, siang ini Eric berangkat menuju Jakarta untuk menjemput serta mengurus kepindahan sekolah Farah ke kota tempat ia bekerja. Meski belum siap dengan segala konsekuensi yang akan muncul saat Farah tinggal bersamanya nanti, Eric mau tak mau menuruti permintaan putrinya itu. Itu semua karena Ajeng yang hampir kehabisan akal membujuk Farah setiap hendak pergi sekolah. Gadis kecil itu memainkan dramanya yang nyaris membuat penyakit jantung omanya kumat.Eric sendiri tak bisa berlama-lama di Jakarta. Ia hanya punya tiga hari untuk mengurus itu semua dan harus segera kembali. Sekretarisnya sudah mulai mengirimkan jadwal pekerjaan yang harus ia lakukan nanti.“Farah jangan buat Papa repot di sana ya,” pesan Ajeng mengantar cucunya.“Iya, Oma.” Farah memeluk Ajeng erat.“Tunggu Tante Tari libur kuliah ya. Nanti Tante pasti ke sana,” ucap Tari gantian memeluk keponakannya itu. Tari adalah adik perempuan Eric dengan beda usia hampir tujuh tahun. Saat ini
Baru kali ini Aya melihat foto orang yang sangat mirip dengannya. Aya mengambil foto yang ada di tangan Farah kemudian mengamatinya."Tunggu," gumam Aya dalam hati. Netranya lebih jeli lagi melihat foto itu. Ia sangat yakin kalau foto yang Farah tunjukkan itu adalah foto dirinya, bukan foto ibunya Farah. Di Foto itu jelas terlihat Aya berfoto dengan latar belakang kantornya lama, sebelum dipindah ke cabang utama."Wajah mama Farah sama kan seperti wajah Tante," ucap Farah lagi. Anak itu seperti ingin minta pengakuan dari Aya. Tak ingin mengecewakan Farah, Aya mengiyakan saja ucapan Farah. Dengan wajah penuh senyum Aya menganggukan kepala. Padahal ia sendiri belum pernah melihat foto mamanya Farah. Tapi ia jadi penasaran, foto yang ada di laci kerja Eric itu didapatnya dari mana.Hingga menjelang siang, Eric juga belum kembali. Baik Farah maupun Aya sudah mulai bosan menunggu di dalam ruangan. Aya lantas mengajak Farah keluar."Pak Eric belum balik juga, Vi? Sudah mau jam makan siang,"
Sekitar jam setengah tujuh pagi, Eric dan Farah sudah tiba di sekolah. Suasana sekolah masih sepi, hanya ada beberapa guru dan murid yang datang. Sambil menunggu kepala sekolah, Eric mengamati keadaan lingkungan sekolah sementara Farah duduk menatap ke arah kantin yang berada tepat di depannya."Loh itu kan mobilnya Pak Eric?" gumam Aya masuk ke halaman sekolah karena hari ini Mama minta antar. Terlalu serius memperhatikan Eric dan Farah yang masuk ke salah satu ruangan, ia sampai tidak membantu mama mengangkat wadah-wadah makanannya ke dalam kantin.“Lihat apa sih kamu? Sampai gak bantuin, Mama?” sergah Mama membuat Aya mengalihkan pandangan.“Maaf, Ma,” ucap Aya nyengir.Setelah pamit, Aya bergegas meninggalkan sekolah dan menuju kantor. Bekerja seperti biasanya, Aya kaget saat Wisnu datang dan memberikan selembar kertas. Gadis itu semakin kaget saat membaca isi kertas yang Wisnu bawa. Tertulis kalau Aya mulai hari ini sudah pindah unit, ke bagian HRD bersama dengan Wisnu.“Yang be
Sambil membantu Farah mengenakan pakaian, Aya masih terbayang-bayang wajah Eric saat menatapnya tadi. Tatapan yang tak asing baginya, tapi ia masih belum bisa mengingat dimana pernah melihat mata seperti itu.“Tante Mama Aya,” ucap Farah menyadarkan Aya dari lamunannya.“Tante di sini sampai malam ya?”“Nggak, Farah sayang. Ini Tante sudah mau pulang. Papanya Farah barusan datang,” ucap Aya tersenyum kecil.Menggandeng tangan Farah, Aya membawa gadis kecil itu keluar dari kamar dan menemui Eric yang tengah duduk di ruang tengah.“Saya permisi pulang dulu, Pak,” pamit Aya. Eric hanya berdehem. Namun begitu tiba di depan pintu, hujan disertai angin kencang tiba-tiba turun. Membuat Aya takut untuk mengemudi dengan cuaca begitu.“Tante, pulangnya nanti aja.” Farah menghampiri. Belum sempat menjawab, suara petir menggelegar membuat Aya dan Farah cepat menutup pintu.Eric tak terlihat saat mereka kembali ke ruang tengah. Aya yakin bosnya itu pasti sedang mandi. Betul saja, sepuluh menit k
Tiba di kantor Aya langsung menuju ruangan Via, tapi sekretaris Eric itu bilang kalau Eric masih belum kembali dari rapat. Tak perlu bertanya lagi, Aya langsung mengajak Farah ke ruangannya.“Sudah menjiwai banget kamu ya, Ay,” ucap Wisnu melihat Aya datang bersama Farah.“Menjiwai apanya coba,” kata Aya duduk di sebelah Wisnu yang akan memberitahunya tugas lainnya.Baru menjelaskan beberapa tugas, ponsel Wisnu berdering. Samar-samar Aya mendengar kalau besok Eric harus melakukan perjalanan dinas ke luar kota.“Bentar ya, Ay. Mau nyari tiket pesawat buat Pak Eric,” ucap Wisnu kemudian membuka salah satu aplikasi online lewat ponselnya. Sambil menunggu Wisnu selesai, Aya memandang Farah sejenak dan berpikir. Kalau Eric harus pergi dinas keluar kota besok, lalu siapa yang akan menjaga Farah di rumah. Seperti tidak mungkin Eric akan mengajak Farah pergi dinas. Pasalnya dari surat dinas yang dibagikan di grup w******p HRD, Eric akan pergi dinas selama dua hari dengan agenda rapat bersama j
“Saya mau ambil tas saya,” ucap Aya melangkah masuk. Namun saat akan melewati Eric, pria itu malah menarik tangan Aya dan menahannya. Tak ada kata yang keluar dari mulut pria itu. Ia hanya menatap Aya tanpa berkedip.“Pak,” lirik Aya mulai merasa tak nyaman dengan posisinya. Perlahan pria itu melepaskan tangannya. Tak membuang waktu, Aya bergegas mengambil tasnya yang berada di kamar Farah, lantas keluar rumah tanpa berkata-kata. Memasukan tasnya di kursi belakang, gadis itu bersiap untuk masuk ke dalam mobil, tapi tiba-tiba suara gemuruh terdengar dari langit bersamaan dengan kilatan petir yang menyambar.“Kenapa harus selalu turun hujan sih?” kesal Aya menatap langit yang telah menurunkan hujan dengan derasnya. Jujur saja, Aya paling takut kalau harus mengemudi dalam cuaca ekstrem begini. Hampir lima menit ia berdiri di samping mobil, menunggu hujan reda. Namun dari suara gemuruh yang terdengar, tanda-tanda hujan akan berhenti sama sekali tidak terlihat.“Masuk.” Eric berdiri di de
Sedang asyik mengerjakan laporan di komputer, telepon di mejanya berdering. Via memberitahu kalau Eric memintanya datang ke ruangan. Membawa pulpen di tangannya, Aya berjalan turun menuju ruangan Eric."Langsung masuk aja, Ay," ucap Via yang tengah serius melukis alisnya.Aya masuk setelah mengetuk pintu ruangan Eric. Perlahan ia masuk sambil terus berpikir penyebab ia dipanggil."Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya Aya.Eric menatap Aya beberapa detik kemudian mengambil ponselnya. Aya yang merasa ponsel di saku blazernya bergetar reflek merogohnya. Keningnya berkerut menatap layar ponsel yang hanya menampilkan nomor tidak dikenal."Kenapa gak kamu angkat?" tanya Eric membuat gerakan tangan Aya yang hendak menyimpan ponsel di sakunya terhenti.Jantung Aya mulai berdetak tak karuan saat Eric tahu-tahu berdiri dan berjalan menghampirinya. Ia menampilkan layar ponsel miliknya pada Aya. Gadis itu tak bisa berkata-kata saat melihatnya. Bagaimana tidak, layar ponsel Eric menampilkan nama dan
Sepeninggal Eric, Aya bergegas kembali masuk ke dalam rumah. Ia mempersilahkan Pak Ujang untuk pulang, lantas menghampiri Bu Sri dan Farah yang masih duduk di ruang tamu."Jadi saya harus ngapain, Bu?" tanya Bu Sri."Jangan panggil saya ibu," ucap Aya agak risih."Saya gak enak sama Pak Eric, Bu. Nanti saya dikira gak sopan sama istri majikan," kata Bu Sri.Aya tertawa kecil lalu menjelaskan bahwa ia bukan istri Eric, melainkan hanya bawahan Eric di kantor. Tahu hal itu Bu Sri malah jadi gak enak sama Aya. Berkali-kali ia mengucapkan maaf pada Aya."Gak apa-apa, Bu," sahut Aya santai. Gadis itu kemudian menjelaskan apa-apa saja yang harus Bu Sri lakukan. Terutama saat Farah pulang sekolah.Bu Sri kemudian pamit untuk mengecek area dapur, sementara Aya menemani Farah mengerjakan tugas sekolah. Setelah tugas sekolahnya selesai, Farah tidak mau tidur siang meski telah dibujuk oleh Aya. Gadis kecil itu ingin Aya menemaninya main. Tak tega untuk menolak, Aya mengikuti permintaan Farah dan m