Mengira sudah bebas dari tugas khusus, nyatanya jam sebelas ini Aya harus menjemput Farah karena Eric ada pertemuan dengan mitra kerja sejak pagi. Dengan diantar mobil kantor, Aya menjemput Farah di sekolah."Ada Mama lagi sama Farah," gumam Aya dalam hati. Ia menunggu saja dalam mobil sampai Mama menjauh. Ia masih enggan memberitahu Mama kalau anak bosnya sekolah di tempat Mama memiliki kantin.Membuka kaca mobil, Aya melambai ke arah Farah. Gadis kecil itu lantas berlari kecil menuju mobil yang terparkir di depan sekolah lalu masuk ke kursi belakang."Asyik dijemput sama Tante Aya," sorak Farah melepaskan tasnya.Sepuluh menit kemudian mereka akhirnya tiba di rumah. Bu Sri sendiri sudah berdiri di depan pintu rumah menyambut Farah yang ternyata tidak mau turun kalau Aya tidak ikut turun."Tante Aya kan harus kerja, Sayang," bujuk Aya turun dari kursi depan kemudian berdiri di depan pintu belakang."Sebentar aja, Tante. Janji," rengek Farah dengan jari kelingking mengacung.Aya jadi
Tak ingin dituduh yang macam-macam oleh Eric, Aya akhirnya berbohong. Ia mengatakan kalau alat tes yang ia beli tadi adalah untuk sepupunya. Meski begitu Eric terlihat masih tidak percaya."Saya duluan, Pak," ucap Aya kala Eric melepaskan tangan yang sedari ia genggam.Tak membuang waktu, Aya langsung tancap gas meninggalkan apotek itu. Eric yang niat awalnya ingin membeli obat sakit kepala, malah lupa. Pria itu malah masuk mobil dan pulang.Setiba di rumah, Aya langsung masuk ke dalam kamar dan menyimpan alat tes tadi di tempat yang aman. Gadis itu tak ingin Mama sampai tahu.***Terbangun pukul lima pagi, Aya mengambil alat tes itu dan menyimpannya di saku celana tidurnya. Tanpa menyapa Mama yang sudah sibuk di dapur, Aya melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Dari petunjuk yang ia baca agar hasil yang ditunjukkan akurat, ia harus melakukan tes itu setelah bangun pagi saat buang air kecil pertama. Dengan sangat hati-hati Aya mengikuti petunjuk penggunaan alat itu. Ekspresi wajahnya t
"Keluar." Eric berdiri. Pria itu melipat tangannya di depan dada sembari menatap Aya.Dengan cepat Aya menyelesaikan pekerjaannya. Baru saja sampai di depan pintu, Aya mengaduh kesakitan sambil memegangi perutnya. Lumayan sakit hingga langkah kakinya terhenti."Auw." Aya meringis."Kamu kenapa?" tanya Eric yang tahu-tahu langsung merangkul pinggang Aya."Pak Eric, ngapain?" Aya jadi takut."Perut kamu kenapa? Duduk dulu," ucap Eric yang bersiap membawa Aya untuk duduk di sofa. Namun Aya cepat menolak. Gadis itu merasa ada sesuatu yang keluar dari tubuh bagian bawahnya dan ia harus segera ke kamar mandi sebelum semakin banyak yang keluar.Eric kemudian melepaskan tangannya dan membiarkan Aya keluar dari ruangannya.Tanpa komando, Aya lantas menuju ruangannya. Ia akhirnya bisa tenang karena apa yang ditunggu-tunggunya beberapa bulan ini akirnya datang. Untuk urusan tamu bulanan Aya, memang tidak lancar. Tapi begitu datang, rasa sakit yang mendera begitu menyiksa."Kamu pucat, Ay," ucap
"Hari ini kepala unit pada rapat ya, Nu?" tanya Aya memastikan. Padahal ia sudah membaca undangan rapat yang dibagikan oleh Via di grup whatsapp kantor."Iya. Kamu sudah tahu tapi kenapa nanya lagi," sahut Wisnu, "nanti kamu pesan snack ke toko roti yang biasa ya," lanjut Wisnu.Aya memberikan hormat pada Wisnu tanda setuju. Sedang asyik mengecek beberapa nota pembelian yang menumpuk di mejanya, Aya melotot melihat formulir pengajuan cuti atas nama Via. Ia lantas menunjukkan formulir itu pada Wisnu."Astaga, aku lupa. Untung kamu lihat," ucap Wisnu mengambil kertas itu dan membacanya. Wisnu yang tadi awalnya biasa saja, tiba-tiba senewen. Pasalnya Via mengajukan cuti mulai besok dan itu artinya ia harus menyiapkan pengganti untuk menjadi sekretaris Eric.Aya pura-pura tidak mendengar saat Wisnu menghubungi Via dan bertanya siapa yang akan menggantikannya nanti.Sepuluh menit sebelum rapat dimulai, Aya sudah menyiapkan ruang rapat beserta dengan snacknya. Beberapa kepala unit sudah dat
Ini sudah hari ketiga Aya menggantikan Via sebagai sekretaris Eric. Ada-ada saja permintaan aneh Eric, mulai dari minta bersihkan meja setiap pagi sampai minta belikan nasi uduk pagi ini. Itu semua membuat Aya harus datang lebih pagi dari Eric.“Mana nasi uduknya?” tanya Eric mengagetkan Aya yang baru saja keluar dari ruangan Eric. Pria itu baru saja tiba saat jam di dinding menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Suasana kantor juga masih sepi dari karyawan, hanya petugas kebersihan yang sedang melakukan tugasnya.“Ini, Pak. Sebentar saya antar ke ruangan Pak Eric,” ucap Aya menuju mejanya.Dari tempatnya berdiri, Eric dapat melihat ada dua wadah makan terletak di atas meja Aya.“Bawa punya kamu juga ke ruangan saya,” perintah Eric berjalan masuk ke dalam ruangannya.Aya berdecak, memanyunkan bibirnya. Niatnya mau sarapan pagi di ruangan atas malah batal karena permintaan Eric. Ia lantas membawa bungkusan yang berisi nasi uduk itu ke ruangan Eric.“Duduk. Makan di sini,” uca
Akhirnya Aya terlepas juga dari tugas tambahannya menggantikan Via selama cuti. Itu artinya hari ini ia tidak perlu melayani Eric yang kadang membuatnya mengelus dada. Setelah selesai sarapan pagi, hal pertama yang Aya lakukan adalah menyelesaikan nota penggantian biaya berobat beberapa karyawan yang sudah menumpuk di mejanya. Mengecek satu per satu keaslian nota itu, ia kemudian membuat rekapnya di komputer lalu mencetaknya."Ay," panggil Wisnu yang baru saja masuk ke ruangan.Aya menoleh menatap Wisnu."Kamu ada rekomendasi tempat wisata yang oke gak?" Wisnu menarik kursi agar bisa duduk lebih dekat dengan Aya yang tengah menyusun hasil cetakannya."Tempat wisata? Emang buat apa?""Tahun ini kan jadwal kegiatan outbond kantor, Ay. Barusan Pak Tomi bilang suruh bikin panitia. Soalnya dia juga harus laporan ke Pak Eric," terang Wisnu."Aku jangan dimasukin jadi panitia ya, Nu," pinta Aya memelas. Gadis itu paling malas kalau harus repot ngurus ini itu. Belum lagi nanti dikasih tanggun
Sebelum menjemput Farah di sekolah, Eric menjemput Ajeng dulu di rumah. Kesempatan ini digunakan Ajeng untuk menginterogasi Eric mengenai Aya. Ia dapat melihat kalau gelagat Eric tidak seperti biasanya saat bersama dengan Aya. Namun Eric selalu menyangkal hal itu."Tolong ya, Ric. Mama gak mau kamu memanfaatkan dia hanya karena dia mirip sama mendiang istri kamu," ucap Ajeng menghela nafas."Eric tahu, Ma. Dia orang yang beda," sahut Eric datar memarkirkan mobilnya.Mereka berdua kemudian turun dan menghampiri Farah yang telah duduk menunggu dijemput. Ajeng menggandeng tangan Farah berjalan menuju mobil Eric. Meninggalkan sekolah Farah, Eric mengajak mereka untuk makan siang terlebih dahulu. Tak berselang lama, Eric menepikan mobil di salah satu rumah makan yang parkirannya terlihat ramai."Gimana sekolahnya, Sayang?" tanya Ajeng."Ada tugas sekolah, Oma. Nanti Oma bantuin ya," sahut Farah meraih tisu dan mengelap keringat di dahinya.Mereka menikmati menu soto dan sate sambil sesekal
Duduk sendirian di ruangan, Aya bersandar di kursi dengan mata lurus menatap ke arah jendela yang menyajikan pemandangan langit senja. Ia memilih untuk tetap tinggal di kantor meski Wisnu sudah pulang dari setengah jam yang lalu, karena gerimis yang masih setia turun."Kenapa sikap dia kayak gitu ya? Pasti ini karena wajah aku yang mirip," gumam Aya yang masih kepikiran dengan kejadian di ruangan Eric tempo lalu. Begitu seriusnya ia hingga tidak menyadari kalau ada orang yang masuk ke ruangannya. Reflek ia menoleh saat orang tersebut menutup pintu ruangan."Eh. Iya, Pak. Ada yang bisa dibantu?" Aya langsung berdiri dengan wajah yang sedikit gugup.Perlahan Eric berjalan ke arahnya, membuat Aya semakin gugup."Ngapain kamu masih di kantor jam segini?" tanya Eric menatap Aya."Nunggu gerimis reda, Pak," sahut Aya cepat. Tanpa pikir panjang ia menolak ajakan Eric yang ingin mengantarnya pulang. Ia beralasan akan menggunakan jas hujan untuk pulang.Gadis itu langsung mematikan komputernya