Sambil membantu Farah mengenakan pakaian, Aya masih terbayang-bayang wajah Eric saat menatapnya tadi. Tatapan yang tak asing baginya, tapi ia masih belum bisa mengingat dimana pernah melihat mata seperti itu.“Tante Mama Aya,” ucap Farah menyadarkan Aya dari lamunannya.“Tante di sini sampai malam ya?”“Nggak, Farah sayang. Ini Tante sudah mau pulang. Papanya Farah barusan datang,” ucap Aya tersenyum kecil.Menggandeng tangan Farah, Aya membawa gadis kecil itu keluar dari kamar dan menemui Eric yang tengah duduk di ruang tengah.“Saya permisi pulang dulu, Pak,” pamit Aya. Eric hanya berdehem. Namun begitu tiba di depan pintu, hujan disertai angin kencang tiba-tiba turun. Membuat Aya takut untuk mengemudi dengan cuaca begitu.“Tante, pulangnya nanti aja.” Farah menghampiri. Belum sempat menjawab, suara petir menggelegar membuat Aya dan Farah cepat menutup pintu.Eric tak terlihat saat mereka kembali ke ruang tengah. Aya yakin bosnya itu pasti sedang mandi. Betul saja, sepuluh menit k
Tiba di kantor Aya langsung menuju ruangan Via, tapi sekretaris Eric itu bilang kalau Eric masih belum kembali dari rapat. Tak perlu bertanya lagi, Aya langsung mengajak Farah ke ruangannya.“Sudah menjiwai banget kamu ya, Ay,” ucap Wisnu melihat Aya datang bersama Farah.“Menjiwai apanya coba,” kata Aya duduk di sebelah Wisnu yang akan memberitahunya tugas lainnya.Baru menjelaskan beberapa tugas, ponsel Wisnu berdering. Samar-samar Aya mendengar kalau besok Eric harus melakukan perjalanan dinas ke luar kota.“Bentar ya, Ay. Mau nyari tiket pesawat buat Pak Eric,” ucap Wisnu kemudian membuka salah satu aplikasi online lewat ponselnya. Sambil menunggu Wisnu selesai, Aya memandang Farah sejenak dan berpikir. Kalau Eric harus pergi dinas keluar kota besok, lalu siapa yang akan menjaga Farah di rumah. Seperti tidak mungkin Eric akan mengajak Farah pergi dinas. Pasalnya dari surat dinas yang dibagikan di grup w******p HRD, Eric akan pergi dinas selama dua hari dengan agenda rapat bersama j
“Saya mau ambil tas saya,” ucap Aya melangkah masuk. Namun saat akan melewati Eric, pria itu malah menarik tangan Aya dan menahannya. Tak ada kata yang keluar dari mulut pria itu. Ia hanya menatap Aya tanpa berkedip.“Pak,” lirik Aya mulai merasa tak nyaman dengan posisinya. Perlahan pria itu melepaskan tangannya. Tak membuang waktu, Aya bergegas mengambil tasnya yang berada di kamar Farah, lantas keluar rumah tanpa berkata-kata. Memasukan tasnya di kursi belakang, gadis itu bersiap untuk masuk ke dalam mobil, tapi tiba-tiba suara gemuruh terdengar dari langit bersamaan dengan kilatan petir yang menyambar.“Kenapa harus selalu turun hujan sih?” kesal Aya menatap langit yang telah menurunkan hujan dengan derasnya. Jujur saja, Aya paling takut kalau harus mengemudi dalam cuaca ekstrem begini. Hampir lima menit ia berdiri di samping mobil, menunggu hujan reda. Namun dari suara gemuruh yang terdengar, tanda-tanda hujan akan berhenti sama sekali tidak terlihat.“Masuk.” Eric berdiri di de
Sedang asyik mengerjakan laporan di komputer, telepon di mejanya berdering. Via memberitahu kalau Eric memintanya datang ke ruangan. Membawa pulpen di tangannya, Aya berjalan turun menuju ruangan Eric."Langsung masuk aja, Ay," ucap Via yang tengah serius melukis alisnya.Aya masuk setelah mengetuk pintu ruangan Eric. Perlahan ia masuk sambil terus berpikir penyebab ia dipanggil."Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya Aya.Eric menatap Aya beberapa detik kemudian mengambil ponselnya. Aya yang merasa ponsel di saku blazernya bergetar reflek merogohnya. Keningnya berkerut menatap layar ponsel yang hanya menampilkan nomor tidak dikenal."Kenapa gak kamu angkat?" tanya Eric membuat gerakan tangan Aya yang hendak menyimpan ponsel di sakunya terhenti.Jantung Aya mulai berdetak tak karuan saat Eric tahu-tahu berdiri dan berjalan menghampirinya. Ia menampilkan layar ponsel miliknya pada Aya. Gadis itu tak bisa berkata-kata saat melihatnya. Bagaimana tidak, layar ponsel Eric menampilkan nama dan
Sepeninggal Eric, Aya bergegas kembali masuk ke dalam rumah. Ia mempersilahkan Pak Ujang untuk pulang, lantas menghampiri Bu Sri dan Farah yang masih duduk di ruang tamu."Jadi saya harus ngapain, Bu?" tanya Bu Sri."Jangan panggil saya ibu," ucap Aya agak risih."Saya gak enak sama Pak Eric, Bu. Nanti saya dikira gak sopan sama istri majikan," kata Bu Sri.Aya tertawa kecil lalu menjelaskan bahwa ia bukan istri Eric, melainkan hanya bawahan Eric di kantor. Tahu hal itu Bu Sri malah jadi gak enak sama Aya. Berkali-kali ia mengucapkan maaf pada Aya."Gak apa-apa, Bu," sahut Aya santai. Gadis itu kemudian menjelaskan apa-apa saja yang harus Bu Sri lakukan. Terutama saat Farah pulang sekolah.Bu Sri kemudian pamit untuk mengecek area dapur, sementara Aya menemani Farah mengerjakan tugas sekolah. Setelah tugas sekolahnya selesai, Farah tidak mau tidur siang meski telah dibujuk oleh Aya. Gadis kecil itu ingin Aya menemaninya main. Tak tega untuk menolak, Aya mengikuti permintaan Farah dan m
Mengira sudah bebas dari tugas khusus, nyatanya jam sebelas ini Aya harus menjemput Farah karena Eric ada pertemuan dengan mitra kerja sejak pagi. Dengan diantar mobil kantor, Aya menjemput Farah di sekolah."Ada Mama lagi sama Farah," gumam Aya dalam hati. Ia menunggu saja dalam mobil sampai Mama menjauh. Ia masih enggan memberitahu Mama kalau anak bosnya sekolah di tempat Mama memiliki kantin.Membuka kaca mobil, Aya melambai ke arah Farah. Gadis kecil itu lantas berlari kecil menuju mobil yang terparkir di depan sekolah lalu masuk ke kursi belakang."Asyik dijemput sama Tante Aya," sorak Farah melepaskan tasnya.Sepuluh menit kemudian mereka akhirnya tiba di rumah. Bu Sri sendiri sudah berdiri di depan pintu rumah menyambut Farah yang ternyata tidak mau turun kalau Aya tidak ikut turun."Tante Aya kan harus kerja, Sayang," bujuk Aya turun dari kursi depan kemudian berdiri di depan pintu belakang."Sebentar aja, Tante. Janji," rengek Farah dengan jari kelingking mengacung.Aya jadi
Tak ingin dituduh yang macam-macam oleh Eric, Aya akhirnya berbohong. Ia mengatakan kalau alat tes yang ia beli tadi adalah untuk sepupunya. Meski begitu Eric terlihat masih tidak percaya."Saya duluan, Pak," ucap Aya kala Eric melepaskan tangan yang sedari ia genggam.Tak membuang waktu, Aya langsung tancap gas meninggalkan apotek itu. Eric yang niat awalnya ingin membeli obat sakit kepala, malah lupa. Pria itu malah masuk mobil dan pulang.Setiba di rumah, Aya langsung masuk ke dalam kamar dan menyimpan alat tes tadi di tempat yang aman. Gadis itu tak ingin Mama sampai tahu.***Terbangun pukul lima pagi, Aya mengambil alat tes itu dan menyimpannya di saku celana tidurnya. Tanpa menyapa Mama yang sudah sibuk di dapur, Aya melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Dari petunjuk yang ia baca agar hasil yang ditunjukkan akurat, ia harus melakukan tes itu setelah bangun pagi saat buang air kecil pertama. Dengan sangat hati-hati Aya mengikuti petunjuk penggunaan alat itu. Ekspresi wajahnya t
"Keluar." Eric berdiri. Pria itu melipat tangannya di depan dada sembari menatap Aya.Dengan cepat Aya menyelesaikan pekerjaannya. Baru saja sampai di depan pintu, Aya mengaduh kesakitan sambil memegangi perutnya. Lumayan sakit hingga langkah kakinya terhenti."Auw." Aya meringis."Kamu kenapa?" tanya Eric yang tahu-tahu langsung merangkul pinggang Aya."Pak Eric, ngapain?" Aya jadi takut."Perut kamu kenapa? Duduk dulu," ucap Eric yang bersiap membawa Aya untuk duduk di sofa. Namun Aya cepat menolak. Gadis itu merasa ada sesuatu yang keluar dari tubuh bagian bawahnya dan ia harus segera ke kamar mandi sebelum semakin banyak yang keluar.Eric kemudian melepaskan tangannya dan membiarkan Aya keluar dari ruangannya.Tanpa komando, Aya lantas menuju ruangannya. Ia akhirnya bisa tenang karena apa yang ditunggu-tunggunya beberapa bulan ini akirnya datang. Untuk urusan tamu bulanan Aya, memang tidak lancar. Tapi begitu datang, rasa sakit yang mendera begitu menyiksa."Kamu pucat, Ay," ucap
Perlahan membuka matanya, Eric merasa kram di salah satu bahunya karena Aya tidur sangat dekatnya tepat di atas dadanya. Wajah Aya begitu tenang hingga Eric tidak tega untuk membangunnya. Dengan sangat hati-hati Eric menggeser Aya lantas menyelimuti istrinya itu. Bergegas ia mengenakan pakaian yang keluar dari kamar untuk mengecek Farah. Beruntung Bu Sri sudah datang dan membantu Farah bersiap-siap."Mama mana, Pa?" tanya Farah kala melihat Eric masuk ke dapur."Masih tidur. Papa antar sekarang?""Mama sakit, Pa? Farah mau lihat," kata Farah bersiap turun dari kursi."Gak usah, Sayang. Kasian nanti Mama kebangun, biar Mama istirahat dulu ya," ucap Eric cepat mencegah Farah yang ingin menghampiri Aya. Pasalnya Aya tidur hanya berbalutkan selimut.Setelah menghabiskan makanannya, Eric mengantar Farah untuk sekolah. Ia sempat bertemu dengan Mama di sekolah yang membawakan makanan untuk Eric dan juga Aya. Eric sempat berbincang sebentar dengan Mama sebelum memutuskan untuk pulang.Setiban
Sampai tamu bulanan Aya selesai, baik Eric maupun Aya lupa pergi ke dokter karena kesibukan di kantor. Beberapa janji dengan klien yang sudah deal harus batal karena terjadi masalah yang tidak pernah diduga sebelumnya."Pokoknya kalian harus tuntut, saya gak mau tahu. Mereka harus ganti rugi!" seru Eric penuh amarah kepada divisi legal di ruang rapat. Via yang berada di ruang rapat sampai takut melihat emosi Eric. Baru kali ini ia melihat Eric seperti itu.Selesai meluapkan emosinya, Eric keluar dari ruangan dengan membanting pintu. Via sampai mematung dibuatnya. Ia kemudian menghampiri staff legal yang masih ada di ruangan dan mendengarkan mereka berdiskusi."Astaga, kok bisa sampai kena tipu?" gumam Via dalam hati mendengar obrolan mereka. Begitu mereka meninggalkan ruang rapat, Via langsung keluar hendak menemui Aya tapi tidak jadi karena Aya tahu-tahu sudah ada di dekat ruang rapat. Ia langsung menarik tangan Via dan menanyakan kebenaran berita yang ia dengar."Iya, Vi," ucap Aya
"Kamu kenapa?" tanya Eric khawatir."Perut aku sakit, Mas," ucap Aya meremas perutnya.Eric meraih baju kimono kemudian memberikannya pada Aya. Tanpa komando Eric menggendong Aya yang tadi mengatakan ingin ke kamar mandi."Kamu di luar aja, Mas," ucap Aya kala Eric malah ikut masuk ke dalam kamar mandi. Dengan berat hati Eric keluar dari tempat itu tapi tidak menutup pintu itu dengan rapat. Beberapa menit kemudian, Aya muncul dari balik pintu dan minta diambilkan tasnya."Mau ngambil apa? Biar aku ambilkan," kata Eric ngotot hendak mengambilkan apa yang hendak Aya minta."Aku datang bulan, Mas," ucap Aya lirih dengan wajah menahan sakit.Cepat Eric mencari apa yang Aya minta. Ia juga sampai memasangkan benda itu pada tempatnya. Jelas saja itu membuat Aya malu."Ay, kamu kenapa lama? Aku masuk ya," ucap Eric mendorong sedikit pintu kamar mandi. Tidak ada jawaban, tapi beberapa detik kemudian Aya keluar dengan wajah menunduk. Eric lantas duduk di samping Aya yang sudah membaringkan diri
Mereka baru saja mendarat di Jakarta dan langsung bergegas menuju rumah Eric. Rasa lelah setelah pesta kemarin masih sangat terasa. Menempati kamar tidur Eric, Aya segera merebahkan diri setelah selesai berganti pakaian.“Katanya tadi lapar?” tanya Eric baru saja masuk kamar setelah menidurkan Farah di kamarnya.“Kayaknya tidur aja deh, Mas. Ngantuk banget,” sahut Aja menguap lebar dan masuk ke dalam selimut.Pria itu kemudian bergegas mengganti pakaiannya dan ikut membaringkan diri di samping Aya. Sambil memandangi Aya yang sepertinya sudah terlelap tidur, senyum mengambang dari bibir pria itu. Salah satu tangan Eric mengelus perutnya yang lapar. Bayangannya tadi ia masih makan bersama dengan Aya, tapi istrinya itu malah tidur duluan. Ia kemudian memutuskan untuk mengambil beberapa bungkus roti dari luar dan membawanya masuk ke dalam kamar.Meski sudah sangat pelan membuka bungkus roti itu, ternyata Aya masih bisa mendengar dan akhirnya terbangun.“Kamu gak tidur, Mas?” tanya Aya men
Setelah menunggu beberapa bulan sesuai dengan permintaan Mama, hari ini akhirnya tiba. Pernikahan Aya dan Eric akan dilangsungkan di salah satu ballroom hotel berbintang yang ada. Aya begitu beruntung karena tak perlu repot mengurus segala persiapan pernikahannya. Semua sudah diatur oleh Eric. Tamu yang datang didominasi oleh orang-orang kantor serta keluarga dan teman-teman Aya juga Mama. Penuh senyum Aya dan Eric menerima setiap tamu yang datang dan memberikan selamat."Selamat ya, Ay," ucap Via sembari memeluk Aya yang ini resmi menjadi istri bosnya itu."Jangan lupa cerita nanti gimana ya malam pertamanya," bisik Via membuat Aya melotot.Dari atas pelaminan, Aya dapat melihat kalau beberapa sepupu serta keluarga dari mendiang papanya datang dan turut mengantri hendak naik ke atas. Aya benar-benar berterima kasih karena mereka tidak berbuat yang aneh-aneh di acaranya hari ini. Meski tak ada senyum saat mereka memberikan selamat.Hingga pesta yang di mulai pukul empat sore akhirnya
Setelah terus ditanya oleh Eric, Aya akhirnya mau menceritakan sedikit mengenai keluarga papanya. Mendengar apa yang Aya ceritakan, Eric malah minta untuk dipertemukan agar ia bisa meminta izin. Jelas saja Aya menolak. Ia sudah kenyang mendengar cacian demi cacian."Tapi tetap aja kita harus minta izin, Sayang," ucap Eric mencoba membujuk."Gak penting, Pak. Minta izin atau enggak ya sama aja. Kalau kita ke sana itu namanya cari penyakit. Saya gak mau, Pak," tolak Aya tegas menatap Eric tajam.Tak ingin membuat gadis itu tambah bete, Eric kemudian melemah dan mengajaknya untuk pergi makan siang keluar.Hubungan Aya dan Eric sudah diketahui oleh semua orang kantor, jadi Eric tidak segan untuk menunjukkan perhatiannya pada Aya di depan umum. Namun hal itu terbading terbalik dengan Aya. Gadis itu masih segan bahkan enggan menunjukkan bahwa ia memiliki hubungan dengan Eric. Beberapa kali ia mendengar omongan yang tidak enak dari beberapa karyawan kantor."Kata Mama, Farah ikut pulang ke r
Sama seperti Eric, Aya juga langsung menginterogasi Mama begitu tiba di rumah. Pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di otaknya spontan keluar dari mulutnya. Bertubi-tubi hingga Mama tidak bisa menjawabnya."Satu-satu dong tanyanya, Ay? Kamu pikir Mama robot? Robot juga belum tentu bisa langsung jawab banyak pertanyaan," seloroh Mama melenggang menuju dapur membawa satu kardus cukup besar yang sepertinya makanan."Ya habisnya Aya heran aja, kok bisa Mama bisa akrab gitu sama Ibunya Pak Eric," ucap Aya mengekor Mama ke dapur."Namanya juga satu pesawat terus duduk sebelah-sebelah, ya kita pasti ngobrol lah," sahut Mama."Terus Mama ngomongin apa?""Urusan orang tua, Ay. Kamu banyak tanya deh," kata Mama memicingkan mata menatap anak gadisnya itu."Aya kan mau tahu, masa gak boleh?""Ini masih jam kerja, kamu gak balik kantor?"Mendengar jawaban Mama yang seperti itu, Aya memanyunkan bibirnya. Ia kemudian pamit balik ke kantor karena memang belum jam pulang kantor.Mobil Eric sudah terpa
Begitu jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit, Aya menghampiri Wisnu dan pamit hendak ke bandara mau menjemput Mama. Tapi sebelum itu ia minta tolong untuk tidak memberitahukan tujuannya pada Eric kalau pria itu bertanya. Ia cepat menuruni tangga dan masuk ke mobil. Namun perjalanannya menuju bandara harus terhambat karena di depannya ada kecelakaan truk terbalik. Mau tidak mau ia harus menunggu hingga truk itu bisa dievakuasi, karena posisinya yang tidak memungkinkan untuk putar balik."Ma, tunggu ya. Ini lagi ada macet," kata Aya menghubungi Mama."Iya, gak apa-apa," sahut Mama yang ternyata sedang menunggu di salah satu tempat makan bersama seorang wanita yang sempat duduk bersebelahan di dalam pesawat.Mama kemudian meletakkan ponselnya di atas meja dan kembali berbincang."Ada macet, jadi disuruh tunggu," ucap Mama memberitahu wanita yang tidak lain adalah Ajeng.Omanya Farah itu sengaja tidak memberitahukan kedatangannya pada Eric. Saat bertemu di pesawa
Tak berselang lama, Aya tiba di rumah Eric dengan membawakan pesanana makanan gadis kecil itu. Ada sup buah hingga ayam goreng."Papanya Farahnya mana?" tanya Aya masuk dan meletakkan bungkusan itu di meja tamu."Papa di kamar, Tante. Kayaknya baru selesai mandi," ucap Farah dengan wajah yang tidak sabar ingin makan makanan yang Aya bawa.Aya sedikit heran mendengar jawaban Farah tadi, karena kalau ia sakit ia pasti jarang mandi. Gaditu kemudian ke dapur dan membawa beberapa piring mangkuk serta sendok garpu ke ruang tamu depan. Langkahnya sempat terhenti saat melihat Eric sudah duduk di samping Farah dengan wajah yang terlihat sudah segar."Tapi badannya masih demam," gumam Aya dalam hati saat tak sengaja menyentuh tangan Eric saat memindahkan bungkusan sup buah ke mangkuk."Gak usah pakai es yang, Farah," kata Aya menyodorkan semangkuk penuh sup buah berwarna pink. Dengan wajah tersenyum dan menganggukan kepala, gadis kecil itu menerima mangkuk dari Aya lantas menyantapnya."Aku mau