“Anda siapa? Kenapa anda bisa masuk ke kamar saya?!”
Kening gadis itu tampak berkerut saat melihat seorang pria berdiri di depan kamar hotelnya dan menerobos masuk ke dalam.Tidak seperti orang normal pada biasanya, pria itu tampak sempoyongan dengan tatapan mata yang sayu. Dengan langkah gontai ia mendorong tubuh gadis itu masuk ke dalam kamar.Gadis yang memiliki sapaan akrab Aya itu, hari ini memang sedang menggunakan voucher menginap gratis di sebuah hotel.Aya mulai gugup, tapi ia juga tidak bisa mengelak saat pria itu tahu-tahu telah menimpa dirinya. Cukup berat, sehingga Aya kesusahan untuk bergerak.“T-tunggu! T-tuan, anda siapa? Ini salah!” Sekuat tenaga Aya berteriak tepat di telinga pria itu, berharap pria itu bisa segera sadar. Dengan suasana kamar yang minim penerangan Aya sama sekali tidak jelas melihat wajah pria itu.“Fania, ini aku,” ucap pria itu setengah sadar dengan mata menatap Aya yang berada tepat di bawahnya. Senyum mengembang di bibir pria itu. Reflek Aya menutup mata dan memalingkan wajahnya saat bibir pria itu semakin mendekat lalu mendarat mulus di pipinya.Perlahan perasaan takut mulai menyelimuti hati gadis itu. Melihat keadaan dan apa yang barusan saja pria itu lakukan, tidak menutup kemungkinan ia akan bertindak lebih jauh.“Jangan kurang ajar ya! Tuan ini siapa? Tuan salah masuk kamar!” pekik Aya berusaha mendorong tubuh pria itu lalu dengan sengaja mencakar tangannya.Pukulan demi pukulan Aya layangkan ke tubuh pria itu berharap ia bisa melepaskan diri. Namun tindakan yang Aya lakukan tidak memberi pengaruh apa-apa. Pria itu malah semakin erat memeluk Aya lantas menghujani pipi dan lehernya dengan ciuman penuh nafsu.“Tolong! Tolong jangan, Tuan!” seru Aya sekuat tenaga kala jemari tangan pria mabuk itu dengan lancang membuka satu per satu kancing piyama tidurnya kemudian melemparkannya ke lantai.Aya masih berusaha untuk menyelamatkan diri dari pria itu dengan cara menggigit telinganya, tapi tak juga berhasil. Di bawah pengaruh alkohol, pria itu jadi semakin hilang kendali. Tenaganya pun seolah bertambah dua kali lipat sehingga ia dengan mudah menghalau perlawanan yang Aya berikan.Air mata dengan cepat membasahi wajahnya saat pria yang ada di atasnya telah melucuti semua pakaiannya. Tak menghiraukan tangisan Aya, pria itu menyusuri setiap inci tubuh mulus gadis yang ada di bawahnya. Hasratnya begitu menggebu-gebu membuat adrenalin dalam tubuhnya tidak terkontrol.Sementara Aya tak bisa melakukan apa-apa lagi. Bergerak pun sudah sangat susah karena ia sedang menahan rasa sakit pada tubuh bagian bawahnya.Erangan penuh kenikmatan keluar dari mulut pria itu. Ia terus melakukan gerakan yang nyaris membuat nafas Aya berhenti. Entah berapa kali hingga gadis itu tertidur saking lelahnya.“Aku mencintaimu.” Ucap sang pria ketika mengakhiri permainannya dengan Aya.Tidak berselang lama, pria itu juga ikut tertidur di sampingnya. Rasanya begitu puas dan lega telah mengeluarkan apa yang selama ini ia pendam. Tubuhnya terasa ringan dengan deru nafas yang kembali normal.** Sambil memegang kepalanya yang terasa berat dan pusing, pria itu terbangun dengan sendirinya tepat di pukul empat pagi. Alarm tubuhnya secara spontan bekerja membangunkannya, tidak peduli kemarin ia baru saja mabuk.“Apa yang terjadi?” desisnya tidak percaya saat menoleh dan melihat seorang wanita tidur di sampingnya. Ia menghela nafas panjang saat menyingkap selimut yang menutupi tubuh wanita itu.Tidak memakai sehelai benang pun, ia sudah bisa memastikan apa yang terjadi semalam. Kebodohan yang ia lakukan saat mabuk kemarin. Sejenak ia menatap wajah Aya yang masih tertidur dengan pulas lalu perlahan turun dari atas tempat tidur lantas mengenakan pakaian dengan cepat.Ia kembali dibuat terkejut saat netranya tak sengaja melihat kartu tanda pengenal yang berada di atas meja kecil yang ada di samping kasur. Kartu tanda pengenal yang sama dengan milik karyawan perusahaannya.Sementara Aya baru terbangun pukul delapan pagi. Itu juga karena ponsel miliknya yang tak berhenti berdering. Dengan lemah ia meraih ponselnya.“Maaf saya gak enak badan, Pak. Gak apa-apa kan saya agak siangan ke kantor?” Aya minta izin ke atasannya.“Kalau kamu sakit, gak usah masuk kerja.”“Gak apa-apa, Pak,” sahut Aya dengan suara sedikit serak kemudian mengakhiri panggilan itu.Semua badannya terasa sakit apalagi tubuh bagian bawahnya. Aya mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar dan tak menemukan siapa-siapa di dalam kamarnya.“Aku tidak bermimpi, kan?” Aya bingung karena ia masih mengenakan pakaian tidurnya. Padahal seingatnya kemarin pria itu sudah melucuti pakaiannya dan melakukan hal yang tidak seharusnya.Menopang kepalanya dengan kedua tangan, Aya menghela nafas panjang. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang, tapi ia yakin kalau kejadian kemarin bukan hanya mimpi. Samar-samar hidungnya mencium aroma parfum maskulin dari bantal kepala yang baru saja ia raih. Tapi ia benar-benar sulit mengingat wajah pria itu.Tepat pukul sepuluh pagi, supir kantor menjemputnya ke hotel. Sebelumnya Aya sudah meminta supir kantor untuk membawakan beberapa berkas nasabah yang akan ia tinjau hari ini.“Kita balik ke kantor kan, Mbak?” tanya supir kantor begitu Aya selesai meninjau usaha calon nasabahnya.“Iya, Mas. Lanjut nanti sore aja,” sahut Aya duduk dengan hati-hati.“Oke, Mbak. Soalnya mobil mau dipakai sama bos.”Aya hanya mengangguk kecil. Pikirannya masih tak karuan mengingat kejadian malam itu.Baru saja turun dari mobil, ia langsung dicegat oleh Satrio yang memintanya untuk ikut makan siang. Ia sedikit kaget dengan kedatangan Satrio, pimpinan utama kantornya siang ini. Diminta langsung oleh pimpinan utama, jelas membuat Aya tidak bisa menolak. Ia kembali masuk ke dalam mobil, lantas mengekor mobil Satrio yang telah lebih dahulu berjalan. Setiba di salah satu rumah makan, Aya menunggu Satrio lebih dulu turun dari mobilnya.Beberapa menit kemudian, Aya turun dan menyusul atasannya ke dalam. Duduk bersama di salah satu meja, membuat Aya tidak banyak bicara. Jujur saja ia merasa segan berada satu meja dengan atasannya.“Jadi, Aya, kantor cabang utama meminta kamu untuk pindah ke sana,” ucap Satrio membuat Aya terkejut.Hari ini Aya resmi pindah ke cabang utama. Badannya masih terasa lelah akibat perjalanan darat yang cukup lama, tapi ia tidak mungkin untuk izin karena ini adalah hari pertamanya bekerja.Selesai memarkirkan motornya, ia bersiap untuk masuk.“Semoga hari ini baik-baik saja,” doa Aya dalam hati.Baru saja hendak melangkah masuk ke dalam kantor, ia bertemu tatap dengan seorang pria yang sedari tadi berdiri di depan pintu masuk. Pria itu menatap Aya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan seksama. Awalnya Aya berniat untuk menyapa, tapi karena ekspresi wajah pria itu sangat dingin, niat itu Aya urungkan.Dengan kepala sedikit menunduk, gadis itu melangkah masuk.Agenda rutin pagi ini adalah pengarahan dari manajemen. Kegiatan yang cukup membosankan tapi harus tetap dilakukan. Sepanjang pengarahan berlangsung, Aya terus menatap ke arah layar besar yang menyajikan data kinerja kantor cabangnya. “Ada yang ingin disampaikan, Pak Eric?” tanya moderator untuk yang kedua kalinya.Tanpa koma
Aya berbalik dan mengerutkan kening menatap Farah. Ia heran mengapa anak perempuan itu memanggilnya dengan sebutan mama. Aya kemudian memutar kepalanya ke kiri dan kanan, melihat ke sekelilingnya. Sejauh yang ia lihat tidak ada orang selain mereka di tempat itu.. Sudah pasti telinganyatidak salah dengar dengan apa yang anak kecil itu ucapkan. Ucapan yang tertuju untuknya.“Maaf, Mbak. Saya Ajeng, Omanya Farah,” ucap Ajeng memperkenalkan diri sambil menghampiri mereka berdua.Aya tersenyum menatap Ajeng sambil menyebutkan namanya.“Ayo sama Oma ya,” bujuk Ajeng mencoba melepaskan tangan Farah yang erat menggenggam tangan Aya.“Sudah. Gak apa-apa, Bu,” ucap Aya tidak tega melihat Farah yang tampak manyun.“Ini Mama kan, Oma?” Pertanyaan Farah membuat Aya dan Ajeng saling berpandangan bingung. Terlebih Aya.Tidak ingin membuat Farah menangis di tempat umum, Ajeng kemudian meminta tolong pada Aya untuk mengajak Farah ke toko mainan. Tentunya ia tetap mengikuti di belakang sambil menghubun
“Astaga. Apa-apa ini?.” Aya terbangun dengan nafas ngos-ngosan. Keringat terlihat mengalir membasahi tubuhnya, padahal pendingin ruangan di kamarnya berada dalam suhu sejuk. Tangannya meraih ikat rambut yang ada di atas meja, lantas ia beranjak dari atas kasur dan berjalan keluar kamar. Terdengar suara-suara dari arah dapur."Tumben kamu cepet bangun, Ay?" Mama yang sedang menyiapkan masakan di dapur heran melihat anak perempuannya sudah bangun di jam lima pagi ini. Biasanya Aya akan bangun kalau sudah mepet-meper waktu. "Mimpi buruk," lirih Aya menopang dagunya.Mendengar ucapan Aya, Mama menghentikan aktivitasnya kemudian mendekat. Ia jadi penasaran ingin tahu seburuk apa mimpi yang anaknya alami."Jangan diam aja dong, Ay. Mama juga mau dengar cerita mimpi buruk kamu itu," ucap Mama memaksa Aya yang dari tadi diam saja saat Mama bertanya."Ya mimpi buruk, Ma. Tempatnya gelap gitu, gak jelas," ucap Aya asal. Ia tidak mungkin menceritakan mimpinya secara gamblang pada Mama.Mimpi ya
Hari ini sudah hampir sepuluh hari, Farah dan Ajeng berada di kota tempat Eric bekerja. Itu artinya sebentar lagi mereka harus segera kembali ke Jakarta, karena Farah yang akan kembali masuk sekolah setelah libur dua minggu. Selama bekerja di luar kota Jakarta, Eric memang tidak membawa Farah untuk ikut dengannya. Sebaliknya Eric yang rutin akan pulang menemui anak perempuannya.“Jadi mau pulang hari apa, Ma?” tanya Eric yang mulai mencari-cari tiket pesawat di salah satu aplikasi online.“Lusa mungkin, Ric. Biar Farah sempat istirahat sebelum balik sekolah,” sahut Ajeng. Saat ini mereka sedang bersantai sambil menonton TV setelah selesai makan malam.“Papa,” ujar Farah beringsut mendekati Eric. Ia duduk di samping Papanya dan menatap.Perasaan Eric tiba-tiba saja tidak enak. Melihat tatapan Farah yang sepertinya menginginkan sesuatu.“Farah mau sekolah di sini aja, boleh kan?”Eric dan Ajeng saling menatap kaget saat mendengar permintaan Farah itu. Ajeng lantas mendekat dan mengelus r
Mumpung akhir pekan dan tidak ada kegiatan, Aya memilih untuk bermalas-malasan dibalik selimut hingga jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Sedikit berat membuka mata, gadis itu meraih ponsel yang ia letakkan di meja samping kasurnya. Panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal."Siapa ini ya?" tanya Aya bingung melihat panggilan masuk itu lantas membiarkannya hingga panggilan itu mati dengan sendirinya.Aya kemudian mengecek ponselnya. Keningnya berkerut melihat ada banyak panggilan tak terjawab dari nomor yang sama.+628xxxxAngkat. Ini Eric.Matanya melotot membaca pesan yang masuk itu. Beberapa detik setelah Aya membaca pesan itu, panggilan dari nomor yang sama kembali masuk.“Iya, P-pak,” ucap Aya menampilkan ponsel itu di telinga kirinya.“Tunggu.”Aya kaget melihat layar ponselnya berubah menjadi panggilan video dan ada satu nomor tidak dikenal yang bergabung.“Halo, Tante mama,” suara Farah begitu girang saat melihat wajah Aya di layar ponsel Ajeng
Setelah mendapatkan jadwalnya yang kosong, siang ini Eric berangkat menuju Jakarta untuk menjemput serta mengurus kepindahan sekolah Farah ke kota tempat ia bekerja. Meski belum siap dengan segala konsekuensi yang akan muncul saat Farah tinggal bersamanya nanti, Eric mau tak mau menuruti permintaan putrinya itu. Itu semua karena Ajeng yang hampir kehabisan akal membujuk Farah setiap hendak pergi sekolah. Gadis kecil itu memainkan dramanya yang nyaris membuat penyakit jantung omanya kumat.Eric sendiri tak bisa berlama-lama di Jakarta. Ia hanya punya tiga hari untuk mengurus itu semua dan harus segera kembali. Sekretarisnya sudah mulai mengirimkan jadwal pekerjaan yang harus ia lakukan nanti.“Farah jangan buat Papa repot di sana ya,” pesan Ajeng mengantar cucunya.“Iya, Oma.” Farah memeluk Ajeng erat.“Tunggu Tante Tari libur kuliah ya. Nanti Tante pasti ke sana,” ucap Tari gantian memeluk keponakannya itu. Tari adalah adik perempuan Eric dengan beda usia hampir tujuh tahun. Saat ini
Baru kali ini Aya melihat foto orang yang sangat mirip dengannya. Aya mengambil foto yang ada di tangan Farah kemudian mengamatinya."Tunggu," gumam Aya dalam hati. Netranya lebih jeli lagi melihat foto itu. Ia sangat yakin kalau foto yang Farah tunjukkan itu adalah foto dirinya, bukan foto ibunya Farah. Di Foto itu jelas terlihat Aya berfoto dengan latar belakang kantornya lama, sebelum dipindah ke cabang utama."Wajah mama Farah sama kan seperti wajah Tante," ucap Farah lagi. Anak itu seperti ingin minta pengakuan dari Aya. Tak ingin mengecewakan Farah, Aya mengiyakan saja ucapan Farah. Dengan wajah penuh senyum Aya menganggukan kepala. Padahal ia sendiri belum pernah melihat foto mamanya Farah. Tapi ia jadi penasaran, foto yang ada di laci kerja Eric itu didapatnya dari mana.Hingga menjelang siang, Eric juga belum kembali. Baik Farah maupun Aya sudah mulai bosan menunggu di dalam ruangan. Aya lantas mengajak Farah keluar."Pak Eric belum balik juga, Vi? Sudah mau jam makan siang,"
Sekitar jam setengah tujuh pagi, Eric dan Farah sudah tiba di sekolah. Suasana sekolah masih sepi, hanya ada beberapa guru dan murid yang datang. Sambil menunggu kepala sekolah, Eric mengamati keadaan lingkungan sekolah sementara Farah duduk menatap ke arah kantin yang berada tepat di depannya."Loh itu kan mobilnya Pak Eric?" gumam Aya masuk ke halaman sekolah karena hari ini Mama minta antar. Terlalu serius memperhatikan Eric dan Farah yang masuk ke salah satu ruangan, ia sampai tidak membantu mama mengangkat wadah-wadah makanannya ke dalam kantin.“Lihat apa sih kamu? Sampai gak bantuin, Mama?” sergah Mama membuat Aya mengalihkan pandangan.“Maaf, Ma,” ucap Aya nyengir.Setelah pamit, Aya bergegas meninggalkan sekolah dan menuju kantor. Bekerja seperti biasanya, Aya kaget saat Wisnu datang dan memberikan selembar kertas. Gadis itu semakin kaget saat membaca isi kertas yang Wisnu bawa. Tertulis kalau Aya mulai hari ini sudah pindah unit, ke bagian HRD bersama dengan Wisnu.“Yang be