Setelah hampir dua minggu, siang ini Ajeng dan Tari akan balik ke Jakarta. Setelah menjemput Farah di sekolah mereka menyempatkan untuk makan siang dulu sebelum menuju bandara. Tentunya Aya juga ikut mengantar atas permintaan Farah. Ajeng dan Tari yang duduknya bersebelahan saling melirik saat Eric meletakkan potongan ikan yang durinya sudah ia bersihkan."Pak Eric gak usah repot-repot," kata Aya merasa kikuk dengan perlakuan Eric di depan Ajeng dan Tari."Biar kamu tinggal makan," sahut Eric cuek tidak menghiraukan Ajeng yang berdehem.Tidak berani mengangkat wajahnya Aya cepat menghabiskan makanannya. Begitu selesai makan, ia membawa Farah yang minta ditemani untuk cuci tangan."Perhatian banget kamu sama Aya?" celetuk Ajeng."Biasa aja.""Biasa aja gimana? Mama lihatnya beda," lanjut Ajeng."Tari juga lihatnya beda. Udah lah, Mas, daripada kelamaan Mas Eric langsung nikahin aja Mbak Aya," kata Tari ikut mengompori."Tuh liat Mbak Aya lagi ngomong sama cowok," lanjut Tari membuat Er
“Tapi Pak Eric juga harus ingat, saya melakukan ini semua karena Farah,” kata Aya membuat senyum di wajah Eric sedikit memudar.“Ya. Tidak masalah,” sahut Eric enteng.Ucapan Aya barusan jujur saja cukup mengganggunya tapi ia berusaha untuk tidak memikirkan. Ia yakin nantinya Aya juga akan memiliki perasaan yang sama dengannya.Mobil yang Eric kemudikan kemudian menepi di sebuah tempat makan pinggir jalan. Pria itu kemudian mengajak Aya untuk turun. Memesan dua porsi ayam bakar, mereka lantas duduk lesehan sambil menunggu makanan mereka datang."Farah gak apa-apa Pak Eric tinggal?" tanya Farah yang ingat kalau Bu Sri bekerja hanya sampai sore."Ada Bu Sri yang jagain," sahut Eric, "kalau di luar kantor bisa gak sih kamu jangan panggil aku pak," lanjut Eric."Kan Pak Eric memang Bapak, lalu saya harus panggil apa?"Belum sempat menjawab, terdengar suara orang memanggil nama Aya membuat mereka berdua reflek menoleh."Pak Eric," sapa orang yang memanggil Aya tadi agak sungkan. Mereka ada
Mendapatkan kabar kalau adiknya masuk rumah sakit lagi, tengah malam Mama membangunkan Aya untuk mencarikan tiket pesawat besok pagi. Dengan mata yang menahan kantuk gadis itu meraih ponselnya dan mencarikan tiket untuk Mama.“Ada nih, Ma. Pesawat jam lima pagi ya,” kata Aya menunjukkannya pada Mama.“Itu aja, Ay. Kamu gak apa-apa kan Mama tinggal lagi?”“Gak apa-apa, Ma,” sahut Aya tersenyum kemudian mengirimkannya kode booking pesawat pada Mama.Membantu Mama merapikan baju-baju yang akan dibawanya, Aya memilih untuk tidur di kamar Mama. Tentunya dengan memasang alarm diponselnya.Berbalut sweater oversize Aya mengantarkan Mama ke bandara tepat pukul empat pagi. Bandara masih tampak sunyi mereka tiba di sana.“Hati-hati ya, Ma. Kabar-kabarin kalau ada apa-apa,” kata Aya memeluk Mama setelah selesai check in.“Kamu juga hati-hati, Ay. Mama masuk dulu.” Mama melepaskan pelukan Aya dan berjalan masuk. Aya bisa memaklumi Mama yang begitu khawatir dengan keadaan adik satu-satunya itu.Se
Eric langsung keluar dari mobilnya saat Aya sudah berada di depan mobilnya. Pria itu terlihat masih lengkap mengenakan baju kerjanya. Sepertinya ia belum pulang ke rumah.“Mama gak ada di rumahnya ya? Dari tadi gak ada yang buka pintu waktu aku ketuk,” kata Eric mengiringi langkah Aya berjalan masuk.“Mama lagi ke rumah saudara. Pak Eric ngapain lagi ke sini? Farah gimana di rumah?" Aya memutar gagang pintu."Oh. Kamu tadi sama siapa? Wisnu?""Iya, Pak." Aya berdiri di depan pintu yang telah terbuka tapi tidak mempersilahkan Eric untuk masuk."Aku pikir Mama ada di rumah, makanya aku langsung ke sini. Maaf ya kamu jadi pulang sama Wisnu tadi," kata Eric terlihat sedikit gugup."Gak apa-apa, Pak.""Aku boleh masuk?" tanya Eric.Aya menatap Eric beberapa detik lantas mundur beberapa langkah seraya mempersilahkan pria itu masuk."Pak Eric mau minum apa?" tanya Aya memecah keheningan di antara mereka berdua. Entah kenapa Aya jadi merasa canggung berada berdua seperti ini."Kopi aja," sahu
Gadis itu langsung nyelonong masuk ke ruangan Eric. Dengan langkah terburu-buru Aya menghampiri Eric yang terlihat serius berbicara di telepon. Gadis itu menatap Eric tajam dengan tangan terlipat di dada. Ditatap seperti itu oleh Aya membuat Eric tidak konsen lantas memutuskan untuk mengakhiri panggilannya."Ketuk dulu kalau mau masuk," kata Eric sembari meletakkan ponselnya di atas."Kenapa? Gak boleh saya langsung masuk?!" Aya emosi dengan mata melotot."Buat kamu selalu boleh, Sayang," sahut Eric dengan suara lembut membuat Aya bergidik geli."Pak Eric ngapain bilang sama Wisnu masalah cincin ini?" tanya Aya sambil menunjukkan tangannya yang di salah satu jarinya terpasang cincin."Biar Wisnu tahu kalau kamu sudah ada yang punya, jadi dia bisa jaga jarak," sahut Eric tersenyum meraih tangan Aya lantas menciumnya.Aya spontan menarik tangannya saat terdengar suara Via dari depan pintu."Maaf, Pak." Via lantas menutup pintu itu lagi.Menatap Eric dengan wajah kesal, Aya berusaha mel
Khawatir Aya kenapa-kenapa, Eric cepat menyusulnya keluar. Gadis itu ternyata masuk ke dalam toilet yang menyebabkan terhenti tidak bisa ikut masuk ke dalam. Beberapa karyawan wanita yang keluar dari toilet kaget melihat Eric mondar mandir di depan toilet wanita.“Itu, Aya ngapain di dalam?” tanya Eric dengan wajah cemas. “Sebentar saya tanya dulu, Pak.”Wanita itu masuk dan memanggil nama Aya. Ia segera mendekat ke bilik nomor dua tempat dimana suara Aya terdengar."Kenapa?" tanya Aya membuka pintu bilik itu sedikit."Itu Pak Eric nyariin," ucap wanita itu."Bilang aja aku sakit perut," sahut Aya cepat. Netranya yang tidak sengaja melihat bungkusan yang wanita itu, lantas memintanya satu."Oh kamu lagi dapat tamu bulanan ya," ucap wanita itu sambil memberikan satu benda yang terbungkus plastik."Makasih ya," sahut Aya menerima benda itu kemudian menutup pintu.Berjalan keluar menemui Eric, wanita tadi menyampaikan pesan sesuai dengan permintaan Aya. Meski telah mendapatkan jawaban,
Eric akhirnya menyerah. Berkali-kali ia membujuk Aya untuk mengecek kondisi perutnya ke dokter tapi gadis itu tetap kekeh menolak. Ia bahkan mengancam Eric akan turun dari mobil kalau pria itu masih tetap memaksanya.“Kamu istirahat aja. Kalau perut kamu masih sakit, besok gak usah masuk kerja aja,” ucap Eric menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Aya.“Makasih banyak, Pak,” sahut Aya membuka sabuk pengaman.“Kalau kamu ada apa, cepat kabarin aku ya,” ucap Eric meraih tangan Aya sebelum gadis itu turun dari mobil.Aya mengangguk sambil tersenyum kecil. Begitu Aya hilang di balik pintu, Eric memacu laju mobilnya meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan menuju rumah, ia terus berpikir apa sebenarnya yang terjadi pada Aya. Kenapa gadis itu tidak mau memeriksakan dirinya ke dokter, padahal ia tahu kalau sedang sakit.Sementara itu, Aya yang baru saja selesai membersihkan diri langsung berbaring meringkuk di atas tempat tidur. Hingga rasa sakit itu hilang, Aya kemudian bangun dan membu
Mendengar ucapan yang keluar dari mulut Farah rasanya membuat hati Aya teriris.Bagaimana ia bisa mewujudkan keinginan Farah kalau kesehatannya saja seperti ini. Gadis itu mendongakkan kepala, memandang ke atas langit-langit rumah Eric, berusaha menahan air matanya yang hampir saja tumpah. Cukup lama mereka berada di situ, hingga akhirnya Aya mengajak Farah untuk tidur saat melihat gadis kecil itu menguap."Makasih ya Mama Aya sudah nemenin Farah ngerjain PR," kata Farah membawa tas miliknya."Sama-sama cantik," sahut Aya mengelus rambut Farah dan menuntunnya ke dalam kamar.Meletakkan tas sekolahnya di atas meja belajar, Aya lantas menemani Farah hingga gadis kecil itu tertidur. Aya masih asyik mengelus-elus lembut tangan Farah ketika Eric masuk secara perlahan."Farah sudah tidur, Pak. Kalau Pak Eric mau balik ke kantor, balik aja, Pak. Saya bisa pulang sendiri," ucap Aya beranjak pelan dari tepi tempat tidur."Aku lagi malas ke kantor" kata Eric seraya berjalan mendekati Aya."Kalau