Share

Mengantar Pulang

Elmira menangis sejadinya, kini dia benar-benar sudah tidak memiliki siapapun lagi selain suami yang tidak menginginkan dirinya. Hatinya hancur, air mata kesedihan, kekesalan dan amarah menjadi satu. Dia merasa Tuhan sedang menghukumnya.

“Semua salahku, sekarang aku bahkan tidak akan pernah bertemu dengannya lagi,” lirih Elmira seraya menghapus air matanya.

“Kamu tidak perlu menyalahkan diri sendiri, semua sudah menjadi takdir dari yang Maha Kuasa.”

“Refan, tolong antarkan aku pulang. Aku ingin melihat Ayah untuk terakhir kalinya.”

“Dokter memintamu untuk istirahat, kamu kekurangan banyak cairan dan darahmu rendah.”

“Kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan termasuk menjadikan pernikahan ini hanya sebuah hitam di atas putih. Apakah mengantarkan aku pulang saja begitu sulit bagimu?”

Refan tidak menjawab pertanyaan Elmira, dia beranjak dari tempat duduknya. Lalu meninggalkan kamar Elmira, entah apa yang dilakukannya di luar sana.

Tak berapa lama, dia kembali dengan seorang dokter muda. Dokter melakukan beberapa pemeriksaan, tetapi ekspresi wajahnya sudah memberikan jawaban.

“Saya akan pastikan dia baik-baik saja selama perjalanan dan setibanya di rumah.”

“Baiklah, saya akan izinkan pulang. Tapi setelah tiba di sana, segera lakukan pemeriksaan oleh dokter terdekat untuk memastikan kondisinya.”

Dokter meninggalkan ruangan, sementara itu perawat mengurus administrasi kepulangan Elmira.

“Aku sudah melakukan yang kamu inginkan, sekarang dengarkan aku. Kondisimu masih belum stabil, tolong jangan menyusahkanku selama di sana.”

“Aku tidak akan menyusahkanmu, bahkan seumur hidupku bersamamu. Sedikitpun aku tidak akan menyulitkanmu.”

Pernikahan macam apa ini? Seperti sebuah lelucon di negeri dongeng. Satu-satunya orang yang mau menampung Elmira saat ini hanya Refan. Lelaki yang sudah sah menjadi suaminya. Meskipun pernikahan ini tidak diinginkan oleh Refan, tapi rasa ibanya membuat dia terpaksa melanjutkan pernikahan.

Usai menyelesaikan urusan administrasi, akhirnya Elmira diperbolehkan pulang. Refan mengabarkan kepada keluarga di Bandung bahwa dia dengan Elmira menuju ke rumah. Berharap bahwa mereka akan menunggu kedatangan Elmira sebelum jenazah Gandi dikebumikan.

“Aku sudah memberitahu keluarga untuk menunggumu pulang sebelum ayahmu dikebumikan.”

“Terima kasih.”

Percakapan singkat itu tidak berlanjut lagi, keduanya saling diam sepanjang perjalanan. Perasaan Refan campur aduk saat itu, begitu juga dengan Elmira. Dia sendiri bingung dengan pernikahan yang akan keduanya jalani ke depan.

“Kamu bilang besok akan ada ujian sempro. Lalu, bagaimana? Apakah ada ujian susulan?” tanya Refan kembali mulai percakapan.

“Sejak kapan kamu tertarik dengan urusanku?”

“Aku hanya bertanya, bukankah kamu sangat berharap akan menyelesaikan kuliah tepat waktu.”

“Masih ada ujian di semester depan, aku ikut ujian nanti. Sementara aku mau ambil kerja part time agar ada kegiatan sambil menunggu.”

Refan hanya mengangguk sambil kembali fokus mengemudikan kendaraannya.

“Sekertarisku baru saja mengundurkan diri, sementara saat ini posisi itu sedang kosong. Kalau kamu mau, kamu bisa bekerja di sana untuk mengisi waktu luangmu.”

“Wah, benarkah? Itu ide yang bagus. Aku bisa bekerja untuk biaya kuliahku. Lagi pula, ayahku sudah tiada, jadi aku harus bekerja keras untuk kehidupanku.”

Refan melakukan rem dadakan mendengar pernyataan Elmira. Hal itu cukup membuat sang istri terkejut bercampur kesal. Terakhir kali dia melakukan hal ini justru mencelaki Elmira.

“Sebenarnya kamu bisa membawa mobil dengan benar atau tidak? Sebelumnya kamu sudah membuatku celaka, sekarang melakukan hal sama. Apakah kamu sengaja melakukan itu agar aku mati? Aku tahu kamu tidak mau menikah denganku, tapi tidak perlu melampiaskan segalanya seperti ini.”

“Aku tidak sengaja melakukannya, lagi pula kenapa kamu bicara seperti tadi? Aku menawarkan pekerjaan karena kamu bicara ingin bekerja bukan berarti untuk membiayai kehidupanmu.”

“Refan dengar, aku tahu kamu tidak mau menikah denganku, jadi biarkan aku hidup dengan caraku. Bukankah pernikahan kita hitam di atas putih? Jadi, sah saja kalau aku melakukan itu.”

Entah jenis makhluk hidup apa yang sedang bersama dengannya saat itu. Di luar sana banyak wanita menawarkan diri untuk dinikahi karena uang yang dimilikinya. Akan tetapi, Elmira justru sebaliknya. Dia tidak mau menikmati fasilitasnya, tapi juga tidak mundur dari pernikahan.

Refan sengaja membuat perjanjian pernikahan agar Elmira mundur. Bahkan dia dengan jujur mengatakan bahwa hatinya sudah mati bersama kepergian istrinya. Meskipun dia sendiri tidak mengharapkan pernikahan ini, tetapi tidak ada kalimat yang mengatakan bahwa dirinya mundur.

“Wanita aneh, sudah jelas bahwa aku tidak akan menerima siapapun setelah istriku pergi. Dia masih saja bertahan tanpa kutahu alasan gilanya,” batin Refan.

“Kenapa menatapku begitu? Fokus saja menyetir, jangan sampai aku terluka lagi karena ulahmu.”

“Sudah kukatakan bahwa itu bukan unsur kesengajaan, masih saja kamu bahas. Lagi pula, aku sudah bertanggung jawab membawamu ke rumah sakit. Kamu saja yang memaksa pulang.”

“Kalau ayahku tidak meninggal, aku juga tidak akan pulang. Aku pasti kembali ke Jakarta untuk melaksanakan ujian besok.”

Keduanya kembali adu mulut, tidak ada yang mau mengalah. Refan dengan egonya, Elmira dengan keras hatinya. Hingga keduanya tiba di rumah.

Semua orang menyambut kedatangan mereka, khawatir terjadi sesuatu lagi. Apalagi Refan mengabarkan Elmira masih belum pulih dan harus menggunakan infus.

Melihat Elmira keluar dari mobil sambil memegang selang infus, mereka segera membantu Elmira. Dia meminta bertemu dengan jenazah ayahnya.

“Ayah, ini Elmira. Maafkan Elmira karena marah pada ayah semalam. Aku tidak menyangka bahwa ayah akan pergi secepat ini,” lirih Elmira seraya menyentuh wajah sang ayah yang sengaja dibuka terlebih dulu.

“Aku datang untuk mengantarkan ayah pulang, sampaikan rinduku pada bunda. Ayah sekarang bisa bertemu dengan bunda seperti yang ayah inginkan,” lanjutnya.

Tangisnya pecah, tetapi Elmira berusaha kuat agar tidak menyakiti ayahnya. Usai mengucapkan salam perpisahan. Mereka meminta izin membawa jenazah Gandi ke mushola untuk disholatkan.

Usai disholatkan, mereka mengiring jenazah menuju pemakaman. Suasana tampak riuh dan pilu. Tidak henti-hentinya Elmira menangis, mengingat kini sudah menjadi yatim piatu. Semua orang tampak terpukul akan kepergian Gandi.

“Ayah, Elmira ikut pulang. Jangan tinggalkan Elmira sendirian Ayah, Elmira mohon. Bawa Elmira pergi, Ayah,” tangis Elmira mencoba menahan sang ayah saat akan dikebumikan.

Refan menahannya, dia mencoba menenangkan sang istri. Tangis kepedihan mengiringi jalannya prosesi pemakaman.

“Sudah, ikhlaskan kepergian ayahmu. Jangan membuatnya berat karena tangisanmu. Ayo! Kamu harus istirahat, darahnya naik ke selang infus. Kamu terlalu banyak bergerak.”

Refan membawa Elmira pergi dari pemakaman bahkan sebelum prosesinya selesai. Keadaan Elmira semakin tidak stabil dan menghambat proses. Khawatir semakin memberatkan ayahnya, Pak Kiaya meminta Refan membawa Elmira pulang.

“Aku sudah panggil dokter untuk cek kondisimu, tubuhmu belum pulih. Jangan menyiksa diri seperti ini.”

“Aku baik-baik saja, aku tidak akan menyulitkanmu. Kamu jangan khawatir dan tidak perlu repot-repot mencari dokter untukku.”

“Istiratlah, sebentar lagi dokter akan datang.”

Tak ada jawaban, Elmira masih terpukul dengan kepergian ayahnya. Bahkan saat dokter tiba, dia tidak mengatakan apapun. Tubuhnya terasa lemas, tak ada gairah untuk melanjutkan hidup.

“Kamu belum makan, aku bawakan sup untukmu. Ayo dimakan, setelah ini kamu minum obat.”

Elmira tidak menggubrisnya, dia masih dengan lamunannya. Mengingat akan nasib malangnya. Kini, tak ada seorangpun yang akan memanjakan dia seperti ayahnya. Dering ponsel Refan membuyarkan lamunan Elmira.

Seorang gadis cantik menampakkan wajahnya di hadapan kamera dengan senyum ceria. Tampak bahagia ketika melihat Refan tersenyum padanya.

“Ayah, Ayah di mana? Kata Oma Ayah sedang ada pekerjaan, t-tapi kenapa gak pulang-pulang. Aku mau ikut, semalam adik menangis, sepertinya adik juga rindu dengan Ayah.”

“Ayah juga rindu kalian sayang, nanti kalau urusan Ayah sudah selesai pasti segera pulang.”

“Baiklah Ayah, see you, I love you.”

“Love you more.”

Refan menutup panggilan dengan gugup, dia tahu bahwa Elmira akan terkejut. Bahwa dirinya sudah memiliki dua orang anak dari mendiang istrinya. Hal itulah yang kemudian menjadi pertimbangan Refan tidak menikah, khawatir istrinya tidak bisa menerima kedua anaknya.

“Anakmu, ya? Pulanglah, mereka pasti mencarimu, aku akan di sini dulu sampai hari ketujuh ayah.”

“Ya, dia anakku. Maaf sebelumnya aku tidak memberitahu hal ini.”

“Aku sudah tahu.”

“Hah! T-tapi...”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status