Elmira menangis sejadinya, kini dia benar-benar sudah tidak memiliki siapapun lagi selain suami yang tidak menginginkan dirinya. Hatinya hancur, air mata kesedihan, kekesalan dan amarah menjadi satu. Dia merasa Tuhan sedang menghukumnya.
“Semua salahku, sekarang aku bahkan tidak akan pernah bertemu dengannya lagi,” lirih Elmira seraya menghapus air matanya. “Kamu tidak perlu menyalahkan diri sendiri, semua sudah menjadi takdir dari yang Maha Kuasa.” “Refan, tolong antarkan aku pulang. Aku ingin melihat Ayah untuk terakhir kalinya.” “Dokter memintamu untuk istirahat, kamu kekurangan banyak cairan dan darahmu rendah.” “Kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan termasuk menjadikan pernikahan ini hanya sebuah hitam di atas putih. Apakah mengantarkan aku pulang saja begitu sulit bagimu?” Refan tidak menjawab pertanyaan Elmira, dia beranjak dari tempat duduknya. Lalu meninggalkan kamar Elmira, entah apa yang dilakukannya di luar sana. Tak berapa lama, dia kembali dengan seorang dokter muda. Dokter melakukan beberapa pemeriksaan, tetapi ekspresi wajahnya sudah memberikan jawaban. “Saya akan pastikan dia baik-baik saja selama perjalanan dan setibanya di rumah.” “Baiklah, saya akan izinkan pulang. Tapi setelah tiba di sana, segera lakukan pemeriksaan oleh dokter terdekat untuk memastikan kondisinya.” Dokter meninggalkan ruangan, sementara itu perawat mengurus administrasi kepulangan Elmira. “Aku sudah melakukan yang kamu inginkan, sekarang dengarkan aku. Kondisimu masih belum stabil, tolong jangan menyusahkanku selama di sana.” “Aku tidak akan menyusahkanmu, bahkan seumur hidupku bersamamu. Sedikitpun aku tidak akan menyulitkanmu.” Pernikahan macam apa ini? Seperti sebuah lelucon di negeri dongeng. Satu-satunya orang yang mau menampung Elmira saat ini hanya Refan. Lelaki yang sudah sah menjadi suaminya. Meskipun pernikahan ini tidak diinginkan oleh Refan, tapi rasa ibanya membuat dia terpaksa melanjutkan pernikahan. Usai menyelesaikan urusan administrasi, akhirnya Elmira diperbolehkan pulang. Refan mengabarkan kepada keluarga di Bandung bahwa dia dengan Elmira menuju ke rumah. Berharap bahwa mereka akan menunggu kedatangan Elmira sebelum jenazah Gandi dikebumikan. “Aku sudah memberitahu keluarga untuk menunggumu pulang sebelum ayahmu dikebumikan.” “Terima kasih.” Percakapan singkat itu tidak berlanjut lagi, keduanya saling diam sepanjang perjalanan. Perasaan Refan campur aduk saat itu, begitu juga dengan Elmira. Dia sendiri bingung dengan pernikahan yang akan keduanya jalani ke depan. “Kamu bilang besok akan ada ujian sempro. Lalu, bagaimana? Apakah ada ujian susulan?” tanya Refan kembali mulai percakapan. “Sejak kapan kamu tertarik dengan urusanku?” “Aku hanya bertanya, bukankah kamu sangat berharap akan menyelesaikan kuliah tepat waktu.” “Masih ada ujian di semester depan, aku ikut ujian nanti. Sementara aku mau ambil kerja part time agar ada kegiatan sambil menunggu.” Refan hanya mengangguk sambil kembali fokus mengemudikan kendaraannya. “Sekertarisku baru saja mengundurkan diri, sementara saat ini posisi itu sedang kosong. Kalau kamu mau, kamu bisa bekerja di sana untuk mengisi waktu luangmu.” “Wah, benarkah? Itu ide yang bagus. Aku bisa bekerja untuk biaya kuliahku. Lagi pula, ayahku sudah tiada, jadi aku harus bekerja keras untuk kehidupanku.” Refan melakukan rem dadakan mendengar pernyataan Elmira. Hal itu cukup membuat sang istri terkejut bercampur kesal. Terakhir kali dia melakukan hal ini justru mencelaki Elmira. “Sebenarnya kamu bisa membawa mobil dengan benar atau tidak? Sebelumnya kamu sudah membuatku celaka, sekarang melakukan hal sama. Apakah kamu sengaja melakukan itu agar aku mati? Aku tahu kamu tidak mau menikah denganku, tapi tidak perlu melampiaskan segalanya seperti ini.” “Aku tidak sengaja melakukannya, lagi pula kenapa kamu bicara seperti tadi? Aku menawarkan pekerjaan karena kamu bicara ingin bekerja bukan berarti untuk membiayai kehidupanmu.” “Refan dengar, aku tahu kamu tidak mau menikah denganku, jadi biarkan aku hidup dengan caraku. Bukankah pernikahan kita hitam di atas putih? Jadi, sah saja kalau aku melakukan itu.” Entah jenis makhluk hidup apa yang sedang bersama dengannya saat itu. Di luar sana banyak wanita menawarkan diri untuk dinikahi karena uang yang dimilikinya. Akan tetapi, Elmira justru sebaliknya. Dia tidak mau menikmati fasilitasnya, tapi juga tidak mundur dari pernikahan. Refan sengaja membuat perjanjian pernikahan agar Elmira mundur. Bahkan dia dengan jujur mengatakan bahwa hatinya sudah mati bersama kepergian istrinya. Meskipun dia sendiri tidak mengharapkan pernikahan ini, tetapi tidak ada kalimat yang mengatakan bahwa dirinya mundur. “Wanita aneh, sudah jelas bahwa aku tidak akan menerima siapapun setelah istriku pergi. Dia masih saja bertahan tanpa kutahu alasan gilanya,” batin Refan. “Kenapa menatapku begitu? Fokus saja menyetir, jangan sampai aku terluka lagi karena ulahmu.” “Sudah kukatakan bahwa itu bukan unsur kesengajaan, masih saja kamu bahas. Lagi pula, aku sudah bertanggung jawab membawamu ke rumah sakit. Kamu saja yang memaksa pulang.” “Kalau ayahku tidak meninggal, aku juga tidak akan pulang. Aku pasti kembali ke Jakarta untuk melaksanakan ujian besok.” Keduanya kembali adu mulut, tidak ada yang mau mengalah. Refan dengan egonya, Elmira dengan keras hatinya. Hingga keduanya tiba di rumah. Semua orang menyambut kedatangan mereka, khawatir terjadi sesuatu lagi. Apalagi Refan mengabarkan Elmira masih belum pulih dan harus menggunakan infus. Melihat Elmira keluar dari mobil sambil memegang selang infus, mereka segera membantu Elmira. Dia meminta bertemu dengan jenazah ayahnya. “Ayah, ini Elmira. Maafkan Elmira karena marah pada ayah semalam. Aku tidak menyangka bahwa ayah akan pergi secepat ini,” lirih Elmira seraya menyentuh wajah sang ayah yang sengaja dibuka terlebih dulu. “Aku datang untuk mengantarkan ayah pulang, sampaikan rinduku pada bunda. Ayah sekarang bisa bertemu dengan bunda seperti yang ayah inginkan,” lanjutnya. Tangisnya pecah, tetapi Elmira berusaha kuat agar tidak menyakiti ayahnya. Usai mengucapkan salam perpisahan. Mereka meminta izin membawa jenazah Gandi ke mushola untuk disholatkan. Usai disholatkan, mereka mengiring jenazah menuju pemakaman. Suasana tampak riuh dan pilu. Tidak henti-hentinya Elmira menangis, mengingat kini sudah menjadi yatim piatu. Semua orang tampak terpukul akan kepergian Gandi. “Ayah, Elmira ikut pulang. Jangan tinggalkan Elmira sendirian Ayah, Elmira mohon. Bawa Elmira pergi, Ayah,” tangis Elmira mencoba menahan sang ayah saat akan dikebumikan. Refan menahannya, dia mencoba menenangkan sang istri. Tangis kepedihan mengiringi jalannya prosesi pemakaman. “Sudah, ikhlaskan kepergian ayahmu. Jangan membuatnya berat karena tangisanmu. Ayo! Kamu harus istirahat, darahnya naik ke selang infus. Kamu terlalu banyak bergerak.” Refan membawa Elmira pergi dari pemakaman bahkan sebelum prosesinya selesai. Keadaan Elmira semakin tidak stabil dan menghambat proses. Khawatir semakin memberatkan ayahnya, Pak Kiaya meminta Refan membawa Elmira pulang. “Aku sudah panggil dokter untuk cek kondisimu, tubuhmu belum pulih. Jangan menyiksa diri seperti ini.” “Aku baik-baik saja, aku tidak akan menyulitkanmu. Kamu jangan khawatir dan tidak perlu repot-repot mencari dokter untukku.” “Istiratlah, sebentar lagi dokter akan datang.” Tak ada jawaban, Elmira masih terpukul dengan kepergian ayahnya. Bahkan saat dokter tiba, dia tidak mengatakan apapun. Tubuhnya terasa lemas, tak ada gairah untuk melanjutkan hidup. “Kamu belum makan, aku bawakan sup untukmu. Ayo dimakan, setelah ini kamu minum obat.” Elmira tidak menggubrisnya, dia masih dengan lamunannya. Mengingat akan nasib malangnya. Kini, tak ada seorangpun yang akan memanjakan dia seperti ayahnya. Dering ponsel Refan membuyarkan lamunan Elmira. Seorang gadis cantik menampakkan wajahnya di hadapan kamera dengan senyum ceria. Tampak bahagia ketika melihat Refan tersenyum padanya. “Ayah, Ayah di mana? Kata Oma Ayah sedang ada pekerjaan, t-tapi kenapa gak pulang-pulang. Aku mau ikut, semalam adik menangis, sepertinya adik juga rindu dengan Ayah.” “Ayah juga rindu kalian sayang, nanti kalau urusan Ayah sudah selesai pasti segera pulang.” “Baiklah Ayah, see you, I love you.” “Love you more.” Refan menutup panggilan dengan gugup, dia tahu bahwa Elmira akan terkejut. Bahwa dirinya sudah memiliki dua orang anak dari mendiang istrinya. Hal itulah yang kemudian menjadi pertimbangan Refan tidak menikah, khawatir istrinya tidak bisa menerima kedua anaknya. “Anakmu, ya? Pulanglah, mereka pasti mencarimu, aku akan di sini dulu sampai hari ketujuh ayah.” “Ya, dia anakku. Maaf sebelumnya aku tidak memberitahu hal ini.” “Aku sudah tahu.” “Hah! T-tapi...”Refan sangat terkejut mendengar Elmira sudah mengetahui bahwa dirinya sudah memiliki dua orang anak. Padahal pernikahan mereka secara tiba-tiba tanpa ada perkenalan. Nyaris tidak mungkin jika dia tahu banyak mengenai dirinya.“Aku belum memberitahukanmu mengenai hal ini, bahkan kita belum sempat berbicara. Baik keluargaku ataupun keluargamu pasti juga belum menceritakan tentangku.”“Aku bukan anak kecil Refan, di semua media sosialmu semuanya bisa diketahui. Siapa mendiang istrimu, anak-anakmu aku tahu semuanya. Kamu sering membagikan keseharian keluargamu di sana.”“Jadi, setelah kamu tahu segalanya. Apa yang akan kamu harapkan dariku? Ini pasti buka pernikahan impianmu.”“Apa yang aku harapkan? Tidak ada. Aku tidak mengharapkan apapun baik sebelum aku tahu kamu sudah memiliki anak ataupun tidak. Aku hanya mengerti, mengapa kedua orang tuamu sangat ingin melihatmu menikah lagi.”“Kamu wanita aneh, penuh kejutan yang tidak kupahami.”“Kenapa? Mulai tertarik padaku?”“Itu tidak mungkin
Refan menarik Elmira hingga terjatuh dan kepalanya terbentur cukup keras. Sementara itu Elmira hanya meringis menahan sakit di bagian kepalanya. Refan mendekat memastikan kondisinya baik-baik saja.“Bagian mana yang sakit? Kita ke rumah sakit dulu ya, agar bisa cek kondisimu.”“Aku baik-baik saja, sudahlah jangan berlebihan.”“Kamu yakin baik-baik saja?”Elmira hanya mengangguk, Refan kemudian membantunya berdiri dan kembali merapikan koper ke mobil. Melihat hal itu, Elmira juga tidak mencegahnya. Dia merasakan pusing cukup hebat dan kepalanya seperti berputar-putar.“Kamu yakin tidak cek dulu ke rumah sakit atau klinik terdekat?”“Tidak apa-apa, ini hanya pening saja. Sepertinya vertigoku sedang kambuh akibat benturan, jangan khawatir.”Elmira terus meyakinkan Refan bahwa dirinya baik-baik saja. Tetapi, sepertinya dia tidak yakin kondisi Elmira, dia memilih mencari klinik terdekat untuk memastikan.Melihat Refan berhenti di sebuah klinik, Elmira tampak bingung, meskipun dia tahu tuju
Refan hanya terdiam tak memberikan tanggapan mengenai pernyataan Elmira. Pada kenyataannya memang benar, bahwa dia tidak ada yang dapat menggantikan posisi Hanum dalam hidupnya. Entah diganti dengan wanita cantik seperti apapun, Hanum sudah menempati hati terdalamnya dan sebelah hatinya pun ikut mati bersama kepergian Hanum.“Kenapa masih terdiam di sana? Aku bertanya di mana tempat tidurku.”Refan berjalan ke sebelah kanan tidak jauh dari kamarnya, hanya terhalang oleh perpustakaan pribadi milik Hanum ada kamar tamu di sana. Dia menunjukkan kamar itu kepada Elmira dan mempersilahkan Elmira istirahat.“Ada pakaian juga di dalam, kamu bisa gunakan sementara sebelum sopir mengantarkannya ke sini.”“Apakah itu pakaian milik Hanum?”Refan tidak memberikan jawaban, dia kembali diam. Sengaja memang baju itu tidak disingkirkan, tapi keluarga memintanya untuk menyimpan di kamar tamu agar tidak membuat Refan terus teringat istrinya.“Nama itu sudah ada di sini, jadi kurasa tidak akan mudah bag
Elmira bangun lebih awal untuk mempersiapkan keperluan anak-anak dan juga membantu Mbak Yuni memasak. Percakapan sore kemarin masih terbesit dalam benaknya, tapi dia enggan menjelaskan apa yang menjadi sebab utama dia tetap bertahan dengan Refan. Setelah memandikan Ruhi, Elmira juga lanjut memandikan Calista. Kemudian dia kembali ke dapur menata sarapan pagi dan juga bekal untuk Ruhi.“Mbak, saya hari ini ada pekerjaan di luar. Sementara nitip Calista sebentar, nanti saya akan berikan kabar kapan kembali. Kalau misalnya pekerjaan saya selesai sebelum jam pulang Ruhi, nanti biar Ruhi saya jemput saja.”“Baik, Bu.”“Kamu mau pergi ke mana? Kenapa tidak memberitahu akan pergi?”“Refan, ada undangan mendadak dari dosen PA di kampus bahwa aku bisa mengikuti ujian sempro susulan. Jadi, hari ini aku akan ke kampus untuk memenuhi undangan tersebut. Tidak keberatan bukan?”Refan hanya mengangguk, entah mengapa rasanya dia tidak rela jika Elmira ke kampus dan menyelesaikan tugas kuliahnya. Itu
“Refan! Kenapa kamu pulang secepat ini? Bukankah katamu masih banyak pekerjaan?”“Bukan urusanmu! Lagi pula aku memang akan menjemput Ruhi. Harusnya kamu bicara lebih dulu kepadaku.”“Sayang, masuk ke dalam dan ganti pakaian. Minta tolong ke Mbak untuk disiapkan makan siang. Ayah dengan Bunda ingin bicara sebentar.”Elmira memberikan pesan kepada Ruhi agar dia tidak menyaksikan pertikaiannya dengan Refan. Bagaimanapun juga, Elmira harus menjaga perasaan Ruhi.“Kita bicara di dalam,” pinta Elmira seraya masuk rumah dan segera masuk kamar.“Refan, sebenarnya apa yang kamu inginkan? Kamu ingin aku mudur dari pernikahan ini atau bagaimana? Kamu selalu saja mencari-cari masalah denganku.”“Kamu bertahan ataupun ingin mundur itu hakmu.”“Aku tidak habis pikir, kemarin kamu masih bersikap manis dan sekarang kamu sudah berubah lagi menjadi serigala yang menyebalkan. Lagi pula, aku hanya berusaha menjadi ibu dan juga istri yang baik untukmu. Terserah kamu akan menerima aku atau tidak.”“Tapi t
Elmira memastikan tidak terjadi sesuatu dengan keduanya. Dia hanya menyembulkan kepala dari balik pintu dan melihat keadaan aman. Refan dan Angga tampak sedang berbincang saja.“Aku hanya khawatir, tadi mendengar suara Angga berteriak,” ujar Elmira seraya menyeringai kepada keduanya.“Oh enggak kok, kita hanya berbincang saja.”“Baiklah, aku kembali ke dalam.”Refan mengangguk seraya memberikan senyum dan membiarkan Elmira meninggalkan teras rumah. Kembali ada suara keributan keduanya, kali ini Elmira tidak menghiraukannya. Hingga kemudian dia mendengar suara pintu terbuka cukup kencang.Elmira keluar dari dapur untuk memastikan apa yang terjadi. Dia melihat Refan nampak kesal, hal itu ditunjukkan dengan jelas saat Elmira mendekatinya.“Ada apa? Kamu berkelahi dengan Angga?”Refan melihat Elmira dengan ujung matanya, “sejak kapan kamu dekat dengannya? Dia itu playboy, ceweknya banyak.”“Kamu kenapa tiba-tiba ngomel? Kamu ada masalah apa sama Angga?”“Hari ini kamu pulang terlambat, pu
Paris merupakan ibu kota negara Perancis tempat salah satu panglima perang terkenal bernama Nopoleon Bonaparte dilahirkan. Sejarah menyebutkan bahwa ia merupakan tentara romawi yang sangat hebat.Di balik seorang perajurit hebat tentu ada guru yang hebat mengajarkannya. Tidak ada yang mengetahui bahwa Nopoleon Bonaparte belajar menjadi prajurit hebat dari seorang panglima perang yang telah banyak menaklukan negara-negara hingga menjadikan mereka muslim sampai hari ini. Ia juga telah berhasil dalam banyak peperangan yang diamanahkan kepadanya, ialah Khalid bin Walid sang pedang Allah. Sahabat Rasul yang sempat menentang dakwah Rasulullah akibat desakan teman-teman mendiang ayahnya. Namun Allah membolak balikan hati Khalid bin Walid hingga ia akhirnya masuk Islam dan menjadikan kekuatan besar bagi umat Islam setelah kedatangan Umar bin Khattab.Nama resmi Perancis adalah La République Française (Republik Perancis). Nama France berasal dari bahasa Latin, Francia yang artinya Negeri atau
‘PLAK!!!’ Tangan wanita paruh baya itu mendarat di pipi Refan. Usai pulang dari rumah Elmira di Bandung dan mendapatkan informasi bahwa Elmira tidak ada di sana dan tidak memberikan kabar apapun kepada penjaga rumah itu. Refan pulang ke rumahnya menemui sang ibu. “Apa yang kamu lakukan kepada istrimu, Refan? Ibu tahu tidak mudah untuk kamu menerima pernikahan ini, tapi setidaknya jangan sampai kamu membuatnya pergi dari rumah. Dia pergi ke mana sekarang? Orang tuanya sudah tidak ada.” “Maaf, Bu. Refan tidak bermaksud melakukan ini dan kejadian ini juga di luar dugaan Refan kalau Elmira akan pergi.” “Sebelum kamu melakukan tindakan, harusnya berpikir terlebih dulu. Pernah kamu berpikir tindakanmu itu menyakiti istrimu? Dia itu istrimu sekarang. Ibu tidak mau tau, cari Elmira sampai ketemu atau jangan pernah kamu menginjakkan kaki ke rumah ini lagi.” “Bu, tolong maafkan aku. Aku akan mencari sampai Elmira ditemukan.” “Pergi kamu dari sini!” Tak ada ampun, sang ibu telah dengan la
Jam menunjukkan pukul delapan pagi saat Rere tengah bersiap, hari ini ia hendak datang ke acara pernikahan Refan dengan Aisha. Meski hatinya sangat berat, tapi ia juga menghormati undangan Refan dan sebagai pembuktian bahwa ia telah merelakan Refan dalam hidupnya. Bukan hanya mengikhlaskan, pun juga menghapus pengharapan yang pernah ia perjuangkan. Bagi Elmira, Refan lelaki yang berhak diperjuangkan sebagaimana pun mestinya. Namun akhirnya ia harus kembali kecewa karena pada akhirnya Refan benar-benar tidak memilih dia dalam hidupnya. Tidak pernah izinkan sekalipun Elmira ada dalam dunianya. “Kamu yakin, El?” tanya Naura terdengar khawatir. “Bismillah, aku menghormati undangannya. Aku harus memastikan bahwa hatiku sudah menerima kenyataan ini, kenyataan bahwa Refa benar-benar pergi dari hidupku selamanya.” “Kamu tidak perlu melakukan hal ini hanya untuk menunjukkan kepada Refan.” Elmira menggulum senyum, dia menggelengkan kepala. Langkah sudah ia buat dan keputusan sudah
Tahun demi tahun yang dihabiskan Elmira untuk melupakan Refan, tapi itu tidak berhasil. Sebab ia tidak pernah benar-benar berusaha melakukannya, ia hanya mencoba tapi tidak sungguh-sungguh. Baginya, Refan ialah lelaki baik dan pendamping yang pantas untuknya. Lelaki yang akan menuntun jalannya, menjadikannya wanita yang baik. Namun harapan itu sirna sudah sejak Refan memberikan undangan pernikahannya dengan gadis bernama Aisha. Tentu sangat sulit bagi Elmira untuk memulihkan lukanya, kepingan hati yang telah retak dan sulit baginya membuat itu utuh kembali.Setelah liburannya ke Turki bersama Naura waktu itu, Elmira yang sempat melakukan percobaan bunuh diri berhasil melewati masa kritisnya. Namun, dia tidak pernah bahwa Refan juga ada di sana mendampingi. Naura menunda kepulangannya untuk menemani Elmira pulih. Refan juga berpesan agar Naura mendampingi, khawatir Elmira akan melakukan hal buruk lagi.“Aku terlalu bodoh perihal lelaki, Naura. Sudah jelas dia tidak menginginkank
Elmira menatap langit Cappadocia di malam hari, setelah perjalanan ke Cordoba mereka melanjutkan ke Cappadocia. Menginap di sana sekaligus jalan beberapa hari sebelum Naura kembali ke Indonesia. Elmira ditinggal Naura pergi keluar, sementara dirinya termenung sendiri di balkon hotel. Suara pintu hotel di ketuk beberapa kali, Elmira terperanjat. Tanpa berpikir hal aneh, Elmira membuka pintu.‘BRUKKKK!!’Tubuh Elmira tergopoh-gopoh menumpu tubuh seorang lelaki.“Refan!! Astaga, apa yang kamu lakukan di sini?”“Refan mabuk, entahlah. Tadi sudah keperingatkan agar tidak minum berlebihan.”“Tunggu! Angga, Refan! Kenapa kalian bisa di sini bersamaan? Maksudku, kenapa kalian bisa sampai di Cappadocia dan tahu hotel yang kutempati?”“Ceritanya panjang, lebih baik kamu bawa saja Refan masuk. Aku permisi dulu.”“Eh, Angga, tunggu!” Elmira belum sempat memberikan penolakan, Angga sudah pergi sebelum Elmira berhasil mengejarnya. Terpaksa dia menutup pintu kamar hotel dan membawa Refan masuk.“P
“Aku akan usahakan setelah kembali ke tanah air,” ujar Elmira sendu.“Terima kasih, aku akan sangat berterima kasih jika kamu menyempatkannya.”“Maaf, Refan. Temanku pasti mencari, sebaiknya aku pergi,” ucap Elmira sambil berlalu meninggalkan Refan yang masih berdiri mematung.Lagi. Elmira terus menghindar dari Refan. Dan sekali lagi, Refan tidak bisa berbuat apapun dan membiarkan Elmira berlalu. Tidak ada pilihan lagi, sebab saat ini Refan sudah tidak berhak lagi menaruh hati untuk Elmira.“Tunggu, El.” Refan berusaha menghentikan Elmira.“Ada apa?” tanya Elmira sambil sedikit membalikan badan menghadap Refan.“Aku belum menanyakan sesuatu padamu.”“Ya, apa itu?”“Aku masih belum mengerti, mengapa kamu memblokir semua media sosialku?”Elmira terdiam, dia sebenarnya enggan menjelaskan ini kepada Refan. Namun, Refan membutuhkan jawaban dan juga kepastian. Dia ingin tahu alasan Elmira menghindari darinya selama beberapa tahun dan hingga hari ini masih tetap sama. Elmira tidak memberika
Turki memiliki sebuah gereja di zaman Bizantium yang kemudian diubah menjadi masjid, lalu di sulap menjadi museum pada masa Kemal Attaturk. Di Eropa berbeda ceritanya, ada sebuah masjid besar di zaman kekhalifahan Umayyah yang kemudian berubah hari ini menjadi gereja katedral. Cordoba di Andalusia merupakan kota peninggalan Islam di Eropa. Di sini ada Mezquita de Cordoba, gereja yang pernah menjadi masjid kemudian menjadi gereja lagi. Jika berkesempatan liburan ke Spanyol, jangan lupa mampir ke Cordoba untuk melihat salah satu peninggalan Islam di Eropa. Adalah Mosque-Cathedral of Cordoba. Masjid Agung Cordoba yang sekarang beralih fungsi menjadi gereja katedral untuk umat Katolik.Masjid ini pada awalnya merupakan gereja untuk umat Kristen Visigoth. Masjid dibangun di atas tanah tepatnya di Calle del Cardenal Herrero, Córdoba, Andalusia, Spanyol dengan luas sekitar 309 meter persegi. Namun setelah Abd al-Rahman I menguasai daerah Iberia, gereja tersebut dibagi menjadi gereja dan j
Enam bulan berlalu, setelah melewati tugas panjang menyusun tesis akhirnya Elmira dan Naura berhasil menyelesaikannya. Nilainya sangat memuaskan, keduanya menjadi mahasiswa terbaik dan sukses menghadapi ujian akhir tesis. Sebagian orang mengatakan itu merupakan suatu hal menegangkan. Akan tetapi, bagi Elmira dan Naura tidak begitu berat saat keduanya mengerjakannya dengan tekun dan enjoy. “Aku senang kita bisa menyelesaikan kuliah di waktu bersamaan,” ujar Naura dari seberang sana.“Aku gak mau wisuda sendirian, kamu harus datang.”“Apapun akan aku lakukan untuk kamu El, jangan khawatir.”“Aku juga akan wisuda, tapi kamu lebih dulu. Jadi, aku bisa datang sekalian menjemput kamu pulang.”Keduanya juga diberikan kemudahan dalam menyusun tesis, meski sebagian orang merasakan tesis seperti mimpi buruk dalam kehidupannya. Belum lagi menghadapi dosen pembimbing killer. ***Hari ini, tepat pada awal bulan Oktober Elmira akan melakukan wisuda. Mendengar hal tersebut, Naura segera terbang ke
“Halo, Selamat siang Naura.” Suara Refan terdengar ramah dari seberang sana. Sudah lama memang keduanya tidak komunikasi. “Hai Refan! Ya ampun, sudah lama banget gak denger kabar kamu. Apa kabar?” “Kabarku baik, kamu apa kabar?” “Aku juga baik. Ada apa? Tumben sekali menghubungi?” “Tidak, hanya ingin mengetahui kabarmu saja. Bagaimana dengan kuliahmu? Katanya kamu lanjut S2?” “Ya menyenangkan, sangat menyenangkan. Aku sedang tesis dan akan segera selesai.” “Waw, kabar baik. Semoga semuanya lancar.” Suara Refan kali ini terdengar sendu, seperti sedang menahan sesuatu. Tentu saja, ingatan tentang Elmira. Dia sebenarnya ingin menanyakan kabar Elmira, tetapi lidahnya kelu untuk mengatakan hal itu. Saat ia mengecewakan Elmira, dia tidak berpikir bahwa sikapnya menyakitkan. Kini ia menyesal dan mungkin saja akan kehilangan Elmira selamanya. Benarkah Refan yang akan kehilangan? Atau justru Elmira yang akan kehilangan harapan bersama Refan. “Refan, everything okey? Are you okey?” “
“Bagaimana jawabanmu? Bersediakah kamu menjadi menantu saya, menjadi suami dari gadis semata wayang saya” “T-tidak, ehmm maksud saya, saya tidak siap menjawab sekarang.” “Begitu, baiklah. Saya akan berikan waktu sampai kamu mendapatkan jawaban terbaikmu, saya hanya berharap kamu tidak menolaknya.” Refan terperangah. Jawaban apa yang harus dia berikan kepada Mr. Rasyid. Meskipun benar, kecantikan Aisha bisa membuatnya tersihir. Tapi tetap saja, perihal hati tidak bisa dipaksakan begitu saja. “Saya akan mencoba pertimbangkan terlebih dulu, Mr. dan membicarakan hal ini dengan keluarga saya.” “Saya paham maksudmu.” “Terima kasih, Mr. Saya boleh permisi pulang. Banyak hal yang harus segera saya selesaikan.” “Baiklah, hati-hati di jalan,” ucap Mr. Rasyid disusul dengan uluran tangan Refan menyalaminya. Tidak lupa, Refan juga menyalami seluruh keluarga besar Mr. Rasyid termasuk Aisha, segera ia menundukkan pandangan ketika kedua mata mereka bertemu. Refan mengalihkan pandangan, lalu
Sore itu, usai pulang kerja. Refan segera meninggalkan kantor, dia pulang terlebih dahulu sebelum datang ke tempat Mr. Rasyid Al-Bisyri. Ia diundang ke acaranya, selain rekan bisnis, dia juga salah satu dosen terbaik di kampusnya. Tentu sangat tidak sopan jika menolak undangannya, padahal banyak tamu undangan dari kalangan pejabat. Jantungnya terus berdegup sepanjang perjalanan, ia merasa tidak ingin berangkat tapi juga sulit untuk memberikan alasan penolakan. Ia mengerti bagaimana menghargai sebuah undangan, meski ragu ia tetap melangkah. “Kok, perasaanku tidak enak. Ada apa ini, padahal semalam sudah mempertimbngkan ini,” gumam Refan pada dirinya. “Sudah sampai, silakan Tuan!” ucap sopir mempersilahkan Refan turun dari mobil. Refan pun turun dari mobil, beberapa orang yang datang juga memenuhi undangan. Kali ini dia berangkat sendiri tanpa ditemani Angga. “Semoga ini hanya acara biasa, pesta pengusaha pada umumnya,” ucap Refan sambil menghela napas panjang. “Duh, rasanya kayak