Refan sangat terkejut mendengar Elmira sudah mengetahui bahwa dirinya sudah memiliki dua orang anak. Padahal pernikahan mereka secara tiba-tiba tanpa ada perkenalan. Nyaris tidak mungkin jika dia tahu banyak mengenai dirinya.
“Aku belum memberitahukanmu mengenai hal ini, bahkan kita belum sempat berbicara. Baik keluargaku ataupun keluargamu pasti juga belum menceritakan tentangku.” “Aku bukan anak kecil Refan, di semua media sosialmu semuanya bisa diketahui. Siapa mendiang istrimu, anak-anakmu aku tahu semuanya. Kamu sering membagikan keseharian keluargamu di sana.” “Jadi, setelah kamu tahu segalanya. Apa yang akan kamu harapkan dariku? Ini pasti buka pernikahan impianmu.” “Apa yang aku harapkan? Tidak ada. Aku tidak mengharapkan apapun baik sebelum aku tahu kamu sudah memiliki anak ataupun tidak. Aku hanya mengerti, mengapa kedua orang tuamu sangat ingin melihatmu menikah lagi.” “Kamu wanita aneh, penuh kejutan yang tidak kupahami.” “Kenapa? Mulai tertarik padaku?” “Itu tidak mungkin, sudahlah.” Seperti biasa, Refan memilih pergi daripada memperlihatkan rasa penasarannya. Bukan karena Refan sudah tertarik, dia hanya berpikir berulang kali bagaimana seorang gadis mau menikahi duda dua orang anak seperti dirinya. Memang usia mereka tidak begitu terpaut jauh, hanya selisih dua tahun saja. Refan memang menikah diusia muda saat dia dengan istrinya masih duduk di bangku kuliah. Hingga kini dia memiliki anak gadis usia 5 tahun. Sementara Elmira mengambil sup yang dibawakan Refan, mendadak tubuhnya bersemangat lagi melihat gadis kecil yang kini menjadi anak sambungnya. Usai menyantap sup, dia meminum obat yang sudah disediakan Refan di atas meja. Melihat sang gadis yang menunggu kepulangan sang ayah tentu Elmira sangat iba. Dia tidak akan membiarkan Refan terlalu lama di Bandung dan membuat anak sulungnya menunggu terlalu lama. “Refan, besok pagi kita kembali ke Jakarta.” Suara Elmira dari balik pintu mengejutkannya. Bagaimana bisa dia mengajaknya pulang dalam keadaan Elmira saat ini. “Kamu jangan gila, kondismu masih belum pulih. Lagi pula kamu sendiri yang mengatakan ingin menunggu sampai tujuh hari.” “Aku harus menyelesaikan urusanku di Jakarta, lagi pula kamu tidak mau pulang kalau aku di sini. Pekerjaanmu di Jakarta pasti sudah menumpuk. Selain itu, kamu tidak bisa membiarkan Ruhi terlalu lama menunggumu.” “Kenapa tiba-tiba kamu bicara begitu? Apa karena tadi anakku menghubungi?” “Aku sudah membaik, dokter sudah menyediakan obat untukku. Aku bisa meminumnya sampai kondisiku kembali pulih.” “Nanti kamu drop lagi, Nak. Jangan terburu-buru pulang, Ruhi juga di sana ada baby sitter dan Oma-nya. Kamu jangan khawatir,” ujar Ratih, ibunya Refan. “Ibu, Elmira sungguh sudah membaik. Kita bisa meminta sopir untuk mengantarkan pulang kalau Refan kecapean beberapa hari ini membawa mobil. Bukankah begitu, Refan?” Ah, wanita ini benar-benar penuh kejutan. Sebelumnya tampak lemah, tapi tiba-tiba dia terlihat sehat dan membaik. Refan semakin tidak mengerti isi pikiran Elmira. Sekalipun dia ingin Refan pergi dari hidupnya, itu bisa saja dia lakukan. Akan tetapi, Elmira tidak melakukan hal demikian, justru dia mulai terlihat sisi lembutnya. Meskipun kadang ketika marah, dia seperti serigala yang hendak menerkam. Banyak pertanyaan di kepala Refan mengenai Elmira, tetapi dia belum menemukan jawaban. Adapun Elmira sendiri tidak pernah menunjukkan sisi kebencian akan sikap buruk Refan padanya. “Kenapa diam saja? Kamu janji bukan akan memberikan aku pekerjaan? Jadi, ayo kita pulang! Aku tidak sabar ingin bekerja.” “Apa? Istrimu akan bekerja di kantormu?” “Emh, bukan begitu, Bu. Elmira seharusnya ujian sempro hari ini, tapi karena masih di Bandung jadi terpaksa harus menunggu sampai ada jadwal ujian di semester berikutnya. Ini hanya untuk mengisi kekosongan saja. Sementara sebelum Refan mendadak ganti karyawannya yang mengundurkan diri.” “Sepertinya Elmira benar, Bu. Aku juga banyak pekerjaan di kantor, jadi harus segera kembali ke Jakarta. Tadi juga Ruhi menghubungi dan bertanya kapan pulang, jadi kita memutuskan untuk segera pulang.” “Baiklah kalau begitu, tapi Ibu tidak ingin terjadi hal buruk. Jadi kalian harus jaga diri baik-baik, Elmira juga harus banyak istirahat agar kondisinya membaik.” Ratih meminta keduanya untuk istirahat agar besok bisa jalan lebih pagi menuju Jakarta. Sepanjang malam Elmira terus berpikir mengenai keputusannya untuk bekerja. Dia juga memikirkan anak bungsunya yang masih bayi, tidak mungkin dia tinggalkan begitu saja. Hingga menjelang pagi, Elmira masih belum juga tidur. Melihat jam menunjukkan pukul 3.00 pagi, dia langsung bersiap dan merapikan beberapa barang. Refan terbangun saat semuanya sudah siap. “Aku sudah siap, bangunlah! Bukannya kita akan berangkat lebih pagi,” ujar Elmira membangunkan suaminya. Refan mencoba membuka mata, dia masih merasakan kantuk setelah semalam tidur larut dan dia terlalu lelah dengan urusan beberapa hari ini. Dia tampak terkejut melihat Elmira melepas selang infusnya, padahal semalam dokter masih memintanya agar tidak dilepas terlebih dulu. “Kenapa infusnya dibuka? Dokter ‘kan belum mengizinkan membukanya.” “Aku sudah membaik, sudahlah jangan tanyakan selang infusku. Bangunlah, kamu belum bersiap. Kita harus segera pulang, kalau terlalu siang nanti terjebak macet.” Sikap Elmira mengingatkan dia pada mendiang istrinya yang memiliki sikap sama seperti dirinya. Dia sangat energik bahkan dalam kondisi sakit sekalipun tetap ingin bekerja dengan alasan bosan hanya duduk dan diam di kamar saja. Elmira pun terus berusaha menutupi rasa sakitnya, padahal wajahnya masih tampak pucat karena kekurangan cairan dan darahnya belum stabil. “Refan, kamu masih bengong di sana? Ayo! Ini sudah siang, kamu juga belum sarapan.” Entah tersambar apa semalam, tiba-tiba Elmira memperhatikan segala keperluan Refan. Dia juga sudah menyiapkan sarapan pagi untuk Refan. “Sayang, kamu ‘kan masih belum pulih. Harusnya banyak istirahat, biarkan Ibu dan Mbak Dian yang siapkan ini.” “Gak apa-apa kok, Bu. Ibu sudah lelah mengurusi keperluan pemakaman ayah, pasti Ibu juga perlu istirahat. Nanti siang, Ibu pulang saja biar Mbak Dian yang urus keperluan di sini. Ada sopir yang jemput.” “Nak, ibumu teman dekat Ibu. Ayahmu juga dulu banyak membantu ayahnya Refan, jadi tidak apa-apa, Ibu tidak merasa direpotkan.” “Ibu, ayah ‘kan sedang sakit. Tidak baik dibiarkan sendiri, pasti ayah mencari Ibu di rumah.” “Baiklah, Nak. Nanti siang Ibu pulang terlebih dulu. Kamu dengan Refan baik-baik di Jakarta.” Elmira hanya mengangguk disusul dengan senyuman. Refan yang sudah siap, dia segera menuruni tangga untuk mengajak Elmira berangkat. “Ayo! Kita berangkat sekarang.” “Kamu belum sarapan, makanlah sedikit agar ada tenaga untuk mengendarai mobil.” “Ini sudah terlalu siang, nanti aku cari makan di jalan.” Refan berlalu meninggalkan Elmira menuju bagasi. Sementara Elmira meminta menunggu sebentar untuk membungkus makanan. Refan tampak tergesa-gesa mengejar agar tidak terjebak macet. Usai pamit dengan Ratih, keduanya segera berlalu meninggalkan rumah. “Kamu tergesa-gesa sekali sampai tidak sarapan dulu. Tapi, jangan khawatir, aku sudah membawakan untuk kamu sarapan. Biar aku yang menyuapimu agar bisa makan sambil mengemudi.” “Tidak perlu, aku nanti bisa berhenti untuk makan. Kamu makan saja sendiri.” “Kenapa harus menunggu nanti, kamu bisa makan sambil mengemudi? Ayolah di makan dulu, satu dua suap saja,” ujar Elmira masih tetap berusaha memberikan suapan kepada Refan. “Aku belum mau makan, kamu masih saja memaksa. Sudahlah, kamu makan saja.” “Aku bangun pagi untuk memasak ini agar kamu bisa sarapan, tapi kamu tidak mau menyentuhnya sama sekali. Sudahlah, kamu tidak pernah menghargai tenaga orang lain.” Elmira kesal dengan sikap Refan, dia membuang makanannya melalui jendela mobil. Saat itu Refan menyadari dirinya sudah melakukan kesalahan. Dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan. “El, aku minta maaf, aku tidak bermaksud melukaimu. Aku akan mengambil makanannya, masih belum terlalu jauh dari sini.” “Apa yang mau kamu ambil? Sampah? Untuk apa? Makanan sudah tidak layak lagi.” “El, aku tidak tahu kalau kamu memang sengaja memasak untuk aku. Tadinya aku pikir itu masakan mbak Dian.” “Siapapun yang memasak, harusnya kamu bisa lebih menghargai bukan justru tidak menyentuhnya sama sekali.” “Aku tahu aku salah, aku minta maaf.” “Aku turun di sini, lebih baik pergi sendiri saja.” Elmira begitu kesal dengan Refan, dia turun dari mobil. Refan segera menyusulnya, kembali mereka bertikai saling menarik koper milik Elmira. Refan berusaha mencegah Elmira pergi seorang sendiri. Tiba-tiba, dari arah belakang ada kendaraan yang melintas cukup cepat. Refan segera menarik tubuh Elmira. “El, awas!!”Refan menarik Elmira hingga terjatuh dan kepalanya terbentur cukup keras. Sementara itu Elmira hanya meringis menahan sakit di bagian kepalanya. Refan mendekat memastikan kondisinya baik-baik saja.“Bagian mana yang sakit? Kita ke rumah sakit dulu ya, agar bisa cek kondisimu.”“Aku baik-baik saja, sudahlah jangan berlebihan.”“Kamu yakin baik-baik saja?”Elmira hanya mengangguk, Refan kemudian membantunya berdiri dan kembali merapikan koper ke mobil. Melihat hal itu, Elmira juga tidak mencegahnya. Dia merasakan pusing cukup hebat dan kepalanya seperti berputar-putar.“Kamu yakin tidak cek dulu ke rumah sakit atau klinik terdekat?”“Tidak apa-apa, ini hanya pening saja. Sepertinya vertigoku sedang kambuh akibat benturan, jangan khawatir.”Elmira terus meyakinkan Refan bahwa dirinya baik-baik saja. Tetapi, sepertinya dia tidak yakin kondisi Elmira, dia memilih mencari klinik terdekat untuk memastikan.Melihat Refan berhenti di sebuah klinik, Elmira tampak bingung, meskipun dia tahu tuju
Refan hanya terdiam tak memberikan tanggapan mengenai pernyataan Elmira. Pada kenyataannya memang benar, bahwa dia tidak ada yang dapat menggantikan posisi Hanum dalam hidupnya. Entah diganti dengan wanita cantik seperti apapun, Hanum sudah menempati hati terdalamnya dan sebelah hatinya pun ikut mati bersama kepergian Hanum.“Kenapa masih terdiam di sana? Aku bertanya di mana tempat tidurku.”Refan berjalan ke sebelah kanan tidak jauh dari kamarnya, hanya terhalang oleh perpustakaan pribadi milik Hanum ada kamar tamu di sana. Dia menunjukkan kamar itu kepada Elmira dan mempersilahkan Elmira istirahat.“Ada pakaian juga di dalam, kamu bisa gunakan sementara sebelum sopir mengantarkannya ke sini.”“Apakah itu pakaian milik Hanum?”Refan tidak memberikan jawaban, dia kembali diam. Sengaja memang baju itu tidak disingkirkan, tapi keluarga memintanya untuk menyimpan di kamar tamu agar tidak membuat Refan terus teringat istrinya.“Nama itu sudah ada di sini, jadi kurasa tidak akan mudah bag
Elmira bangun lebih awal untuk mempersiapkan keperluan anak-anak dan juga membantu Mbak Yuni memasak. Percakapan sore kemarin masih terbesit dalam benaknya, tapi dia enggan menjelaskan apa yang menjadi sebab utama dia tetap bertahan dengan Refan. Setelah memandikan Ruhi, Elmira juga lanjut memandikan Calista. Kemudian dia kembali ke dapur menata sarapan pagi dan juga bekal untuk Ruhi.“Mbak, saya hari ini ada pekerjaan di luar. Sementara nitip Calista sebentar, nanti saya akan berikan kabar kapan kembali. Kalau misalnya pekerjaan saya selesai sebelum jam pulang Ruhi, nanti biar Ruhi saya jemput saja.”“Baik, Bu.”“Kamu mau pergi ke mana? Kenapa tidak memberitahu akan pergi?”“Refan, ada undangan mendadak dari dosen PA di kampus bahwa aku bisa mengikuti ujian sempro susulan. Jadi, hari ini aku akan ke kampus untuk memenuhi undangan tersebut. Tidak keberatan bukan?”Refan hanya mengangguk, entah mengapa rasanya dia tidak rela jika Elmira ke kampus dan menyelesaikan tugas kuliahnya. Itu
“Refan! Kenapa kamu pulang secepat ini? Bukankah katamu masih banyak pekerjaan?”“Bukan urusanmu! Lagi pula aku memang akan menjemput Ruhi. Harusnya kamu bicara lebih dulu kepadaku.”“Sayang, masuk ke dalam dan ganti pakaian. Minta tolong ke Mbak untuk disiapkan makan siang. Ayah dengan Bunda ingin bicara sebentar.”Elmira memberikan pesan kepada Ruhi agar dia tidak menyaksikan pertikaiannya dengan Refan. Bagaimanapun juga, Elmira harus menjaga perasaan Ruhi.“Kita bicara di dalam,” pinta Elmira seraya masuk rumah dan segera masuk kamar.“Refan, sebenarnya apa yang kamu inginkan? Kamu ingin aku mudur dari pernikahan ini atau bagaimana? Kamu selalu saja mencari-cari masalah denganku.”“Kamu bertahan ataupun ingin mundur itu hakmu.”“Aku tidak habis pikir, kemarin kamu masih bersikap manis dan sekarang kamu sudah berubah lagi menjadi serigala yang menyebalkan. Lagi pula, aku hanya berusaha menjadi ibu dan juga istri yang baik untukmu. Terserah kamu akan menerima aku atau tidak.”“Tapi t
Elmira memastikan tidak terjadi sesuatu dengan keduanya. Dia hanya menyembulkan kepala dari balik pintu dan melihat keadaan aman. Refan dan Angga tampak sedang berbincang saja.“Aku hanya khawatir, tadi mendengar suara Angga berteriak,” ujar Elmira seraya menyeringai kepada keduanya.“Oh enggak kok, kita hanya berbincang saja.”“Baiklah, aku kembali ke dalam.”Refan mengangguk seraya memberikan senyum dan membiarkan Elmira meninggalkan teras rumah. Kembali ada suara keributan keduanya, kali ini Elmira tidak menghiraukannya. Hingga kemudian dia mendengar suara pintu terbuka cukup kencang.Elmira keluar dari dapur untuk memastikan apa yang terjadi. Dia melihat Refan nampak kesal, hal itu ditunjukkan dengan jelas saat Elmira mendekatinya.“Ada apa? Kamu berkelahi dengan Angga?”Refan melihat Elmira dengan ujung matanya, “sejak kapan kamu dekat dengannya? Dia itu playboy, ceweknya banyak.”“Kamu kenapa tiba-tiba ngomel? Kamu ada masalah apa sama Angga?”“Hari ini kamu pulang terlambat, pu
Paris merupakan ibu kota negara Perancis tempat salah satu panglima perang terkenal bernama Nopoleon Bonaparte dilahirkan. Sejarah menyebutkan bahwa ia merupakan tentara romawi yang sangat hebat.Di balik seorang perajurit hebat tentu ada guru yang hebat mengajarkannya. Tidak ada yang mengetahui bahwa Nopoleon Bonaparte belajar menjadi prajurit hebat dari seorang panglima perang yang telah banyak menaklukan negara-negara hingga menjadikan mereka muslim sampai hari ini. Ia juga telah berhasil dalam banyak peperangan yang diamanahkan kepadanya, ialah Khalid bin Walid sang pedang Allah. Sahabat Rasul yang sempat menentang dakwah Rasulullah akibat desakan teman-teman mendiang ayahnya. Namun Allah membolak balikan hati Khalid bin Walid hingga ia akhirnya masuk Islam dan menjadikan kekuatan besar bagi umat Islam setelah kedatangan Umar bin Khattab.Nama resmi Perancis adalah La République Française (Republik Perancis). Nama France berasal dari bahasa Latin, Francia yang artinya Negeri atau
‘PLAK!!!’ Tangan wanita paruh baya itu mendarat di pipi Refan. Usai pulang dari rumah Elmira di Bandung dan mendapatkan informasi bahwa Elmira tidak ada di sana dan tidak memberikan kabar apapun kepada penjaga rumah itu. Refan pulang ke rumahnya menemui sang ibu. “Apa yang kamu lakukan kepada istrimu, Refan? Ibu tahu tidak mudah untuk kamu menerima pernikahan ini, tapi setidaknya jangan sampai kamu membuatnya pergi dari rumah. Dia pergi ke mana sekarang? Orang tuanya sudah tidak ada.” “Maaf, Bu. Refan tidak bermaksud melakukan ini dan kejadian ini juga di luar dugaan Refan kalau Elmira akan pergi.” “Sebelum kamu melakukan tindakan, harusnya berpikir terlebih dulu. Pernah kamu berpikir tindakanmu itu menyakiti istrimu? Dia itu istrimu sekarang. Ibu tidak mau tau, cari Elmira sampai ketemu atau jangan pernah kamu menginjakkan kaki ke rumah ini lagi.” “Bu, tolong maafkan aku. Aku akan mencari sampai Elmira ditemukan.” “Pergi kamu dari sini!” Tak ada ampun, sang ibu telah dengan la
“Elmira, setelah melakukan beberapa pemeriksaan, saya harus sampaikan kabar ini kepadamu. Menurut diagnosa yang dilakukan, kamu dinyatakan mengidap kanker otak stadium awal. Untuk saat ini kamu diharuskan melakukan pengobatan secara intensif agar tidak menyebar lebih cepat.” Elmira menjatuhkan ponselnya seketika. Saat dia mendapatkan pesan dari dokter di salah satu rumah sakit yang melakukan pemeriksaan terhadap dirinya. Jauh di Negeri orang, dia justru membawa banyak masalah dalam hidupnya. Dimulai dari permasalahan rumah tangga, hingga kini dokter menvonis dirinya terserang penyakit mematikan. Kepada siapa lagi dia mengadu saat ini, sementara dirinya hanyalah anak yatim piatu. Hidup sebatang kara usai kepergian sang ayah menyusul ibunya. “Bukan tidak berat, tapi harus ada pilihan yang diambil untuk mewujudkan satu persatu impian. Jalan ini, bukan jalan yang salah. Yakin. Lalu bagaimana dengan keputusan yang diambil ini? Aku sendiri tidak tahu benar atau salah,” lirih Elmira