"Apa yang terjadi sebenarnya?""Pergilah bersamaku, Kanaya. Karena di sini tidak aman untuk kamu dan ini sangat membahayakan, nanti aku akan menjelaskan semuanya kepada kamu, asal berikan aku kepercayaan," ujar Hakya meyakini Kanaya yang masih tampak ragu. Walaupun dia tetap menurut apa yang diminta oleh Hakya untuk bersiap-siap pergi.Kanaya masih tampak terdiam beberapa saat sambil dia menyiapkan pakaian mereka untuk dimasukkan ke dalam sebuah tas, karena dia tidak tahu Hakya akan membawa dia ke mana kalau pergi dari rumah itu.Padahal selama ini, yang mereka tahu Hakya tidaklah memiliki kekuatan atau tidak memiliki kemampuan apapun, bahkan bertahun-tahun saja hanya menumpang hidup di keluarga mereka, dan sekarang Hakya nekat membawakan Kanaya keluar dari rumah itu."Kita akan pergi ke mana?" tanya Kanaya kepada Hakya ketika semua barang mereka sudah siap."Kita akan pergi ke suatu tempat, di mana tidak akan ada orang yang bisa menemukan kita dan di sana kita akan memulihkan kondisi
"Tidak akan!""Apakah kau sudah bosan hidup, hah?!" tanya si iblis bermata merah tersebut.Iblis bermata merah itu membuka mulutnya yang ternyata begitu lebar, sehingga mungkin kalau untuk menelan Hakya dan Kanaya itu dengan begitu mudah, membuat Kanaya hanya bisa memejamkan matanya. Dia tidak bisa membayangkan kalau mereka berdua masuk ke dalam mulut iblis tersebut."Kalian tidak akan bisa untuk melawanku!” ujar Hakya.Iblis bermata merah itu tergelak mendengar apa yang disampaikan oleh Hakya, karena menurut sang iblis Hakya benar-benar sombong, dia tidak tahu siapa yang dia lawan adalah iblis terkuat di muka bumi ini.“Berpeganglah padaku dengan kuat, jangan sampai kamu terjatuh," bisik Hakya kepada Kanaya.Sementara itu Kanaya hanya bisa menganggukan kepalanya dengan begitu pelan, Kanaya sangat merasa ketakutan, apalagi melihat taring dari iblis tersebut yang benar-benar menakutkan.Hakya tahu sejak tadi Kanaya masih belum yakin terhadap Hakya, kenapa mengajak Kanaya pergi dari rum
“Menyerahlah, jika kau tidak ingin mati!” teriak iblis bermata merah tersebut masih mencoba untuk meminta kepada Hakya menyerah. "Tidak akan!" teriak Hakya kemudian. Ciaaat! Para iblis mengambil langkah serentak dan mencoba menyerang Hakya secara bersamaan, namun beberapa detik kemudian terdengar mereka saling mengaduh karena mereka hanya bertabrakan sesama. “Arrrgght!” Ternyata Hakya sudah menghilang dari tempat tersebut. Hal itu membuat iblis begitu marah, dia memerintahkan kepada semua anggotanya untuk mencari keberadaan Hakya. "Kejar dia! Kenapa dia bisa menghilang? Kenapa dia bisa lolos?!” tanya sang iblis bermata merah tersebut dengan lidah yang menjulur keluar. Sementara itu Kanaya yang berada di punggung Hakya, mulai membuka matanya ketika dia tidak merasakan hal apapun atau tidak merasakan serangan dari para iblis itu. Kanaya begitu terkejut ketika saat ini dia dan Hakya sudah melewati pasar dan langkah kaki Hakya seperti seorang yang berlari dengan kecepatan yang begit
"Aku Hakya, suami kamu."Kanaya mencebik mendengar jawaban yang diberikan oleh Hakya tersebut. Karena Hakya menjawab pertanyaannya dengan tidak serius."Aku serius, Hakya. Karena, tidak semua orang yang bisa naik ke bukit ini. Dan kamu mampu melakukannya tanpa hambatan, bahkan sambil menggendongku," ujar Kanaya pelan dengan mata yang menatap tajam ke arah Hakya.Dari pandangannya Kanaya sedang mencoba mendesak Hakya untuk mengatakan kepadanya mengenai siapa dirinya yang sebenarnya.Namun, tiba-tiba hujan turun dengan begitu deras. Membuat Hakya menarik Kanaya dengan cepat untuk masuk ke dalam rumah yang terbuat dari batu tersebut.Yang Hakya takutkan adalah hujan seperti pagi tadi yang panas bagaikan api, dan ternyata semua biasa saja. Hujan layaknya air biasa."Kamu belum menjawab pertanyaanku, Hakya," ujar Kanaya pelan sembari memainkan tetesan air hujan yang jatuh dari atap terasa begitu dingin dan menyegarkan.Hakya menghela nafas berat mendengar Kanaya yang terus mendesaknya untuk
"Jangan takut, ini hanyalah akan turunnya hujan. Tidak ada yang perlu ditakutkan,” jawab Hakya sambil mulutnya terus berkomat-kamit memandang langit yang semakin menggelap itu. Sementara itu burung gagak semakin mengeluarkan suara yang benar-benar menyayat hati, membuat Kanaya semakin takut. Sehingga Kanaya berpegang erat kepada tangan Hakya, Kanaya takut akan terjadinya sesuatu apalagi mereka sedang berada di atas bukit. Rasanya jarak antara mereka dan langit itu sangatlah dekat. "Kita akan pulang ke rumah sekarang, kita harus masuk ke dalam rumah untuk berlindung jika memang Dewa sedang meluapkan amarahnya," lanjut Hakya kepada Kanaya sambil membimbing sang istri untuk kembali ke kamar mereka. "Aku takut jika bukit ini akan roboh, maka kita akan tenggelam di dalamnya. Dan tidak ada orang yang tahu kalau kita berada di sini hingga akhirnya kita akan abadi di dalam bukit ini,” ucap Kanaya kemudian. Hal yang paling Kanaya takutkan adalah bukit itu roboh karena mulai terasa getaran da
Tidak berapa lama terdengar suara yang begitu besar seperti menghantam bumi, membuat Kanaya kembali memegang tangan Hakya dengan begitu erar.Bahkan Kanaya sudah tahu orang tuanya mempunyai hati yang tidak begitu baik kepadanya. Namun, Kanaya masih memikirkan kedua orang tuanya tersebut. Bagaimana keadaannya setelah mendengar ledakan itu."Apakah ayah dan ibu akan selamat dari ledakan itu?" tanya Kanaya pelan kepada Hakya.Hakya hanya bisa menghela nafas berat, di mana dia salut dengan Kanaya yang masih saja memikirkan kondisi kedua orang tuanya.Padahal kedua orang tuanya sudah membuat Kanaya dalam keadaan yang tidak baik-baik saja."Itu hanyalah ledakan peringatan, yakin saja itu tidak akan memakan korban jiwa. Hanya saja kemungkinan setelah ini tumbuh-tumbuhan akan mati dan tanah semakin tandus karena kemarahan dewa, ada sesuatu hal yang terjadi dan dapat kita pastikan setelah ini kalau kehidupan manusia yang berada di bawah sana semakin sulit, di mana tanah-tanah yang di beri tumb
"Kanaya, aku harus turun sebentar," ujar Hakya kepada sang istri.Kanaya yang masih sibuk di dapur sedang menyiapkan masakan untuk Hakya tampak terkejut mendengar penjelasan dari Hakya kalau dia harus turun. Hakya tampaknya benar-benar bingung dengan Hakya katanya di bawah sedang dalam keadaan kacau namun Hakya malah ingin turun."Apa yang mau kamu lakukan di bawah, Hakya? Bukankah di atas ini semua sudah ada, kenapa kamu masih mau turun ke bawah?" tanya Kanaya kepada Hakya dan lagian juga Kanaya merasa takut berada di atas bukit seorang diri. Dia merasakan jaraknya dengan langit itu begitu dekat. Entah mengapa Kanaya selalu merasa takut jika dia mendongakkan wajahnya ke langit."Ada hal yang harus aku selesaikan di bawah, karena ada sesuatu yang terjadi di bawah sana. Jadi, aku harus menghentikan itu," jawab Hakya menjelaskan kepada Kanaya, agar sang istri mengerti dengan posisinya saat ini.Kanaya tampak memperhatikan wajah Hakya yang serius itu, kemudian Kanaya menggelengkan kepal
"Bagaimana aku bisa marah kepada kamu yang sangat cantik ini?" tanya Hakya sambil tersenyum kepada Kanaya hal itu membuat Kanaya tampak salah tingkah saat mendapat gombalan yang receh dari sang suami.Keduanya menikmati makan pertama mereka berada di atas bukit tersebut, dengan memasak makanan yang tersedia di atas dengan perlengkapan yang ada. Kanaya dan Hakya makan dengan begitu lahap."Apakah dulu tempat ini ditinggali oleh orang-orang? Kenapa bisa semuanya lengkap, perlengkapan masak dan segala macamnya ada di sini? Juga begitu banyaknya bangunan-bangunan di atas sini?" tanya Kanaya penasaran kepada Hakya.Hakya hanya mengangguk mendengar pertanyaan dari Kanaya."Tempat ini adalah dulunya padepokan milik kakek Buana, banyak sekali murid-murid yang tinggal di sini. Dan juga dulu kedua orang tuaku juga tinggal di atas ini, namun ketika kakek Buana memilih untuk mengakhiri hidupnya dalam kesendirian semua muridnya itu pergi meninggalkan bukit ini.""Dan sayangnya tidak ada satupun d
"Astaga Zanaya! Kamu bisa duduk diam, gak?!" bentak Kanaya kepada Zanaya yang mencecar Kafka dengan pertanyaan, padahal Kafka baru saja sadar."Kenapa? Kamu gak khawatir sama ayah? Kamu mau ayah mati di tangan suami kamu ini?" tanya Zanaya lagi."Za-Naya…," panggil Kafka lemah.Mendengar suara Kafka membuat Farah dan Zanaya hanya terdiam menutup mulutnya. Mereka tidak percaya kalau Kafka bisa berbicara.Selama ini Kafka jangankan memanggil nama anak dan istrinya, mengeluarkan suara sedikit saja tidak bisa."Iya ayah, ayah bisa bicara lagi?" tanya Zanaya kemudian.Kafka mengangguk dan menatap ke arah Kanaya dan Hakya secara beegantian."Terima kasih, Hakya," ujar Kafka dengan suara yang pelan. Karena tubuhnya masih sangat lemah."Iya ayah, ayah jangan banyak gerak dulu," jawab Hakya."Sayang, kamu sudah siap kan sup hangat yang tadi aku minta buatkan? Kalau sudah tolong suapin ayah makan dengan nasi yang lembut ya," ujar Hakya kepada Kanaya.Kanaya menganggukkan kepalanya dan segera men
"Hakya, apa yang terjadi dengannya?" tanya Farah khawatir saat melihat Kafka terkulai lemah tidak berdaya.Hakya yang masih tampak terengah-engah memeriksa semua nadi Kafka. Dia tidak bisa membayangkan kalau Kafka akan meninggal saat semua ikatannya terlepas."Ayah, hanya pingsan. Mungkin karena terlalu lama menahan sakit. Terus saja kompres kepala ayah," ujar Hakya kemudian setelah memastikan nadi Kafka masih berdenyut normal."Apa kamu yakin?" tanya Farah yanh seolah tidak percaya, karena dia melihat Kafka tidak menunjukkan pergerakan sama sekali."Iya bu, ayah terlalu lelah menahan sakitnya. Karena seperti yang Hakya katakan ini, ini terasa sangat sakit dan rasa nyawa sudah di ujung kepala. Tapi, sebentar lagi ayah akan sadar," jawab Hakya yang tampak menyeka keringat yang membanjiri wajahnya.Farah hanya mengangguk, dia memberikan kepercayaan kepada Hakya. Dan berharap kalau Kafka akan segera sadar."Tapi, apakah semua berhasil kamu lepaskan, Hakya?" tanya Farah lagi."Iya bu. Sem
“Ini sangat sakit,” lanjut Hakya.Kafka tampak mengangguk, dan Hakya meminta izin kepada Farah. Karena dia takut kalau nanti akan disangka membunuh Kafka. Karena rasa sakit yang ditimbulkan itu adalah sangat luar biasa seperti nyawa akan terlepas dari tubuh saking sakitnya.“Lakukan, Hakya,” jawab Farah kemudian sambil mengangguk.“Tapi, ini sangat sakit bu. Kalau ibu tidak sanggup melihat ayah kesakitan, ibu bisa tunggu di luar saja,” ujar Hakya kemudian.“Tapi, kamu yakin ini bisa lepas?” tanya Farah penasaran.“Iya. Semua yang dipasang oleh Ratu Ilmu Hitam itu harus perlahan-lahan di lepaskan, dan itu membutuhkan waktu yang lama tergantung cara mengikatnya. Selama proses itu ayah akan merasa sangat kesakitan, bahkan bisa jadi muntah ataupun membuang kotoran tanpa di sengaja saking sakitnya,” jelas Hakya.“Ibu akan disini saja,” jawab Farah.Hakya hanya mengangguk.“Bisa dipastikan Zanaya tidak masuk kesini ya bu, nanti dia salah sangka dan membuat semuanya tidak berhasil,” ujar Hak
Hakya dan Kanaya tampak menunduk dan berusaha meraih tangan Farah, dan tidak ada penolakan dari Farah.“Maafkan kami, ibu,” ujar Hakya kemudian diikuti juga oleh Kanaya yang meminta maaf.Sementara itu Hanaya yang berada di dalam gendongan Kanaya hanya terdiam, dia bingung melihat kedua orang tuanya yang tampak sedang serius meminta maaf. “Hanaya, ini nenek. Kamu salim tangannya,” ujar Hakya kepada Hanaya dan meminta Kanaya menurunkan Hanaya dari gendongannya.Farah menatap wajah Hanaya dengan pancaran mata harus, namun dia masih belum menjawab apapun.“Ne-nek,” ujar Hanaya dengan suara yang terbata-bata mengeja dengan benar. Sepertinya dia masih sangat penasaran dengan Farah sehingga dia menarik-narik tangan Farah membuat neneknya itu tersadar.“Cucu nenek…,” ujar Farah kemudian yang langsung memeluk Hanaya dengan erat dan airmata jatuh saat menciumi wajah lembut Hanaya.Hanaya hanya mengangguk dan berusaha melepaskan pelukan Farah, karena memang dia belum mengenal siapa Farah yang
“Hei cantik sini,” panggil ibu-ibu penjual dengan ramah saat melihat Hanaya menunjuk ke lapak jualannya.Hakya dan Kanaya hanya bisa terdiam melihat tempat yang ditujukan oleh Hanaya. Ternyata dia menuju ke penjual roti basah. Mungkin bau roti basah itu memancing Hanaya untuk berjalan menuju ke arah sana.“Hanaya mau roti?” tanya Kanaya lembut.“Iya,” jawab Hanaya sambil menganggukkan kepalanya.Hakya juga ikutan mendekat, dan pandangannya bertemu dengan penjual roti basah itu.“Wah, ini Hakya?” tanya penjual itu kepada Hakya dengan sangat antusias.Hakya menganggukkan kepalanya, dia tidak menyangka kalau ternyata bau roti basah buatan ibu itu yang membuat Hanaya berjalan memasuki pasar itu. “Wah si cantik ini pasti anaknya yang menyukai roti basah?” tanya ibu itu lagi.“Iya bu, kemarin dia senang banget saat makan roti basah yang masih hangat, bahkan ini dia berjalan dengan sendirinya,” jawab Kanaya sambil tersenyum dan memesan beberapa roti itu untuk Hanaya.“Ini kalian mau kemana?
“Kami berangkat, ya,” ujar Hakya kepada beberapa muridnya itu.“Guru, apakah yakin tidak perlu kami kawal? Setidaknya kami bisa membantu membawa barang-barang dan juga bergantian menggendong Hanaya,” tawar Hofat kepada Hakya dan Kanaya yang sudah bersiap untuk turun dengan membawa barang yang cukup banyak dan juga sepertinya dalam perjalanan itu Hanaya juga akan lebih banyak minta gendong.Hakya menggeleng sambil tersenyum, karena dia tidak mau Kafka akan menganggapnya lelaki pengecut, datang ke rumah mertuanya dengan membawa pasukan. Jadi Hakya akan datang hanya bersama Kanaya dan Hanaya saja.“Benaran gapapa kok, kalian tetap saja disini. Rawat ladang kita dengan baik, kalau memang sampai waktunya panen dan kami belum kembali kalian harus memanennya dan menjualnya di pasar,” pesan Hakya kepada semuanya.“Dan ingat kalian berdua adalah ketuanya dan bertanggung jawab dalam segala hal. Jangan sampai ada yang kelaparan,” ujar Hakya kepada Hofat dan Jirat.Keduanya mengangguk, ada rasa b
“Hanaya, kami pulang!”Hakya dan muridnya berteriak memanggil Hanaya saat memasuki bukit tunggal tersebut. Dan tidak berapa lama kemudian terdengar suara sorakan riang dari Hanaya yang kegirangan saat menyambut kedatangan Hakya dan murid-muridnya.“Oleeee!” teriak Hanaya dengan suara cadelnya.Hanaya semakin bahagia menyambut mereka semua yang datang membawa makanan yang begitu banyak. Apalagi saat Hakya membuka bungkusan di tangannya dan aroma roti basah menguar membuat Hanaya tidak tahan untuk segera mencicipinya.“Anaass!”Teriak Hanaya saat tangannya menyentuh roti yang masih panas itu membuat semua orang tergelak dengan tingkah lucunya. Dengan bantuan Hakya yang meniup roti itu akhirnya Hanaya bisa menikmati roti tersebut dengan mulut yang penuh.Sementara itu murid-murid Hakya yang lainnya membuka hadiah yang lainnya sepertinya mereka sangat penasaran dengan hadiah yang diberikan itu.“Woww!”Ucap mereka kekaguman saat membuka semua barang-barang itu. Banyak bahan makanan, pakai
“Siap!” jawab para murid Hakya yang sudah siap dengan pedang masing-masing.“Karena kalian sudah lelah, jadi saya serahkan mereka kepada kalian. Bunuh mereka sesuai dengan yang kalian inginkan! Jangan biarkan satu orangpun hidup!” teriak Hakya memancing semuanya. Dan seperti yang diduga mereka semua ketakutan saat mendengar Hakya meminta membunuh mereka. Apalagi saat melihat kilatan pedang dari para murid-murid Hakya. “Tolong jangan bunuh kami!”Teriak beberapa anak buah Zarkya dengan memohon, mereka begitu takut akan kematian. Namun, mereka berani bergabung dengan orang seperti Zarkya. Sementara itu Zarkya tampak menunduk, dia merasa tidak memiliki kemampuan lagi untuk melawan ataupun berteriak.Zarkya berusaha mengeluarkan ilmu sihirnya, dia berharap dengan begitu bisa membunuh Hakya, namun apa yang dia lakukan tidak luput dari perhatian Hakya.Sssuuuit!Hakya bersiul dan seketika tubuh Zarkya lemah dan kehilangan tenaganya. Dia menatap Hakya dengan sorot mata tajam. Karena dia me
Zarkya tampak terdiam, dia membenarkan di dalam hatinya apa yang Hakya sampaikan. Karena dia juga melihat kalau beberapa anak buahnya tampak sedang memperhatikan jalan keluar bukannya sibuk melawan para anak buah Hakya.“Iblis yang kau ciptakan, apakah mereka tidak bisa membuka tali itu?” tanya Hakya sambil tersenyum.Hakya memang melepaskan tali untuk mengikat para iblis itu. Hakya akan menghancurkan mereka secara perlahan dan terakhir Zarkya jika memang dia tidak ada niat untuk menjadi lebih baik.“Kau hanya berani menggunakan ilmu sihirmu untuk melawan mereka. Kau belum tahu bagaimana melawannya mereka itu!” teriak Zarkya yang masih tetap bersikeras dan tidak mau mengalah dengan apa yang Hakya lakukan.Zarkya masih sangat yakin kalau iblis yang masih tersisa itu akan membantunya.Ziiiink! Ziiink!Suara pedang saling beradu membuat suasana sangat menakutkan. Sementara itu orang-orang yang berkumpul di luar pagar itu sangat penasaran apalagi mereka melihat ada iblis yang berusaha kab