Mia tengah berdiri di depan teller. Hafid menemaninya. Hari itu warteg mereka ditunggui oleh Mbak Finah sendirian. Komisi perumahan yang sudah cair lumayan banyak. Jadinya mereka akan mengambil dari teller sebagian. Selain itu, Mia minta dibuatkan buku tabungan sendiri. Peraturan baru menjadi lebih ketat dari marketing agency tempatnya berjualan. Rekening tidak boleh atas nama orang lain.“Habis ini kita jadi survey, Dek?” Hafid menoleh pada Mia yang baru saja duduk. Dia memasukan kartu ATM baru dan buku tabungan atas namanya ke dalam tas. “Iya, Mas. Sekalian saja. Mumpung ini ada launching DP nol rupiah, Mas. Kapan lagi bisa punya rumah dengan DP nol rupiah, Mas.” “Iya, Dek. Moga kuat bayar cicilannya.” Keduanya saling tersenyum. Bayangan memiliki rumah sendiri membuat Mia menjadi lebih bersemangat lagi. Beruntung dia bergabung pada agen marketing property Syariah. Di mana ada banyak program yang meringankan para pembeli seperti dirinya. Jika terlambat cicilan pun tidak ada akad d
Mbak Winda dan Mas Akim menuju mobil terios yang terparkir. Keduanya kembali menikmati empuknya jok mobil baru, hembusan AC dan merdunya suara music yang diputar. Mereka tidak langsung menuju kontrakan melainkan pergi ke mall. Mbak Winda hendak membeli berbagai baju branded, tas, sepatu untuknya dan Mas Akim memakai uang hasil menggadaikan sertifikat rumahnya ke Bank. “Mas, ini buat kamu biar nanti pas sudah buka usaha bisa keren penampilannya!” Mbak Winda mengambilkan dua set setelan jas kantoran. “Ok, aku suka ini. Kamu yang bayar, ya!” Mas Akim memasang senyum yang mampu meluluh lantakkan hati Mbak Winda. “Oke, Sayang! Kamu tunggu saja di sini!” Satu kecupan didaratkan pada pipi Mas Akim. Mbak Winda langsung mengantri di kasir. Dia membayar semua belanjaan itu, maklum uang sisa DP mobil masih ada jadi rasanya semua gampang saja dibelinya.Setelah itu, mereka pergi ke restoran. Keduanya memesan makanan yang serba wah. Mbak Winda menguploadnya ke sosial media miliknya. Mobil baru
POV AUTHORMia sudah selesai tanda tangan akad. Mulai hari ini, Mia sudah memiliki kewajiban untuk membayar cicilan atas cluster yang diambil itu. Meski belum closing lagi, akan tetapi uang tabungan Mia masih cukup untuk menjadi dana cadangan jika suatu hari dia keteteran. Dengan dana yang ada, Mia menyewa satu lokasi lagi. Dibukanya warteg di lokasi lain. Keberadaan Mbak Finah cukup membantu. Jadi setiap hari, kini Hafid memboyong masakan dari kontrakan sempitnya menuju tempat baru. Dia yang jaga wartegnya di sana dia sendirian, sedangkan Mbak Finah menjaga di tempat lama bersama Mia. [Menerima pesanan catering untuk acara syukuran, khitananan, pernikahan.] Satu banner dipasang di depan wartegnya disertai foto-foto yang menarik sehingga membuat orang lebih tertarik. Sudah beberapa orang yang pesan catering mereka untuk acara syukuran. Testimoninya cukup memuaskan dan dipajang juga di jejaring sosial media online. Mia yang sesekali melihat f******k tidak mengacuhkan berita berseliw
Kita tidak perlu bersusah payah membuktikan apapun pada siapapun. Cukup fokus pada tujuan dan impian. Abaikan orang-orang yang dengki dan iri, tidak perlu sibuk memikirkan caranya balas dendam karena setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan. ***Selamat Membaca! Hafid menoleh pada Mia. Ada rasa tidak enak di hatinya. Bagaimanapun hubungan Mia tidaklah harmonis dengan Bu Romsih dan Mbak Winda. “Dek, gimana?” Hafid menoleh setelah panggilan itu ditutupnya.Mia terdiam. Dia menarik napas kasar.“Berikan aku waktu, Mas. Kalau hanya Ibu, aku gak masalah dia bisa ikut bareng kita atau bisa menempati rumah kontrakan kita ini. Namun menampung Mbak Winda? Jujur hati ini bukan terbuat dari air yang begitu tergores lalu seperti tidak ada apa-apa. Aku bukan wanita berhati mulia seperti Sayyidah Khadijah, Mas. Aku Mia yang memiliki keegoisan sendiri dan cara sendiri menjalani semua ini.” Mia melempar pandang ke sembarang.Hafid menunduk mendengarkan penuturan Mia. Benar, terkadang hati tidak
“Mbak Winda!”“Winda!”Hafid dan Bu Romsih memekik bersamaan. Keduanya memburu sosok yang tergeletak di lantai itu. Ada darah mengalir yang membuat Hafid dan Bu Romsih memekik ketakutan. Hafid mencari kain untuk mengikat pergelangan tangan Mbak Winda agar darah yang keluar tidak terlalu banyak. Lalu dia menggendong dan manaikannya ke atas sepeda motor, diikatnya tubuh Mbak Winda menggunakan kain ke perutnya. Hafid mengajak Bu Romsih untuk memegangi Mbak Winda di belakang.Bian, yang sedang bermain dikunci dari luar oleh Bu Romsih. Ditutup juga pintu arah ke dapur agar balita itu tidak pergi ke mana-mana. Terpaksa, tidak ada pilihan. Dengan susah payah akhirnya motor yang ditumpangi Hafid tiba di klinik terdekat. Bu Romsih berteriak-teriak panik meminta pertolongan. Beberapa orang petugas medis berlari berhamburan ke arah mereka. “Astagfirulloh!” pekik para petugas medis melihat darah yang mengalir di pergelangan tangan Mbak Winda.Semuanya tampak kalang kabut dan tergesa membawa Mb
Mereka baru saja masuk ke mall ketika sekilas Mia melihat sosok yang dia kenal. “Mas, bentar. Itu bukannya Bibi, ya?” Hafid menoleh ke arah yang ditunjuk Mia. Benar ada wanita paruh baya yang sedang menenteng paper bag belanjaan dengan seorang perempuan muda. “Iya, Dek! Bibi sepertinya, tapi sama siapa?” Hafid menyipitkan netra memfokuskan pandang. “Bibi sama Saskia, Mas. Kita samperin dulu, yuk! Mau tanya kabar Paman.” Mia mengajak Hafid menghampiri mereka. Hafid menurut saja. Mereka berjalan santai menuju Bibi Itin dan Saskia yang tampak sedang memilih pakaian. Mereka tampak tersenyum riang sambil mengambil beberapa set pakaian yang dipajang. “Bibi!” sapa Mia. Sontak Bi Itin menoleh. Seketika wajahnya terkesiap. Tangannya yang sedang memilah pakaian spontan disembunyikan ke belakang seperti layaknya maling yang ketahuan.“Eh, Mia. Belanja?” sapa Saskia pada kakak sepupunya itu.“Iya, Kia. Paman gimana? Hari itu katanya kritis? Sudah sembuh?” Mia langsung menanyakan duduk perm
Hafid sudah tiba di klinik. Tampak di depan ruangan Mbak Winda dirawat sudah ada Mbak Wilda dan Bu Romsih tengah berbincang. Sudah adzan maghrib ketika dia tiba di sana. Hafid bergegas melipir dulu ke mushola dan menunaikan tiga rakaat kewajiban. Usai shalat, Hafid kembali ke dalam klinik yang tidak terlalu besar itu. Mbak Wilda sudah mengenakan jaketnya dan tampak bersiap pulang.“Elaaah ... lama banget, sih, Fid baru datang? Mbak sudah kelar juga ngobrolnya sama Ibu. Kamu tuh apa-apa lelet.” Mbak Wilda melempar komplen.“Habis shalat dulu, Mbak. Tadi aku juga ketemu sama Mas Kama di mushola. Sudah ngobrol juga sedikit. Jadinya gimana? Kata Mas Kama ada dari Bank nelpon mau narik mobil, ya?” Hafid masih berdiri dan menatap Mbak Wilda.“Sudah Mbak ngobrol sama Ibu. Sudah beres. Kamu gak usah ikut campur lagi gak apa. Kebetulan ada sepupunya Mas Kama yang mau over kredit mobilnya. Katanya dulu Winda DP nya lima puluh juta, ya rugi setengahnya, sih. Sepupunya Mas Kama cuma siap uang d
Namun tak sampai hati hendak mengintimidasi Mbak Finah yang tampak kikuk ketika menyerahkan uang setoran. “Sepi wartegnya, Fid. Ibu lihat sendiri kok pelanggan di sini gak terlalu ramai. Makanya wajar kalau cuma dapet segitu.” Bu Romsih membela Mbak Finah. Meskipun Hafid belum mengucapkan kalimat apapun juga.“Oh, sepi ya sekarang, Bu?” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Hafid. Mbak Finah mengangguk, tetapi dengan pandangan mata tertunduk. Mia mengerti, ada yang tidak beres sedang terjadi. “Mas, aku mau ajak Mbak Finah belanja sayuran dulu buat stock! Ini nitip Mesya, ya! Jaga di sini sama Ibu!” Mia menyodorkan Mesya ke pangkuan Hafid. “Masih banyak sayuran untuk dimasak, kok, Mia. Gak usah belanja dulu!” Bu Romsih melarang.“Gak apa, Bu. Aku mau ajarin Mbak Finah bikin menu baru buat narik pelanggan. Mau beli sayur untuk masakan spesial!” Mia berkilah.Dia benar-benar penasaran pada kemana larinya uang warung milik mereka yang dijaga oleh mertuanya dan Mbak Finah. “Ibu