Kita tidak perlu bersusah payah membuktikan apapun pada siapapun. Cukup fokus pada tujuan dan impian. Abaikan orang-orang yang dengki dan iri, tidak perlu sibuk memikirkan caranya balas dendam karena setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan. ***Selamat Membaca! Hafid menoleh pada Mia. Ada rasa tidak enak di hatinya. Bagaimanapun hubungan Mia tidaklah harmonis dengan Bu Romsih dan Mbak Winda. “Dek, gimana?” Hafid menoleh setelah panggilan itu ditutupnya.Mia terdiam. Dia menarik napas kasar.“Berikan aku waktu, Mas. Kalau hanya Ibu, aku gak masalah dia bisa ikut bareng kita atau bisa menempati rumah kontrakan kita ini. Namun menampung Mbak Winda? Jujur hati ini bukan terbuat dari air yang begitu tergores lalu seperti tidak ada apa-apa. Aku bukan wanita berhati mulia seperti Sayyidah Khadijah, Mas. Aku Mia yang memiliki keegoisan sendiri dan cara sendiri menjalani semua ini.” Mia melempar pandang ke sembarang.Hafid menunduk mendengarkan penuturan Mia. Benar, terkadang hati tidak
“Mbak Winda!”“Winda!”Hafid dan Bu Romsih memekik bersamaan. Keduanya memburu sosok yang tergeletak di lantai itu. Ada darah mengalir yang membuat Hafid dan Bu Romsih memekik ketakutan. Hafid mencari kain untuk mengikat pergelangan tangan Mbak Winda agar darah yang keluar tidak terlalu banyak. Lalu dia menggendong dan manaikannya ke atas sepeda motor, diikatnya tubuh Mbak Winda menggunakan kain ke perutnya. Hafid mengajak Bu Romsih untuk memegangi Mbak Winda di belakang.Bian, yang sedang bermain dikunci dari luar oleh Bu Romsih. Ditutup juga pintu arah ke dapur agar balita itu tidak pergi ke mana-mana. Terpaksa, tidak ada pilihan. Dengan susah payah akhirnya motor yang ditumpangi Hafid tiba di klinik terdekat. Bu Romsih berteriak-teriak panik meminta pertolongan. Beberapa orang petugas medis berlari berhamburan ke arah mereka. “Astagfirulloh!” pekik para petugas medis melihat darah yang mengalir di pergelangan tangan Mbak Winda.Semuanya tampak kalang kabut dan tergesa membawa Mb
Mereka baru saja masuk ke mall ketika sekilas Mia melihat sosok yang dia kenal. “Mas, bentar. Itu bukannya Bibi, ya?” Hafid menoleh ke arah yang ditunjuk Mia. Benar ada wanita paruh baya yang sedang menenteng paper bag belanjaan dengan seorang perempuan muda. “Iya, Dek! Bibi sepertinya, tapi sama siapa?” Hafid menyipitkan netra memfokuskan pandang. “Bibi sama Saskia, Mas. Kita samperin dulu, yuk! Mau tanya kabar Paman.” Mia mengajak Hafid menghampiri mereka. Hafid menurut saja. Mereka berjalan santai menuju Bibi Itin dan Saskia yang tampak sedang memilih pakaian. Mereka tampak tersenyum riang sambil mengambil beberapa set pakaian yang dipajang. “Bibi!” sapa Mia. Sontak Bi Itin menoleh. Seketika wajahnya terkesiap. Tangannya yang sedang memilah pakaian spontan disembunyikan ke belakang seperti layaknya maling yang ketahuan.“Eh, Mia. Belanja?” sapa Saskia pada kakak sepupunya itu.“Iya, Kia. Paman gimana? Hari itu katanya kritis? Sudah sembuh?” Mia langsung menanyakan duduk perm
Hafid sudah tiba di klinik. Tampak di depan ruangan Mbak Winda dirawat sudah ada Mbak Wilda dan Bu Romsih tengah berbincang. Sudah adzan maghrib ketika dia tiba di sana. Hafid bergegas melipir dulu ke mushola dan menunaikan tiga rakaat kewajiban. Usai shalat, Hafid kembali ke dalam klinik yang tidak terlalu besar itu. Mbak Wilda sudah mengenakan jaketnya dan tampak bersiap pulang.“Elaaah ... lama banget, sih, Fid baru datang? Mbak sudah kelar juga ngobrolnya sama Ibu. Kamu tuh apa-apa lelet.” Mbak Wilda melempar komplen.“Habis shalat dulu, Mbak. Tadi aku juga ketemu sama Mas Kama di mushola. Sudah ngobrol juga sedikit. Jadinya gimana? Kata Mas Kama ada dari Bank nelpon mau narik mobil, ya?” Hafid masih berdiri dan menatap Mbak Wilda.“Sudah Mbak ngobrol sama Ibu. Sudah beres. Kamu gak usah ikut campur lagi gak apa. Kebetulan ada sepupunya Mas Kama yang mau over kredit mobilnya. Katanya dulu Winda DP nya lima puluh juta, ya rugi setengahnya, sih. Sepupunya Mas Kama cuma siap uang d
Namun tak sampai hati hendak mengintimidasi Mbak Finah yang tampak kikuk ketika menyerahkan uang setoran. “Sepi wartegnya, Fid. Ibu lihat sendiri kok pelanggan di sini gak terlalu ramai. Makanya wajar kalau cuma dapet segitu.” Bu Romsih membela Mbak Finah. Meskipun Hafid belum mengucapkan kalimat apapun juga.“Oh, sepi ya sekarang, Bu?” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Hafid. Mbak Finah mengangguk, tetapi dengan pandangan mata tertunduk. Mia mengerti, ada yang tidak beres sedang terjadi. “Mas, aku mau ajak Mbak Finah belanja sayuran dulu buat stock! Ini nitip Mesya, ya! Jaga di sini sama Ibu!” Mia menyodorkan Mesya ke pangkuan Hafid. “Masih banyak sayuran untuk dimasak, kok, Mia. Gak usah belanja dulu!” Bu Romsih melarang.“Gak apa, Bu. Aku mau ajarin Mbak Finah bikin menu baru buat narik pelanggan. Mau beli sayur untuk masakan spesial!” Mia berkilah.Dia benar-benar penasaran pada kemana larinya uang warung milik mereka yang dijaga oleh mertuanya dan Mbak Finah. “Ibu
“Bu, uangnya lebihin sedikit saja gak apa. Yang penting ada tambah buat beli obat penenang si Winda.” Mbak Wilda sudah duduk di kursi plastik. Sesekali dia melirik ke arah dalam. Sepagi itu, Mbak Finah masih sedang memasak di dapur.“Kamu itu, ya! Memang uang dua puluh jutanya belum cair juga?” Bu Romsih tampak enggan. Dia merasa tidak enak juga pada Hafid sebetulnya.“Belum lah, Bu. Ibu adanya berapa sekarang duitnya?” Mbak Wilda menatap Bu Romsih. Tangannya sudah gatal ingin segera menerima uang jatah mingguan. Bu Romsih terdiam. Dia melirik ke arah Mbak Finah yang masih ada di dapur. Lalu berbicara setengah berbisik. Tiba-tiba ada rasa tak nyaman jika Mbak Finah mendengar obrolan mereka. “Ibu kasih lima ratus ribu saja, ya! Kasihan si Hafid. Nanti wartegnya bangkrut,” bisiknya. Sementara itu, sudut netranya mengawasi Mbak Finah yang tampak masih sibuk saja. “Yah, dikit banget sih, Bu! Dua juta, deh!” Mbak Wilda merengut. Dia sudah berencana membeli skin care mahal padahal. “Ban
Pov WindaRasa sakit setelah melaksanakan operasi secar membuatku tidak bisa bergerak bebas. Hanya tiduran sambil menatap bayi yang tergeletak tidak jauh dariku. Hari ini aku sudah pulang dan tinggal kembali di rumah Mbak Wilda. Tetesan air mata tiba-tiba tak bisa kutahan. Entah, menatap bayi itu aku menjadi sangat benci pada Mia. Kalau bukan gara-gara dia, aku dan Mas Ardi mungkin belum bercerai dan bayi itu masih memiliki ayah. Kini, semua menjadi tidak jelas, bayi ini anak siapa? Mas Akim atau Mas Ardi? “Mbak, ini beberapa pakaian waktu Mesya kecil dulu!” Mia menyodorkan satu plastik kantong berisi pakaian bayi sepertinya. Dia jadi sering sekali ke sini sepulangnya aku dari rumah sakit. Mungkin menebus perasaan bersalahnya atas nasibku. Tak ada keinginan untuk membalas ucapannya. Kulirik sekilas wajahnya yang kini tampak sedikit lebih bersih. Makin benci saja aku melihatnya. Mungkin hatinya kini tengah bersorak atas segala kekacauan yang kualami. Lihat saja Mia, aku akan membuat
Sudah beberapa hari ini Mbak Winda mulai kerja di tempat Mince. Seperti halnya dulu, berangkat awal pagi dan pulang sudah larut. Terlebih tempat karaoke Mince itu terkenal dengan karaoke plus plusnya. Jadi banyak singer jadi-jadian yang sebetulnya memiliki profesi terselubung. Hanya namanya saja karaoke keluarga. Rencana Mbak Winda yang hendak membuang Putri ke panti asuhan dia tunda dulu. Hal ini tidak lain karena dia masih membutuhkan bayi itu untuk menarik simpatik dari Hafid. Seperti halnya hari itu, dia sudah menelpon Hafid meminta di jemput. Dengan berbagai alasan. Padahal tujuannya agar Hafid bertemu dengan Teta---seorang singer yang sudah terbiasa melayani Om-Om. Penampilannya tampak polos dan lugu akan tetapi sebetulnya Teta sudah sangat berpengalaman.“Fid, cepetan jemput ke sini! Kasihan Putri harus nungguin Mbak lama!” Mbak Winda berbicara pada Hafid memalui gawainya.“Iya bentar, Mbak! Aku masih di jalan habis jualan keliling!” ucap Hafid dari seberang telepon. Ya, kondi