Hafid sudah tiba di klinik. Tampak di depan ruangan Mbak Winda dirawat sudah ada Mbak Wilda dan Bu Romsih tengah berbincang. Sudah adzan maghrib ketika dia tiba di sana. Hafid bergegas melipir dulu ke mushola dan menunaikan tiga rakaat kewajiban. Usai shalat, Hafid kembali ke dalam klinik yang tidak terlalu besar itu. Mbak Wilda sudah mengenakan jaketnya dan tampak bersiap pulang.“Elaaah ... lama banget, sih, Fid baru datang? Mbak sudah kelar juga ngobrolnya sama Ibu. Kamu tuh apa-apa lelet.” Mbak Wilda melempar komplen.“Habis shalat dulu, Mbak. Tadi aku juga ketemu sama Mas Kama di mushola. Sudah ngobrol juga sedikit. Jadinya gimana? Kata Mas Kama ada dari Bank nelpon mau narik mobil, ya?” Hafid masih berdiri dan menatap Mbak Wilda.“Sudah Mbak ngobrol sama Ibu. Sudah beres. Kamu gak usah ikut campur lagi gak apa. Kebetulan ada sepupunya Mas Kama yang mau over kredit mobilnya. Katanya dulu Winda DP nya lima puluh juta, ya rugi setengahnya, sih. Sepupunya Mas Kama cuma siap uang d
Namun tak sampai hati hendak mengintimidasi Mbak Finah yang tampak kikuk ketika menyerahkan uang setoran. “Sepi wartegnya, Fid. Ibu lihat sendiri kok pelanggan di sini gak terlalu ramai. Makanya wajar kalau cuma dapet segitu.” Bu Romsih membela Mbak Finah. Meskipun Hafid belum mengucapkan kalimat apapun juga.“Oh, sepi ya sekarang, Bu?” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Hafid. Mbak Finah mengangguk, tetapi dengan pandangan mata tertunduk. Mia mengerti, ada yang tidak beres sedang terjadi. “Mas, aku mau ajak Mbak Finah belanja sayuran dulu buat stock! Ini nitip Mesya, ya! Jaga di sini sama Ibu!” Mia menyodorkan Mesya ke pangkuan Hafid. “Masih banyak sayuran untuk dimasak, kok, Mia. Gak usah belanja dulu!” Bu Romsih melarang.“Gak apa, Bu. Aku mau ajarin Mbak Finah bikin menu baru buat narik pelanggan. Mau beli sayur untuk masakan spesial!” Mia berkilah.Dia benar-benar penasaran pada kemana larinya uang warung milik mereka yang dijaga oleh mertuanya dan Mbak Finah. “Ibu
“Bu, uangnya lebihin sedikit saja gak apa. Yang penting ada tambah buat beli obat penenang si Winda.” Mbak Wilda sudah duduk di kursi plastik. Sesekali dia melirik ke arah dalam. Sepagi itu, Mbak Finah masih sedang memasak di dapur.“Kamu itu, ya! Memang uang dua puluh jutanya belum cair juga?” Bu Romsih tampak enggan. Dia merasa tidak enak juga pada Hafid sebetulnya.“Belum lah, Bu. Ibu adanya berapa sekarang duitnya?” Mbak Wilda menatap Bu Romsih. Tangannya sudah gatal ingin segera menerima uang jatah mingguan. Bu Romsih terdiam. Dia melirik ke arah Mbak Finah yang masih ada di dapur. Lalu berbicara setengah berbisik. Tiba-tiba ada rasa tak nyaman jika Mbak Finah mendengar obrolan mereka. “Ibu kasih lima ratus ribu saja, ya! Kasihan si Hafid. Nanti wartegnya bangkrut,” bisiknya. Sementara itu, sudut netranya mengawasi Mbak Finah yang tampak masih sibuk saja. “Yah, dikit banget sih, Bu! Dua juta, deh!” Mbak Wilda merengut. Dia sudah berencana membeli skin care mahal padahal. “Ban
Pov WindaRasa sakit setelah melaksanakan operasi secar membuatku tidak bisa bergerak bebas. Hanya tiduran sambil menatap bayi yang tergeletak tidak jauh dariku. Hari ini aku sudah pulang dan tinggal kembali di rumah Mbak Wilda. Tetesan air mata tiba-tiba tak bisa kutahan. Entah, menatap bayi itu aku menjadi sangat benci pada Mia. Kalau bukan gara-gara dia, aku dan Mas Ardi mungkin belum bercerai dan bayi itu masih memiliki ayah. Kini, semua menjadi tidak jelas, bayi ini anak siapa? Mas Akim atau Mas Ardi? “Mbak, ini beberapa pakaian waktu Mesya kecil dulu!” Mia menyodorkan satu plastik kantong berisi pakaian bayi sepertinya. Dia jadi sering sekali ke sini sepulangnya aku dari rumah sakit. Mungkin menebus perasaan bersalahnya atas nasibku. Tak ada keinginan untuk membalas ucapannya. Kulirik sekilas wajahnya yang kini tampak sedikit lebih bersih. Makin benci saja aku melihatnya. Mungkin hatinya kini tengah bersorak atas segala kekacauan yang kualami. Lihat saja Mia, aku akan membuat
Sudah beberapa hari ini Mbak Winda mulai kerja di tempat Mince. Seperti halnya dulu, berangkat awal pagi dan pulang sudah larut. Terlebih tempat karaoke Mince itu terkenal dengan karaoke plus plusnya. Jadi banyak singer jadi-jadian yang sebetulnya memiliki profesi terselubung. Hanya namanya saja karaoke keluarga. Rencana Mbak Winda yang hendak membuang Putri ke panti asuhan dia tunda dulu. Hal ini tidak lain karena dia masih membutuhkan bayi itu untuk menarik simpatik dari Hafid. Seperti halnya hari itu, dia sudah menelpon Hafid meminta di jemput. Dengan berbagai alasan. Padahal tujuannya agar Hafid bertemu dengan Teta---seorang singer yang sudah terbiasa melayani Om-Om. Penampilannya tampak polos dan lugu akan tetapi sebetulnya Teta sudah sangat berpengalaman.“Fid, cepetan jemput ke sini! Kasihan Putri harus nungguin Mbak lama!” Mbak Winda berbicara pada Hafid memalui gawainya.“Iya bentar, Mbak! Aku masih di jalan habis jualan keliling!” ucap Hafid dari seberang telepon. Ya, kondi
Arman pemilik konter aksesoris ponsel itu menyetujui permintaan Mia. Dia segera memijit nomor yang Mia berikan. Tidak berapa lama panggilan terhubung, lalu terdengar suara seorang perempuan di seberang telepon.“Hallo, ini siapa?” sapanya. Mia mendengarkan dengan seksama. Memorinya mulai merangkai kemiripan suara itu dengan yang pernah dia dengar. Rasanya suara itu familiar. “Ini Ferdi, kamu Santi ‘kan?” ucap Arman dengan santai. Modelan pengguna telepon salah sambung yang professional. “Ferdi? Santi? Salah sambung kali, Mas?” ucap suara dari seberang telepon yang memang sengaja di loudspeaker oleh Arman. Terdengar jelas suara itu mirip dengan siapa. Mia mengisyaratkan agar Arman kembali memancing pembicaraan. Arman mengangguk sambil mengangkat satu alisnya. Menjadi seorang duda di usia muda memang membosankan. Karenanya ketika mendapat pekerjaan seperti ini baginya merupakan hiburan juga. “Masa kamu lupa sama aku, coba kamu tebak aku siapa? Aku orang yang dulu kamu cintai banget
“Mbak ngapain pagi-pagi ke sini?” Teta menyipit menatap Mbak Winda.“Aku mau barang itu, Ta!” Mbak Winda mendorong daun pintu yang Teta masih tahan. Namun sontak matanya membulat melihat sosok lelaki yang tengah terbaring di atas tempat tidur Teta. “Mas Akim?!” pekik Mbak Winda sambil berpegangan pada daun pintu. Kakinya mendadak gemetar. Hatinya berdentum-dentum hebat. Lelaki bertelanjang dada tersebut tampak kaget. Dia meraih kaosnya yang tergeletak lalu mengenakannya dengan cepat. Sementara itu, Mbak Winda berjalan cepat mendekat.Plak!Plak! Plak! Tamparan bertubi-tubi dihadiahkannya pada kedua pipi Mas Akim. Air mata Mbak Winda mengalir tak tertahan. Sedih, benci, marah bercampur kecewa membaur menjadi sesak. “Balikin uang aku, Mas! Balikin semuanya!” hardik Mbak Winda sambil mendorong tubuh lelaki yang baru saja hendak bangun itu. Tubuh Mas Akim terhuyung ke belakang karena tidak menyangka mendapatkan serangan dadakan sekuat tenaga dari Mbak Winda.Mbak Winda maju lagi mera
Bu Romsih sudah menangis sejak semalam. Sepulang dari tempat kerja, Mbak Winda membawa paksa Putri. Alasannya mau dibawa ke dokter. Namun hingga pagi, Mbak Winda gak bisa dihubungi dan keberadaan Putri tidak diketahui. “Ibu kenapa juga ngasihin si Putri malem-malem dibawa Winda! Sudah jelas selama ini dia gak sayang sama anaknya itu!” Mbak Wilda malah menyalahkan Bu Romsih atas kehilangan bayi tersebut. Bu Romsih yang sejak malam menangis itu makin tersedu. Dia merasa sangat bersalah ketika tak mendapat kabar dari Mbak Winda. Hafid dan Mia baru saja tiba. Keduanya langsung masuk ke dalam rumah. Mas Kama sudah berangkat kerja. Hanya ada Bu Romsih dan Mbak Wilda di sana. “Putri belum ditemukan juga, Bu?” Hafid memburu Bu Romsih dengan pertanyaan. Wanita sepuh itu menggeleng sambil terisak. “Aku juga coba hubungi Mbak Winda berkali-kali tapi gak aktif. Nanti aku coba ke tempat kerjanya.” Hafid berusaha menenangkan. Mbak Wilda menatap sinis pada Hafid. Lalu melirik ke arah Mia. “Ka