Sore berangsur datang dengan suasana angin yang menyejukkan, aku dan Bunda sedang duduk di tepi taman mini yang ayah buat sendiri sambil menikmati secangkir teh dan kue.Sambil berbincang-bincang kecil tentang bagaimana cara aku mendapatkan uang 2 juta dan memberikannya kepada Bunda, kami saling tertawa dan kemudian diam lagi merenungi apa saja yang telah terjadi."Assalamualaikum." Itu adalah suara ayah yang menyapa dari depan pintu. Aku dan Bunda langsung saling memandang dan dengan penuh keheranan karena tumben sekali sore-sore begini Ayah sudah pulang."Waalaikumsalam Iya Mas...."Bunda langsung bangun untuk menyambut ayah, meski hati Bunda sakit dan terluka tapi beliau tetap saja menunjukkan bakti dan kebaikannya sebagai seorang istri. Meski di sisi lain Bunda sudah pernah bertengkar dan mengambil uang ayah, tapi Ibuku itu tidak pernah benar-benar menunjukkan dendam dan sakit hatinya. Bunda seolah cepat sekali memaafkan seseorang ketika dia marah dia akan marah tapi saat seseora
"Kurang ajar sekali kalian berdua aku akan menyesal makan di rumah ini." Ayah beranjak ke wastafel mencuci mulut, berkumur dan mencuci tangannya, dia sepertinya tidak tahan dengan rasa cabai yang begitu pedas dari sambal balado yang dituangkan Bunda."Aku sedang memperingatkanmu agar kau tidak bersikap seenaknya di hadapanku. Aku memang mau tidak mau harus menerima pernikahan kalian tapi tidak sebegitunya kau harus memamerkan semua kemesraanmu di hadapanku. Apa kau tidak punya perasaan?" tanya Bunda."Tentu aja aku punya, tapi aku tidak sengaja, kau tahu kan Jika Itu adalah sebuah kebiasaan maka kau akan sulit mengubahnya.""Kebiasaan memanggil wanita lain dengan sebutan sayang? Bahkan kau sendiri jarang memanggil Aku sayang!""Itu karena kita sudah tua dan rasanya tidak pantas jika itu didengarkan orang-orang.""Jadi karena aku sudah tua jadi kau tidak percaya diri lagi untuk memanggilku dengan ungkapan cinta dan kasih sayang? Kau mencari orang yang lebih muda yang bisa Kau berikan k
(Tante Ika, kenapa Tante mengadu pada ayah, Apakah anda meragukan ku atau menganggap bahwa semua yang aku bicarakan adalah sebuah lelucon apa Tante mengira bahwa kalau aku bercanda?)(Tidak, tidak begitu, aku hanya cerita dan minta pendapat ayahmu, aku tidak menganggapnya bercanda.)(Lalu kenapa ayah marah padaku, kenapa Tante emang menginginkan hubungan aku dan ayah renggang?)(Aku tidak pernah berniat seperti itu justru aku ingin membaur bersama keluargamu dan diterima.)(Oh ya? Tapi kenyataan malah sebaliknya, kontras sekali ucapan dan perlakuan Tante.)(Aku bukan hanya ingin agar Kau bisa menolongku dekat dengan ibumu tapi aku ingin kau juga menolong keluarga aku bisa dekat dengan nenekmu dan semua orang yang ada di keluargamu.)(Tante tahu kan, ada biaya untuk semua itu, aku harus membujuk semua orang dan memastikan kalau aku selalu punya waktu untuk melakukan hal itu.) Kini Aku berusaha lagi melancarkan cara agar dia bisa kembali menggelontorkan uang.(Aku sudah memberimu tad
“Sungguhkah Bunda?” Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar, bunda secara langsung mengutarakan kata kata itu pada ayah.“Iya sungguh, kulakukan itu untukmu, agar kamu merasa bunda selalu mendukungmu, Bunda ingin kau dapatkan apa yang kau inginkan dan menjadi bahagia. Bunda ingin memastikan masa depanmu berjalan dengan baik dan lancar.”“Ini hanya pura-pura, Bunda tak perlu mengorbankan perasaan mengingat aku juga tidak akan pernah suka dengan Tante Priska, mereka bagiku hanya sampah yang pada akhirnya harus dibuang, aku janji, mereka tidak akan pernah kusukai.”"Dengar Nak, bunda senang kalau hubunganmu membaik pada semua orang, Jangan tertular degan perasaaan bunda yang sakit dan terlajur membenci. Bunda ingin kau tumbuh menjadi anak yang berhati tulus dan berpikir jernih.'"Apa bunda tidak sakit hati atas kematian Indira?""Sangat, tapi sekali lagi, ayahmu dan priska hanya pencetus, bunda memang dendam dan kecewa tapi tak banyak yang bisa bunda lakukan, hanya bisa berh
Jadi dia menyebut diriku sebagai anaknya? Percaya percaya diri sekali dia menyebut aku sebagai anaknya. Apakah karena aku siswa dengan banyak prestasi sehingga dengan bangganya ia pamer bahwa aku adalah anaknya."Saya bukan anaknya tante Priska, saya hanya anak tiri.""Meski begitu ibumu sangat menyayangimu," jawab guruku itu."Ibuku? Sekali-kali dia tidak akan pernah menjadi ibuku, aku punya ibu kandung dan itu melebihi dirinya," jawabku sambil menahan emosi, kuputuskan untuk menjauh dari guruku yang masih terlihat kaget dan heran itu.Entah kenapa aku benar-benar muak saat mendengar nama tante Priska.Pukul 10.00 pagi pelajaran terpaksa harus dijeda karena rapat akan segera dimulai dan guru-guru harus pergi ke ruang rapat. Salah satu temanku yang merupakan anggota OSIS memintaku untuk bergabung ke tempat acara para wali murid untuk membantu membagikan makanan pada tamu undangan. Tadinya aku santai dan percaya diri untuk melayani para tamu karena merasa bahwa kedua orang tuaku tida
Beberapa jam setelah pertemuanku dengan tante Priska, kudapati diri ini hanya linglung dengan pikiran yang kacau, duduk di kantin sekolah dan hanya menatap pada makanan yang aku pesan tanpa kusentuh sedikitpun.Aku masih syok dengan dengan kenyataan dan rahasia yang terkuak satu persatu, semuanya benar benar memukul mentalku sebagai anak. Aku terkejut dan mulai mengambil kesimpulan, mengapa bunda hanya diam dan mengalah saja. Apakah bunda tahu kalau Tante Priska yang selama ini menutupi kebutuhan kami? Kalau begitu ...arggg, aku kesal dan malu sendiri. Malu, benci dan geram, tapi tak bisa berbuat banyak atas wanita yang menyebut dirinya malaikat penyelamat itu. Penyelamat dari mana? Malaikat maut baru iya.*"Apakah Bunda selama ini tahu kalau Tante Priska yang menyokong ekonomi kita dan menutupi semua tagihan-tagihan?"tidak kuasa kutahan rasa penasaran sehingga aku langsung bertanya kepada Bunda begitu aku sampai di rumah.Bunda yang sedang merajut di teras langsung menatap Dan mele
Setelah kejadian semalam, aku enggan untuk bicara pada siapapun, aku memilih langsung berangkat sekolah tanpa sarapan atau menyapa orang tua. Sengaja berangkat pagi sekali agar aku bisa mampir ke makam Indira yang tak jauh dari jalur sekolah, kubeli setangkai mawar lalu kuletakkan di depan nisan sambil berdoa semoga adikku tenang di alam sana.Usai berdoa aku segera berangkat, melanjutkan pelajaran dan pendidikan yang mungkin suatu saat nanti akan berguna untukku. *Setelah lama memikirkan tentang besaran gaji dan kekayaan serta bagaimana selama ini Tante Priska mencukupi kami, aku makin penasaran saja tentang jabatan dan posisi Tante priska yang entah kenapa lebih tinggi dari ayah. Apakah karena dia punya pendidikan yang mumpuni dan kinerja yang lebih baik sehingga dia lebih cepat naik pangkat dan mendapatkan gaji yang besar, ataukah dia memang pegawai senior yang umurnya ternyata lebih tua dari ayah, tapi itu tidak mungkin.Aku rasa wanita itu kuat mengejar pendidikan sehingga di
Aku mencapai posisi muntab atau benar benar sudah muak dengan keadaan, Bunda yang tetap saja dalam keheningan dan kebungkamannya sementara Tante priska dan ayah semakin menjadi-jadi. Aku benci berada di situasi harus memilih dan keadaan yang terhimpit, aku tertekan dengan pilihan-pilihan yang sebenarnya sangat menyakitkan dan tidak ada baiknya.Herannya kenapa pelakor ini selalu menang, apakah karena dia kaya dan orang orang mendukungnya. Kenapa dia nekat sekali ingin memiliki ayah, Bukankah di luar sana banyak laki-laki yang lebih tampan dan mapandai bandingkan Ayah, kenapa juga harus ayah?"Kenapa kau nekat sekali berpura-pura menjadi malaikat yang penuh kebaikan demi mendapatkan ayahku, padahal di luar sana kau bisa memilih lelaki manapun yang kau suka?!""Alana!" Ayo langsung membentak dan melotot padaku namun begitu dia melirik kepada Bunda Ayah langsung menghela nafas dan seolah mengalah."Jaga bicaramu kepada istri Ayah bagaimanapun dia adalah ibumu juga!""Ibuku!""Iya," tegas
Pada akhirnya setelah diskusi panjang lebar dan keluargaku membujukku, maka aku pun setuju untuk pulang ke rumah keluarga dan ahli warisku. Sebetulnya aku tidak terlalu ingin bersama mereka tapi bagi mereka tidak aman diriku untuk tinggal sendiri di tengah teror dan ancaman keluarga Tante Priska.Meski nantinya keluarga Priska tidak akan lagi menemuiku, tapi tetap saja keluargaku khawatir tentang diri ini yang sendirian karena aku adalah anak perempuan. Belum lagi usaha kedai yang mungkin tak akan bisa kukelola dengan maksimal. Kedai itu terancam gulung tikar sebentar lagi.*Aku pindah ke rumah nenekku, tinggal di sebuah kamar di lantai dua bersebelahan dengan kamar oma. Sikap Oma berubah drastis, dia yang tadinya biasa saja, jadi sangat perhatian dan sayang. Mungkin karena besarnya rasa bersalah padaku dan Bunda. Nenek jadi sangat lembut, penuh kasih sayang dan berusaha memenuhi kebutuhanku.Om dan tanteku juga sama, mereka mendukung dan menyayangiku, mereka mencarikan kampus yang
Hari itu kutemani ayah pergi ke rumah sakit jiwa di mana Bunda dirawat sekaligus ditahan. Saat pertama kali mendaftar di lorong rumah sakit dan bilang kalau kami ingin bertemu Bunda naifa, aroma khas rumah sakit serta sedikit aroma busuk mulai menguar di penciumanku.Aku juga mendengar teriakan dan suara tawa melengking yang berasal dari para pasien yang mungkin sedang berhalusinasi atau teringat dengan peristiwa traumatis mereka. Aku bisa merasakan betul tekanan dan prihatin dengan nasib pasien yang ada di situ. Aku yakin bukan keinginan mereka untuk ada di sana tapi keadaan dan mental mereka yang membuat mereka tertahan.Kami diantarkan oleh dua orang perawat ke sebuah kamar yang berada di lantai 2 dan jauh di ujung lorong sayap timur. Saat melewati koridor, aku bisa melihat di sebelah kanan dan kiri, ruang pasien yang dilapisi kaca dan jaring jeruji, berisi mereka dengan aneka tingkah laku dan keluhan. Ada yang hanya duduk di ranjang sambil menerawang menatap jendela, ada yang b
"Aku tidak akan ikut campur kalau Tante ingin berpisah atau tetap bersama ayah, tapi ada sedikit yang mengganjal hatiku karena tiba-tiba tante ingin mendapat permintaan maaf dari ibuku. Kalian berdua sama-sama salah dan sama-sama kena getahnya, kenapa tidak saling merangkul dan saling memaafkan satu sama lain saja, tanpa harus menuntut satu harus bersujud kepada yang lain?""Maaf, ibumu telah membunuh anakku.""Kehadiranmu juga telah membunuh adikku.""Ia membuatku mendapatkan kesialan bertubi-tubi.""Karena kehadiranmu kami kehilangan ayah dan rumah, keluarga kami hancur hubungan kami dengan nenek kami juga hancur, apa Tante ingin kita mengadu nasib?""Baiklah kau menang!"wanita itu akhirnya menyerah dan hanya mendengkuskan nafas sambil terlihat kesal padaku. Dia dalam keadaan sakit dan sedih sementara dia kesal dan tidak mau menatap wajahku. Dia benahi selimutnya sendiri karena hawa AC yang mulai dingin.Kuhampiri wanita itu, lalu kubantu dia untuk memperbaiki selimut, ku tawarkan j
"Dengar anak suamiku! Aku sedang sakit, bersedih dan ditimpa kesulitan bertubi-tubi. Aku tidak mau kehadiranmu mengeruhkan suasana dan membuat diriku makin depresi. jadi dengan penuh hormat, aku memintamu untuk meninggalkanku sendiri saja,"ucapnya sambil mengarahkan tangan ke pintu yang pertama bahwa dia mau tidak mau terpaksa mengusirku."Aduh Tante, kalau aku tidak menjaga lantas siapa yang akan membantumu pergi ke kamar mandi dan mengawasimu, kau bisa pingsan dan saluran infus itu bisa terlepas dari tanganmu dan berdarah. Harus menjagamu Demi rasa baktiku kepada ayahku. Aku tidak akan tahan terus bicara dan menatap wajahmu jadi aku akan mengawasimu dari luar, kataka. Saja kalau kamu butuh sesuatu," ucapku ketika hendak membalikkan badan dan pergi."Kau tidak perlu susah payah, urus saja ibumu yang pembunuh itu," jawabnya dengan sombong, aku tersentak saat wanita itu menyebut ibuku dengan sebutan pembunuh. Emosiku tiba-tiba ingin naik kepala Andai saja aku tidak berusaha mengendali
Aku menelpon ayah dalam perjalanan pulang dari persidangan Bunda. Aku ingin tahu Ayah sedang apa. Apakah dia sudah sampai di rumah atau belum. Kalau belum Aku ingin sekalian pergi menjemputnya karena Ayah tidak membawa motor melainkan dia menggunakan ojek online."Halo assalamualaikum ayah...""Ya, walaikum salam."Suasana di sekitar Ayah terdengar sangat ramai dan lalu lalang orang serta keriuhan yang sulit kujelaskan, aku tidak bisa berasumsi kalau dia sedang di kantor karena tidak mungkin suasana di kantor sampai seperti pasar. Ada suara jeritan orang yang menangis dan beberapa yang lain terdengar bicara dan sulit dimengerti Apa yang sedang mereka katakan."Ayah di mana sekarang, apa yang sedang Ayah lakukan?""Ayah sedang di rumah sakit, Tante Priska menelpon ayah dan meminta ayah datang ke sini," jawabnya dengan suara pelan.Tadinya aku ingin menceritakan tentang keadaan Bunda dan putusan apa yang bunda dapatkan tapi mendengar nama tante Priska disebutkan aku jadi kesal dan mengu
"Lalu apa pilihan Ayah, apa Ayah akan pulang dengan kami atau kembali ke Tante Priska?"Pertanyaanku itu cukup membuat ayah terhenyak dan diam saja. Dia menggeleng lalu mendesah pelan."Tidak keduanya." Ayah mendesah dan memilih beranjak dari tempat duduknya, ia trtatih pelan dengan tongkatnya menuju ke kamar.Dari belakang siluet tubuh ayah terlihat kurus, sedikit bungkuk, hilang semua wibawa dan ketegapan dirinya sejak musibah yang menimpa. Pun Tante Priska yang kini babak belur dihujam masalah demi masalah. Kasihan, tapi harus bagaimana lagi.Kini, yang harus kufokuskan adalah tentang ibuku yang menjalani hukumannya, entah berapa tahun dia di penjara aku tak tahu. Semoga hakim mempertimbangkan ketidak stabilan mentalnya agar ibuku bisa diampuni dan diberi keringanan. Meski menurut orang lain egois bahwa aku berharap ibuku yang seorang pembunuh berencana tidak dihukum berat karena gangguan jiwa, tapi aku tetap berharap itu terjadi. Semoga ada keajaiban.*Seminggu kemudian.Pagi se
Sepanjang malam Ayah Hanya duduk di depan rumah sambil membiarkan tubuhnya ditiupkan angin malam yang datang dari lautan, libur ombak yang membentur pantai seakan seperti perasaan ayah yang saat ini merasa sangat sedih dan bersalah.Dari jendela kamar aku melihat tatapan Ayah yang menerawang, sesekali ia mengusap air matanya, sekali ia menangis sampai bahunya terguncang dan akhirnya ia kembali terdiam dalam lamunan panjang.Apa yang beliau katakan memang benar, kalau ada orang yang paling pantas menanggung kesalahan maka dialah orangnya, dialah penyebab semua masalah dan petaka yang terjadi. Kedua istrinya harus mengalami gangguan kejiwaan dan mental karena terlalu depresi memikirkan kehidupan mereka yang hancur karena ayah. Satu dikecewakan karena cintanya dan satu kecewa karena kehilangan anaknya. Puncak dari semua itu ayahlah penyebab utamanya. Anak tante Priska tidak akan mati kalau bukan disebabkan oleh ibuku yang mengalami gangguan kejiwaan dan tega berbuat hal yang nekat. Tapi
Hal yang paling mengejutkan dan tidak pernah kuduga adalah ternyata Ibu tiriku ada di antara mereka, kupikir dia tidak ikut tapi saat ku dengar dia lama-lamat menangis dan terus merintis saat diangkat oleh orang-orang maka pahamlah aku kalau dia sudah ikut.Kulihat wajahnya yang pucat karena syok serta tangannya yang berdarah karena pecahan kaca, aku jadi merasa miris sekaligus kasihan tapi lebih banyak puasnya. Aku ingin tertawa karena pelakor itu selalu mendapatkan kesialan dan kemalangan setiap kali berkendara di jalan raya. Baru saja ia sembuh dari cedera tulang yang berkepanjangan. Kini ia harus tabrakan dan malah lebih mengenaskan lagi."Siapa yang meninggal Pak, keponakanku?" tanyanya lemas, saat ia ditandu oleh empat orang, wanita itu sempat berpapasan denganku. Ia membulatkan mata tepat saat tatapan bola mata kami saling bertautan. Aku yang masih mengenakan helm dan tidak sadar kalau tidak pakai masker segera menghindar dari wanita itu, karena aku tidak mau hal itu menimbulka
Hari demi hari kulalui dengan penuh perjuangan yang cukup berat. Sisa uang yang ditinggalkan oleh Bunda mati-matianku kuperjuangkan untuk tetap cukup membeli bahan baku dan mengelola kedai. Aku berusaha hidup hemat dan prihatin tidak membeli kecuali sesuatu yang sangat kuperlukan. Pagi aku pergi mengambil kursus komputer dan coding, sementara sore hari aku akan sibuk di kedai untuk melayani para tamu.Sekarang Ayah tinggal bersamaku tapi aku tidak mau terlalu akrab dengannya, dia kerap menyapa dan mengajakku bercanda tapi aku menanggapinya dengan ekspresi datar dan memilih untuk menyibukkan diri dan kembali ke pekerjaanku. Jika sudah begitu, maka ayah akan dia, kemudian pergi mengerjakan apa saja yang rasa mampu ia kerjakan.Aku tetap memasak dan menyediakan makanan untuk ayah, aku tetap mencuci pakaian dan membersihkan kamarnya, tapi aku tidak banyak mengatakan apa-apa. Sesekali aku menjenguk Bunda, Tapi itu tidak terlalu sering karena bunda sendiri melarangku untuk selalu datang. B