Jadi dia menyebut diriku sebagai anaknya? Percaya percaya diri sekali dia menyebut aku sebagai anaknya. Apakah karena aku siswa dengan banyak prestasi sehingga dengan bangganya ia pamer bahwa aku adalah anaknya."Saya bukan anaknya tante Priska, saya hanya anak tiri.""Meski begitu ibumu sangat menyayangimu," jawab guruku itu."Ibuku? Sekali-kali dia tidak akan pernah menjadi ibuku, aku punya ibu kandung dan itu melebihi dirinya," jawabku sambil menahan emosi, kuputuskan untuk menjauh dari guruku yang masih terlihat kaget dan heran itu.Entah kenapa aku benar-benar muak saat mendengar nama tante Priska.Pukul 10.00 pagi pelajaran terpaksa harus dijeda karena rapat akan segera dimulai dan guru-guru harus pergi ke ruang rapat. Salah satu temanku yang merupakan anggota OSIS memintaku untuk bergabung ke tempat acara para wali murid untuk membantu membagikan makanan pada tamu undangan. Tadinya aku santai dan percaya diri untuk melayani para tamu karena merasa bahwa kedua orang tuaku tida
Beberapa jam setelah pertemuanku dengan tante Priska, kudapati diri ini hanya linglung dengan pikiran yang kacau, duduk di kantin sekolah dan hanya menatap pada makanan yang aku pesan tanpa kusentuh sedikitpun.Aku masih syok dengan dengan kenyataan dan rahasia yang terkuak satu persatu, semuanya benar benar memukul mentalku sebagai anak. Aku terkejut dan mulai mengambil kesimpulan, mengapa bunda hanya diam dan mengalah saja. Apakah bunda tahu kalau Tante Priska yang selama ini menutupi kebutuhan kami? Kalau begitu ...arggg, aku kesal dan malu sendiri. Malu, benci dan geram, tapi tak bisa berbuat banyak atas wanita yang menyebut dirinya malaikat penyelamat itu. Penyelamat dari mana? Malaikat maut baru iya.*"Apakah Bunda selama ini tahu kalau Tante Priska yang menyokong ekonomi kita dan menutupi semua tagihan-tagihan?"tidak kuasa kutahan rasa penasaran sehingga aku langsung bertanya kepada Bunda begitu aku sampai di rumah.Bunda yang sedang merajut di teras langsung menatap Dan mele
Setelah kejadian semalam, aku enggan untuk bicara pada siapapun, aku memilih langsung berangkat sekolah tanpa sarapan atau menyapa orang tua. Sengaja berangkat pagi sekali agar aku bisa mampir ke makam Indira yang tak jauh dari jalur sekolah, kubeli setangkai mawar lalu kuletakkan di depan nisan sambil berdoa semoga adikku tenang di alam sana.Usai berdoa aku segera berangkat, melanjutkan pelajaran dan pendidikan yang mungkin suatu saat nanti akan berguna untukku. *Setelah lama memikirkan tentang besaran gaji dan kekayaan serta bagaimana selama ini Tante Priska mencukupi kami, aku makin penasaran saja tentang jabatan dan posisi Tante priska yang entah kenapa lebih tinggi dari ayah. Apakah karena dia punya pendidikan yang mumpuni dan kinerja yang lebih baik sehingga dia lebih cepat naik pangkat dan mendapatkan gaji yang besar, ataukah dia memang pegawai senior yang umurnya ternyata lebih tua dari ayah, tapi itu tidak mungkin.Aku rasa wanita itu kuat mengejar pendidikan sehingga di
Aku mencapai posisi muntab atau benar benar sudah muak dengan keadaan, Bunda yang tetap saja dalam keheningan dan kebungkamannya sementara Tante priska dan ayah semakin menjadi-jadi. Aku benci berada di situasi harus memilih dan keadaan yang terhimpit, aku tertekan dengan pilihan-pilihan yang sebenarnya sangat menyakitkan dan tidak ada baiknya.Herannya kenapa pelakor ini selalu menang, apakah karena dia kaya dan orang orang mendukungnya. Kenapa dia nekat sekali ingin memiliki ayah, Bukankah di luar sana banyak laki-laki yang lebih tampan dan mapandai bandingkan Ayah, kenapa juga harus ayah?"Kenapa kau nekat sekali berpura-pura menjadi malaikat yang penuh kebaikan demi mendapatkan ayahku, padahal di luar sana kau bisa memilih lelaki manapun yang kau suka?!""Alana!" Ayo langsung membentak dan melotot padaku namun begitu dia melirik kepada Bunda Ayah langsung menghela nafas dan seolah mengalah."Jaga bicaramu kepada istri Ayah bagaimanapun dia adalah ibumu juga!""Ibuku!""Iya," tegas
Setelah menyadari bahwa tidak ada yang bisa dilakukan di buku untukku maka aku mulai merasa bahwa di dunia ini aku benar-benar sendiri saja menghadapi orang-orang yang sudah gila. Aku harus berjuang untuk tetap bertahan dengan harga diri yang ada sementara pada kenyataannya kami sudah jatuh dalam segala hal.Kini aku sendiri, merenungi takdir di kamarku, merenungi kiranya apa yang harus aku lakukan, jika terus melawan aku akan lemah, mentalku lelah, tapi jika aku menyerah, maka Tante Priska akan merasa di atas angin."Inilah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan," gumamku sambil mematut diri di depan kaca.Kepada Bunda agar beliau membiarkan aku untuk pergi ke rumah Tante priska. Bunda sendiri Mang Ya kan keinginanku lalu memintaku untuk berhati-hati setelah mencium tangannya aku pun naik ke motor dan berangkat.*Aku masuk ke dalam rumah Tante Riska dan mendapati dia dan ayah sedang makan malam ku ucapkan salam dan kedua sejoli itu langsung menatap padaku dengan raut heran tapi lang
"Bunda, ayah sakit," ucapku begitu bunda mengangkat telepon, kutemani ayah ke rumah sakit setelah sebelumnya minta izin dulu pada guru yang ada di sekolah. Aku tak akan bisa fokus belajar jika salah satu orang tuaku sakit."Sakit, sakit apa?" tanya Bunda dengan nada terkejut."Entahlah, mungkin asam lambung ayah naik," jawabku."Kalau begitu beritahu bunda rumah sakit mana tujuanmu, biar bunda bisa datang untuk merawat dan membawakan ayah sarapan," ujar bunda yang mulai terdengar setengah panik."Ayah lemah dan muntah muntah, cuma bunda yang tahu cara merawat ayah," ujarku."Iya Nak."Kuakhiri panggilan, kusimpan kembali ponselku dan memandang ayah yang masih terbaring di atas brankar ambulan yang melaju. Pagi mulai panas, keadaan jalan mulai macet karena orang orang yang berangkat ke kantor dan aktivitas masing masing. Kugenggam tangan ayah yang terasa dingin dan gemetar."Apa Ayah telat makan kemarin?" tanyaku memandang matanya."Ya, Tante Priska telat pulang untuk masak," jawabnya.
"Cukup hentikan! Apa kalian tidak lihat kalau aku sedang sakit," tanya ayah sambil mulai menahan rasa sesak dari napasnya."Entah kenapa keluargamu selalu mengajakku bertengkar padahal aku selalu berusaha untuk bersikap baik dan mengalah kejar tentang peristiwa dengan wajah yang dibuat sesedih mungkin di hadapan ayah."Dan entah kenapa istri barumu ini selalu saja memamerkan kemampuannya, padahal tidak perlu dipamer pun kami sudah tahu! Dia memang rese' dan kurang ajar," balas Bunda."Iri tanda tak mampu," ujar wanita itu dengan tatapan mendelik."Siapa yang bilang kami tidak mampu kalau kamu mau kamu bisa merebut kembali Ayah dan tidak akan membiarkan dia bertemu lagi denganmu, apa kau mau seperti itu!""Kalian tidak akan kuasa menolak takdir. Apapun yang terjadi saat ini aku adalah istrinya Mas Hafiz dan tidak ada manusia yang mampu menolak ikatan yang sudah dibuat dihadapan Tuhan!""Oh ya, ikatan tanpa restu dan keikhlasan orang lain? Kau lupa keberadaanku sebagai istri pertama?""
"Atau begini saja, bagaimana kalau kuberi penawaran..." Wanita itu menahan langkah bunda dengan ucapannya."Apa?""Kalau kamu tidak merasa bahagia lagi dengan Mas Hafiz maka biarkan dia denganku, aku akan memberimu ganti rugi.""Berapa yang kau bisa, satu milyar, dua milyar, bisa kah?" tanya Bunda sambil berkacak pinggang."Akan aku usahakan yang penting kau tidak mengusik dan menuntut apapun lagi.""Bagaimana dengan anakku?""Dia tetap anak Mas Hafiz, sudah kubilang alana akan selalu kami sayangi.""Cih, pintar sekali mulut itu mengumbar janji, padahal, belum tentu semua yang kau katakan akan kau lakukan, belum pernah aku mendapati wanita yang tidak tahu malu serendah dirimu," jawab Bunda sambil meludahi wanita itu ke tanah. Meski Bunda sudah bilang akan mengalah, tapi tetap saja, kebencian bunda semakin menjadi dan menyeruak ke permukaan, bunda sudah tak mampu menahan sakit hati. Andai bisa, aku ingin sekali memisahkan bunda dengan wanita itu. Atau kalau bisa aku ingin sekali men