"Mas, kamu dimana?"
Isi pesanku pada Mas Pandu, yang sudah dua hari ini tidak pulang. Pesanku pun hanya centang satu. Ini pertama kalinya Mas Pandu tidak pulang, biasanya jika kami bertengkar, dia tetap kembali ke rumah.
Seperti biasa aku akan mengalah, meminta maaf dan suasana romantis kembali tercipta antara aku dan Mas Pandu. Tapi, tidak kali ini.
Aku pun mondar mandir dengan gelisah.
"Kamu gak boleh gegabah, Lisa. Tenang dan berpikir jernih, kalo gak kamu bisa kehilangan segalanya," kataku berbicara pada diri sendiri.
Aku melirik ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi tanda-tanda kepulangan Mas Pandu, belum juga terlihat. Kotak pesanku pun masih centang satu.
"Apa Mas Pandu pulang ke rumah orang tuanya ya? atau.. jangan-jangan dia ke rumah selingkuhnya itu?" batinku kembali berdialog.
"Gak.. gak!"
Aku pun menggeleng menepis semua praduga yang melintas di kepala.
Akhirnya, kubulatkan tekad untuk menelpon ibu mertua.
"Maaf, Ma, kalo Lisa ganggu waktu istirahatnya," ucapku dengan perasaan serba salah, saat teleponku sudah terhubung dengan ibunya.
"Apa Mas Pandu ada di sana?"
"Aduh Lisaaa, kamu kan istrinya, harusnya kamu tau dong di mana suami kamu, makanya jadi istri itu gak usah sok-sokan cari pembenaran, pake tes-tes laboratorium segala. Kabur kan jadinya Pandu? Suami mana juga yang gak tersinggung, istrinya bawa hasil tes laboratorium langsung ke orang tuanya, pake di bilang mandul pula," sindir mertuaku, sinis sekali.
Rasanya aku ingin sekali membanting telpon itu. Kata-kata ibu yang singgah di telinga, begitu menyakitkan hati. Ia seperti menari-nari di atas kesedihanku. Memojokkanku menjadi hal paling ia senangi. Aku menggigit bibir, menahan getaran yang terjadi dalam diri. Lalu, menarik napas panjang dan mengatur nada suara agar terdengar tenang dan sabar.
"Ma, Lisa kan ngejalanin program hamil ini juga atas dasar keinginan Mama, bukannya Mama yang ngedesak Lisa buat cepet-cepet ngasih keturunan?"
"Kok kamu malah jadi nyalahin saya?" balas ibu berang.
"Lisa gak pernah nyalahin siapapun Ma. Lisa cuman berusaha ngewujutin keinginan mama, siapa yang bakal nyangka kalo ternyata hasil tes laboratorium, justru nunjukin kondisi kesehatan reproduksi Mas Pandu yang terganggu."
"Halaaah, itu pasti akal-akalan kamu aja kan?" sergah ibu. Nada suaranya terdengar sangat tidak senang.
"Toh buktinya Panduuu.." kata-kata ibu mertuaku tiba-tiba terputus.
"Buktinya Mas Pandu kenapa, Ma?" kejarku tak mau kalah.
Sekian detik kami terdiam.
"Buktinya Mas Pandu, kenapa Ma?" desakku lagi.
"Buktinya Pandu sehat-sehat aja tuh, gak ada keluhan apa-apa," ucap ibu mertua memberi pembelaan.
"Ingat Lisa, Pandu itu pewaris tunggal keluarga Atmaja, kami butuh penerus. Pandu gak bisa terus hidup, sama wanita yang gak juga ngasih dia keturunan. Jadi, saya tetap akan memilihkan wanita yang bisa memberinya keturunan."
"Ma, itu gak adil. Mama kan sudah liat sendiri, hasil tes laboratoriumnya."
"Saya sangat yakin kalo hasil tes itu salah, cuma rekayasa kamu aja," ucap ibu enteng.
"Gimana kalo kita lakuin tes laboratorium sekali lagi, Ma?"
"Gak perlu, dengan menikahkan Pandu sama wanita lain, itu sudah jadi bukti kongkret, yang bisa saya terima dibandingkan hanya coretan di atas kertas, ngerti kamu, Lisa!"
"Tapi, Ma..."
"Kamu itu keras kepala banget sih. Toh, saya kan gak nyuruh Pandu buat ceraikan kamu. Harusnya kamu bersyukur akan hal itu."
Mendengar penuturan ibu membuat tubuhku lemas. Tulang-tulangku rasanya tak mampu berdiri tegak, menahan bobot tubuh, hingga membuat aku jatuh terduduk di lantai. Ibu sepertinya tidak peduli dengan hasil tes laboratorium itu. Aku yakin, hal itu karena pengakuan Mas Pandu yang berhasil membuat sekretarisnya hamil.
"Cukup Lisa! Saya lelah berdebat sama kamu. Saya mau istirahat."
***
Aku sontak terbangun, ketika mendengar suara derit pintu kamar di buka.
"Mas Pandu?" pekikku kaget.
Mas Pandu melihat ke arahku, tapi dia tidak berkata apa-apa. Dia melemparkan jas hitam yang dikenakannya ke pinggir tempat tidur. Kemudian, masuk ke dalam kamar mandi.
Aku menarik tubuhku, yang masih terasa lelah ke posisi duduk. Entah pukul berapa aku benar-benar terlelap semalam, pikiranku terlalu sibuk mencerna kata-kata ibu, yang terus saja mengusik dan berputar di kepala.
Aaaargh!
Rasanya batinku tak rela jika Mas Pandu memiliki wanita lain, sekalipun secara syariat agama, hal itu dihalalkan. Terlebih, wanita itu telah dia tiduri sebelum janur kuning melengkung. Sebelum lisannya basah dengan ijab kabul, hingga bersemayam seorang janin di dalam rahim wanitanya.
Aku menghela napas dalam-dalam, Mengisi paru-paru dengan udara segar, sebelum menghadapi kepengapan masalah yang siap menyergap, saat berbicara dengannya.
"Mas Pandu," panggilku lembut sesaat setelah dia keluar dari kamar mandi.
Tak ada jawaban. Mas Pandu tetap membeku, sikapnya begitu dingin. Dia mengenakan pakaiannya tanpa kata.
Aku telah bertekad untuk mendekati Mas Pandu dengan cara halus, tanpa perdebatan yang membuat situasi kembali memanas. Aku bertekad memenangkan kembali hatinya.
Lalu, aku berjalan mendekatinya, memeluk tubuhnya yang hangat dari belakang.
"Lepas!" perintahnya sambil melepaskan pegangan tanganku, yang melingkar di perutnya.
"Mas," protesku kecewa, "Mau sampai kapan kita kayak gini?" tanyaku merendah.
Pandu berbalik dan menatapku tajam.
"Sampai kamu sadar, kalo seorang istri itu, harus bisa menjunjung tinggi hargai diri suaminya."
"Aku minta maaf. Aku nyesel, Mas. Maafin aku."
"Kamu pikir maaf aja cukup? Bisa ngerubah semuanya?" ucap Pandu geram.
"Kamu tau, betapa malunya aku, pas mama ngasihin lembaran tes laboratorium, yang nunjukin kalo penyebab kamu gak juga hamil adalah aku. Kenapa kamu gak ngomong langsung sama aku? padahal kan kamu tau, mama pengen banget punya cucu dari aku. Eeeh, kamu dengan seenaknya, nunjukin hasil tes itu ke mama?"
"Iya, Mas, maaf aku salah. Tolong maafin aku," ucapku dengan wajah tertunduk, penuh penyesalan.
"Kamu buat Mas, bener-benar kecewa."
"Terus, apa yang harus aku lakuin, biar mas bisa maafin aku?"
"Aku gak yakin kamu sanggup ngelakuinnya?"
"Apa itu, Mas? Kalo sekiranya hal itu bisa aku lakuin, aku akan lakuin demi dapet maaf dari kamu."
"Yakin?"
Aku pun mengangguk mengiyakan.
"Pikirankan keinginan mama, seenggaknya Mas bisa nunjukin ke mama kalo hasil tes laboratorium itu salah."
"Maksud, Mas?"
"Gak usah pura-pura polos kamu, Lisa. Kamu ngerti apa yang Mas maksud."
Akupun terdiam.
"Oooh, ini cara kamu menghalalkan wanita selingkuhan kamu, Mas. Baiklah, akan aku ikuti permainanmu hingga waktu itu tiba. Tunggu saja!"
"Kok kamu diam sih, sayang? Kamu keberatan kalo mas ikutin permintaan mama?" tanya mas Pandu membuyarkan lamunanku."Istri mana sih mas yang mau di madu?" ungkapku keberatan."Sayang?" panggil mas Pandu lembut, sambil mengangkat daguku dengan satu jarinya. Mata hitam pekatnya menatapku dalam."Mas janji sama kamu. Mas bakal berusaha adil, atau kalo kamu mau, kita buat aja perjanjian hitam di atas putih, begitu madu kamu lahiran, status anak itu bakal jadi anak kamu, gimana?"Janji mas Pandu terdengar begitu manis, sama seperti waktu dulu dia berjanji tidak akan menduakanku. Nyatanya, mas Pandu tetap melanggarnya. Bahkan, wanita itu telah dia tiduri, di saat aku sedang berjuang untuk mewujudkan keinginan orang tuanya--memberi cucu.Sesaat aku pun terdiam."Yakin sekali kamu mas, apa mungkin hasil tes laboratorium itu memang salah?" batinku kembali berkomentar sinis."Kalo ternyata hasil tes itu salah, itu artinya anak yang dikandung sekretaris mas Pandu memang anaknya, apa mungkin aku
"Apa ini, mas?" tanyaku penasaran.Sebuah kotak besar berwarna coklat dengan tali pita berwarna merah, diletakkan mas Pandu di atas tempat tidur."Coba aja buka."Kutemukan sebuah gaun malam berwarna hitam elegan, berlabel brand fashion terkenal terbungkus rapi di dalam kotak. Gaun yang begitu cantik dan indah. Aku memandang gaun itu dengan bingung, lalu mengalihkan pandangan pada mas Pandu."Ada acara kantor ya, mas?"Biasanya setiap ada acara di kantor, mas Pandu selalu membelikan aku gaun baru. Malu katanya kalo istri direktur pake gaun lama."Malam ini kita akan ketemu mama papa, sekalian kenalan sama calon istri baru mas," tutur mas Pandu memberi penjelasan.Aku pun melongo, dia begitu cepat mengambil tindakan. Aku yakin, hal ini dia lakukan agar aku tidak menaruh curiga pada bentuk perut wanita itu nantinya."Cepet banget mas dapat calonnya.""Wanita itu pilihan mama, sayang,"Keningku berkerut. Belum menikah saja, sikap mas Pandu sudah mulai berubah, apalagi kalo nanti dia meni
Selepas jamuan makan, aku secara pribadi menemui ibu mertua, yang sedang asyik bercengkerama dengan Irma--calon menantu barunya itu.Luar biasa sambutan ibu padanya, tak seperti padaku dulu. Ibu seperti orang yang berbeda, begitu ramah dan bersahabat. Dari kejauhan aku bisa melihat, ibu nampak gembira dan beberapa kali menyunggingkan senyum, yang tak pernah sekalipun dia tunjukkan padaku.Ah, sedih rasanya melihat pemandangan itu. Lalu, aku pun berjalan mendekat."Maaf ma, boleh ngomong sebentar?" tanyaku memotong pembicaraan keduanya."Ganggu aja deh. Ada apa lagi sih, Lisa?" tanyanya dengan nada ketus. Raut wajahnya berubah masam."Sebentar aja kok, ma.""Ya udah ngomong aja, ada apa?"Aku menarik napas panjang, menetralkan suasana hati yang bergetar."Maaf ma, tolong buat kali ini aja, biar Lisa sendiri yang ngasih tau abi sama umi soal pernikahan mas Pandu. Terakhir mama yang kasih tau, abi masuk rumah sakit," pintaku memohon."Jadi kamu nyalahin, saya?""Gak gitu ma. Mama kan tau
"Saya gak perlu banyak basa-basi sama kamu, Lisa. Kita langsung ke intinya aja," ucap ibu mertuaku. Mata hitam pekatnya menatapku dengan tampak serius.Firasatku mengatakan: itu pasti bukan sesuatu yang baik!"Keluarga Atmaja butuh penerus, jadi saya harap kamu bisa ikhlasin Pandu buat nikah lagi."Aku pun tercengang mendengar perkataannya. Bagaimana mungkin ibu mertuaku langsung membahas itu? Di saat kami tak bertemu dalam waktu yang cukup lama.Aku menarik nafas, dalam-dalam, lalu dengan sedikit keberanian, aku pun membuka suara."Nikah lagi, Ma?" ulangku seolah tak percaya dengan apa yang baru saja di dengar."Iya, ada yang salah?" ucapnya tegas dan seolah tak peduli dengan perasaanku yang terluka."Tapi, Ma? saya udah ikutin permintaan keluarga buat cek medis. Kata dokter, kondisi alat reproduksi saya sehat kok,""Nyatanya, kamu masih juga belum ngasih Pandu keturunan, kan?" Ibu berkata dengan sinis, alis kanannya terangkat."Ma, saya gak bermaksud menentang ucapan mama, tapi anak
"Umi tenang dulu ya?" kataku mencoba menenangkan, meskipun sesungguhnya batinku pun sedang bergejolak. Aku tau, itu pasti ulah ibu mertuaku, yang berusaha memperkeruh keadaan dan membuat aku semakin terpojok. Ibu seolah mencari dukungan atas apa yang ia lakukan padaku, termasuk dari orang tuaku. "Umi denger berita ini dari mana?" tanyaku mencoba setenang mungkin. "Tapi, bener kan, Nak?" cecar Umi lagi. "Gak semua yang umi denger itu bener, Mi," "Gak mungkin juga ibu mertua kamu, tiba-tiba nelpon dan bilang kayak gitu sama umi, kalo berita itu gak bener," tuturnya dengan nada marah dan suara serak. Aku menebak, ada sebuah ketidakrelaan terbit dari nada suara umi. Orang tua mana yang rela harga diri anaknya diinjak-injak. "Emangnya, mama ngomong apa aja sama umi?" "Intinya ibu mertua kamu ingin kamu hamil secepatnya, ia juga bilang kalau sampe kamu gak hamil sampe bulan depan..." kata-kata umi berhenti di tengah jalan, sepertinya suara umi tercekat di tenggorokan. Meskipun, umi
Pria yang sejak lama aku sukai secara diam-diam itu menatapku. Mata coklatnya selalu membuat dadaku berdebar. Sikapnya yang hangat memoles kepribadiannya menjadi tampak sempurna. Namun sayang, takdir tak berpihak pada kami. Dia terlambat menyatakan cintanya padaku, yang saat itu telah menerima pinangan seorang pria yang pada akhirnya resmi menjadi suamiku. Kembali melihatnya seolah membuka luka lama. Dadaku berdebar kencang, saat Mas Ryan berjalan menghampiri aku dan umi, yang masih duduk di kursi tunggu depan ruangan UGD. Senyumnya mengembang, begitu manis, tapi entah mengapa melihat senyum itu, membuat hatiku justru terasa sakit. "Assalamualaikum Umi?" sapa Ryan. "Wa'alikumsalam nak Ryan," jawab umi sambil membalas senyumnya. "Gimana kabar umi? udah lama kita gak ketemu," tanya Mas Ryan kemudian setelah dirinya mencium tangan umi. "Alhamdulillah umi baik, Nak, Umi juga gak nyangka bisa ketemu nak Ryan di sini," "Syukurlah kalo gitu Umi, oh iya, alhamdulillah kondisi Abi sudah
Aku pulang ke rumah larut malam dengan pikiran kacau. Pertengkaran dengan Mas Pandu di rumah sakit sempat membuat luka, ditambah kondisi kesehatan Abi yang sempat drop, karena mendengar kabar tentang madu yang diminta oleh ibu mertuaku.Cukup kompleks!Setelah membersihkan diri, aku melepas lelah di atas pembaringan, namun belum juga dapat terlelap karena Mas Pandu belum pulang. Beberapa kali, aku menghubungi ponselnya tapi tak ada jawaban.Hampir pukul satu dini hari, akhirnya Mas Pandu pulang, dalam keadaan separuh mabuk. Saat aku membuka pintu, bau alkohol menguar menerpa hidungku. Aromanya cukup membuatku mual.Mas Pandu melewatiku tanpa berkata sedikit pun. Dia berjalan terhuyung-huyung menuju kamar. Setelah menutup pintu aku segera menyusulnya.Saat aku masuk ke kamar, Mas Pandu sudah berbaring dalam keadaan menelungkup di atas tempat tidur, tanpa melepas sepatu dan berganti pakaian. Dalam diamnya, aku yakin Mas Pandu belum tidur."Mas," desahku dengan perasaan bersalah. Tetap t
"Ma, bisa kita ketemu? Ada hal yang pengen Lisa obrolin sama Mama," tanyaku ragu."Soal apa?"tanya ibu dengan suara dingin."Kita obrolin setelah ketemu ya, Ma?" jawabku memberi penawaran.Ibu mertuaku pun setuju dan hubungan telpon pun berakhir.Siang itu, aku sedang berada di sebuah kafe, duduk di sebuah kursi yang menghadap ke jalan, menunggu kedatangan ibu mertuaku.Aku menyeruput secangkir kopi sambil menikmati alunan musik. Beberapa menit kemudian, ibu mertuaku datang dan langsung menghampiri meja tempatku menunggunya.Ibu langsung duduk di hadapanku, lalu sekilas melirik ke arah jam yang melingkar ditangannya."Waktu saya gak banyak, cepetan ngomong, ada apa?" tanya ibu dengan wajah datar.Ketegangan pun mulai menjalari setiap sendi dalam tubuhku.Aku tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, jadi langsung saja aku sodorkan berkas hasil tes uji laboratorium, yang menjelaskan tentang kondisi kesehatan reproduksi Mas Pandu."Apa ini?"Ibu membuka kacamatanya. Mata hitam pek