Pria yang sejak lama aku sukai secara diam-diam itu menatapku. Mata coklatnya selalu membuat dadaku berdebar. Sikapnya yang hangat memoles kepribadiannya menjadi tampak sempurna. Namun sayang, takdir tak berpihak pada kami. Dia terlambat menyatakan cintanya padaku, yang saat itu telah menerima pinangan seorang pria yang pada akhirnya resmi menjadi suamiku.
Kembali melihatnya seolah membuka luka lama.
Dadaku berdebar kencang, saat Mas Ryan berjalan menghampiri aku dan umi, yang masih duduk di kursi tunggu depan ruangan UGD. Senyumnya mengembang, begitu manis, tapi entah mengapa melihat senyum itu, membuat hatiku justru terasa sakit.
"Assalamualaikum Umi?" sapa Ryan.
"Wa'alikumsalam nak Ryan," jawab umi sambil membalas senyumnya.
"Gimana kabar umi? udah lama kita gak ketemu," tanya Mas Ryan kemudian setelah dirinya mencium tangan umi.
"Alhamdulillah umi baik, Nak, Umi juga gak nyangka bisa ketemu nak Ryan di sini,"
"Syukurlah kalo gitu Umi, oh iya, alhamdulillah kondisi Abi sudah mulai normal, Mi."
"Loh kok nak Ryan tau kondisi Abi?" tanya umi heran, keningnya berkerut.
"Kebetulan pas Abi masuk ruang UGD tadi, Ryan yang lagi bertugas Umi."
"Oh gitu," jawab Umi seraya mengangguk tanda mengerti.
Aku dan umi pun bangkit dari kursi.
"Apa umi udah bisa ketemu Abi, nak Ryan?"
"Oh, tentu umi, tapi mohon maaf gak bisa lama-lama ya umi, soalnya Abi masih butuh banyak istirahat," jelas Ryan lagi.
"Baik, nak Ryan, terima kasih," jawab umi lagi, "Kalo gitu umi liat Abi dulu ya, Lis?"
Aku hanya menjawab kata-kata umi dengan anggukan. Aku masih tersihir oleh kehadiran Mas Ryan yang begitu tiba-tiba.
Umi pun pergi meninggalkanku dan Mas Ryan berdua. Aku sedikit kikuk dan gugup. Aku merasa kedua telapak tanganku basah oleh keringat, mungkin karena aku tegang, bertemu dengannya setelah sekian lama.
"Apa kabar, Mas?" tanyaku mencoba mencairkan ketegangan yang terjadi.
"Alhamdulillah aku baik, Lis,"
"Mas kapan pulang?"
"Baru dua bulan lalu Lis, kamu sendiri, apa kabar?"
"Yah beginilah keadaanku, Mas," jawabku mengambang.
"Apa kamu lagi ada masalah?"
Saat sedang berbincang-bincang dengan Mas Ryan, aku dikejutkan dengan suara dehaman seorang pria yang begitu lekat di telinga. Pria itu berdiri di belakang Mas Ryan.
Aku melongok, "Mas Pandu?"panggilku terkejut.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Pandu sinis.
"Aku...."
Ryan berbalik untuk melihat sosok yang datang.
"Eh, Mas, apa kabar?" potong Ryan mencoba ramah. Dia menjulurkan tangan, tapi tidak digubris sedikit pun oleh Pandu. Dengan senyum kecut, Ryan menurunkan kembali tangannya.
"Gimana kondisi Abi?"
"Udah sadar, Mas."
"Kalo gitu anter Mas liat Abi sekarang!" perintah Pandu dengan nada datar, tanpa peduli akan sosok Ryan yang berdiri tegak di dekatnya.
"Tapi, mohon maaf Mas Pandu tolong masuknya bergantian dan gak bisa lama-lama karena...."
"Ayo cepetan!" potong Pandu seolah tak mendengar kata-kata peringatan yang dilontarkan Ryan.
Perasaanku jadi tak enak menyaksikan sikap Mas Pandu yang tidak baik terhadap Mas Ryan, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Aku memilih diam untuk meminimalisir konflik yang terjadi.
"Malah bengong! Ayo cepet!" ucapnya, seraya menarik lenganku dengan kasar hingga nyaris membuat tubuhku terjatuh.
"Aaaww Mas, sakit," keluhku dengan ekspresi meringis kesakitan.
"Makanya kalo disuruh cepat ya cepet, jangan lambat! gimana sih?" Pandu seolah tak peduli, dia terus saja menarikku paksa.
"Lepasin, Mas! Sakit!" pintaku. Lagi-lagi Pandu tak memberi tanggapan.
Ryan yang risih dengan keributan yang terjadi akhirnya buka suara.
"Lepasin dia, Mas!"
Pandu menghentikan langkahnya mendadak dan berbalik menghampiri Ryan. Pandu naik pitam. Pandu meletakkan kedua tangannya di leher bawah Ryan dan menarik kerah bajunya.
"Gak usah sok jadi pahlawan kesiangan deh lu! Dia istri gue, jadi gue berhak ngelakuin apa aja ke dia, lu gak perlu ikut campur, ngerti!"
Pandu pun mendorong tubuh Ryan ke belakang.
"Jauhin Lisa, kalo lu pengen liat dia baik-baik aja," ancam Pandu.
Fokus Pandu kembali padaku, "Ayok!" lalu berjalan meninggalkan Ryan.
Aku menengok ke belakang, dan menemukan Ryan masih melihatku dengan tatapan iba.
Ryan hanya bisa menghela napas panjang, lalu berjalan berlawanan arah dengan kami.
"Mas gak suka ya kamu ngobrol sama Ryan, gimanapun dia pernah ada di hati kamu," ucap Pandu dengan nada marah.
Aku menghentikan langkah, lalu menarik lengan Mas Pandu, memintanya berhenti dengan paksa.
"Apaan sih kamu?" elak Pandu.
"Ikut aku sebentar, Mas!"
Aku menariknya ke sudut koridor yang sedikit sepi, rasanya malu jika harus menjadi tontonan orang banyak.
Aku ingin menyelesaikan kesalahpahaman itu lebih dulu, sebelum melihat kondisi Abi.
"Mas, itu kan dulu, sekarang masa depan aku ya kamu, Mas,"
"Halaaahh, Mas gak butuh kata-kata itu, Mas cuma pengen bukti, mulai sekarang kamu jauhin Ryan, ngerti!"
"Mas, aku gak ada hubungan apa-apa sama Mas Ryan, aku juga gak sengaja ketemu sama dia,"
"Gak sengaja ketemu, jadi punya alasan buat ngobrol berduaan?" sindir Pandu lagi.
"Mas, kok kamu jadi cemburu berlebihan kayak gini sih?" ucapku putus asa. Rasanya aku lelah menjelaskan.
"Berlebihan kata kamu?" balas Pandu geram, "Heh, jangan-jangan ini alasan kamu gak hamil-hamil juga,"
"Mas!" hardik Lisa tersinggung, "Kehamilan aku gak ada kaitannya sama Mas Ryan, Mas tau kan sejak awal kita nikah, aku gak pernah pake cara apapun buat nunda apalagi menghalangi kehamilan," tuturku dengan kesal.
"Yang punya kuasa atas kehamilan aku itu Allah, Mas, bukan kita! Sekarang gini aja deh Mas, setelah ini aku mau kita program hamil,"
"Gak usah bawa-bawa tuhan, udah jelas kok yang ada masalah itu kamu, bukan aku!"
"Kok Mas tega ngomong kayak gitu sih? cuma karena aku ngobrol sama Mas Ryan terus Mas bisa nuduh aku seenaknya gitu?"
"Yang punya rahim itu kan kamu bukan aku, ya pasti yang punya masalah itu kamulah!" ucap Pandu enteng dan semakin menyudutkanku.
"Ya Allah, Mas, tega banget kamu!"
"Loh, itu memang faktanya kan?"
"Mas, faktor kehamilan bukan cuma dari pihak perempuan aja tapi pihak laki-laki juga punya andil,"
Mas Pandu tersenyum mengejek, "Jadi kamu pikir aku ikut andil karena kamu gak juga hamil, gitu? jangan ngaco!" ucapnya penuh penekanan.
"Dari tadi kayaknya Mas yakin banget, atau jangan-jangan?"
"Jangan-jangan apa? Hah? Ayo ngomong! Dasar istri ga punya otak!" maki Pandu. Dia mengepalkan kedua tangannya, "Heeeuhh, ngerusak mood aku aja!"
Mas Pandu lalu pergi meninggalkanku yang masih mematung di koridor rumah sakit.
"Mas, Mas, Mas Pandu, tunggu! Mas, Mas mau ke mana?" panggilku sedikit berteriak. Tapi, Mas Pandu terus saja melanjutkan langkahnya.
Aku memejamkan mata sejenak, sambil menarik nafas dalam, mencoba menetralkan suasana hati yang sempat memanas.
"Ya Allah, kuatkan aku!" rintih batinku.
Aku pulang ke rumah larut malam dengan pikiran kacau. Pertengkaran dengan Mas Pandu di rumah sakit sempat membuat luka, ditambah kondisi kesehatan Abi yang sempat drop, karena mendengar kabar tentang madu yang diminta oleh ibu mertuaku.Cukup kompleks!Setelah membersihkan diri, aku melepas lelah di atas pembaringan, namun belum juga dapat terlelap karena Mas Pandu belum pulang. Beberapa kali, aku menghubungi ponselnya tapi tak ada jawaban.Hampir pukul satu dini hari, akhirnya Mas Pandu pulang, dalam keadaan separuh mabuk. Saat aku membuka pintu, bau alkohol menguar menerpa hidungku. Aromanya cukup membuatku mual.Mas Pandu melewatiku tanpa berkata sedikit pun. Dia berjalan terhuyung-huyung menuju kamar. Setelah menutup pintu aku segera menyusulnya.Saat aku masuk ke kamar, Mas Pandu sudah berbaring dalam keadaan menelungkup di atas tempat tidur, tanpa melepas sepatu dan berganti pakaian. Dalam diamnya, aku yakin Mas Pandu belum tidur."Mas," desahku dengan perasaan bersalah. Tetap t
"Ma, bisa kita ketemu? Ada hal yang pengen Lisa obrolin sama Mama," tanyaku ragu."Soal apa?"tanya ibu dengan suara dingin."Kita obrolin setelah ketemu ya, Ma?" jawabku memberi penawaran.Ibu mertuaku pun setuju dan hubungan telpon pun berakhir.Siang itu, aku sedang berada di sebuah kafe, duduk di sebuah kursi yang menghadap ke jalan, menunggu kedatangan ibu mertuaku.Aku menyeruput secangkir kopi sambil menikmati alunan musik. Beberapa menit kemudian, ibu mertuaku datang dan langsung menghampiri meja tempatku menunggunya.Ibu langsung duduk di hadapanku, lalu sekilas melirik ke arah jam yang melingkar ditangannya."Waktu saya gak banyak, cepetan ngomong, ada apa?" tanya ibu dengan wajah datar.Ketegangan pun mulai menjalari setiap sendi dalam tubuhku.Aku tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, jadi langsung saja aku sodorkan berkas hasil tes uji laboratorium, yang menjelaskan tentang kondisi kesehatan reproduksi Mas Pandu."Apa ini?"Ibu membuka kacamatanya. Mata hitam pek
"Lisaaaa... Lisaaaaa, keluar kamu!" teriak Mas Pandu dengan lantangnya. Terdengar derap langkah kakinya yang bergerak cepat berpindah tempat, mencari keberadaanku. Mas Pandu pulang dengan emosi meledak-ledak, seperti petasan yang baru saja dilucuti dari selongsongnya. Aku menduga dia tidak terima dengan sikapku, yang begitu saja menemui ibunya dan memberitahu hasil tes laboratorium, menjelaskan tentang dirinya yang mengalami masalah kesuburan. Ah, betapa bodohnya aku. Sesungguhnya aku pun menyesali hal itu. Berbicara dengan ibunya, tidak memberiku solusi terbaik, justru membuat semuanya jadi kacau dan semakin keruh. "Ada apa sih, Mas?" tanyaku dengan lembut, "kok teriak-teriak begitu?" tambahku lagi, sesaat setelah keluar dari kamar. Sorot matanya menatapku dengan begitu tajam dan wajahnya nampak merah padam. Tanpa aba-aba, Mas Pandu berjalan menghampiriku dan langsung melemparkan berkas yang digenggamnya ke depan wajahku. Aku memalingkan wajah untuk menghindar dan berusaha tetap
"Mas, kamu dimana?"Isi pesanku pada Mas Pandu, yang sudah dua hari ini tidak pulang. Pesanku pun hanya centang satu. Ini pertama kalinya Mas Pandu tidak pulang, biasanya jika kami bertengkar, dia tetap kembali ke rumah. Seperti biasa aku akan mengalah, meminta maaf dan suasana romantis kembali tercipta antara aku dan Mas Pandu. Tapi, tidak kali ini.Aku pun mondar mandir dengan gelisah."Kamu gak boleh gegabah, Lisa. Tenang dan berpikir jernih, kalo gak kamu bisa kehilangan segalanya," kataku berbicara pada diri sendiri. Aku melirik ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi tanda-tanda kepulangan Mas Pandu, belum juga terlihat. Kotak pesanku pun masih centang satu."Apa Mas Pandu pulang ke rumah orang tuanya ya? atau.. jangan-jangan dia ke rumah selingkuhnya itu?" batinku kembali berdialog. "Gak.. gak!" Aku pun menggeleng menepis semua praduga yang melintas di kepala.Akhirnya, kubulatkan tekad untuk menelpon ibu mertua."Maaf, Ma, kalo Lisa ganggu wa
"Kok kamu diam sih, sayang? Kamu keberatan kalo mas ikutin permintaan mama?" tanya mas Pandu membuyarkan lamunanku."Istri mana sih mas yang mau di madu?" ungkapku keberatan."Sayang?" panggil mas Pandu lembut, sambil mengangkat daguku dengan satu jarinya. Mata hitam pekatnya menatapku dalam."Mas janji sama kamu. Mas bakal berusaha adil, atau kalo kamu mau, kita buat aja perjanjian hitam di atas putih, begitu madu kamu lahiran, status anak itu bakal jadi anak kamu, gimana?"Janji mas Pandu terdengar begitu manis, sama seperti waktu dulu dia berjanji tidak akan menduakanku. Nyatanya, mas Pandu tetap melanggarnya. Bahkan, wanita itu telah dia tiduri, di saat aku sedang berjuang untuk mewujudkan keinginan orang tuanya--memberi cucu.Sesaat aku pun terdiam."Yakin sekali kamu mas, apa mungkin hasil tes laboratorium itu memang salah?" batinku kembali berkomentar sinis."Kalo ternyata hasil tes itu salah, itu artinya anak yang dikandung sekretaris mas Pandu memang anaknya, apa mungkin aku
"Apa ini, mas?" tanyaku penasaran.Sebuah kotak besar berwarna coklat dengan tali pita berwarna merah, diletakkan mas Pandu di atas tempat tidur."Coba aja buka."Kutemukan sebuah gaun malam berwarna hitam elegan, berlabel brand fashion terkenal terbungkus rapi di dalam kotak. Gaun yang begitu cantik dan indah. Aku memandang gaun itu dengan bingung, lalu mengalihkan pandangan pada mas Pandu."Ada acara kantor ya, mas?"Biasanya setiap ada acara di kantor, mas Pandu selalu membelikan aku gaun baru. Malu katanya kalo istri direktur pake gaun lama."Malam ini kita akan ketemu mama papa, sekalian kenalan sama calon istri baru mas," tutur mas Pandu memberi penjelasan.Aku pun melongo, dia begitu cepat mengambil tindakan. Aku yakin, hal ini dia lakukan agar aku tidak menaruh curiga pada bentuk perut wanita itu nantinya."Cepet banget mas dapat calonnya.""Wanita itu pilihan mama, sayang,"Keningku berkerut. Belum menikah saja, sikap mas Pandu sudah mulai berubah, apalagi kalo nanti dia meni
Selepas jamuan makan, aku secara pribadi menemui ibu mertua, yang sedang asyik bercengkerama dengan Irma--calon menantu barunya itu.Luar biasa sambutan ibu padanya, tak seperti padaku dulu. Ibu seperti orang yang berbeda, begitu ramah dan bersahabat. Dari kejauhan aku bisa melihat, ibu nampak gembira dan beberapa kali menyunggingkan senyum, yang tak pernah sekalipun dia tunjukkan padaku.Ah, sedih rasanya melihat pemandangan itu. Lalu, aku pun berjalan mendekat."Maaf ma, boleh ngomong sebentar?" tanyaku memotong pembicaraan keduanya."Ganggu aja deh. Ada apa lagi sih, Lisa?" tanyanya dengan nada ketus. Raut wajahnya berubah masam."Sebentar aja kok, ma.""Ya udah ngomong aja, ada apa?"Aku menarik napas panjang, menetralkan suasana hati yang bergetar."Maaf ma, tolong buat kali ini aja, biar Lisa sendiri yang ngasih tau abi sama umi soal pernikahan mas Pandu. Terakhir mama yang kasih tau, abi masuk rumah sakit," pintaku memohon."Jadi kamu nyalahin, saya?""Gak gitu ma. Mama kan tau
"Saya gak perlu banyak basa-basi sama kamu, Lisa. Kita langsung ke intinya aja," ucap ibu mertuaku. Mata hitam pekatnya menatapku dengan tampak serius.Firasatku mengatakan: itu pasti bukan sesuatu yang baik!"Keluarga Atmaja butuh penerus, jadi saya harap kamu bisa ikhlasin Pandu buat nikah lagi."Aku pun tercengang mendengar perkataannya. Bagaimana mungkin ibu mertuaku langsung membahas itu? Di saat kami tak bertemu dalam waktu yang cukup lama.Aku menarik nafas, dalam-dalam, lalu dengan sedikit keberanian, aku pun membuka suara."Nikah lagi, Ma?" ulangku seolah tak percaya dengan apa yang baru saja di dengar."Iya, ada yang salah?" ucapnya tegas dan seolah tak peduli dengan perasaanku yang terluka."Tapi, Ma? saya udah ikutin permintaan keluarga buat cek medis. Kata dokter, kondisi alat reproduksi saya sehat kok,""Nyatanya, kamu masih juga belum ngasih Pandu keturunan, kan?" Ibu berkata dengan sinis, alis kanannya terangkat."Ma, saya gak bermaksud menentang ucapan mama, tapi anak
Selepas jamuan makan, aku secara pribadi menemui ibu mertua, yang sedang asyik bercengkerama dengan Irma--calon menantu barunya itu.Luar biasa sambutan ibu padanya, tak seperti padaku dulu. Ibu seperti orang yang berbeda, begitu ramah dan bersahabat. Dari kejauhan aku bisa melihat, ibu nampak gembira dan beberapa kali menyunggingkan senyum, yang tak pernah sekalipun dia tunjukkan padaku.Ah, sedih rasanya melihat pemandangan itu. Lalu, aku pun berjalan mendekat."Maaf ma, boleh ngomong sebentar?" tanyaku memotong pembicaraan keduanya."Ganggu aja deh. Ada apa lagi sih, Lisa?" tanyanya dengan nada ketus. Raut wajahnya berubah masam."Sebentar aja kok, ma.""Ya udah ngomong aja, ada apa?"Aku menarik napas panjang, menetralkan suasana hati yang bergetar."Maaf ma, tolong buat kali ini aja, biar Lisa sendiri yang ngasih tau abi sama umi soal pernikahan mas Pandu. Terakhir mama yang kasih tau, abi masuk rumah sakit," pintaku memohon."Jadi kamu nyalahin, saya?""Gak gitu ma. Mama kan tau
"Apa ini, mas?" tanyaku penasaran.Sebuah kotak besar berwarna coklat dengan tali pita berwarna merah, diletakkan mas Pandu di atas tempat tidur."Coba aja buka."Kutemukan sebuah gaun malam berwarna hitam elegan, berlabel brand fashion terkenal terbungkus rapi di dalam kotak. Gaun yang begitu cantik dan indah. Aku memandang gaun itu dengan bingung, lalu mengalihkan pandangan pada mas Pandu."Ada acara kantor ya, mas?"Biasanya setiap ada acara di kantor, mas Pandu selalu membelikan aku gaun baru. Malu katanya kalo istri direktur pake gaun lama."Malam ini kita akan ketemu mama papa, sekalian kenalan sama calon istri baru mas," tutur mas Pandu memberi penjelasan.Aku pun melongo, dia begitu cepat mengambil tindakan. Aku yakin, hal ini dia lakukan agar aku tidak menaruh curiga pada bentuk perut wanita itu nantinya."Cepet banget mas dapat calonnya.""Wanita itu pilihan mama, sayang,"Keningku berkerut. Belum menikah saja, sikap mas Pandu sudah mulai berubah, apalagi kalo nanti dia meni
"Kok kamu diam sih, sayang? Kamu keberatan kalo mas ikutin permintaan mama?" tanya mas Pandu membuyarkan lamunanku."Istri mana sih mas yang mau di madu?" ungkapku keberatan."Sayang?" panggil mas Pandu lembut, sambil mengangkat daguku dengan satu jarinya. Mata hitam pekatnya menatapku dalam."Mas janji sama kamu. Mas bakal berusaha adil, atau kalo kamu mau, kita buat aja perjanjian hitam di atas putih, begitu madu kamu lahiran, status anak itu bakal jadi anak kamu, gimana?"Janji mas Pandu terdengar begitu manis, sama seperti waktu dulu dia berjanji tidak akan menduakanku. Nyatanya, mas Pandu tetap melanggarnya. Bahkan, wanita itu telah dia tiduri, di saat aku sedang berjuang untuk mewujudkan keinginan orang tuanya--memberi cucu.Sesaat aku pun terdiam."Yakin sekali kamu mas, apa mungkin hasil tes laboratorium itu memang salah?" batinku kembali berkomentar sinis."Kalo ternyata hasil tes itu salah, itu artinya anak yang dikandung sekretaris mas Pandu memang anaknya, apa mungkin aku
"Mas, kamu dimana?"Isi pesanku pada Mas Pandu, yang sudah dua hari ini tidak pulang. Pesanku pun hanya centang satu. Ini pertama kalinya Mas Pandu tidak pulang, biasanya jika kami bertengkar, dia tetap kembali ke rumah. Seperti biasa aku akan mengalah, meminta maaf dan suasana romantis kembali tercipta antara aku dan Mas Pandu. Tapi, tidak kali ini.Aku pun mondar mandir dengan gelisah."Kamu gak boleh gegabah, Lisa. Tenang dan berpikir jernih, kalo gak kamu bisa kehilangan segalanya," kataku berbicara pada diri sendiri. Aku melirik ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi tanda-tanda kepulangan Mas Pandu, belum juga terlihat. Kotak pesanku pun masih centang satu."Apa Mas Pandu pulang ke rumah orang tuanya ya? atau.. jangan-jangan dia ke rumah selingkuhnya itu?" batinku kembali berdialog. "Gak.. gak!" Aku pun menggeleng menepis semua praduga yang melintas di kepala.Akhirnya, kubulatkan tekad untuk menelpon ibu mertua."Maaf, Ma, kalo Lisa ganggu wa
"Lisaaaa... Lisaaaaa, keluar kamu!" teriak Mas Pandu dengan lantangnya. Terdengar derap langkah kakinya yang bergerak cepat berpindah tempat, mencari keberadaanku. Mas Pandu pulang dengan emosi meledak-ledak, seperti petasan yang baru saja dilucuti dari selongsongnya. Aku menduga dia tidak terima dengan sikapku, yang begitu saja menemui ibunya dan memberitahu hasil tes laboratorium, menjelaskan tentang dirinya yang mengalami masalah kesuburan. Ah, betapa bodohnya aku. Sesungguhnya aku pun menyesali hal itu. Berbicara dengan ibunya, tidak memberiku solusi terbaik, justru membuat semuanya jadi kacau dan semakin keruh. "Ada apa sih, Mas?" tanyaku dengan lembut, "kok teriak-teriak begitu?" tambahku lagi, sesaat setelah keluar dari kamar. Sorot matanya menatapku dengan begitu tajam dan wajahnya nampak merah padam. Tanpa aba-aba, Mas Pandu berjalan menghampiriku dan langsung melemparkan berkas yang digenggamnya ke depan wajahku. Aku memalingkan wajah untuk menghindar dan berusaha tetap
"Ma, bisa kita ketemu? Ada hal yang pengen Lisa obrolin sama Mama," tanyaku ragu."Soal apa?"tanya ibu dengan suara dingin."Kita obrolin setelah ketemu ya, Ma?" jawabku memberi penawaran.Ibu mertuaku pun setuju dan hubungan telpon pun berakhir.Siang itu, aku sedang berada di sebuah kafe, duduk di sebuah kursi yang menghadap ke jalan, menunggu kedatangan ibu mertuaku.Aku menyeruput secangkir kopi sambil menikmati alunan musik. Beberapa menit kemudian, ibu mertuaku datang dan langsung menghampiri meja tempatku menunggunya.Ibu langsung duduk di hadapanku, lalu sekilas melirik ke arah jam yang melingkar ditangannya."Waktu saya gak banyak, cepetan ngomong, ada apa?" tanya ibu dengan wajah datar.Ketegangan pun mulai menjalari setiap sendi dalam tubuhku.Aku tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, jadi langsung saja aku sodorkan berkas hasil tes uji laboratorium, yang menjelaskan tentang kondisi kesehatan reproduksi Mas Pandu."Apa ini?"Ibu membuka kacamatanya. Mata hitam pek
Aku pulang ke rumah larut malam dengan pikiran kacau. Pertengkaran dengan Mas Pandu di rumah sakit sempat membuat luka, ditambah kondisi kesehatan Abi yang sempat drop, karena mendengar kabar tentang madu yang diminta oleh ibu mertuaku.Cukup kompleks!Setelah membersihkan diri, aku melepas lelah di atas pembaringan, namun belum juga dapat terlelap karena Mas Pandu belum pulang. Beberapa kali, aku menghubungi ponselnya tapi tak ada jawaban.Hampir pukul satu dini hari, akhirnya Mas Pandu pulang, dalam keadaan separuh mabuk. Saat aku membuka pintu, bau alkohol menguar menerpa hidungku. Aromanya cukup membuatku mual.Mas Pandu melewatiku tanpa berkata sedikit pun. Dia berjalan terhuyung-huyung menuju kamar. Setelah menutup pintu aku segera menyusulnya.Saat aku masuk ke kamar, Mas Pandu sudah berbaring dalam keadaan menelungkup di atas tempat tidur, tanpa melepas sepatu dan berganti pakaian. Dalam diamnya, aku yakin Mas Pandu belum tidur."Mas," desahku dengan perasaan bersalah. Tetap t
Pria yang sejak lama aku sukai secara diam-diam itu menatapku. Mata coklatnya selalu membuat dadaku berdebar. Sikapnya yang hangat memoles kepribadiannya menjadi tampak sempurna. Namun sayang, takdir tak berpihak pada kami. Dia terlambat menyatakan cintanya padaku, yang saat itu telah menerima pinangan seorang pria yang pada akhirnya resmi menjadi suamiku. Kembali melihatnya seolah membuka luka lama. Dadaku berdebar kencang, saat Mas Ryan berjalan menghampiri aku dan umi, yang masih duduk di kursi tunggu depan ruangan UGD. Senyumnya mengembang, begitu manis, tapi entah mengapa melihat senyum itu, membuat hatiku justru terasa sakit. "Assalamualaikum Umi?" sapa Ryan. "Wa'alikumsalam nak Ryan," jawab umi sambil membalas senyumnya. "Gimana kabar umi? udah lama kita gak ketemu," tanya Mas Ryan kemudian setelah dirinya mencium tangan umi. "Alhamdulillah umi baik, Nak, Umi juga gak nyangka bisa ketemu nak Ryan di sini," "Syukurlah kalo gitu Umi, oh iya, alhamdulillah kondisi Abi sudah
"Umi tenang dulu ya?" kataku mencoba menenangkan, meskipun sesungguhnya batinku pun sedang bergejolak. Aku tau, itu pasti ulah ibu mertuaku, yang berusaha memperkeruh keadaan dan membuat aku semakin terpojok. Ibu seolah mencari dukungan atas apa yang ia lakukan padaku, termasuk dari orang tuaku. "Umi denger berita ini dari mana?" tanyaku mencoba setenang mungkin. "Tapi, bener kan, Nak?" cecar Umi lagi. "Gak semua yang umi denger itu bener, Mi," "Gak mungkin juga ibu mertua kamu, tiba-tiba nelpon dan bilang kayak gitu sama umi, kalo berita itu gak bener," tuturnya dengan nada marah dan suara serak. Aku menebak, ada sebuah ketidakrelaan terbit dari nada suara umi. Orang tua mana yang rela harga diri anaknya diinjak-injak. "Emangnya, mama ngomong apa aja sama umi?" "Intinya ibu mertua kamu ingin kamu hamil secepatnya, ia juga bilang kalau sampe kamu gak hamil sampe bulan depan..." kata-kata umi berhenti di tengah jalan, sepertinya suara umi tercekat di tenggorokan. Meskipun, umi