Aku pulang ke rumah larut malam dengan pikiran kacau. Pertengkaran dengan Mas Pandu di rumah sakit sempat membuat luka, ditambah kondisi kesehatan Abi yang sempat drop, karena mendengar kabar tentang madu yang diminta oleh ibu mertuaku.
Cukup kompleks!
Setelah membersihkan diri, aku melepas lelah di atas pembaringan, namun belum juga dapat terlelap karena Mas Pandu belum pulang. Beberapa kali, aku menghubungi ponselnya tapi tak ada jawaban.
Hampir pukul satu dini hari, akhirnya Mas Pandu pulang, dalam keadaan separuh mabuk. Saat aku membuka pintu, bau alkohol menguar menerpa hidungku. Aromanya cukup membuatku mual.
Mas Pandu melewatiku tanpa berkata sedikit pun. Dia berjalan terhuyung-huyung menuju kamar. Setelah menutup pintu aku segera menyusulnya.
Saat aku masuk ke kamar, Mas Pandu sudah berbaring dalam keadaan menelungkup di atas tempat tidur, tanpa melepas sepatu dan berganti pakaian. Dalam diamnya, aku yakin Mas Pandu belum tidur.
"Mas," desahku dengan perasaan bersalah. Tetap tak ada jawaban.
Aku berlutut di sisi tempat tidur, melepaskan sepatu yang masih melekat dikakinya.
"Mau aku buatin teh hangat, Mas?"
"Gak perlu!" Mas Pandu menggulingkan tubuhnya ke tengah dengan marah.
"Maafin aku ya, Mas. Aku bener-benar nyesel! Gak seharusnya aku berdebat tentang Ryan, seharusnya aku sadar, seorang wanita yang telah bersuami tidak pantas berduaan dengan lawan jenis selain suaminya," tuturku mencoba merendah.
"Kamu kan tau, dari dulu Mas gak suka dibantah, Mas gak suka disaingi, apalagi orang itu ada kaitannya sama masa lalu kamu."
"Iya Mas, maaf. Aku janji gak akan pernah ketemu sama dia lagi."
"Yakin?"
Aku mengangguk mantap, "Yakin, Mas."
Setelah memastikan kemarahan yang membekukan hati Mas Pandu mulai mencair, barulah aku berani menggulingkan tubuh mendekat. Memeluknya dari belakang.
"Mas," bisikku di dekat telinga Mas Pandu.
"Aku ingin cepat punya anak."
Tidak ada jawaban. Aku mencoba mengelus dada Mas Pandu, tapi tak ada reaksi. Saat aku menegakkan kepala dan melihat ke arah wajahnya, mata Mas Pandu tertutup rapat, nafasnya naik turun dengan teratur. Ternyata, dia telah tertidur.
Dengan terpaksa aku harus menunggunya hingga besok.
***
"Program hamil?" Mas Pandu menghentikan makannya.
Aku mengangguk.
"Mas kan tau, pernikahan kita udah masuk ke tahun kedua, tapi tanda-tanda kehamilan belum juga keliatan, aku udah pengen punya anak Mas," ucapku sambil menatap kembali ke piring nasi yang belum sedikitpun aku sentuh.
"Ya udah pergi aja ke dokter, periksain rahim kamu," jawab Mas Pandu datar.
Aku tertegun mendengar jawabannya. Tanpa rasa bersalah dia kembali menyendokkan nasi ke dalam mulutnya. Perasaanku menyatakan jika Mas Pandu memang menyalahkan rahimku.
"Kita pergi sama-sama ya, Mas? Kan program hamil itu menyangkut suami istri, bukan aku perorang ataupun kamu sendiri?"
"Aku gak bisa! lagi banyak kerjaan, lagian aku yakin banget kalo yang bermasalah itu rahim kamu," ucapnya cepat.
"Mas, tolonglah! Setidaknya kalo kita pergi bareng, kita jadi sama-sama tau, apa yang seharusnya kita lakuin biar program hamil itu bisa berhasil," pintaku dengan wajah memelas.
Terdengar Mas Pandu menghela napas berat.
"Ya udah, ya udah, kamu janjian dulu aja sama dokter spesialis kandungannya, ntar siang Mas jemput."
"Beneran, Mas?"
"Iyaaa, Lisa!"
"Alhamdulillah, makasih banget ya, Mas," ucapku kegirangan.
***
Pukul satu siang, aku ditemani Mas Pandu berangkat ke tempat praktek dokter Fifi.
Di awal perjumpaan, aku langsung menceritakan maksud hati untuk melakukan program hamil, melalui proses inseminasi atau bayi tabung.
"Siklus menstruasi Bu Lisa setiap bulan, lancar?" tanya dokter Fifi mengawali proses observasinya.
"Lancar dok, tiap bulan pasti datang bulan, cuma kadang maju kadang mundur, selebihnya saya gak punya keluhan apa-apa."
"Baik, sebelum melakukan program inseminasi atau bayi tabung, saya akan melakukan pengecekan tingkat kesuburan lengkap pada Bapak dan Ibu lebih dulu," ujar dokter Fifi memandang kami secara bergantian.
"Kenapa saya harus ikut-ikutan diperiksa, dok?" tanya Mas Pandu dengan nada protes, "Bukannya, cukup Lisa aja yang ngelakuin pengecekan," tambahnya lagi. Aku melirik ke arah Mas Pandu, terlihat keningnya berkerut.
"Demi keberhasilan program kehamilan, maka tes kesuburan harus dilakukan juga pada pria, yang berguna menunjang proses pembuahan nantinya, kita juga perlu melihat kualitas dan kuantitas sperma milik Pak Pandu," jelas dokter Fifi.
"Ngapain pake di periksa kualitasnya, dok? Toh udah ke bukti kalo sperma saya normal dan sehat,"
"Bukti yang Bapak maksud apa ya?"
"Ya buktinya.. buktinya saya gak punya keluhan apa-apa, saya sehat," jawab Pandu dengan nada dibuat sewajarnya.
"Tapi pak, untuk program kehamilan ini kami sangat membutuhkan hasil uji laboratorium untuk kualitas dan kuantitas sperma yang Bapak miliki, yang nantinya akan sangat membantu dalam keberhasilan proses inseminasi atau bayi tabung."
Mas Pandu terdiam. Tak ada lagi bantahan keluar dari mulutnya.
Setelah melewati serangkaian tes, aku dan Mas Pandu keluar dari ruang dokter Fifi. Terbit perasaan lega dalam diriku, setidaknya ini langkah awal yang baik, dan tentunya aku jadi punya peluang yang lebih besar untuk mendapatkan seorang anak.
Aku menggelayut manja di tangan Mas Pandu, yang nampak lelah setelah melakukan begitu banyak tes.
"Makasih ya, Mas," ucapku dengan tatapan penuh haru.
***
Seminggu kemudian, aku ada janji bertemu dengan dokter Fifi. Entah mengapa, hari itu aku merasa raut wajah dokter Fifi terlihat begitu tegang. Mungkinkah sesuatu yang kurang baik terjadi pada hasil tes kami berdua? Apakah benar yang dikatakan Mas Pandu jika rahimku bermasalah? Entahlah! aku harus segera mencari tahu.
'Gimana hasilnya, dok?" tanyaku tak sabar.
Dokter Fifi menyodorkan beberapa lembar kertas, berupa hasil pengujian laboratorium.
"Saya rasa proses inseminasi atau bayi tabung, pada Bu Lisa dan Pak Pandu harus ditunda terlebih dahulu."
"Loh, kenapa dok?" tanyaku dengan kening berkerut.
Ketegangan mulai menjalari wajahku. Kedua tanganku mulai basah oleh keringat dan rasa takut menghantuiku.
"Ya Allah, ada apa ini?" batinku berteriak.
Aku menunggu dokter Fifi memberi penjelasan, dengan perasaan was-was dan khawatir.
"Ada apa sebenarnya, dok?" ulangku penasaran.
Dokter Fifi menatapku dengan perhatian penuh, membuat aku semakin salah tingkah.
"Tingkat keberhasilan program inseminasi atau bayi tabung yang akan Bu Lisa lakukan, memiliki potensi yang lebih kecil, karena terdapat masalah pada diri suami Ibu,"
Aku menelan ludah yang terasa pahit.
"Apa yang terjadi pada Mas Pandu, dok?"
Alisku beradu. Aku semakin dibuat penasaran.
"Pak Pandu mengalami gangguan kesuburan," dokter Fifi mulai memberi keterangan.
"Maksudnya, dok?" kejarku tak tenang.
"Berdasarkan hasil uji laboratorium, suami Ibu mengalami Oligozoospermia, yaitu suatu kondisi sperma yang dikeluarkan saat ejakulasi jumlahnya sedikit. Kondisi ini yang menjadi penyebab ketidaksuburan pada pria, sehingga Ibu tak juga kunjung hamil," jelas dokter Fifi.
Aku menggigit bibir bawah mencoba menahan air mata yang mulai berkumpul di sudut mata. Namun, tak berhasil, aku menangkupkan kedua tangan di wajah, lalu membiarkan air mata itu akhirnya mengalir deras.
"Tenangkan diri Ibu dulu, kita cari solusinya," ucap dokter Fifi mencoba menenangkan.
Aku mengangkat kepala, yang menampilkan mata sembab dan basah.
"Dengan kondisi suami saya seperti itu, masih adakah harapan saya untuk hamil, dokter?" tanyaku dengan suara bergetar.
"Ada harapan, tapi lebih kecil karena fase yang dialami oleh Pak Pandu cukup berat, dibutuhkan proses pengobatan yang mungkin tidak sebentar, kita juga harus melakukan observasi lanjutan untuk mengetahui faktor utama yang jadi penyebabnya, agar kami bisa melakukan tindakan yang tepat," lanjut dokter Fifi lagi.
Aku pun menarik napas dalam--tampak jelas sedang berusaha menenangkan diri.
Kemudian, aku kembali buka suara, "Baik dokter, saya akan coba bicarakan ini dengan Mas Pandu," jawabku dengan suara serak.
"Baik Bu, saya harap Ibu dan Pak Pandu bisa datang kembali minggu depan untuk observasi lanjutan," kata dokter Fifi mengakhiri konsultasinya dengan ramah.
Aku berjalan dengan gontai, meninggalkan ruangan dokter Fifi, membawa perasaan yang campur aduk.
"Ma, bisa kita ketemu? Ada hal yang pengen Lisa obrolin sama Mama," tanyaku ragu."Soal apa?"tanya ibu dengan suara dingin."Kita obrolin setelah ketemu ya, Ma?" jawabku memberi penawaran.Ibu mertuaku pun setuju dan hubungan telpon pun berakhir.Siang itu, aku sedang berada di sebuah kafe, duduk di sebuah kursi yang menghadap ke jalan, menunggu kedatangan ibu mertuaku.Aku menyeruput secangkir kopi sambil menikmati alunan musik. Beberapa menit kemudian, ibu mertuaku datang dan langsung menghampiri meja tempatku menunggunya.Ibu langsung duduk di hadapanku, lalu sekilas melirik ke arah jam yang melingkar ditangannya."Waktu saya gak banyak, cepetan ngomong, ada apa?" tanya ibu dengan wajah datar.Ketegangan pun mulai menjalari setiap sendi dalam tubuhku.Aku tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, jadi langsung saja aku sodorkan berkas hasil tes uji laboratorium, yang menjelaskan tentang kondisi kesehatan reproduksi Mas Pandu."Apa ini?"Ibu membuka kacamatanya. Mata hitam pek
"Lisaaaa... Lisaaaaa, keluar kamu!" teriak Mas Pandu dengan lantangnya. Terdengar derap langkah kakinya yang bergerak cepat berpindah tempat, mencari keberadaanku. Mas Pandu pulang dengan emosi meledak-ledak, seperti petasan yang baru saja dilucuti dari selongsongnya. Aku menduga dia tidak terima dengan sikapku, yang begitu saja menemui ibunya dan memberitahu hasil tes laboratorium, menjelaskan tentang dirinya yang mengalami masalah kesuburan. Ah, betapa bodohnya aku. Sesungguhnya aku pun menyesali hal itu. Berbicara dengan ibunya, tidak memberiku solusi terbaik, justru membuat semuanya jadi kacau dan semakin keruh. "Ada apa sih, Mas?" tanyaku dengan lembut, "kok teriak-teriak begitu?" tambahku lagi, sesaat setelah keluar dari kamar. Sorot matanya menatapku dengan begitu tajam dan wajahnya nampak merah padam. Tanpa aba-aba, Mas Pandu berjalan menghampiriku dan langsung melemparkan berkas yang digenggamnya ke depan wajahku. Aku memalingkan wajah untuk menghindar dan berusaha tetap
"Mas, kamu dimana?"Isi pesanku pada Mas Pandu, yang sudah dua hari ini tidak pulang. Pesanku pun hanya centang satu. Ini pertama kalinya Mas Pandu tidak pulang, biasanya jika kami bertengkar, dia tetap kembali ke rumah. Seperti biasa aku akan mengalah, meminta maaf dan suasana romantis kembali tercipta antara aku dan Mas Pandu. Tapi, tidak kali ini.Aku pun mondar mandir dengan gelisah."Kamu gak boleh gegabah, Lisa. Tenang dan berpikir jernih, kalo gak kamu bisa kehilangan segalanya," kataku berbicara pada diri sendiri. Aku melirik ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi tanda-tanda kepulangan Mas Pandu, belum juga terlihat. Kotak pesanku pun masih centang satu."Apa Mas Pandu pulang ke rumah orang tuanya ya? atau.. jangan-jangan dia ke rumah selingkuhnya itu?" batinku kembali berdialog. "Gak.. gak!" Aku pun menggeleng menepis semua praduga yang melintas di kepala.Akhirnya, kubulatkan tekad untuk menelpon ibu mertua."Maaf, Ma, kalo Lisa ganggu wa
"Kok kamu diam sih, sayang? Kamu keberatan kalo mas ikutin permintaan mama?" tanya mas Pandu membuyarkan lamunanku."Istri mana sih mas yang mau di madu?" ungkapku keberatan."Sayang?" panggil mas Pandu lembut, sambil mengangkat daguku dengan satu jarinya. Mata hitam pekatnya menatapku dalam."Mas janji sama kamu. Mas bakal berusaha adil, atau kalo kamu mau, kita buat aja perjanjian hitam di atas putih, begitu madu kamu lahiran, status anak itu bakal jadi anak kamu, gimana?"Janji mas Pandu terdengar begitu manis, sama seperti waktu dulu dia berjanji tidak akan menduakanku. Nyatanya, mas Pandu tetap melanggarnya. Bahkan, wanita itu telah dia tiduri, di saat aku sedang berjuang untuk mewujudkan keinginan orang tuanya--memberi cucu.Sesaat aku pun terdiam."Yakin sekali kamu mas, apa mungkin hasil tes laboratorium itu memang salah?" batinku kembali berkomentar sinis."Kalo ternyata hasil tes itu salah, itu artinya anak yang dikandung sekretaris mas Pandu memang anaknya, apa mungkin aku
"Apa ini, mas?" tanyaku penasaran.Sebuah kotak besar berwarna coklat dengan tali pita berwarna merah, diletakkan mas Pandu di atas tempat tidur."Coba aja buka."Kutemukan sebuah gaun malam berwarna hitam elegan, berlabel brand fashion terkenal terbungkus rapi di dalam kotak. Gaun yang begitu cantik dan indah. Aku memandang gaun itu dengan bingung, lalu mengalihkan pandangan pada mas Pandu."Ada acara kantor ya, mas?"Biasanya setiap ada acara di kantor, mas Pandu selalu membelikan aku gaun baru. Malu katanya kalo istri direktur pake gaun lama."Malam ini kita akan ketemu mama papa, sekalian kenalan sama calon istri baru mas," tutur mas Pandu memberi penjelasan.Aku pun melongo, dia begitu cepat mengambil tindakan. Aku yakin, hal ini dia lakukan agar aku tidak menaruh curiga pada bentuk perut wanita itu nantinya."Cepet banget mas dapat calonnya.""Wanita itu pilihan mama, sayang,"Keningku berkerut. Belum menikah saja, sikap mas Pandu sudah mulai berubah, apalagi kalo nanti dia meni
Selepas jamuan makan, aku secara pribadi menemui ibu mertua, yang sedang asyik bercengkerama dengan Irma--calon menantu barunya itu.Luar biasa sambutan ibu padanya, tak seperti padaku dulu. Ibu seperti orang yang berbeda, begitu ramah dan bersahabat. Dari kejauhan aku bisa melihat, ibu nampak gembira dan beberapa kali menyunggingkan senyum, yang tak pernah sekalipun dia tunjukkan padaku.Ah, sedih rasanya melihat pemandangan itu. Lalu, aku pun berjalan mendekat."Maaf ma, boleh ngomong sebentar?" tanyaku memotong pembicaraan keduanya."Ganggu aja deh. Ada apa lagi sih, Lisa?" tanyanya dengan nada ketus. Raut wajahnya berubah masam."Sebentar aja kok, ma.""Ya udah ngomong aja, ada apa?"Aku menarik napas panjang, menetralkan suasana hati yang bergetar."Maaf ma, tolong buat kali ini aja, biar Lisa sendiri yang ngasih tau abi sama umi soal pernikahan mas Pandu. Terakhir mama yang kasih tau, abi masuk rumah sakit," pintaku memohon."Jadi kamu nyalahin, saya?""Gak gitu ma. Mama kan tau
"Saya gak perlu banyak basa-basi sama kamu, Lisa. Kita langsung ke intinya aja," ucap ibu mertuaku. Mata hitam pekatnya menatapku dengan tampak serius.Firasatku mengatakan: itu pasti bukan sesuatu yang baik!"Keluarga Atmaja butuh penerus, jadi saya harap kamu bisa ikhlasin Pandu buat nikah lagi."Aku pun tercengang mendengar perkataannya. Bagaimana mungkin ibu mertuaku langsung membahas itu? Di saat kami tak bertemu dalam waktu yang cukup lama.Aku menarik nafas, dalam-dalam, lalu dengan sedikit keberanian, aku pun membuka suara."Nikah lagi, Ma?" ulangku seolah tak percaya dengan apa yang baru saja di dengar."Iya, ada yang salah?" ucapnya tegas dan seolah tak peduli dengan perasaanku yang terluka."Tapi, Ma? saya udah ikutin permintaan keluarga buat cek medis. Kata dokter, kondisi alat reproduksi saya sehat kok,""Nyatanya, kamu masih juga belum ngasih Pandu keturunan, kan?" Ibu berkata dengan sinis, alis kanannya terangkat."Ma, saya gak bermaksud menentang ucapan mama, tapi anak
"Umi tenang dulu ya?" kataku mencoba menenangkan, meskipun sesungguhnya batinku pun sedang bergejolak. Aku tau, itu pasti ulah ibu mertuaku, yang berusaha memperkeruh keadaan dan membuat aku semakin terpojok. Ibu seolah mencari dukungan atas apa yang ia lakukan padaku, termasuk dari orang tuaku. "Umi denger berita ini dari mana?" tanyaku mencoba setenang mungkin. "Tapi, bener kan, Nak?" cecar Umi lagi. "Gak semua yang umi denger itu bener, Mi," "Gak mungkin juga ibu mertua kamu, tiba-tiba nelpon dan bilang kayak gitu sama umi, kalo berita itu gak bener," tuturnya dengan nada marah dan suara serak. Aku menebak, ada sebuah ketidakrelaan terbit dari nada suara umi. Orang tua mana yang rela harga diri anaknya diinjak-injak. "Emangnya, mama ngomong apa aja sama umi?" "Intinya ibu mertua kamu ingin kamu hamil secepatnya, ia juga bilang kalau sampe kamu gak hamil sampe bulan depan..." kata-kata umi berhenti di tengah jalan, sepertinya suara umi tercekat di tenggorokan. Meskipun, umi