"Saya gak perlu banyak basa-basi sama kamu, Lisa. Kita langsung ke intinya aja," ucap ibu mertuaku. Mata hitam pekatnya menatapku dengan tampak serius.
Firasatku mengatakan: itu pasti bukan sesuatu yang baik!
"Keluarga Atmaja butuh penerus, jadi saya harap kamu bisa ikhlasin Pandu buat nikah lagi."
Aku pun tercengang mendengar perkataannya. Bagaimana mungkin ibu mertuaku langsung membahas itu? Di saat kami tak bertemu dalam waktu yang cukup lama.
Aku menarik nafas, dalam-dalam, lalu dengan sedikit keberanian, aku pun membuka suara.
"Nikah lagi, Ma?" ulangku seolah tak percaya dengan apa yang baru saja di dengar.
"Iya, ada yang salah?" ucapnya tegas dan seolah tak peduli dengan perasaanku yang terluka.
"Tapi, Ma? saya udah ikutin permintaan keluarga buat cek medis. Kata dokter, kondisi alat reproduksi saya sehat kok,"
"Nyatanya, kamu masih juga belum ngasih Pandu keturunan, kan?" Ibu berkata dengan sinis, alis kanannya terangkat.
"Ma, saya gak bermaksud menentang ucapan mama, tapi anak itu hak prerogatif Allah dan juga rezeki, jadi klo Allah belum..."
"Halah, gak perlu berkhutbah kamu," ucap ibu mertuaku meradang, tangannya seperti menepis udara disekeliling. Wajahnya merah padam, ibu tampak marah--mungkin karena aku menjawabnya.
"Saya rasa, 1 tahun udah terlalu lama buat keluarga kami bersabar, cuma buat nunggu keturunan dari kamu," nada suaranya terdengar datar dan tak berperasaan.
"Ma, tolong kasih saya beberapa waktu lagi, saya akan coba usaha lain, biar bisa wujutin keinginan mama untuk segera punya cucu, saya mohon, Ma," pintaku mengiba sambil menggenggam tangannya yang sejak beberapa waktu lalu bertumpu di atas meja.
"Sampe kapan?" tanyanya sambil melepas genggamanku dengan kasar.
"Saya gak bisa kasih waktu pasti Ma, tapi setelah ini saya janji untuk ngejalanin program hamil secepatnya."
Ibu mertuaku terlihat memutar bola matanya, lalu kembali terfokus ke wajahku.
"Bulan depan, kalo saya gak dapat kabar kehamilan kamu, suka gak suka, saya akan paksa Pandu untuk nikah lagi, ngerti kamu! Masih untung saya mau ngasih tau kamu dulu."
Kata-katanya membuatku membeku.
"Ma, satu bulan itu terlalu singkat untuk sebuah program kehamilan, bagaimana bisa?" protesku.
"Saya gak mau tau! Saya cuma mau denger, kamu hamil, titik!"
Aku merasa jika ibu mertuaku itu, memang sengaja melakukannya untuk memasukkan sosok baru dalam rumah tanggaku. Bagaimana mungkin, ibu begitu dingin dan seolah tak memiliki hati. Aku sadar, sejak awal aku memang bukan menantu pilihannya.
Perjalanan cintaku dengan Pandu memang penuh dinamika, tak mudah mendapatkan restunya, karena aku dianggap tak sepadan dengan keluarganya yang tajir melintir. Sementara aku hanya terlahir dari keluarga sederhana. Ayahku pegawai sebuah perusahaan milik negara dan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga, berbanding terbalik dengan keluarga Pandu, keluarga pengusaha ternama.
"Lagian, saya kan cuma minta kamu buat ikhlasin Pandu nikah lagi, toh gak nyuruh dia ceraikan kamu, kan?"
"Iya, Ma, tapi..." ucapanku seolah mengambang di udara. Bibirku terlalu kelu untuk melanjutkannya. Namun, sebongkah daging yang ada di dalam dadaku meronta-ronta ingin keluar dan menumpahkan keresahannya, jika aku tidak ingin di madu.
"Gak ada tapi-tapian, kamu gak mau kan, kalo sampe keluarga Atmaja gak punya penerus? Siapa yang akan melanjutkan perjuangan Atmajaya Corporation, kalo bukan anaknya Pandu? Jadi, saya harap kamu gak egois untuk itu," kata ibu mertuaku penuh penekanan.
Pertanyaannya membuatku sulit membantah. Kenyataannya, memang aku belum juga berhasil hamil. Aku pikir, jika menolak tawaran ibu, hanya akan memperpanjang masalah. Namun, di sisi lain batinku tak rela, jika Mas Pandu memiliki wanita lain. Selama jadi istrinya saja aku sudah tersisih, apalagi jika pada akhirnya maduku berhasil memberi keluarga Atmaja keturunan, cepat atau lambat, selama diriku belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan, ibu mertuaku akan mengusikku dan perlahan aku akan ditendang dari keluarga Atmaja.
"Apa mama udah punya calonnya?" tanyaku penasaran. Batinku menduga jika sebelum ibu mertuaku itu datang dan berbicara empat mata, dia telah lebih dulu menyiapkan calon istri untuk suamiku.
"Masalah calonnya kamu gak perlu khawatir. Saya yang akan urus dan seleksi. Dia juga akan ngelakuin serangkaian tes lab sebelum dinikahi Pandu. Cukup adil, kan? Saya harap kamu bisa diajak kerjasama. Seperti di awal saya bilang, tugas kamu cuma ngeyakinin Pandu buat mau nikah lagi, itu aja, simpel kan?" terang ibu mertuaku enteng.
Tiba-tiba, aku teringat dengan sosok wanita cantik beberapa bulan sebelum pernikahanku dengan Mas Pandu, dia adalah Bianca--sahabat kecil Mas Pandu, yang telah saling kenal dari masih kanak-kanak hingga kuliah bersama di luar negeri. Mereka terpisah karena Bianca memilih melanjutkan studi.
Mas Pandu dan Bianca memang tak terikat hubungan spesial, tapi Ibu mertuaku begitu menyayanginya, bahkan sempat mencoba menjodohkannya dengan Mas Pandu, tapi saat itu, Mas Pandu menolak dan malah memilihku untuk jadi istrinya. Tentu saja, ibu mertuaku meradang dan sempat tak mau merestui pernikahan kami.
"Mama pasti pengen Bianca kan yang jadi menantu mama, bukan saya? Makanya mama ngelakuin ini?"
Mendengar tuduhanku, tergambar urat wajah ibu mertuaku menegang, emosinya tersulut.
"Lancang kamu, Lisa," pekik ibu mertuaku dengan telunjuk mengarah ke wajah.
Aku hanya bisa menggigit bibir bawah. Sampai rasanya sakit sekali, bahkan indera pengecapku merasa ada darah, yang tertelan akibat sobekan kecil, karena terlalu kuat aku menggigit bibir.
"Kalo pun iya, kamu mau apa?" tantangnya dengan pandangan mata terhunus tajam ke arahku.
Aku menunduk, tidak berani menatapnya. Hatiku seakan meledak hingga kepala terasa mau pecah. Tenyata, dugaanku benar, sejak awal ibu mertuaku itu, ingin jika Bianca bisa menjadi menantunya dan sialnya aku memiliki celah, yang sepertinya sedang dimanfaatkan oleh ibu mertuaku.
"Cukup! Saya rasa keinginan keluarga kami cukup jelas, saya gak mau ada bantahan lagi," ucapnya kembali menegaskan.
Sekuat tenaga aku menahan ledakan dalam hati, aku tak ingin terlihat lemah di hadapannya. Aku menyesap kopi, untuk menyamarkan frustasi yang mulai melanda.
"Saya tunggu kabar dari kamu secepatnya!"
Setelah mengatakan itu, ibu kemudian berdiri, kembali mengenakan kacamata hitamnya, lalu pergi. Baru beberapa langkah ibu mertuaku itu meninggalkan meja, tangisku pun pecah. Sudut-sudut mataku telah panas dan basah.
"Apa yang harus aku lakukan?" ratapku pilu.
Hatiku remuk, bukan inginku untuk menunda kehadiran seorang anak, toh aku tidak mengunakan alat apapun untuk mencegah hadirnya. Namun, keluarga Atmaja tak mau tau tentang itu. Mereka hanya ingin sosok bayi mungil itu hadir dari darah Pandu, yang nantinya akan menjadi penerus kerajaan bisnis milik Atmajaya. Mengingat hal itu, air mataku tak mau berhenti menetes. Aku menghela napas berat.
Tiba-tiba ponselku bergetar, sebuah nama yang ku kenal muncul di layar ponsel. Aku mencoba mengusap air mata yang tak juga kunjung berhenti, sambil mencoba menenangkan diri, dengan berulang kali menghembuskan napas lewat mulut. Aku tak ingin isak tangis dari suaraku, membuatnya bertanya-tanya mengapa aku menangis.
Setelah cukup tenang, aku menekan menu panggil, lalu meneleponnya balik.
"Assalamualaikum, umi,"
Tak ada jawaban seperti biasanya. Aku pun kembali mengulang salam.
"Umi? Umi?" panggilku panik, umi di ujung sambungan telepon bukan menjawab salamku, malah menangis terisak-isak.
"Umi, ada apa?" tanyaku ikut cemas.
"A..apa benar kalo suamimu akan menikah lagi, Nak?"
Aku seperti tersambar petir di siang bolong. Bagaimana mungkin Umi bisa tahu perihal masalah itu?
"Umi tenang dulu ya?" kataku mencoba menenangkan, meskipun sesungguhnya batinku pun sedang bergejolak. Aku tau, itu pasti ulah ibu mertuaku, yang berusaha memperkeruh keadaan dan membuat aku semakin terpojok. Ibu seolah mencari dukungan atas apa yang ia lakukan padaku, termasuk dari orang tuaku. "Umi denger berita ini dari mana?" tanyaku mencoba setenang mungkin. "Tapi, bener kan, Nak?" cecar Umi lagi. "Gak semua yang umi denger itu bener, Mi," "Gak mungkin juga ibu mertua kamu, tiba-tiba nelpon dan bilang kayak gitu sama umi, kalo berita itu gak bener," tuturnya dengan nada marah dan suara serak. Aku menebak, ada sebuah ketidakrelaan terbit dari nada suara umi. Orang tua mana yang rela harga diri anaknya diinjak-injak. "Emangnya, mama ngomong apa aja sama umi?" "Intinya ibu mertua kamu ingin kamu hamil secepatnya, ia juga bilang kalau sampe kamu gak hamil sampe bulan depan..." kata-kata umi berhenti di tengah jalan, sepertinya suara umi tercekat di tenggorokan. Meskipun, umi
Pria yang sejak lama aku sukai secara diam-diam itu menatapku. Mata coklatnya selalu membuat dadaku berdebar. Sikapnya yang hangat memoles kepribadiannya menjadi tampak sempurna. Namun sayang, takdir tak berpihak pada kami. Dia terlambat menyatakan cintanya padaku, yang saat itu telah menerima pinangan seorang pria yang pada akhirnya resmi menjadi suamiku. Kembali melihatnya seolah membuka luka lama. Dadaku berdebar kencang, saat Mas Ryan berjalan menghampiri aku dan umi, yang masih duduk di kursi tunggu depan ruangan UGD. Senyumnya mengembang, begitu manis, tapi entah mengapa melihat senyum itu, membuat hatiku justru terasa sakit. "Assalamualaikum Umi?" sapa Ryan. "Wa'alikumsalam nak Ryan," jawab umi sambil membalas senyumnya. "Gimana kabar umi? udah lama kita gak ketemu," tanya Mas Ryan kemudian setelah dirinya mencium tangan umi. "Alhamdulillah umi baik, Nak, Umi juga gak nyangka bisa ketemu nak Ryan di sini," "Syukurlah kalo gitu Umi, oh iya, alhamdulillah kondisi Abi sudah
Aku pulang ke rumah larut malam dengan pikiran kacau. Pertengkaran dengan Mas Pandu di rumah sakit sempat membuat luka, ditambah kondisi kesehatan Abi yang sempat drop, karena mendengar kabar tentang madu yang diminta oleh ibu mertuaku.Cukup kompleks!Setelah membersihkan diri, aku melepas lelah di atas pembaringan, namun belum juga dapat terlelap karena Mas Pandu belum pulang. Beberapa kali, aku menghubungi ponselnya tapi tak ada jawaban.Hampir pukul satu dini hari, akhirnya Mas Pandu pulang, dalam keadaan separuh mabuk. Saat aku membuka pintu, bau alkohol menguar menerpa hidungku. Aromanya cukup membuatku mual.Mas Pandu melewatiku tanpa berkata sedikit pun. Dia berjalan terhuyung-huyung menuju kamar. Setelah menutup pintu aku segera menyusulnya.Saat aku masuk ke kamar, Mas Pandu sudah berbaring dalam keadaan menelungkup di atas tempat tidur, tanpa melepas sepatu dan berganti pakaian. Dalam diamnya, aku yakin Mas Pandu belum tidur."Mas," desahku dengan perasaan bersalah. Tetap t
"Ma, bisa kita ketemu? Ada hal yang pengen Lisa obrolin sama Mama," tanyaku ragu."Soal apa?"tanya ibu dengan suara dingin."Kita obrolin setelah ketemu ya, Ma?" jawabku memberi penawaran.Ibu mertuaku pun setuju dan hubungan telpon pun berakhir.Siang itu, aku sedang berada di sebuah kafe, duduk di sebuah kursi yang menghadap ke jalan, menunggu kedatangan ibu mertuaku.Aku menyeruput secangkir kopi sambil menikmati alunan musik. Beberapa menit kemudian, ibu mertuaku datang dan langsung menghampiri meja tempatku menunggunya.Ibu langsung duduk di hadapanku, lalu sekilas melirik ke arah jam yang melingkar ditangannya."Waktu saya gak banyak, cepetan ngomong, ada apa?" tanya ibu dengan wajah datar.Ketegangan pun mulai menjalari setiap sendi dalam tubuhku.Aku tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, jadi langsung saja aku sodorkan berkas hasil tes uji laboratorium, yang menjelaskan tentang kondisi kesehatan reproduksi Mas Pandu."Apa ini?"Ibu membuka kacamatanya. Mata hitam pek
"Lisaaaa... Lisaaaaa, keluar kamu!" teriak Mas Pandu dengan lantangnya. Terdengar derap langkah kakinya yang bergerak cepat berpindah tempat, mencari keberadaanku. Mas Pandu pulang dengan emosi meledak-ledak, seperti petasan yang baru saja dilucuti dari selongsongnya. Aku menduga dia tidak terima dengan sikapku, yang begitu saja menemui ibunya dan memberitahu hasil tes laboratorium, menjelaskan tentang dirinya yang mengalami masalah kesuburan. Ah, betapa bodohnya aku. Sesungguhnya aku pun menyesali hal itu. Berbicara dengan ibunya, tidak memberiku solusi terbaik, justru membuat semuanya jadi kacau dan semakin keruh. "Ada apa sih, Mas?" tanyaku dengan lembut, "kok teriak-teriak begitu?" tambahku lagi, sesaat setelah keluar dari kamar. Sorot matanya menatapku dengan begitu tajam dan wajahnya nampak merah padam. Tanpa aba-aba, Mas Pandu berjalan menghampiriku dan langsung melemparkan berkas yang digenggamnya ke depan wajahku. Aku memalingkan wajah untuk menghindar dan berusaha tetap
"Mas, kamu dimana?"Isi pesanku pada Mas Pandu, yang sudah dua hari ini tidak pulang. Pesanku pun hanya centang satu. Ini pertama kalinya Mas Pandu tidak pulang, biasanya jika kami bertengkar, dia tetap kembali ke rumah. Seperti biasa aku akan mengalah, meminta maaf dan suasana romantis kembali tercipta antara aku dan Mas Pandu. Tapi, tidak kali ini.Aku pun mondar mandir dengan gelisah."Kamu gak boleh gegabah, Lisa. Tenang dan berpikir jernih, kalo gak kamu bisa kehilangan segalanya," kataku berbicara pada diri sendiri. Aku melirik ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi tanda-tanda kepulangan Mas Pandu, belum juga terlihat. Kotak pesanku pun masih centang satu."Apa Mas Pandu pulang ke rumah orang tuanya ya? atau.. jangan-jangan dia ke rumah selingkuhnya itu?" batinku kembali berdialog. "Gak.. gak!" Aku pun menggeleng menepis semua praduga yang melintas di kepala.Akhirnya, kubulatkan tekad untuk menelpon ibu mertua."Maaf, Ma, kalo Lisa ganggu wa
"Kok kamu diam sih, sayang? Kamu keberatan kalo mas ikutin permintaan mama?" tanya mas Pandu membuyarkan lamunanku."Istri mana sih mas yang mau di madu?" ungkapku keberatan."Sayang?" panggil mas Pandu lembut, sambil mengangkat daguku dengan satu jarinya. Mata hitam pekatnya menatapku dalam."Mas janji sama kamu. Mas bakal berusaha adil, atau kalo kamu mau, kita buat aja perjanjian hitam di atas putih, begitu madu kamu lahiran, status anak itu bakal jadi anak kamu, gimana?"Janji mas Pandu terdengar begitu manis, sama seperti waktu dulu dia berjanji tidak akan menduakanku. Nyatanya, mas Pandu tetap melanggarnya. Bahkan, wanita itu telah dia tiduri, di saat aku sedang berjuang untuk mewujudkan keinginan orang tuanya--memberi cucu.Sesaat aku pun terdiam."Yakin sekali kamu mas, apa mungkin hasil tes laboratorium itu memang salah?" batinku kembali berkomentar sinis."Kalo ternyata hasil tes itu salah, itu artinya anak yang dikandung sekretaris mas Pandu memang anaknya, apa mungkin aku
"Apa ini, mas?" tanyaku penasaran.Sebuah kotak besar berwarna coklat dengan tali pita berwarna merah, diletakkan mas Pandu di atas tempat tidur."Coba aja buka."Kutemukan sebuah gaun malam berwarna hitam elegan, berlabel brand fashion terkenal terbungkus rapi di dalam kotak. Gaun yang begitu cantik dan indah. Aku memandang gaun itu dengan bingung, lalu mengalihkan pandangan pada mas Pandu."Ada acara kantor ya, mas?"Biasanya setiap ada acara di kantor, mas Pandu selalu membelikan aku gaun baru. Malu katanya kalo istri direktur pake gaun lama."Malam ini kita akan ketemu mama papa, sekalian kenalan sama calon istri baru mas," tutur mas Pandu memberi penjelasan.Aku pun melongo, dia begitu cepat mengambil tindakan. Aku yakin, hal ini dia lakukan agar aku tidak menaruh curiga pada bentuk perut wanita itu nantinya."Cepet banget mas dapat calonnya.""Wanita itu pilihan mama, sayang,"Keningku berkerut. Belum menikah saja, sikap mas Pandu sudah mulai berubah, apalagi kalo nanti dia meni