"Ma, bisa kita ketemu? Ada hal yang pengen Lisa obrolin sama Mama," tanyaku ragu.
"Soal apa?"tanya ibu dengan suara dingin.
"Kita obrolin setelah ketemu ya, Ma?" jawabku memberi penawaran.
Ibu mertuaku pun setuju dan hubungan telpon pun berakhir.
Siang itu, aku sedang berada di sebuah kafe, duduk di sebuah kursi yang menghadap ke jalan, menunggu kedatangan ibu mertuaku.
Aku menyeruput secangkir kopi sambil menikmati alunan musik. Beberapa menit kemudian, ibu mertuaku datang dan langsung menghampiri meja tempatku menunggunya.
Ibu langsung duduk di hadapanku, lalu sekilas melirik ke arah jam yang melingkar ditangannya.
"Waktu saya gak banyak, cepetan ngomong, ada apa?" tanya ibu dengan wajah datar.
Ketegangan pun mulai menjalari setiap sendi dalam tubuhku.
Aku tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, jadi langsung saja aku sodorkan berkas hasil tes uji laboratorium, yang menjelaskan tentang kondisi kesehatan reproduksi Mas Pandu.
"Apa ini?"
Ibu membuka kacamatanya. Mata hitam pekatnya justru menatapku dengan tampak serius, lalu kembali ke kertas yang ada di tangannya dan berakhir dengan menatap mataku.
Bibirku terasa kelu saat hendak mulai bicara.
"Seminggu yang lalu, saya sama Mas Pandu, ngejalanin tes untuk program hamil Ma, dari hasil tes laboratorium diketahui kalo Mas Pandu mengalami kondisi kesehatan reproduksi yang kurang baik, Mas Pandu menderita oligozoospermia, yang menyebabkan saya sukar hamil Ma," jelasku perlahan.
Aku melihat senyum sinis di wajah ibu.
"Jangan bercanda kamu, Lisa! Saya yakin ini cuma akal-akalan kamu aja kan? Biar saya gak jadi nyariin Pandu istri baru?" tutur ibu mertuaku ketus.
"Ma, saya gak mungkin ngelakuin hal itu, apa lagi Mas Pandu itu..."
"Alaaah, dari awal saya udah nebak kalo kamu itu memang gak bisa ngasih Pandu keturunan. Sekarang gara-gara kamu gak hamil-hamil, jadi kamu seolah kasih saya bukti kalo yang bermasalah itu Pandu, biar saya gak jadi cariin Pandu istri baru, iya kan? Saya udah nyangka sih sebenernya, kamu pasti ngelakuin sesuatu buat cegah Pandu biar gak nikah lagi. Biar apa? Biar kamu gak punya saingan, bener kan, Lisa?" cecar ibu dengan wajah marah.
"Mama salah paham, aku ajak Mas Pandu buat program hamil biar keinginan mama untuk punya cucu bisa cepet terwujud, aku aja kaget Ma dengan hasil test laboratoriumnya, gak nyangka aja," jelasku dengan bibir bergetar menahan tangis.
"Lalu apa tujuan kamu, kasih tau hasil test ini ke saya? Biar saya gak jadi kasih Pandu istri baru, kan?"
"Saya emang gak setuju Ma, kalo Mas Pandu nikah lagi, tapi bukan berarti saya sengaja ngerekayasa hasil test laboratorium itu, hanya buat ngerubah pikiran Mama. Saya cerita biar bisa diskusi dan cari solusi yang terbaik, itu aja Mah."
"Saya akan bicara dengan Pandu, dan ngasih tau kelakuan istrinya yang sebenarnya."
"Jangan, Ma! Tolong biarin saya yang ngasih tau hal ini sama Mas Pandu," ratapku pilu.
"Kita liat aja nanti."
Setelah mengatakan itu, ibu kemudian berdiri dan pergi sambil membawa hasil uji lab ditangan.
Baru beberapa langkah ibu mertuaku meninggalkan meja, tangisku pun tumpah. Sudut-sudut mataku telah panas dan basah.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Aku memutar otak, mencoba berpikir. Aku khawatir suasana hati Mas Pandu menjadi buruk, jika mengetahui bila dirinya memiliki masalah dengan kesehatan reproduksi, karena sebelumnya dia selalu menyalahkan rahimku, ditambah lagi jika ibu mertuaku yang menjelaskan, pasti dibumbui dengan hasutan yang membuat aku semakin terpojok.
Aku segera bangkit dan menghapus air mata yang masih berlinang. Aku harus pergi ke kantor Mas Pandu, mengajaknya bicara sebelum ibu mertuaku mendahuluinya. Setidaknya informasi yang akan aku sampaikan masih murni, belum diracuni oleh hasutan yang menjerumuskan.
Aku segera memacu mobil menuju kantor Mas Pandu, butuh waktu setengah jam untuk sampai dikantornya.
***
"Pak Pandunya ada, Mbak?" tanyaku sopan pada gadis cantik bermata indah yang menjadi resepsionis di kantor suamiku.
"Ada Bu, tapi..." jawabnya mengambang.
"Tapi kenapa, Mbak?"
"Hmm, beberapa menit yang lalu, ibunya Pak Pandu juga datang, Bu,"
Sudah aku duga, ibu mertuaku akan mendatangi kantor Mas Pandu dan mengatakan hal yang seharusnya aku diskusikan lebih dulu dengan Mas Pandu. Terbit sebuah rasa sesal dalam dada. Aku seharusnya tak lebih percaya pada ibu mertua, karena ibu pasti akan membuat suasana semakin keruh.
"Ya udah, makasih ya Mbak, saya ke ruangan Pak Pandu dulu,"
"Tapi, Bu?"
"Kenapa?"
Gadis itu pun menggeleng, sepertinya ia merasa bingung.
Aku melangkahkan kaki ke ruangan Mas Pandu. Perlahan, aku membuka pintu, tapi ternyata ruangan itu kosong, saat hendak pergi, terdengar samar-samar suara dua orang yang sedang berbincang di ruangan pribadi milik Mas Pandu, tempat dia biasa menerima tamu. Aku yakin itu pasti ibu mertuaku.
Aku penasaran dengan apa yang mereka perbincangkan, maka aku memberanikan diri untuk berdiri lebih dekat, menempelkan telinga, agar bisa mendengar lebih jelas.
"Gak mungkin Ma kalo aku yang nyebabin Lisa nggak hamil-hamil."
Terdengar jawaban Mas Pandu begitu enteng dan santai.
"Loh, ini buktinya, hasil test lab menyatakan kalo kamu mengalami gangguan kesuburan Pandu."
"Ya ampun Ma, aku yakin dokter itu salah analisa."
"Kok kamu bisa santai gitu sih? Gak mungkin donk hasil tes ini salah," cecar ibu mertuaku lagi.
Terdengar suara Mas Pandu membuang napas kasar.
"Ya udah gini aja deh, Mah. Aku bakal kasih tau mama sebuah rahasia, tapi tolong mama jaga hal ini baik-baik, karena aku bakal ngomong sama Lisa setelah waktunya tepat."
Mendengar ucapan Mas Pandu, jantungku berdegup kencang.
"Rahasia apa yang selama ini, Mas Pandu sembunyi dariku?" batinku penasaran.
"Aku...aku gak sengaja ngehamilin Erika Ma, sekertarisku, yang beberapa minggu yang lalu sengaja aku berhentikan karena perutnya sudah mulai keliatan membesar," tutur Pandu menjelaskan.
Tubuhku terguncang hebat. Aku menutup mulut dan menggigit bibir untuk menahan tangis. Aku masih ingin bertahan di sana, mendengarkan semua rencana mereka hingga tuntas, meski harus menahan rintihan batin yang tersiksa karena harus menerima kenyataan, jika suami yang aku puja dan yakini setia, ternyata berani berselingkuh.
"Selamat Pandu, akhirnya sebentar lagi kamu akan punya anak," batinku dengan satu tangan yang bebas mengepal kuat.
Ibu mertuaku bukannya marah, tapi justru terdengar bahagia.
"Beneran? Syukurlah artinya tes itu memang akal-akalan istri kamu aja."
Dari suaranya Mas Pandu tidak terdengar menyesal, dia malah senang bisa menepis hasil tes laboratorium itu lewat bukti nyata.
"Baiklah, mulai saat ini, kamu bukan lagi prioritasku Pandu, kamu bukan lagi suami yang akan selalu aku puja, kalian benar-benar menginjak-injak harga diriku," tekadku dalam hati.
Aku memejamkan mata, rasanya baru kemarin diriku menikah dengan Mas Pandu, perlakuannya yang lembut, membuat aku jatuh cinta begitu dalam, dia pandai memperlakukan aku bak seorang ratu. Tapi, ternyata dibelakangku dia berani bermain api, dengan sekretarisnya sendiri.
"Mas, kenapa kamu tega ngelakuin ini sama aku? Apakah saat ini aku tidak lagi menarik bagimu, hanya karena kau telah mendapatkanku?" Aku terus menggumam sendirian.
"Baiklah, Mas, aku akan ikuti permainan kalian, tunggu saja akan kubalas semua perlakuan kalian."
Perlahan, aku berjalan keluar dari ruangan Mas Pandu, sebelum mereka menyadari kehadiranku di balik pintu.
"Bu Lisa?" panggil sang resepsionis yang beberapa waktu lalu menyambut kedatanganku.
Aku menghentikan langkah, berbalik, lalu berjalan ke arahnya.
"Udah ketemu Pak Pandu?"
"Gak jadi, Mbak, soalnya ibu dari tadi masih di dalam, mau masuk gak enak, ya udah Mbak gak usah bilang sama Bapak ya saya ke sini, gak enak, ntar dia nyari-nyari lagi, saya cuma mau ngajak makan siang, tapi saya harus pergi karena masih ada urusan lain," jelasku berbohong.
"Oh gitu, baik Mbak."
"Sampai ketemu lagi ya," ucapku menutup perbincangan diantara kami, lalu aku bergegas pergi.
Di dalam mobil aku tak tahan lagi, kubiarkan air mata ini tumpah sejadi-jadinya. Aku berjanji, setelah itu tak akan ada lagi air mata.
"Tunggu saja pembalasanku, Mas."
"Lisaaaa... Lisaaaaa, keluar kamu!" teriak Mas Pandu dengan lantangnya. Terdengar derap langkah kakinya yang bergerak cepat berpindah tempat, mencari keberadaanku. Mas Pandu pulang dengan emosi meledak-ledak, seperti petasan yang baru saja dilucuti dari selongsongnya. Aku menduga dia tidak terima dengan sikapku, yang begitu saja menemui ibunya dan memberitahu hasil tes laboratorium, menjelaskan tentang dirinya yang mengalami masalah kesuburan. Ah, betapa bodohnya aku. Sesungguhnya aku pun menyesali hal itu. Berbicara dengan ibunya, tidak memberiku solusi terbaik, justru membuat semuanya jadi kacau dan semakin keruh. "Ada apa sih, Mas?" tanyaku dengan lembut, "kok teriak-teriak begitu?" tambahku lagi, sesaat setelah keluar dari kamar. Sorot matanya menatapku dengan begitu tajam dan wajahnya nampak merah padam. Tanpa aba-aba, Mas Pandu berjalan menghampiriku dan langsung melemparkan berkas yang digenggamnya ke depan wajahku. Aku memalingkan wajah untuk menghindar dan berusaha tetap
"Mas, kamu dimana?"Isi pesanku pada Mas Pandu, yang sudah dua hari ini tidak pulang. Pesanku pun hanya centang satu. Ini pertama kalinya Mas Pandu tidak pulang, biasanya jika kami bertengkar, dia tetap kembali ke rumah. Seperti biasa aku akan mengalah, meminta maaf dan suasana romantis kembali tercipta antara aku dan Mas Pandu. Tapi, tidak kali ini.Aku pun mondar mandir dengan gelisah."Kamu gak boleh gegabah, Lisa. Tenang dan berpikir jernih, kalo gak kamu bisa kehilangan segalanya," kataku berbicara pada diri sendiri. Aku melirik ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi tanda-tanda kepulangan Mas Pandu, belum juga terlihat. Kotak pesanku pun masih centang satu."Apa Mas Pandu pulang ke rumah orang tuanya ya? atau.. jangan-jangan dia ke rumah selingkuhnya itu?" batinku kembali berdialog. "Gak.. gak!" Aku pun menggeleng menepis semua praduga yang melintas di kepala.Akhirnya, kubulatkan tekad untuk menelpon ibu mertua."Maaf, Ma, kalo Lisa ganggu wa
"Kok kamu diam sih, sayang? Kamu keberatan kalo mas ikutin permintaan mama?" tanya mas Pandu membuyarkan lamunanku."Istri mana sih mas yang mau di madu?" ungkapku keberatan."Sayang?" panggil mas Pandu lembut, sambil mengangkat daguku dengan satu jarinya. Mata hitam pekatnya menatapku dalam."Mas janji sama kamu. Mas bakal berusaha adil, atau kalo kamu mau, kita buat aja perjanjian hitam di atas putih, begitu madu kamu lahiran, status anak itu bakal jadi anak kamu, gimana?"Janji mas Pandu terdengar begitu manis, sama seperti waktu dulu dia berjanji tidak akan menduakanku. Nyatanya, mas Pandu tetap melanggarnya. Bahkan, wanita itu telah dia tiduri, di saat aku sedang berjuang untuk mewujudkan keinginan orang tuanya--memberi cucu.Sesaat aku pun terdiam."Yakin sekali kamu mas, apa mungkin hasil tes laboratorium itu memang salah?" batinku kembali berkomentar sinis."Kalo ternyata hasil tes itu salah, itu artinya anak yang dikandung sekretaris mas Pandu memang anaknya, apa mungkin aku
"Apa ini, mas?" tanyaku penasaran.Sebuah kotak besar berwarna coklat dengan tali pita berwarna merah, diletakkan mas Pandu di atas tempat tidur."Coba aja buka."Kutemukan sebuah gaun malam berwarna hitam elegan, berlabel brand fashion terkenal terbungkus rapi di dalam kotak. Gaun yang begitu cantik dan indah. Aku memandang gaun itu dengan bingung, lalu mengalihkan pandangan pada mas Pandu."Ada acara kantor ya, mas?"Biasanya setiap ada acara di kantor, mas Pandu selalu membelikan aku gaun baru. Malu katanya kalo istri direktur pake gaun lama."Malam ini kita akan ketemu mama papa, sekalian kenalan sama calon istri baru mas," tutur mas Pandu memberi penjelasan.Aku pun melongo, dia begitu cepat mengambil tindakan. Aku yakin, hal ini dia lakukan agar aku tidak menaruh curiga pada bentuk perut wanita itu nantinya."Cepet banget mas dapat calonnya.""Wanita itu pilihan mama, sayang,"Keningku berkerut. Belum menikah saja, sikap mas Pandu sudah mulai berubah, apalagi kalo nanti dia meni
Selepas jamuan makan, aku secara pribadi menemui ibu mertua, yang sedang asyik bercengkerama dengan Irma--calon menantu barunya itu.Luar biasa sambutan ibu padanya, tak seperti padaku dulu. Ibu seperti orang yang berbeda, begitu ramah dan bersahabat. Dari kejauhan aku bisa melihat, ibu nampak gembira dan beberapa kali menyunggingkan senyum, yang tak pernah sekalipun dia tunjukkan padaku.Ah, sedih rasanya melihat pemandangan itu. Lalu, aku pun berjalan mendekat."Maaf ma, boleh ngomong sebentar?" tanyaku memotong pembicaraan keduanya."Ganggu aja deh. Ada apa lagi sih, Lisa?" tanyanya dengan nada ketus. Raut wajahnya berubah masam."Sebentar aja kok, ma.""Ya udah ngomong aja, ada apa?"Aku menarik napas panjang, menetralkan suasana hati yang bergetar."Maaf ma, tolong buat kali ini aja, biar Lisa sendiri yang ngasih tau abi sama umi soal pernikahan mas Pandu. Terakhir mama yang kasih tau, abi masuk rumah sakit," pintaku memohon."Jadi kamu nyalahin, saya?""Gak gitu ma. Mama kan tau
"Saya gak perlu banyak basa-basi sama kamu, Lisa. Kita langsung ke intinya aja," ucap ibu mertuaku. Mata hitam pekatnya menatapku dengan tampak serius.Firasatku mengatakan: itu pasti bukan sesuatu yang baik!"Keluarga Atmaja butuh penerus, jadi saya harap kamu bisa ikhlasin Pandu buat nikah lagi."Aku pun tercengang mendengar perkataannya. Bagaimana mungkin ibu mertuaku langsung membahas itu? Di saat kami tak bertemu dalam waktu yang cukup lama.Aku menarik nafas, dalam-dalam, lalu dengan sedikit keberanian, aku pun membuka suara."Nikah lagi, Ma?" ulangku seolah tak percaya dengan apa yang baru saja di dengar."Iya, ada yang salah?" ucapnya tegas dan seolah tak peduli dengan perasaanku yang terluka."Tapi, Ma? saya udah ikutin permintaan keluarga buat cek medis. Kata dokter, kondisi alat reproduksi saya sehat kok,""Nyatanya, kamu masih juga belum ngasih Pandu keturunan, kan?" Ibu berkata dengan sinis, alis kanannya terangkat."Ma, saya gak bermaksud menentang ucapan mama, tapi anak
"Umi tenang dulu ya?" kataku mencoba menenangkan, meskipun sesungguhnya batinku pun sedang bergejolak. Aku tau, itu pasti ulah ibu mertuaku, yang berusaha memperkeruh keadaan dan membuat aku semakin terpojok. Ibu seolah mencari dukungan atas apa yang ia lakukan padaku, termasuk dari orang tuaku. "Umi denger berita ini dari mana?" tanyaku mencoba setenang mungkin. "Tapi, bener kan, Nak?" cecar Umi lagi. "Gak semua yang umi denger itu bener, Mi," "Gak mungkin juga ibu mertua kamu, tiba-tiba nelpon dan bilang kayak gitu sama umi, kalo berita itu gak bener," tuturnya dengan nada marah dan suara serak. Aku menebak, ada sebuah ketidakrelaan terbit dari nada suara umi. Orang tua mana yang rela harga diri anaknya diinjak-injak. "Emangnya, mama ngomong apa aja sama umi?" "Intinya ibu mertua kamu ingin kamu hamil secepatnya, ia juga bilang kalau sampe kamu gak hamil sampe bulan depan..." kata-kata umi berhenti di tengah jalan, sepertinya suara umi tercekat di tenggorokan. Meskipun, umi
Pria yang sejak lama aku sukai secara diam-diam itu menatapku. Mata coklatnya selalu membuat dadaku berdebar. Sikapnya yang hangat memoles kepribadiannya menjadi tampak sempurna. Namun sayang, takdir tak berpihak pada kami. Dia terlambat menyatakan cintanya padaku, yang saat itu telah menerima pinangan seorang pria yang pada akhirnya resmi menjadi suamiku. Kembali melihatnya seolah membuka luka lama. Dadaku berdebar kencang, saat Mas Ryan berjalan menghampiri aku dan umi, yang masih duduk di kursi tunggu depan ruangan UGD. Senyumnya mengembang, begitu manis, tapi entah mengapa melihat senyum itu, membuat hatiku justru terasa sakit. "Assalamualaikum Umi?" sapa Ryan. "Wa'alikumsalam nak Ryan," jawab umi sambil membalas senyumnya. "Gimana kabar umi? udah lama kita gak ketemu," tanya Mas Ryan kemudian setelah dirinya mencium tangan umi. "Alhamdulillah umi baik, Nak, Umi juga gak nyangka bisa ketemu nak Ryan di sini," "Syukurlah kalo gitu Umi, oh iya, alhamdulillah kondisi Abi sudah