"Lisaaaa... Lisaaaaa, keluar kamu!" teriak Mas Pandu dengan lantangnya. Terdengar derap langkah kakinya yang bergerak cepat berpindah tempat, mencari keberadaanku.
Mas Pandu pulang dengan emosi meledak-ledak, seperti petasan yang baru saja dilucuti dari selongsongnya. Aku menduga dia tidak terima dengan sikapku, yang begitu saja menemui ibunya dan memberitahu hasil tes laboratorium, menjelaskan tentang dirinya yang mengalami masalah kesuburan.
Ah, betapa bodohnya aku. Sesungguhnya aku pun menyesali hal itu. Berbicara dengan ibunya, tidak memberiku solusi terbaik, justru membuat semuanya jadi kacau dan semakin keruh.
"Ada apa sih, Mas?" tanyaku dengan lembut, "kok teriak-teriak begitu?" tambahku lagi, sesaat setelah keluar dari kamar.
Sorot matanya menatapku dengan begitu tajam dan wajahnya nampak merah padam.
Tanpa aba-aba, Mas Pandu berjalan menghampiriku dan langsung melemparkan berkas yang digenggamnya ke depan wajahku. Aku memalingkan wajah untuk menghindar dan berusaha tetap tenang.
"Apa ini, Mas?" tanyaku ragu, lalu membungkuk untuk memungut lembaran-lembaran kertas yang berserakan di lantai, dan melihatnya.
"Halaaah, gak usah pura-pura gak tau kamu, Lisa!" hardiknya.
"Duduk dulu yuk Mas, kita ngobrol baik-baik," bujukku sambil menggandeng tangannya.
"Gak perlu!" balas Mas Pandu sambil menepis tanganku yang menggelayut manja di lengannya.
"Apa maksud kamu ngasih berkas itu ke mama? Hah?" tanya Mas Pandu dengan emosi menggebu.
Mulutku sudah menganga, siap berbicara, tapi Mas Pandu seolah tak memberi ruang. Dia terus saja nyerocos mengeluarkan segala bentuk makian dan umpatan.
"Kamu mau mengkambing hitamkan aku, kan?" tekannya lagi. Lalu, Mas Pandu pun berjalan mengelilingi tubuhku yang diam mematung, dengan sorot mata sinis.
"Oooh aku tau," tuturnya sambil berbisik di telinga kananku.
"Kamu sengaja kan ngelakuin itu? Biar mama berpihak dan gak jadi nyalahin kamu. Terus, hasil tes itu kamu kasih buat memperkuat bukti kalo yang mandul itu aku, bukan kamu, gitu?" cecar Mas Pandu dengan berapi-api.
"Gak gitu, Mas. Aku bisa jelas...in," ujarku pelan, mencoba membela diri.
"Hebat! hebat!" katanya sambil bertepuk tangan, lalu berhenti tepat di hadapanku. Menarik rahangku ke atas, lalu menekan pipi dengan kuat, hingga membuat bibirku mengerucut, sambil dirinya terus berteriak.
"Kamu bayar berapa dokter itu, buat bikin surat keterangan palsu?"
"Mas!" pekikku tak terima dengan tuduhannya.
"Dari awal aku udah curiga. Kamu tiba-tiba ngajak aku buat program hamil. Oooh, ternyata ini rencana kamu, Lisa?" ucap Mas Pandu terus saja memojokkanku. Kemudian, dia menghempaskan rahangku ke sisi kanan dengan cukup kuat.
"Mas, tolong kasih aku waktu buat ngejelasin semuanya, kamu salah paham, Mas," pintaku mengiba sambil memegangi pipiku yang masih berdenyut nyeri.
"Gak ada lagi yang perlu kamu jelasin sama aku Lisa. Semua sudah cukup jelas. Aku gak nyangka kamu bisa sepicik itu," ucap Mas Pandu dengan entengnya menuduhku. Kata-katanya seperti sebilah pisau tajam yang mengiris-iris hatiku.
"Tega kamu Mas, ngomong kayak gitu! Kita kayak orang yang gak saling kenal aja. Aku ini istri kamu, gak mungkin ngelakuin hal kayak gitu, Mas!" keluhku pahit.
"Awalnya aku gak percaya kalo kamu ngelakuin hal itu, tapi begitu mama nunjukin berkas-berkas itu, aku jadi berpikir kalo kamu punya rencana di balik itu semua, sudahlah Lisa, akui saja."
"Mas Pandu!" pekikku, yang kemudian menarik napas panjang. Pengap karena merasa disudutkan terus dengan tuduhan tak berdasar.
"Asal kamu tau Lisa yang mandul itu kamu, bukan aku!" ucapnya penuh penekanan.
Mendengar ucapannya, emosiku tersulut, dia mengoyak harga diriku sebagai seorang wanita. Batinku merasa terusik. Bagiku, anak adalah anugerah yang begitu dinanti, tiap malam aku menangis, memohon agar sosoknya segera hadir, dalam ruang kosong di rahimku, tapi saat ia belum juga datang, itu diluar kendali, aku bisa apa?
Satu sisi, aku merasa yakin, jika hasil tes itu benar adanya, tapi bagaimana mungkin sekertarisnya bisa hamil jika hasil tes itu benar.
"Aku harus selidiki."
Pergulatan batin itu bergumul dalam pikiranku. Sekian detik aku seperti tersihir dengan pikiranku sendiri.
"Kenapa Mas bisa begitu yakin, kalo yang mandul itu aku dan hasil tes itu salah? Mas punya bukti?" kejarku sekaligus memancingnya untuk jujur.
Mas Pandu memalingkan wajahnya seketika, menghindari padangan mataku yang menghunus tajam.
"Atau jangan-jangan...," kata-kataku terjeda sesaat, tubuhku bergetar hebat, "Mas uji keperkasaan Mas sama wanita lain, makanya Mas begitu percaya diri?" dengusku sengit.
'Plak'
Sebuah tamparan cukup keras mendarat di wajahku. Seketika itu, aku merasa wajahku panas dan kebas. Spontan saja tanganku terangkat, meraba wajah yang terasa perih. Air mataku hampir tak tertahankan lagi. Namun, aku berusaha kuat menahannya, tak ingin terlihat lemah dihadapannya.
"Jaga mulut kamu, Lisa!" teriaknya semakin meradang, "tuduhan apa lagi ini?" elak Mas Pandu.
"Kalo omongan aku emang gak bener, kenapa Mas harus marah?"
"Bisa-bisanya kamu ngelakuin fitnah kotor kayak gini, cuma buat dapetin hati mama. Aku jadi berpikir ulang tentang pernikahan kita, mungkin bener apa yang mama bilang, kalo kamu itu emang gak pantes buat aku."
"Tega kamu ngomong kayak gitu, Mas!" teriakku sambil meremas lembaran berkas yang sejak beberapa waktu lalu aku genggam.
Api amarah dalam diriku semakin berkobar. Harga diriku sebagai seorang istri dengan seenaknya diinjak-injak olehnya. Hampir saja aku membalasnya. Namun, aku kembali teringat percakapan antara Mas Pandu dan ibunya beberapa jam lalu, bagaimana mereka mengabaikan perasaanku, saat Mas Pandu bercerita tentang perselingkuhannya. Di tambah lagi, Ibunya malah senang, tatkala mendengar selingkuhan Mas Pandu tengah berbadan dua. Aku menahan diri, lalu menarik nafas dalam-dalam, kembali menidurkan singa yang mulai bangun dalam jiwa.
"Stop! Ini belum waktunya balas dendam, Lisa!" batinku mengingatkan.
"Dasar istri tak tau diuntung! Awas kamu, Lisa! Berani ngelakuin hal-hal bodoh lagi, aku pastiin, kamu bakal nyesel!" ancam Mas Pandu, yang langsung berlalu pergi.
'Brak!'
Begitu pintu tertutup, aku langsung rubuh di lantai, dengan derai air mata begitu deras membasahi pipi. Meratapi semua yang baru saja terjadi.
"Mas, kamu dimana?"Isi pesanku pada Mas Pandu, yang sudah dua hari ini tidak pulang. Pesanku pun hanya centang satu. Ini pertama kalinya Mas Pandu tidak pulang, biasanya jika kami bertengkar, dia tetap kembali ke rumah. Seperti biasa aku akan mengalah, meminta maaf dan suasana romantis kembali tercipta antara aku dan Mas Pandu. Tapi, tidak kali ini.Aku pun mondar mandir dengan gelisah."Kamu gak boleh gegabah, Lisa. Tenang dan berpikir jernih, kalo gak kamu bisa kehilangan segalanya," kataku berbicara pada diri sendiri. Aku melirik ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi tanda-tanda kepulangan Mas Pandu, belum juga terlihat. Kotak pesanku pun masih centang satu."Apa Mas Pandu pulang ke rumah orang tuanya ya? atau.. jangan-jangan dia ke rumah selingkuhnya itu?" batinku kembali berdialog. "Gak.. gak!" Aku pun menggeleng menepis semua praduga yang melintas di kepala.Akhirnya, kubulatkan tekad untuk menelpon ibu mertua."Maaf, Ma, kalo Lisa ganggu wa
"Kok kamu diam sih, sayang? Kamu keberatan kalo mas ikutin permintaan mama?" tanya mas Pandu membuyarkan lamunanku."Istri mana sih mas yang mau di madu?" ungkapku keberatan."Sayang?" panggil mas Pandu lembut, sambil mengangkat daguku dengan satu jarinya. Mata hitam pekatnya menatapku dalam."Mas janji sama kamu. Mas bakal berusaha adil, atau kalo kamu mau, kita buat aja perjanjian hitam di atas putih, begitu madu kamu lahiran, status anak itu bakal jadi anak kamu, gimana?"Janji mas Pandu terdengar begitu manis, sama seperti waktu dulu dia berjanji tidak akan menduakanku. Nyatanya, mas Pandu tetap melanggarnya. Bahkan, wanita itu telah dia tiduri, di saat aku sedang berjuang untuk mewujudkan keinginan orang tuanya--memberi cucu.Sesaat aku pun terdiam."Yakin sekali kamu mas, apa mungkin hasil tes laboratorium itu memang salah?" batinku kembali berkomentar sinis."Kalo ternyata hasil tes itu salah, itu artinya anak yang dikandung sekretaris mas Pandu memang anaknya, apa mungkin aku
"Apa ini, mas?" tanyaku penasaran.Sebuah kotak besar berwarna coklat dengan tali pita berwarna merah, diletakkan mas Pandu di atas tempat tidur."Coba aja buka."Kutemukan sebuah gaun malam berwarna hitam elegan, berlabel brand fashion terkenal terbungkus rapi di dalam kotak. Gaun yang begitu cantik dan indah. Aku memandang gaun itu dengan bingung, lalu mengalihkan pandangan pada mas Pandu."Ada acara kantor ya, mas?"Biasanya setiap ada acara di kantor, mas Pandu selalu membelikan aku gaun baru. Malu katanya kalo istri direktur pake gaun lama."Malam ini kita akan ketemu mama papa, sekalian kenalan sama calon istri baru mas," tutur mas Pandu memberi penjelasan.Aku pun melongo, dia begitu cepat mengambil tindakan. Aku yakin, hal ini dia lakukan agar aku tidak menaruh curiga pada bentuk perut wanita itu nantinya."Cepet banget mas dapat calonnya.""Wanita itu pilihan mama, sayang,"Keningku berkerut. Belum menikah saja, sikap mas Pandu sudah mulai berubah, apalagi kalo nanti dia meni
Selepas jamuan makan, aku secara pribadi menemui ibu mertua, yang sedang asyik bercengkerama dengan Irma--calon menantu barunya itu.Luar biasa sambutan ibu padanya, tak seperti padaku dulu. Ibu seperti orang yang berbeda, begitu ramah dan bersahabat. Dari kejauhan aku bisa melihat, ibu nampak gembira dan beberapa kali menyunggingkan senyum, yang tak pernah sekalipun dia tunjukkan padaku.Ah, sedih rasanya melihat pemandangan itu. Lalu, aku pun berjalan mendekat."Maaf ma, boleh ngomong sebentar?" tanyaku memotong pembicaraan keduanya."Ganggu aja deh. Ada apa lagi sih, Lisa?" tanyanya dengan nada ketus. Raut wajahnya berubah masam."Sebentar aja kok, ma.""Ya udah ngomong aja, ada apa?"Aku menarik napas panjang, menetralkan suasana hati yang bergetar."Maaf ma, tolong buat kali ini aja, biar Lisa sendiri yang ngasih tau abi sama umi soal pernikahan mas Pandu. Terakhir mama yang kasih tau, abi masuk rumah sakit," pintaku memohon."Jadi kamu nyalahin, saya?""Gak gitu ma. Mama kan tau
"Saya gak perlu banyak basa-basi sama kamu, Lisa. Kita langsung ke intinya aja," ucap ibu mertuaku. Mata hitam pekatnya menatapku dengan tampak serius.Firasatku mengatakan: itu pasti bukan sesuatu yang baik!"Keluarga Atmaja butuh penerus, jadi saya harap kamu bisa ikhlasin Pandu buat nikah lagi."Aku pun tercengang mendengar perkataannya. Bagaimana mungkin ibu mertuaku langsung membahas itu? Di saat kami tak bertemu dalam waktu yang cukup lama.Aku menarik nafas, dalam-dalam, lalu dengan sedikit keberanian, aku pun membuka suara."Nikah lagi, Ma?" ulangku seolah tak percaya dengan apa yang baru saja di dengar."Iya, ada yang salah?" ucapnya tegas dan seolah tak peduli dengan perasaanku yang terluka."Tapi, Ma? saya udah ikutin permintaan keluarga buat cek medis. Kata dokter, kondisi alat reproduksi saya sehat kok,""Nyatanya, kamu masih juga belum ngasih Pandu keturunan, kan?" Ibu berkata dengan sinis, alis kanannya terangkat."Ma, saya gak bermaksud menentang ucapan mama, tapi anak
"Umi tenang dulu ya?" kataku mencoba menenangkan, meskipun sesungguhnya batinku pun sedang bergejolak. Aku tau, itu pasti ulah ibu mertuaku, yang berusaha memperkeruh keadaan dan membuat aku semakin terpojok. Ibu seolah mencari dukungan atas apa yang ia lakukan padaku, termasuk dari orang tuaku. "Umi denger berita ini dari mana?" tanyaku mencoba setenang mungkin. "Tapi, bener kan, Nak?" cecar Umi lagi. "Gak semua yang umi denger itu bener, Mi," "Gak mungkin juga ibu mertua kamu, tiba-tiba nelpon dan bilang kayak gitu sama umi, kalo berita itu gak bener," tuturnya dengan nada marah dan suara serak. Aku menebak, ada sebuah ketidakrelaan terbit dari nada suara umi. Orang tua mana yang rela harga diri anaknya diinjak-injak. "Emangnya, mama ngomong apa aja sama umi?" "Intinya ibu mertua kamu ingin kamu hamil secepatnya, ia juga bilang kalau sampe kamu gak hamil sampe bulan depan..." kata-kata umi berhenti di tengah jalan, sepertinya suara umi tercekat di tenggorokan. Meskipun, umi
Pria yang sejak lama aku sukai secara diam-diam itu menatapku. Mata coklatnya selalu membuat dadaku berdebar. Sikapnya yang hangat memoles kepribadiannya menjadi tampak sempurna. Namun sayang, takdir tak berpihak pada kami. Dia terlambat menyatakan cintanya padaku, yang saat itu telah menerima pinangan seorang pria yang pada akhirnya resmi menjadi suamiku. Kembali melihatnya seolah membuka luka lama. Dadaku berdebar kencang, saat Mas Ryan berjalan menghampiri aku dan umi, yang masih duduk di kursi tunggu depan ruangan UGD. Senyumnya mengembang, begitu manis, tapi entah mengapa melihat senyum itu, membuat hatiku justru terasa sakit. "Assalamualaikum Umi?" sapa Ryan. "Wa'alikumsalam nak Ryan," jawab umi sambil membalas senyumnya. "Gimana kabar umi? udah lama kita gak ketemu," tanya Mas Ryan kemudian setelah dirinya mencium tangan umi. "Alhamdulillah umi baik, Nak, Umi juga gak nyangka bisa ketemu nak Ryan di sini," "Syukurlah kalo gitu Umi, oh iya, alhamdulillah kondisi Abi sudah
Aku pulang ke rumah larut malam dengan pikiran kacau. Pertengkaran dengan Mas Pandu di rumah sakit sempat membuat luka, ditambah kondisi kesehatan Abi yang sempat drop, karena mendengar kabar tentang madu yang diminta oleh ibu mertuaku.Cukup kompleks!Setelah membersihkan diri, aku melepas lelah di atas pembaringan, namun belum juga dapat terlelap karena Mas Pandu belum pulang. Beberapa kali, aku menghubungi ponselnya tapi tak ada jawaban.Hampir pukul satu dini hari, akhirnya Mas Pandu pulang, dalam keadaan separuh mabuk. Saat aku membuka pintu, bau alkohol menguar menerpa hidungku. Aromanya cukup membuatku mual.Mas Pandu melewatiku tanpa berkata sedikit pun. Dia berjalan terhuyung-huyung menuju kamar. Setelah menutup pintu aku segera menyusulnya.Saat aku masuk ke kamar, Mas Pandu sudah berbaring dalam keadaan menelungkup di atas tempat tidur, tanpa melepas sepatu dan berganti pakaian. Dalam diamnya, aku yakin Mas Pandu belum tidur."Mas," desahku dengan perasaan bersalah. Tetap t