Share

BAB 6. TUDUHAN TAK BERDASAR

"Lisaaaa... Lisaaaaa, keluar kamu!" teriak Mas Pandu dengan lantangnya. Terdengar derap langkah kakinya yang bergerak cepat berpindah tempat, mencari keberadaanku.

Mas Pandu pulang dengan emosi meledak-ledak, seperti petasan yang baru saja dilucuti dari selongsongnya. Aku menduga dia tidak terima dengan sikapku, yang begitu saja menemui ibunya dan memberitahu hasil tes laboratorium, menjelaskan tentang dirinya yang mengalami masalah kesuburan.

Ah, betapa bodohnya aku. Sesungguhnya aku pun menyesali hal itu. Berbicara dengan ibunya, tidak memberiku solusi terbaik, justru membuat semuanya jadi kacau dan semakin keruh.

"Ada apa sih, Mas?" tanyaku dengan lembut, "kok teriak-teriak begitu?" tambahku lagi, sesaat setelah keluar dari kamar.

Sorot matanya menatapku dengan begitu tajam dan wajahnya nampak merah padam.

Tanpa aba-aba, Mas Pandu berjalan menghampiriku dan langsung melemparkan berkas yang digenggamnya ke depan wajahku. Aku memalingkan wajah untuk menghindar dan berusaha tetap tenang.

"Apa ini, Mas?" tanyaku ragu, lalu membungkuk untuk memungut lembaran-lembaran kertas yang berserakan di lantai, dan melihatnya. 

"Halaaah, gak usah pura-pura gak tau kamu, Lisa!" hardiknya. 

"Duduk dulu yuk Mas, kita ngobrol baik-baik," bujukku sambil menggandeng tangannya.

"Gak perlu!" balas Mas Pandu sambil menepis tanganku yang menggelayut manja di lengannya.

"Apa maksud kamu ngasih berkas itu ke mama? Hah?" tanya Mas Pandu dengan emosi menggebu.

Mulutku sudah menganga, siap berbicara, tapi Mas Pandu seolah tak memberi ruang. Dia terus saja nyerocos mengeluarkan segala bentuk makian dan umpatan.

"Kamu mau mengkambing hitamkan aku, kan?" tekannya lagi. Lalu, Mas Pandu pun berjalan mengelilingi tubuhku yang diam mematung, dengan sorot mata sinis.

"Oooh aku tau," tuturnya sambil berbisik di telinga kananku.

"Kamu sengaja kan ngelakuin itu? Biar mama berpihak dan gak jadi nyalahin kamu. Terus, hasil tes itu kamu kasih buat memperkuat bukti kalo yang mandul itu aku, bukan kamu, gitu?" cecar Mas Pandu dengan berapi-api.

"Gak gitu, Mas. Aku bisa jelas...in," ujarku pelan, mencoba membela diri.

"Hebat! hebat!" katanya sambil bertepuk tangan, lalu berhenti tepat di hadapanku. Menarik rahangku ke atas, lalu menekan pipi dengan kuat, hingga membuat bibirku mengerucut, sambil dirinya terus berteriak.

"Kamu bayar berapa dokter itu, buat bikin surat keterangan palsu?"

"Mas!" pekikku tak terima dengan tuduhannya.

"Dari awal aku udah curiga. Kamu tiba-tiba ngajak aku buat program hamil. Oooh, ternyata ini rencana kamu, Lisa?" ucap Mas Pandu terus saja memojokkanku. Kemudian, dia menghempaskan rahangku ke sisi kanan dengan cukup kuat.

"Mas, tolong kasih aku waktu buat ngejelasin semuanya, kamu salah paham, Mas," pintaku mengiba sambil memegangi pipiku yang masih berdenyut nyeri.

"Gak ada lagi yang perlu kamu jelasin sama aku Lisa. Semua sudah cukup jelas. Aku gak nyangka kamu bisa sepicik itu," ucap Mas Pandu dengan entengnya menuduhku. Kata-katanya seperti sebilah pisau tajam yang mengiris-iris hatiku.

"Tega kamu Mas, ngomong kayak gitu! Kita kayak orang yang gak saling kenal aja. Aku ini istri kamu, gak mungkin ngelakuin hal kayak gitu, Mas!" keluhku pahit.

"Awalnya aku gak percaya kalo kamu ngelakuin hal itu, tapi begitu mama nunjukin berkas-berkas itu, aku jadi berpikir kalo kamu punya rencana di balik itu semua, sudahlah Lisa, akui saja."

"Mas Pandu!" pekikku, yang kemudian menarik napas panjang. Pengap karena merasa disudutkan terus dengan tuduhan tak berdasar.

"Asal kamu tau Lisa yang mandul itu kamu, bukan aku!" ucapnya penuh penekanan.

Mendengar ucapannya, emosiku tersulut, dia mengoyak harga diriku sebagai seorang wanita. Batinku merasa terusik. Bagiku, anak adalah anugerah yang begitu dinanti, tiap malam aku menangis, memohon agar sosoknya segera hadir, dalam ruang kosong di rahimku, tapi saat ia belum juga datang, itu diluar kendali, aku bisa apa?

Satu sisi, aku merasa yakin, jika hasil tes itu benar adanya, tapi bagaimana mungkin sekertarisnya bisa hamil jika hasil tes itu benar.

"Aku harus selidiki."

Pergulatan batin itu bergumul dalam pikiranku. Sekian detik aku seperti tersihir dengan pikiranku sendiri.

"Kenapa Mas bisa begitu yakin, kalo yang mandul itu aku dan hasil tes itu salah? Mas punya bukti?" kejarku sekaligus memancingnya untuk jujur.

Mas Pandu memalingkan wajahnya seketika, menghindari padangan mataku yang menghunus tajam.

"Atau jangan-jangan...," kata-kataku terjeda sesaat, tubuhku bergetar hebat, "Mas uji keperkasaan Mas sama wanita lain, makanya Mas begitu percaya diri?" dengusku sengit. 

'Plak'

Sebuah tamparan cukup keras mendarat di wajahku. Seketika itu, aku merasa wajahku panas dan kebas. Spontan saja tanganku terangkat, meraba wajah yang terasa perih. Air mataku hampir tak tertahankan lagi. Namun, aku berusaha kuat menahannya, tak ingin terlihat lemah dihadapannya.

"Jaga mulut kamu, Lisa!" teriaknya semakin meradang, "tuduhan apa lagi ini?" elak Mas Pandu.

"Kalo omongan aku emang gak bener, kenapa Mas harus marah?"

"Bisa-bisanya kamu ngelakuin fitnah kotor kayak gini, cuma buat dapetin hati mama. Aku jadi berpikir ulang tentang pernikahan kita, mungkin bener apa yang mama bilang, kalo kamu itu emang gak pantes buat aku."

"Tega kamu ngomong kayak gitu, Mas!" teriakku sambil meremas lembaran berkas yang sejak beberapa waktu lalu aku genggam.

Api amarah dalam diriku semakin berkobar. Harga diriku sebagai seorang istri dengan seenaknya diinjak-injak olehnya. Hampir saja aku membalasnya. Namun, aku kembali teringat percakapan antara Mas Pandu dan ibunya beberapa jam lalu, bagaimana mereka mengabaikan perasaanku, saat Mas Pandu bercerita tentang perselingkuhannya. Di tambah lagi, Ibunya malah senang, tatkala mendengar selingkuhan Mas Pandu tengah berbadan dua. Aku menahan diri, lalu menarik nafas dalam-dalam, kembali menidurkan singa yang mulai bangun dalam jiwa.

"Stop! Ini belum waktunya balas dendam, Lisa!" batinku mengingatkan. 

"Dasar istri tak tau diuntung! Awas kamu, Lisa! Berani ngelakuin hal-hal bodoh lagi, aku pastiin, kamu bakal nyesel!" ancam Mas Pandu, yang langsung berlalu pergi.

'Brak!'

Begitu pintu tertutup, aku langsung rubuh di lantai, dengan derai air mata begitu deras membasahi pipi. Meratapi semua yang baru saja terjadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status