"Umi tenang dulu ya?" kataku mencoba menenangkan, meskipun sesungguhnya batinku pun sedang bergejolak.
Aku tau, itu pasti ulah ibu mertuaku, yang berusaha memperkeruh keadaan dan membuat aku semakin terpojok. Ibu seolah mencari dukungan atas apa yang ia lakukan padaku, termasuk dari orang tuaku.
"Umi denger berita ini dari mana?" tanyaku mencoba setenang mungkin.
"Tapi, bener kan, Nak?" cecar Umi lagi.
"Gak semua yang umi denger itu bener, Mi,"
"Gak mungkin juga ibu mertua kamu, tiba-tiba nelpon dan bilang kayak gitu sama umi, kalo berita itu gak bener," tuturnya dengan nada marah dan suara serak.
Aku menebak, ada sebuah ketidakrelaan terbit dari nada suara umi. Orang tua mana yang rela harga diri anaknya diinjak-injak.
"Emangnya, mama ngomong apa aja sama umi?"
"Intinya ibu mertua kamu ingin kamu hamil secepatnya, ia juga bilang kalau sampe kamu gak hamil sampe bulan depan..." kata-kata umi berhenti di tengah jalan, sepertinya suara umi tercekat di tenggorokan.
Meskipun, umi tidak menyelesaikan kata-katanya, aku sudah tau akhir dari ucapannya itu.
Aku menarik nafas dalam, sebelum kembali menjelaskan.
"Lisa tadi emang ketemuan sama mama, terus mama bilang kalo mama sama papa udah pengen punya cucu, jadi mama minta Lisa sama Mas Pandu buat ngejalanin program hamil, Mi, karena udah setahun Lisa belum juga ada tanda-tanda kehamilan," jelasku berbohong.
"Tapi kan kamu udah cek kesehatan, alat reproduksi kamu juga baik-baik aja kan, Nak?"
"Iya Umi, sekarang Umi tenang dulu ya, aku akan coba program hamil, bantu doa aja ya Umi, mudah-mudahan programnya berhasil dan bulan depan aku udah hamil,"
"Gimana umi bisa tenang, ibu mertua kamu tadi ngancem, kalo kamu gak juga hamil sampe bulan depan, dia pengen Pandu nikah la...."
Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, Abi telah lebih dulu memotong ucapan Umi, "Bener Pandu mau nikah lagi, Mi?"
"A.. anu, Bi, a... anu," jawab Umi gelagapan.
Abi segera menyambar telpon yang ada di tangan Umi.
"Lisa, apa benar Pandu akan nikah lagi, Nak?"
Lagi-lagi aku mencoba bersikap tenang.
"Kok Abi ngomongnya kayak gitu?"
"Jawab yang jujur, Nak!" hardiknya, tanpa banyak basa-basi.
Bibirku mulai bergetar, air mata yang terkumpul di sudut-sudut mata mulai mengalir turun ke pipi. Akhirnya, Pertahananku pun runtuh. Gemuruh dalam dada yang sejak beberapa waktu lalu aku tahan akhirnya tumpah.
"Jadi berita itu benar, Nak?"
Aku tak mampu menjawab, hanya isak tangis yang terdengar, itu pun sudah aku redam dengan tangan, agar suara yang keluar tak terlalu keras.
Aku sibuk menenangkan diri. Tak berapa lama, aku mendengar suara benturan yang cukup keras disertai teriakan Umi.
"Bi, Abiiiiii...." panggilku kemudian,
"Mi, Umi, Abi kenapa, Mi? Umi?" tanyaku dengan panik. Namun, tak ada jawaban, hanya terdengar teriakan Umi yang meminta pertolongan. Aku yakin, sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi.
Dengan setengah berlari, aku berjalan ke pelataran parkir, dengan handphone masih menempel di telinga, mendengarkan semua yang terjadi, lalu berburu-buru naik ke mobil dan bergegas menuju ke rumah orang tuaku.
"Tolong panggilkan ambulan, Mang Karim," terdengar suara Umi meminta bantuan pada salah satu tetangga yang aku tau tinggal beberapa blok dari rumah.
Aku semakin gelisah. Jika umi sampai memanggil ambulans itu artinya kondisi abi sangat mengkhawatirkan.
"Ya Allah, Abi, ada apa?"
Tiba-tiba telpon umi putus. Aku kehilangan kontak dengannya, perasaan gelisah, panik, khawatir bercampur aduk, hingga rasanya tanganku yang sedang menyetir basah oleh keringat sangking cemasnya. Aku memperlambat laju mobil sambil terus menghubungi umi. Aku tidak tau ke rumah sakit mana abi dilarikan.
"Aaargh," pekikku putus asa. Suara yang tertahan di kerongkongan itu terdengar pedih.
"Ayo dong umi angkat," ucapku dengan lirih. Sudah puluhan kali aku menelponnya, tapi tak juga mendapat tanggapan.
"Assalamualaikum, Lis?" terdengar suara umi dari sambungan telepon. Aku menarik nafas lega saat berhasil menghubungi umi.
"Alhamdulillah," batinku.
"Wa'alikumsalam, gimana keadaan abi, Mi?"
"Abi terkena serangan jantung, Lis, saat ini sedang di tangani dokter,"
"Innalilahi, Umi. Abi di rawat di mana?" tanyaku dengan cemas.
Aku mendengarkan dengan seksama, nama rumah sakit yang ibu sebutkan.
"Ya udah, Umi tunggu Lisa di situ!"
***
Setengah jam kemudian, aku pun sampai di pelataran parkir rumah sakit.
Aku diam sejenak setelah mobil diparkir, lalu memiringkan kaca spion di dalam mobil tepat ke arah wajahku, memperhatikannya secara seksama.
Kaca itu, memantulkan diriku yang terlihat kusut, lipstik yang sudah memudar dan kerutan di sudut mata yang terlihat semakin jelas, karena air mata yang beberapa waktu lalu sempat mengalir. Aku mengambil alat make up, memberikan polesan sedikit agar terlihat lebih segar. Kemudian, buru-buru turun dari mobil menuju kamar tempat abi dilakukan penanganan.
Terlihat umi duduk bersandar di kursi tunggu, depan ruangan UGD dengan satu tangan menutup mata. Sementara tangan yang lainnya memeluk perut, sambil menyangga tangan yang satunya lagi.
Aku segera menghampiri umi.
"Umi," panggilku. Umi membuka mata dan merubah posisi duduknya.
"Akhirnya kamu datang juga, Nak," ungkap umi dengan mata berkaca-kaca. Aku langsung duduk di samping umi dan memberinya pelukan.
"Gimana kondisi Abi, Mi?"
"Masih ditangani dokter, nak, penyakit jantungnya abi kambuh lagi,"
"Maafin Lisa ya umi, ini semua terjadi karena Lisa, coba kalo Lisa...," ucapku terhenti. Aku tak mampu melanjutkan kata-kata, rasa sesak menyelimuti dada.
"Kamu gak salah, nak, ini semua sudah jalan takdirnya,"
"Umi! Lisa!"panggil suara bariton yang sangat lekat menyapa telinga. Suara itu seperti milik seseorang yang dulu pernah mengisi hari-hariku. Aku menggeleng perlahan, "Tak mungkin dia," pikirku lagi.
Aku pun melepaskan pelukan umi. Sejenak aku terpaku, sebelum pada akhirnya memberanikan diri untuk melihat sosok yang beberapa waktu lalu memanggil namaku.
"Mas Ryan?" tanyaku bingung saat melihat lelaki dari masa laluku itu muncul secara tiba-tiba.
Pria yang sejak lama aku sukai secara diam-diam itu menatapku. Mata coklatnya selalu membuat dadaku berdebar. Sikapnya yang hangat memoles kepribadiannya menjadi tampak sempurna. Namun sayang, takdir tak berpihak pada kami. Dia terlambat menyatakan cintanya padaku, yang saat itu telah menerima pinangan seorang pria yang pada akhirnya resmi menjadi suamiku. Kembali melihatnya seolah membuka luka lama. Dadaku berdebar kencang, saat Mas Ryan berjalan menghampiri aku dan umi, yang masih duduk di kursi tunggu depan ruangan UGD. Senyumnya mengembang, begitu manis, tapi entah mengapa melihat senyum itu, membuat hatiku justru terasa sakit. "Assalamualaikum Umi?" sapa Ryan. "Wa'alikumsalam nak Ryan," jawab umi sambil membalas senyumnya. "Gimana kabar umi? udah lama kita gak ketemu," tanya Mas Ryan kemudian setelah dirinya mencium tangan umi. "Alhamdulillah umi baik, Nak, Umi juga gak nyangka bisa ketemu nak Ryan di sini," "Syukurlah kalo gitu Umi, oh iya, alhamdulillah kondisi Abi sudah
Aku pulang ke rumah larut malam dengan pikiran kacau. Pertengkaran dengan Mas Pandu di rumah sakit sempat membuat luka, ditambah kondisi kesehatan Abi yang sempat drop, karena mendengar kabar tentang madu yang diminta oleh ibu mertuaku.Cukup kompleks!Setelah membersihkan diri, aku melepas lelah di atas pembaringan, namun belum juga dapat terlelap karena Mas Pandu belum pulang. Beberapa kali, aku menghubungi ponselnya tapi tak ada jawaban.Hampir pukul satu dini hari, akhirnya Mas Pandu pulang, dalam keadaan separuh mabuk. Saat aku membuka pintu, bau alkohol menguar menerpa hidungku. Aromanya cukup membuatku mual.Mas Pandu melewatiku tanpa berkata sedikit pun. Dia berjalan terhuyung-huyung menuju kamar. Setelah menutup pintu aku segera menyusulnya.Saat aku masuk ke kamar, Mas Pandu sudah berbaring dalam keadaan menelungkup di atas tempat tidur, tanpa melepas sepatu dan berganti pakaian. Dalam diamnya, aku yakin Mas Pandu belum tidur."Mas," desahku dengan perasaan bersalah. Tetap t
"Ma, bisa kita ketemu? Ada hal yang pengen Lisa obrolin sama Mama," tanyaku ragu."Soal apa?"tanya ibu dengan suara dingin."Kita obrolin setelah ketemu ya, Ma?" jawabku memberi penawaran.Ibu mertuaku pun setuju dan hubungan telpon pun berakhir.Siang itu, aku sedang berada di sebuah kafe, duduk di sebuah kursi yang menghadap ke jalan, menunggu kedatangan ibu mertuaku.Aku menyeruput secangkir kopi sambil menikmati alunan musik. Beberapa menit kemudian, ibu mertuaku datang dan langsung menghampiri meja tempatku menunggunya.Ibu langsung duduk di hadapanku, lalu sekilas melirik ke arah jam yang melingkar ditangannya."Waktu saya gak banyak, cepetan ngomong, ada apa?" tanya ibu dengan wajah datar.Ketegangan pun mulai menjalari setiap sendi dalam tubuhku.Aku tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, jadi langsung saja aku sodorkan berkas hasil tes uji laboratorium, yang menjelaskan tentang kondisi kesehatan reproduksi Mas Pandu."Apa ini?"Ibu membuka kacamatanya. Mata hitam pek
"Lisaaaa... Lisaaaaa, keluar kamu!" teriak Mas Pandu dengan lantangnya. Terdengar derap langkah kakinya yang bergerak cepat berpindah tempat, mencari keberadaanku. Mas Pandu pulang dengan emosi meledak-ledak, seperti petasan yang baru saja dilucuti dari selongsongnya. Aku menduga dia tidak terima dengan sikapku, yang begitu saja menemui ibunya dan memberitahu hasil tes laboratorium, menjelaskan tentang dirinya yang mengalami masalah kesuburan. Ah, betapa bodohnya aku. Sesungguhnya aku pun menyesali hal itu. Berbicara dengan ibunya, tidak memberiku solusi terbaik, justru membuat semuanya jadi kacau dan semakin keruh. "Ada apa sih, Mas?" tanyaku dengan lembut, "kok teriak-teriak begitu?" tambahku lagi, sesaat setelah keluar dari kamar. Sorot matanya menatapku dengan begitu tajam dan wajahnya nampak merah padam. Tanpa aba-aba, Mas Pandu berjalan menghampiriku dan langsung melemparkan berkas yang digenggamnya ke depan wajahku. Aku memalingkan wajah untuk menghindar dan berusaha tetap
"Mas, kamu dimana?"Isi pesanku pada Mas Pandu, yang sudah dua hari ini tidak pulang. Pesanku pun hanya centang satu. Ini pertama kalinya Mas Pandu tidak pulang, biasanya jika kami bertengkar, dia tetap kembali ke rumah. Seperti biasa aku akan mengalah, meminta maaf dan suasana romantis kembali tercipta antara aku dan Mas Pandu. Tapi, tidak kali ini.Aku pun mondar mandir dengan gelisah."Kamu gak boleh gegabah, Lisa. Tenang dan berpikir jernih, kalo gak kamu bisa kehilangan segalanya," kataku berbicara pada diri sendiri. Aku melirik ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi tanda-tanda kepulangan Mas Pandu, belum juga terlihat. Kotak pesanku pun masih centang satu."Apa Mas Pandu pulang ke rumah orang tuanya ya? atau.. jangan-jangan dia ke rumah selingkuhnya itu?" batinku kembali berdialog. "Gak.. gak!" Aku pun menggeleng menepis semua praduga yang melintas di kepala.Akhirnya, kubulatkan tekad untuk menelpon ibu mertua."Maaf, Ma, kalo Lisa ganggu wa
"Kok kamu diam sih, sayang? Kamu keberatan kalo mas ikutin permintaan mama?" tanya mas Pandu membuyarkan lamunanku."Istri mana sih mas yang mau di madu?" ungkapku keberatan."Sayang?" panggil mas Pandu lembut, sambil mengangkat daguku dengan satu jarinya. Mata hitam pekatnya menatapku dalam."Mas janji sama kamu. Mas bakal berusaha adil, atau kalo kamu mau, kita buat aja perjanjian hitam di atas putih, begitu madu kamu lahiran, status anak itu bakal jadi anak kamu, gimana?"Janji mas Pandu terdengar begitu manis, sama seperti waktu dulu dia berjanji tidak akan menduakanku. Nyatanya, mas Pandu tetap melanggarnya. Bahkan, wanita itu telah dia tiduri, di saat aku sedang berjuang untuk mewujudkan keinginan orang tuanya--memberi cucu.Sesaat aku pun terdiam."Yakin sekali kamu mas, apa mungkin hasil tes laboratorium itu memang salah?" batinku kembali berkomentar sinis."Kalo ternyata hasil tes itu salah, itu artinya anak yang dikandung sekretaris mas Pandu memang anaknya, apa mungkin aku
"Apa ini, mas?" tanyaku penasaran.Sebuah kotak besar berwarna coklat dengan tali pita berwarna merah, diletakkan mas Pandu di atas tempat tidur."Coba aja buka."Kutemukan sebuah gaun malam berwarna hitam elegan, berlabel brand fashion terkenal terbungkus rapi di dalam kotak. Gaun yang begitu cantik dan indah. Aku memandang gaun itu dengan bingung, lalu mengalihkan pandangan pada mas Pandu."Ada acara kantor ya, mas?"Biasanya setiap ada acara di kantor, mas Pandu selalu membelikan aku gaun baru. Malu katanya kalo istri direktur pake gaun lama."Malam ini kita akan ketemu mama papa, sekalian kenalan sama calon istri baru mas," tutur mas Pandu memberi penjelasan.Aku pun melongo, dia begitu cepat mengambil tindakan. Aku yakin, hal ini dia lakukan agar aku tidak menaruh curiga pada bentuk perut wanita itu nantinya."Cepet banget mas dapat calonnya.""Wanita itu pilihan mama, sayang,"Keningku berkerut. Belum menikah saja, sikap mas Pandu sudah mulai berubah, apalagi kalo nanti dia meni
Selepas jamuan makan, aku secara pribadi menemui ibu mertua, yang sedang asyik bercengkerama dengan Irma--calon menantu barunya itu.Luar biasa sambutan ibu padanya, tak seperti padaku dulu. Ibu seperti orang yang berbeda, begitu ramah dan bersahabat. Dari kejauhan aku bisa melihat, ibu nampak gembira dan beberapa kali menyunggingkan senyum, yang tak pernah sekalipun dia tunjukkan padaku.Ah, sedih rasanya melihat pemandangan itu. Lalu, aku pun berjalan mendekat."Maaf ma, boleh ngomong sebentar?" tanyaku memotong pembicaraan keduanya."Ganggu aja deh. Ada apa lagi sih, Lisa?" tanyanya dengan nada ketus. Raut wajahnya berubah masam."Sebentar aja kok, ma.""Ya udah ngomong aja, ada apa?"Aku menarik napas panjang, menetralkan suasana hati yang bergetar."Maaf ma, tolong buat kali ini aja, biar Lisa sendiri yang ngasih tau abi sama umi soal pernikahan mas Pandu. Terakhir mama yang kasih tau, abi masuk rumah sakit," pintaku memohon."Jadi kamu nyalahin, saya?""Gak gitu ma. Mama kan tau