Aluna menatap dengan penuh rasa terkejut pada lelaki yang tengah bersimpuh di depannya. Setangkai mawar merah berada pada genggaman tangan Adly. Sepasang mata itu menatap ke arahnya penuh harap. "Terima.""Terima.""Terima."Koor dari teman-teman yang didaulat Adly sebagai saksi terdengar riuh. Wajah Aluna sudah merah padam menahan rasa yang bercampur baur tak karuan. Hatinya? Entah. Perasaannya tak tahu seperti apa. Namun, satu yang Aluna mengerti. Dia dan Adly bersahabat baik sejak lama. Aluna harus menyelamatkan mukanya.Tangkai mawar merah itu akhirnya berpindah tangan. Senyum riang terukir pada wajah Adly. "Terima kasih, Luna." Aluna tersenyum. Lalu dia bergegas menarik lengan Adly agar menjauh dari kerumunan. Jujur, menjadi pusat perhatian membuat Aluna tak nyaman. Adly berjalan mengekori langkah Aluna yang mengayun menjauh. Mereka tak sadar banyak pasang mata dari keluarga Aluna sedang memperhatikannya.*** Acara wisuda berjalan lancar. Tak semua mahasiswa sebberuntung Alu
Aluna menatap langit-langit kamar. Pertemuan demi pertemuan dengan Adly berkelebat. Kesungguhan Adly untuk meyakinknannya membuatnya luluh juga. Aluna melihat ada ketulusan dari tatapan mata Adly ketika berbicara padanya. “Apakah dia orangnya?” Lirih Aluna. Dia bangun dan berjalan menuju tepi jendela. Aluna menatap lurus ke depan. Melihat lembut sinar rembulan yang menyapa dirinya. Tampak tersenyum malu-malu dari balik awan yang berarak. Hembusan angin yang menyapu wajah membuatnya berulang menarik napas dalam-dalam. Aluna memejamkan mata, membiarkan sapuan lembut angin malam itu menyentuh pori-porinya. “Adly … apakah benar orangnya?” bisik Aluna pada diri sendiri. Namun, masih ada sebersit keraguan dalam hatinya. Tiba-tiba senyuman pemuda yang tengah membeli sebuah lukisan di pameran terbayang. Namun, Aluna segera menepisnya. Dia merasa heran dan tak pernah seperti itu sebelumnya. Biasanya, dia akan merasa tak nyaman dengan orang baru. Aluna lekas menggeleng pelan. Ditepisnya ba
A--Aku gak bisa melanjutkan semua ini, Adly. A--Aku gak bisa.” Suara Aluna bergetar. Adly menatap bingung pada gadisnya. Dia hendak mendekat, tapi dua pemuda tampan yang mengenakan kemeja senada menghadangnya. Dialah Cakra dan Buma.“Berhenti! Mbak Luna sudah bilang tak bisa! Tolong jangan memaksa!” Buma melipat tangan di depan dada, begitupun Cakra. Mereka tak terlihat seperti kakak adik, tapi lebih seperti dua anak kembar dengan paras identik. Keduanya tak perlu menanyakan alasan. Melihat kakak perempuannya tertekan, keduanya langsung sigap pasang badan. Adly menelan saliva. Apalagi ketika Papa Banyu, kini mulai angkat suara, “Unda … bawa Una ke kamarnya!” tegasnya. Jingga tak banyak bicara lagi. Otaknya tengah menerka-nerka sebenarnya apa yang terjadi. Namun, melihat wajah ketakutan Aluna. Lekas Unda Jingga membawa Aluna ke kamarnya. Oma Fera dan Nenek Nilam bergegas mengikutinya. Sementara itu, Buma dan Cakra bersiap siaga untuk membantu Papanya. “Ada apa sebenarnya ini?” Suara
“Kamu sopir?” Aluna memastikan lagi. Sepasang mata Aluna menyipit memperhatikan wajah Yayan dengan seksama, barangkali dia pernah melihatnya. Lelaki bernama Yayan yang usianya mungkin terpaut lima atau enam tahunan itu terkekeh. Giginya rapi berderet dan matanya jernih. Aluna tak yakin, orang yang di depannya benar-benar hanya sopir. “Iya, Non!” Yayan mengangguk sopan. “Mari!” Dia sigap membukakan pintu mobil untuk majikannya. “Lain kali, tak usah seperti ini. Saya bisa sendiri.” Aluna langsung masuk tanpa menoleh sedikitpun pada lelaki yang bergerak sigap. “Baik, Non!” Yayan segera mengitari mobil dan masuk ke tempat duduknya. Dia mulai melajukan mobilnya meninggalkan kediaman Oma Fera. Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan. Aluna lebih banyak berkutat dengan pikirannya. Hidupnya seperti kosong, pucat dan tak ada warna. Mobil melaju meninggalkan kediaman Oma Fera dengan pikirannya yang bercabang entah ke mana. “Ah, kenapa hidup bisa se-membosankan ini?” keluh Aluna dalam da
“Kenapa mirip sekali dengan sketsaku?” pikir Aluna ketika sudah mengamati wajah lelaki itu beberapa saat. Aluna mengarahkan kamera ponselnya dan mengambil gambar wajah lelaki itu diam-diam. Dia tak sadar jika Yayan tak luput memperhatikan gerak-geriknya dari kaca penumpang. Sehingga dia penasaran dan menoleh ke arah lelaki yang menjadi bidikan kamera Aluna. Sontak dia terkesiap karena kenal betul dengan lelaki yang berdiri di depan minimarket itu. Lalu kenapa Aluna seperti tertarik padanya? Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya?Aluna mengamati hasil jepretan kameranya. Ya, dialah wajah yang digambar dalam sketsanya. Wajah yang sama dengan yang pernah ditemuinya ketika pameran lukisan waktu itu. Lelaki bersahaja yang tatapan matanya terang dan senyumnya menyejukkan. Lelaki yang tak pernah Aluna tahu siapa namanya dan tinggal di mana? "Ah, rupanya dia tak jauh! Masih di sini juga." Aluna bergumam dalam hatinya. Ponsel itu disimpannya. Lalu dia kembali menikmati deretan pemandangan
Kelas melukis hari itu selesai. Tampak pemuda yang tadi pagi mengantar Desita, kembali datang. Aluna diam-diam memperhatikan. Lalu, tampak lelaki itu bertegur sapa lagi dengan Yayan.Sore menjelang. Aluna menghampiri Yayan yang tampak tengah mengupdate kondisinya. Pasti dia sedang membuat laporan pada Oma Fera dan Unda Jingga. “Ehmm, belum pulang?” Suara Aluna yang menyapanya, membuat Yayan menoleh. “Ini baru mau, Non! Maaf … ini tadi ada pesan dari Oma.” “Nyuruh pulang?” “Enggak, Non. Cuma tanya, Non Luna makan belum.” “Ooo ….” “Kalau begitu, saya permisi pulang dulu, Non!” “Ahm, tunggu!” Reflek tangan Aluna menahan lengan Yayan. Lelaki itu tersentak, tapi bebepa detik kemudian senyum terkulum pada bibirnya. Aluna yang sadar, jemarinya masih melingkar pada pergelangan tangan Yayan, lekas melepasnya. “Kamu kenal lelaki tadi?” Aluna bertanya. Dia memilih bersandar pada tembok teras rumahnya, sedangkan Yayan memang sedang duduk pada kursi-kursi yang dibuat untuk para orang tua
“Selamat pagi, Non!” Adrian baru saja tiba. Aluna tampak sedang menyirami tanaman bonsai dan beberapa anggrek tentunya. Unda Jingga yang mengirim pohon-pohon itu ke sana.“Pagi!” Hanya jawaban singkat dengan pandangan sekilas. Aluna tak memperhatikan lagi Adrian setelahnya. “Non, sudah sarapan?” Adrian mendekat. Dia hanya berbasa-basi karena pasti sudah bisa menebak. Aluna belum sarapan sepagi ini. “Ahm, belum.” Betul saja, jawabannya belum. “Non Luna mau sarapan apa? Biar saya buatkan.” Adrian menawarkan diri. “Kamu bisa masak?” Aluna menoleh. Adrian mengangguk. “Terserah, masak apa saja.” Singkat dan tak jelas, Adrian menggaruk kepala. Dia pun langsung minta izin masuk ke dalam. Adrian kini sudah berdiri di dapur. Tangannya sudah sibuk mengaduk-aduk nasi goreng dalam wajan. Aroma wangi menguar.memenuhi rumah minimalis dan tercium hingga keluar. Aluna yang sudah selesai menyirami tanaman, berjalan ke dalam dan menatap punggung lebar Adrian yang sibuk di dekat wajan. Tampak Adr
Aluna berdiri dan mengangguk sopan pada Adrian. Baru saja mereka tiba di depan rumah minimalis yang selama ini dijadikan tempat tinggal Aluna. “Makasih ….” Aluna turun dan membawa barang-barang belanjaan. “Non, apa sebaiknya tak tinggal di rumah Ibu atau Oma saja?” Entah kenapa ada perasaan was-was di hati Adrian. Di rumah ini, Aluna tinggal sendirian. “Kenapa?” Aluna menautkan alis dan menatapnya. “Hanya khawatir saja, di sini Non luna sendirian.” “Gak usah cemas, aku terbiasa hidup mandiri.” Akhirnya Adrian pun berpamitan. Aluna menutup pintu dan lekas mengeluarkan barang-barang belanjaan. Banyak membeli frozen food juga. Karena itu lekas dipindah ke dalam lemari es. Sesekali bibir tipisnya tersungging, entah kenapa hatinya mendadak hangat ketika membayangkan memberikan makanan buatannya sendiri pada Garda. Ah, maksudnya dibantu Adrian juga. Aluna tengah membereskan barang-barang ke dalam lemari es ketika terdengar pintu diketuk. Dia berdiri sambil menoleh pada pintu. Dipiki