Kelas melukis hari itu selesai. Tampak pemuda yang tadi pagi mengantar Desita, kembali datang. Aluna diam-diam memperhatikan. Lalu, tampak lelaki itu bertegur sapa lagi dengan Yayan.Sore menjelang. Aluna menghampiri Yayan yang tampak tengah mengupdate kondisinya. Pasti dia sedang membuat laporan pada Oma Fera dan Unda Jingga. “Ehmm, belum pulang?” Suara Aluna yang menyapanya, membuat Yayan menoleh. “Ini baru mau, Non! Maaf … ini tadi ada pesan dari Oma.” “Nyuruh pulang?” “Enggak, Non. Cuma tanya, Non Luna makan belum.” “Ooo ….” “Kalau begitu, saya permisi pulang dulu, Non!” “Ahm, tunggu!” Reflek tangan Aluna menahan lengan Yayan. Lelaki itu tersentak, tapi bebepa detik kemudian senyum terkulum pada bibirnya. Aluna yang sadar, jemarinya masih melingkar pada pergelangan tangan Yayan, lekas melepasnya. “Kamu kenal lelaki tadi?” Aluna bertanya. Dia memilih bersandar pada tembok teras rumahnya, sedangkan Yayan memang sedang duduk pada kursi-kursi yang dibuat untuk para orang tua
“Selamat pagi, Non!” Adrian baru saja tiba. Aluna tampak sedang menyirami tanaman bonsai dan beberapa anggrek tentunya. Unda Jingga yang mengirim pohon-pohon itu ke sana.“Pagi!” Hanya jawaban singkat dengan pandangan sekilas. Aluna tak memperhatikan lagi Adrian setelahnya. “Non, sudah sarapan?” Adrian mendekat. Dia hanya berbasa-basi karena pasti sudah bisa menebak. Aluna belum sarapan sepagi ini. “Ahm, belum.” Betul saja, jawabannya belum. “Non Luna mau sarapan apa? Biar saya buatkan.” Adrian menawarkan diri. “Kamu bisa masak?” Aluna menoleh. Adrian mengangguk. “Terserah, masak apa saja.” Singkat dan tak jelas, Adrian menggaruk kepala. Dia pun langsung minta izin masuk ke dalam. Adrian kini sudah berdiri di dapur. Tangannya sudah sibuk mengaduk-aduk nasi goreng dalam wajan. Aroma wangi menguar.memenuhi rumah minimalis dan tercium hingga keluar. Aluna yang sudah selesai menyirami tanaman, berjalan ke dalam dan menatap punggung lebar Adrian yang sibuk di dekat wajan. Tampak Adr
Aluna berdiri dan mengangguk sopan pada Adrian. Baru saja mereka tiba di depan rumah minimalis yang selama ini dijadikan tempat tinggal Aluna. “Makasih ….” Aluna turun dan membawa barang-barang belanjaan. “Non, apa sebaiknya tak tinggal di rumah Ibu atau Oma saja?” Entah kenapa ada perasaan was-was di hati Adrian. Di rumah ini, Aluna tinggal sendirian. “Kenapa?” Aluna menautkan alis dan menatapnya. “Hanya khawatir saja, di sini Non luna sendirian.” “Gak usah cemas, aku terbiasa hidup mandiri.” Akhirnya Adrian pun berpamitan. Aluna menutup pintu dan lekas mengeluarkan barang-barang belanjaan. Banyak membeli frozen food juga. Karena itu lekas dipindah ke dalam lemari es. Sesekali bibir tipisnya tersungging, entah kenapa hatinya mendadak hangat ketika membayangkan memberikan makanan buatannya sendiri pada Garda. Ah, maksudnya dibantu Adrian juga. Aluna tengah membereskan barang-barang ke dalam lemari es ketika terdengar pintu diketuk. Dia berdiri sambil menoleh pada pintu. Dipiki
Deru mobil terdengar berhenti. Kedua anak muda yang masih berjongkok di dekat Aluna itu pun menoleh ke arah mobil yang berhenti. Tampak keluar dengan tergesa Papa Banyu, Buma, Cakra dan Unda Jingga. Tanpa terasa, Garda berdiri dan menatap lekat wajah Unda Jingga yang tetap cantik pada usianya yang tak lagi muda. “B--Bu J--Jingga ….” Suaranya lirih nyaris tak terdengar. Lalu dia menoleh ke arah Aluna dan ke arah Unda Jingga bergantian. “J--Jadi benar, d--dia itu putrinya Bu Jingga yang waktu itu,” batin Garda.Garda seolah terhipnotis ketika keriuhan terjadi. Unda Jingga menghampiri Aluna, memeluknya dan memburunya dengan pertanyaan. Sementara itu, Papa Banyu tampak memperhatikan kondisi sekitar. Dia menatap pintu yang terdobrak rusak dan menggeleng kepala. “Yan, siapa yang melakukan ini?” Papa Banyu menatap pada Adrian yang baru saja menyalaminya. “Sepertinya mantan tunangannya Non Luna, Pak!” Garda menautkan alis, heran ketika mendengar temannya memanggil Aluna dengan sebutan N
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (98)Garda duduk termenung di teras rumahnya yang sederhana. "Hmmm … jadi dia gadis kecil itu?” Dia mengabaikan laptop yang tengah terbuka dan kini laptop itu yang menontonnya. Waktu baru menunjukkan sekitar pukul setengah tujuh. Sejak malam pikirannya mulai kacau karena memikirkan Aluna. Sekilas senyum pada bibir Garda terbit. Bayangan belasan tahun silam tiba-tiba melintas kembali. Memorinya tertarik pada masa ketika masa-masa sekolah dasar. Miss Jingga sedang sakit. Saat itu dirinya, Genta dan Hafiza ikut rombongan para guru yang mau menengok guru kesayangan mereka itu. Mereka dulunya seperti ban beca, sebelum Adrian kemudian akrab dan menjadi bagian dari persahabatannya.Pada saat itu, mereka berkumpul di sebuah gazebo, sedang bahagia karena menunggu jamuan makanan datang. Namun, fokus mereka saat itu tiba-tiba teralihkan. Dia melihat ke atas balkon karena sebuah teriakan. “Bibi! Bibi! Sudah belum!” seru gadis itu lantang. Jaraknya cukup jauh, tapi t
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (99)“Masya Allah … mimpi apa aku? Ini masakkan yang dia masak sendiri?” gumam Garda dalam hatinya. Dia mengunyah pelan-pelan sambil membayangkan sosok Aluna yang tengah tersenyum di depannya.Garda mengambil ponsel dan mencari kontak yang dia namai Bu Luna. Ditatapnya kolom chat. Ada rasa sungkan, tapi gerakan hatinya membuat jemarinya tetap melanjutkan ketikan. [Nasi gorengnya enak, terima kasih, Bu Luna. Garda.] Sementara itu, Aluna yang sedang memutar tutorial menggambar dengan infocus melukis melirik ponselnya yang bergetar. Disambarnya cepat, lalu dibukanya pola yang menutup layar.“Nomor baru?” Kedua alis Aluna saling bertaut. Namun, kerutan tersebut tak bertahan lama, berganti dengan senyum yang tersungging manis pada bibirnya. [Sama-sama.] Balasan cepat dia kirimkan. Bersama rasa gembira yang menyelinap di hatinya. Aluna menyimpan lagi gawainya. Lalu kembali fokus pada layar yang terpampang di depan. Kelas kursus yang disediakan Aluna untuk us
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (100)“Ahm, Non … ngomong-ngomong, mau tanya boleh?” Tanpa Aluna sangka, tiba-tiba Adrian minta izin untuk bertanya. “Ya, Silakan.” Aluna mendongak sekilas dan menatap wajah Adrian dengan mata bundarnya. Heran, itu yang terlintas dalam benak Aluna. “Non Luna suka nonton?” Sedikit gugup, terdengar suara Adrian bertanya. Aluna sedikit tersentak, tak menyangka pegawainya itu menanyakan hal yang tidak biasa. Aluna mengulas senyum sedikit, sedikit sekali, lalu menjawab sejujurnya., “Ahm gak terlalu.”“Ooo … gitu ….” Adrian mengangguk-angguk. Lalu hening beberapa saat. Tangannya sibuk mengaduk kuah soto dalam mangkuknya. “Pernah, sih … sesekali saja. Kenapa?” Suara Aluna membuat sepasang mata elangnya kembali bersinar. Ditanya seperti itu, seakan mendapat angin segar. Adrian menenangkan diri. Ada rasa was-was karena melihat seperti apa Aluna memandang Garda. Was-was kalau Aluna terang-terangan menolaknya. Namun, pantang mundur sebelum memaksimalkan usaha. “
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (101)“Berhenti!” bentak salah satu dari mereka yang melintangkan motor gedenya dengan garang. Wajahnya tersembunyi di balik masker. Tak ada pilihan, Adrian menghentikkan laju sepeda motornya meskipun hatinya gamang. Ada perasaan was-was karena lawannya tak seimbang. Ada tiga buah sepeda motor yang menghadangnya dengan masing-masing diboncengi dua orang. “Non, cari bantuan!” bisik Adrian pada Aluna yang sudah mulai berkeringat dingin. “Yan, apa gak sebaiknya kita kabur saja?” Aluna bicara dengan suara gemetar. Tanpa sadara tangannya melinglar penuh pada pinggang Adrian. “Jalan kita sudah ditutup mereka. Sudah tak ada pilihan.” Adrian bicara lagi sambil turun dari sepeda motornya. “Sudah ngasih pesan-pesan terakhir pada cewek lo, hah?” Garang, suara salah satu dengan wajah yang berewokkan. “Kalian mau apa? Kenapa ganggu kami?” Adrian membuka suara, dia berjalan menjauh dari Aluna. Hatinya berharap, Aluna mendengarkan kata-katanya tadi. “Baj*ngan kaya