MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (101)“Berhenti!” bentak salah satu dari mereka yang melintangkan motor gedenya dengan garang. Wajahnya tersembunyi di balik masker. Tak ada pilihan, Adrian menghentikkan laju sepeda motornya meskipun hatinya gamang. Ada perasaan was-was karena lawannya tak seimbang. Ada tiga buah sepeda motor yang menghadangnya dengan masing-masing diboncengi dua orang. “Non, cari bantuan!” bisik Adrian pada Aluna yang sudah mulai berkeringat dingin. “Yan, apa gak sebaiknya kita kabur saja?” Aluna bicara dengan suara gemetar. Tanpa sadara tangannya melinglar penuh pada pinggang Adrian. “Jalan kita sudah ditutup mereka. Sudah tak ada pilihan.” Adrian bicara lagi sambil turun dari sepeda motornya. “Sudah ngasih pesan-pesan terakhir pada cewek lo, hah?” Garang, suara salah satu dengan wajah yang berewokkan. “Kalian mau apa? Kenapa ganggu kami?” Adrian membuka suara, dia berjalan menjauh dari Aluna. Hatinya berharap, Aluna mendengarkan kata-katanya tadi. “Baj*ngan kaya
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (102)Aluna baru keluar dari kantor kepolisian setelah memberikan keterangan. Adly pun sama, dia berjalan di sisi Aluna, tapi keduanya saling terdiam.Buma dan Cakra mengawal kakak perempuannya dari belakang. Dua pasang mata elang mereka mengawasi punggung Adly. Sesekali keduanya saling menoleh dan mengisyaratkan sesuatu. Pengacara yang mendampingi Aluna masih berada di dalam dan berbincang dengan aparat kepolisian. Dia sedang meminta personel untuk mengawal kliennya pulang. Bagaimanapun, Sang Pengacara menangkap ada hal yang janggal. “Lun, pulangnya biar aku anter.” Adly mencoba mengajak berbicara. Mereka sudah tiba di luar gedung dan kini Buma sedang menelpon Mang Parmin. Sopir yang akan menjemputnya. “Mbak Luna dijemput!” Sengak Cakra yang tengah menunggu adiknya menelpon. Dia berdiri beberapa langkah dari Aluna yang bersedekap sambil bersandar pada tiang bangunan. Mata elangnya mengawasi Aluna. “Dek, ini sudah malam. Mas cuma khawatir kalau Mbak Lun
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (103)“Sudahlah, Banyu. Ini ‘kan kecelakaan … siapa yang tahu kalau akan ada geng motor yang tiba-tiba menyerang!” tukas Oma Fera menghibur.“Ini tak sesederhana yang Mama bayangkan. Pengacara kita tadi bilang. Indikasinya adalah balas dendam. Ada dalang di balik semua pengeroyokkan ini dan feelingku tiba-tiba tertuju pada seseorang!” Papa Banyu menghela napas panjang. Unda Jingga dan Oma Fera serempak menatap pada Papa Banyu. “Siapa yang kamu curigai, Banyu?!” desak Ome Fera dengan tatapan penuh rasa penasaran.Papa Banyu terdiam sejenak. Namun kerutan pada dahinya menandakan kalau dirinya tengah berpikir. “Papa? Siapa?” Suara Unda Jingga juga terdengar menunggu. “Biar polisi melakukan penyelidikan dulu. Kita tak boleh sembarangan menyebut nama orang. Nanti bisa-bisa termasuk pencemaran nama baik.” Oma Fera saling tukar pandang dengan Unda Jingga. Unda Jingga seperti paham yang Oma fera pikirkan, tetapi Unda Jingga menggeleng pelan. Melihat wajah Pap
Sepasang bola bening Aluna berkaca-kaca melihat Adrian yang terbaring dengan berbagai peralatan medis pada tubuhnya. Hanya layar pada monitor yang menunjukkan garis-garis melengkung tak beraturan yang menunjukkan detak jantungnya. “Yayan … ini aku, Aluna.” “Kamu cepetan bangun, Yan ….” Seolah ada yang menggerakkan, jemari lentik Aluna perlahan meraih tangan Adrian lalu digenggamnya telapak tangan besar itu. Namun, tak sedikitpun ada balasan.“Yayan … maaf, karena aku … kamu jadi kayak gini. Aku minta maaf ….” Aluna menunduk dan air matanya menitik begitu saja. “Ayo bangun, Yan … nanti siapa yang makanin ceker ayam di sotoku, siapa yang beliin ikat rambutku, masa aku tiap hari harus naik motor sendiri ke tempat kursus?”Aluna bicara panjang lebar sambil sibuk menyeka air mata. Rasa bersalah menggunung dalam hatinya. Apalagi dirinya merasa, keberadaan Adly dalam insiden tersebut bukan hal kebetulan. Aluna yakin, Adly ada sangkut pautnya dengan semua ini. Menyesal dulu mengabaikan ke
“Kalau betul Una suka anak itu, lalu … kasihan sekali anak Pak Dirga.” Lirih Papa Banyu seraya menghela napas kasar dan tetap fokus pada jalanan. Hampir saja Garda pergi ketika mobil Papa Banyu menepi. Oma Fera tersenyum sumringah melihat anak dan menantunya itu datang. Hanya saja Aluna menautkan alis dan menatap Papa dan Undanya penuh tanya. “Papa sama Unda mau ke mana, sih?” telisiknya penuh curiga. Unda Jingga saling tukar pandang dengan Oma Fera. Lalu tersenyum agar tak terlihat begitu mencurigakan di mata Aluna. Ya, ini terlalu mencolok memang. Baru beberapa waktu lalu di drop ke rumah, tiba-tiba nyusul bersama Papa Banyu ke sana. “Tadi kebetulan Unda mau ke supermarket, banyak bahan makanan yang kosong. Jadi, Unda mampir ke sini dulu. Eh, ada tamu rupanya. Garda sengaja main?” Unda Jingga langsung mengalihkan pembicaraan. Dia menoleh pada Garda dan tersenyum lembut. “Iya, Bu. Tadi dengar kabar kalau kursus lukis libur. Pas tanya sama Luna, ternyata ada insiden.” Garda menga
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (106)Tak berapa lama, Bu Salmah sudah kembali dengan wajah murung. Unda Jingga yang melihat gelagatnya sudah bisa menebak, ada kabar kurang baik yang tadi dokter sampaikan. “Ada kabar apa?” Unda Jingga menatap wajah Bu Salmah. Aluna dan Oma Fera ikut tegang juga mendengarnya. “Adrian terindikasi mengalami kelumpuhan.” Deg!Aluna terperanjat luar biasa. “Astaghfirulloh!” Unda Jingga pun terhenyak kaget. Lalu reflek saja, dua orang itu berpelukan. Unda Jingga membiarkan Bu Salmah menangis. Hati Aluna mencelos. Tubuhnya rasanya mendadak seperti tak bertulang. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan hati yang semakin tak karuan. “Kalau bukan karena ngelindungin aku, Yayan gak mungkin seperti ini …,” batin Aluna. Helaan napas panjang dia hembuskan. Rasa bersalahnya semakin terasa besar. “Sabar, Mbak Salmah. Semoga segera pulih lagi.” “Makasih ….” Bu Salmah tampak menahan agar tangisnya tak pecah lagi. Obrolan terjeda oleh kedatangan para
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (107)Adrian tampak mematung sejenak, pikirannya tampak menerawang dan kosong. Bu Salmah yang mengerti ada hal yang dipikirkan putranya itu bertanya, “Kenapa kamu seperti banyak pikiran gitu, Ian?” Adrian menoleh pada Bu Salmah dan Papa Banyu bergantian, “Bukankah pernikahan ini, Om Banyu inginkan biar ada yang menjaga Aluna? Hanya saja … Ibu lihat sendiri … jangankan menjaga Aluna, bahkan dua kaki ini untuk bergerak saja tak bisa.” Deg!Ada sesuatu yang mencubit hati Bu Salmah. Dia menelan saliva. Bingung, seperti apa harus menegarkan pikiran putranya. Jangan-jangan Adrian merasa rendah diri karena kini dirinya menjadi pria yang tak sempurna. “Dokter bilang, kaki kamu bisa sembuh. Beberapa hari lagi akan dilakukan proses operasi. Hanya saja … Ibu juga ‘kan sudah tua. Ibu tak mungkin juga ngurusi kamu dua puluh empat jam. Karena itulah, Ibu setuju pada gagasan Om Banyu. Asal kamu tahu, selama kamu kritis … Aluna tiap hari bolak-balik ke sini. Kasihan di
“Ayo turun! Kita sudah sampai,” tukas Unda Jingga. Sementara itu, Oma Fera sudah turun duluan dan tengah merapikan pakaiannya. Aluna lekas membuka pintu dan turun. Begitupun Unda Jingga. Ketiga perempuan itu lantas berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju lift. Setelah tiba di sana, bergegas memijit tombol menuju lantai yang dituju. Entah kenapa, tangan Aluna mendadak terasa dingin ketika lift sudah terbuka dan lorong menuju kamar rawat Adrian sudah dilihatnya. “Bismillah … tenangkan aku, Ya Rabb!” Doanya dalam dada, berharap rasa gugup yang tiba-tiba muncul itu bisa sirna. Jarak semakin memangkas keberadaan mereka dengan kamar di mana Adrian dirawat inap. Beberapa saat lalu, baru saja di ruangan itu selesai dilaksanakan akad. Walaupun tanpa mempelai perempuan, tapi Aluna sudah memberikan pilihannya pada Papa Banyu. Dia sudah setuju dan memilih Yayan. Tiba di ruangan rawat. Yang tersisa hanyalah Papa Banyu dan Bu salmah. Tak ada lagi orang lain. Papa Banyu meminta semua seger