MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (107)Adrian tampak mematung sejenak, pikirannya tampak menerawang dan kosong. Bu Salmah yang mengerti ada hal yang dipikirkan putranya itu bertanya, “Kenapa kamu seperti banyak pikiran gitu, Ian?” Adrian menoleh pada Bu Salmah dan Papa Banyu bergantian, “Bukankah pernikahan ini, Om Banyu inginkan biar ada yang menjaga Aluna? Hanya saja … Ibu lihat sendiri … jangankan menjaga Aluna, bahkan dua kaki ini untuk bergerak saja tak bisa.” Deg!Ada sesuatu yang mencubit hati Bu Salmah. Dia menelan saliva. Bingung, seperti apa harus menegarkan pikiran putranya. Jangan-jangan Adrian merasa rendah diri karena kini dirinya menjadi pria yang tak sempurna. “Dokter bilang, kaki kamu bisa sembuh. Beberapa hari lagi akan dilakukan proses operasi. Hanya saja … Ibu juga ‘kan sudah tua. Ibu tak mungkin juga ngurusi kamu dua puluh empat jam. Karena itulah, Ibu setuju pada gagasan Om Banyu. Asal kamu tahu, selama kamu kritis … Aluna tiap hari bolak-balik ke sini. Kasihan di
“Ayo turun! Kita sudah sampai,” tukas Unda Jingga. Sementara itu, Oma Fera sudah turun duluan dan tengah merapikan pakaiannya. Aluna lekas membuka pintu dan turun. Begitupun Unda Jingga. Ketiga perempuan itu lantas berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju lift. Setelah tiba di sana, bergegas memijit tombol menuju lantai yang dituju. Entah kenapa, tangan Aluna mendadak terasa dingin ketika lift sudah terbuka dan lorong menuju kamar rawat Adrian sudah dilihatnya. “Bismillah … tenangkan aku, Ya Rabb!” Doanya dalam dada, berharap rasa gugup yang tiba-tiba muncul itu bisa sirna. Jarak semakin memangkas keberadaan mereka dengan kamar di mana Adrian dirawat inap. Beberapa saat lalu, baru saja di ruangan itu selesai dilaksanakan akad. Walaupun tanpa mempelai perempuan, tapi Aluna sudah memberikan pilihannya pada Papa Banyu. Dia sudah setuju dan memilih Yayan. Tiba di ruangan rawat. Yang tersisa hanyalah Papa Banyu dan Bu salmah. Tak ada lagi orang lain. Papa Banyu meminta semua seger
“Ini terkait masa depan kamu, Sayang. Usia kamu sudah tak lagi muda. Mama belum pernah lihat kamu bawa cowok ke hadapan Mama. Nah, kemarin anaknya produser Mama, dia nanyain kamu. Mama harap, kalian bisa berjodoh. Ini demi karir Mama juga.” Sepasang mata Misye melebar penuh harap.“Anaknya produser? Maksudnya?” Aluna menegakkan duduknya. Rasa-rasanya dia akan mendapat kabar tak menyenangkan dari Mama kandungnya itu. Apalagi tadi disangkut pautkan dengan karirnya juga. “Dia ada lihat foto kamu, terus pengen kenalan.” Sontak, Aluna memutar bola mata ke atas. Itulah yang membuat selama ini dirinya menjaga jarak. Misye masih tetaplah Misye yang dulu. Selalu ada kata timbal balik dari semua yang dia lakukan. “Lagi? Mama sudah lupa kalau aku tak suka dijodohkan?!” Sepasang netra Aluna yang letih sedikit membesar. Dia menekankan kalimatnya itu sekali lagi. “Hanya kenalan, Sayang.” Misye menatap penuh harap. Wajahnya yang sudah tak lagi semenarik dulu, membuat jobnya banyak berkurang. Apa
“Tadi katanya terserah,” kekeh Adrian seraya mengerling. Rasanya senang sekali melihat wajah Aluna memerah seperti tomat. “Gak macem-macem ‘kan?” Aluna masih mematung. “Enggak, satu macem saja, kok … sini, temani!” Lagi, Adrian menepuk tempat kosong di sampingnya lalu membetulkan bantal untuk sang istri. Akhirnya meskipun hatinya berdentum-dentum tak karuan. Aluna beringsut mendekat. Dia pun duduk di sebelah lelaki yang sudah bergelar suami itu. Tiba-tiba tangan Adrian meraihnya. Jemari kokoh itu menutup jemari mungilnya dan membawanya dalam dekapan. “Makasih ya, Dek. Makasih buat semuanya ….” Aluna yang kikuk dan canggung hanya mampu mengangguk. Rasanya, berada di dekat Adrian selalu membuatnya merasa nyaman, meski deg-degan.Hanya saja, untuk masalah cinta, Aluna tak tahu apakah hatinya sudah benar-benar jatuh cinta pada lelaki yang sudah jadi suaminya itu atau sebatas rasa bersalah saja?Pernikahan ini pun terlalu cepat untuknya. Bahkan pernikahannya bukan seperti sebuah hal y
“Siang ini, Saya tunggu di cafe! Urusan kita belum selesai!” ketus Misye sebelum beranjak pergi meninggalkan Adrian dan Aluna. Aluna mendelik kesal. Dia langsung mendorong kursi roda Adrian dan meninggalkan Misye. Sedih dan benci bercampur menjadi satu.Andai tak memiliki Ibu pengganti sebaik Jingga, Aluna tak akan tahu seperti apa dirinya saat ini. Sejak dulu, Misye hanya fokus pada karir, selalu mementingkan karir dan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Adrian pun tak banyak bicara. Otaknya tengah mencerna. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Rasanya dilemma. Dia tak ingin membuat Aluna sedih atas tekanan mamanya. Namun, untuk mengatakan yang sebenarnya, dia pun tak punya nyali. Apalagi belum ada yang terjadi di antara mereka. Bagaimanapun kondisi pasca operasi tulang belakang membuatnya mau tak mau, menunggu hingga sembuh total. Usai kontrol, Adrian dan Aluna kembali ke dalam mobil. Keduanya berjalan meninggalkan rumah sakit. Adrian menoleh pada Aluna yang wajahnya ditekuk sej
“Abang gak usah dengerin!” tukas Aluna seolah paham. “Tidak, Dek! Kali ini Abang minta izin untuk melawan! Hanya saja Abang minta satu hal. Jangan pernah terpikir untuk mengorbankan rumah tangga kita apapun yang terjadi setelah ini, janji?” Adrian menatap tajam sepasang mata Aluna yang menatapnya penuh rasa bersalah. “Ngomongnyo gitu mulu, sih?” gerutu Aluna samar. “Apa?!” Adrian yang tak mendengar jelas karena volume televisi yang cukup keras menoleh.“Iya,” tukas Aluna malas menjelaskan. “Iya apa?” Adrian menatap Aluna. Satu bulan ini hubungannya sudah lumayan membaik. Hanya saja, Adrian tetap khawatir jika Aluna tiba-tiba pergi karena merasa dibohongi. “Iya, janji!” tukas Aluna sambil mengerucutkan bibirnya dan bicara dalam hati, “Dia itu kenapa, sih? Bahas-bahas ginian melulu. Dia kira aku ini main-main sama pernikahan?” Adrian yang melihat raut wajah Aluna merengutpun menjadi sangsi, “Wajahnya kayak kesal, apa sebenarnya dia merasa tersiksa dengan pernikahan ini, ya?”“Semo
Usai memberi pernyataan pada media. Misye tersenyum senang. Dia sangat yakin, kalau menantu miskin yang sakit-sakitan itu akan segera hengkang. Misye yakin laki-laki itu akan minder dan kena mental lalu mundur dengan sendirinya. “Ah, Misye memang hebat! Tak percuma punya otak cemerlang,” kekehnya memuji diri sendiri. Dia pun segera pulang ke apartemen yang masa sewanya sudah hampir habis itu. Pastinya setelah menyapa beberapa rekan wartawan yang sengaja dihubunginya tadi. Bagaimanapun dia harus berusaha mendapatkan pekerjaan lagi. Uang untuk kehidupan mewahnya sudah hampir habis.Setibanya di apartemen dia langsung merebahkan diri di atas kasur empuknya. Dia pun segera memantau sosial media, berharap para wartawan itu langsung bergerak cepat sesuai rencananya. Sudah ada postingan yang muncul, meskipun belum ada gambar penyerta. “Start yang bagus.” Misye bicara sendirian. Lalu dia menghubungi managernya yang sama-sama sepi job juga. Misye minta managernya segera memberikan alamat ru
Misye pontang-panting mencari cara untuk bertemu dengan Pak Dirga. Hanya saja, laki-laki itu sudah menutup semua aksesnya. Bahkan laporan pada kepolisian sudah dilayangkan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Karena sejauh ini, pergerakan Misye yang diminta untuk memberikan klarifikasi dan permohonan maaf, tak ada pergerakan. “Mbak Misye, sepertinya lebih aman kalau bikin klarifikasi lagi ke wartawan!” “Vina, kamu gila. Itu sama saja menghancurkan reputasiku. Aku yakin, semua yang awalnya masih ragu, jadinya mereka nanti malah membullyku nanti. Image aku sebagai super mama bisa langsung anjlok!"Keduanya lalu terdiam lagi. Kepala Misye berdenyut nyeri memikirkan semua itu. Vina sudah berulang kali membujuk Misye untuk membuat klarifikasi, tapi tak berhasil. “Minta barangnya, Vin!” “Jangan, Mbak! Kita lagi disorot sekarang!” “Ck, mereka menyorot hal yang beda! Penakut kamu!” tukas Misye seraya merebut tas selempang yang tergeletak di meja kecil, lalu mengambil sebuah kunci dari sa