Deru mobil terdengar berhenti. Kedua anak muda yang masih berjongkok di dekat Aluna itu pun menoleh ke arah mobil yang berhenti. Tampak keluar dengan tergesa Papa Banyu, Buma, Cakra dan Unda Jingga. Tanpa terasa, Garda berdiri dan menatap lekat wajah Unda Jingga yang tetap cantik pada usianya yang tak lagi muda. “B--Bu J--Jingga ….” Suaranya lirih nyaris tak terdengar. Lalu dia menoleh ke arah Aluna dan ke arah Unda Jingga bergantian. “J--Jadi benar, d--dia itu putrinya Bu Jingga yang waktu itu,” batin Garda.Garda seolah terhipnotis ketika keriuhan terjadi. Unda Jingga menghampiri Aluna, memeluknya dan memburunya dengan pertanyaan. Sementara itu, Papa Banyu tampak memperhatikan kondisi sekitar. Dia menatap pintu yang terdobrak rusak dan menggeleng kepala. “Yan, siapa yang melakukan ini?” Papa Banyu menatap pada Adrian yang baru saja menyalaminya. “Sepertinya mantan tunangannya Non Luna, Pak!” Garda menautkan alis, heran ketika mendengar temannya memanggil Aluna dengan sebutan N
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (98)Garda duduk termenung di teras rumahnya yang sederhana. "Hmmm … jadi dia gadis kecil itu?” Dia mengabaikan laptop yang tengah terbuka dan kini laptop itu yang menontonnya. Waktu baru menunjukkan sekitar pukul setengah tujuh. Sejak malam pikirannya mulai kacau karena memikirkan Aluna. Sekilas senyum pada bibir Garda terbit. Bayangan belasan tahun silam tiba-tiba melintas kembali. Memorinya tertarik pada masa ketika masa-masa sekolah dasar. Miss Jingga sedang sakit. Saat itu dirinya, Genta dan Hafiza ikut rombongan para guru yang mau menengok guru kesayangan mereka itu. Mereka dulunya seperti ban beca, sebelum Adrian kemudian akrab dan menjadi bagian dari persahabatannya.Pada saat itu, mereka berkumpul di sebuah gazebo, sedang bahagia karena menunggu jamuan makanan datang. Namun, fokus mereka saat itu tiba-tiba teralihkan. Dia melihat ke atas balkon karena sebuah teriakan. “Bibi! Bibi! Sudah belum!” seru gadis itu lantang. Jaraknya cukup jauh, tapi t
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (99)“Masya Allah … mimpi apa aku? Ini masakkan yang dia masak sendiri?” gumam Garda dalam hatinya. Dia mengunyah pelan-pelan sambil membayangkan sosok Aluna yang tengah tersenyum di depannya.Garda mengambil ponsel dan mencari kontak yang dia namai Bu Luna. Ditatapnya kolom chat. Ada rasa sungkan, tapi gerakan hatinya membuat jemarinya tetap melanjutkan ketikan. [Nasi gorengnya enak, terima kasih, Bu Luna. Garda.] Sementara itu, Aluna yang sedang memutar tutorial menggambar dengan infocus melukis melirik ponselnya yang bergetar. Disambarnya cepat, lalu dibukanya pola yang menutup layar.“Nomor baru?” Kedua alis Aluna saling bertaut. Namun, kerutan tersebut tak bertahan lama, berganti dengan senyum yang tersungging manis pada bibirnya. [Sama-sama.] Balasan cepat dia kirimkan. Bersama rasa gembira yang menyelinap di hatinya. Aluna menyimpan lagi gawainya. Lalu kembali fokus pada layar yang terpampang di depan. Kelas kursus yang disediakan Aluna untuk us
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (100)“Ahm, Non … ngomong-ngomong, mau tanya boleh?” Tanpa Aluna sangka, tiba-tiba Adrian minta izin untuk bertanya. “Ya, Silakan.” Aluna mendongak sekilas dan menatap wajah Adrian dengan mata bundarnya. Heran, itu yang terlintas dalam benak Aluna. “Non Luna suka nonton?” Sedikit gugup, terdengar suara Adrian bertanya. Aluna sedikit tersentak, tak menyangka pegawainya itu menanyakan hal yang tidak biasa. Aluna mengulas senyum sedikit, sedikit sekali, lalu menjawab sejujurnya., “Ahm gak terlalu.”“Ooo … gitu ….” Adrian mengangguk-angguk. Lalu hening beberapa saat. Tangannya sibuk mengaduk kuah soto dalam mangkuknya. “Pernah, sih … sesekali saja. Kenapa?” Suara Aluna membuat sepasang mata elangnya kembali bersinar. Ditanya seperti itu, seakan mendapat angin segar. Adrian menenangkan diri. Ada rasa was-was karena melihat seperti apa Aluna memandang Garda. Was-was kalau Aluna terang-terangan menolaknya. Namun, pantang mundur sebelum memaksimalkan usaha. “
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (101)“Berhenti!” bentak salah satu dari mereka yang melintangkan motor gedenya dengan garang. Wajahnya tersembunyi di balik masker. Tak ada pilihan, Adrian menghentikkan laju sepeda motornya meskipun hatinya gamang. Ada perasaan was-was karena lawannya tak seimbang. Ada tiga buah sepeda motor yang menghadangnya dengan masing-masing diboncengi dua orang. “Non, cari bantuan!” bisik Adrian pada Aluna yang sudah mulai berkeringat dingin. “Yan, apa gak sebaiknya kita kabur saja?” Aluna bicara dengan suara gemetar. Tanpa sadara tangannya melinglar penuh pada pinggang Adrian. “Jalan kita sudah ditutup mereka. Sudah tak ada pilihan.” Adrian bicara lagi sambil turun dari sepeda motornya. “Sudah ngasih pesan-pesan terakhir pada cewek lo, hah?” Garang, suara salah satu dengan wajah yang berewokkan. “Kalian mau apa? Kenapa ganggu kami?” Adrian membuka suara, dia berjalan menjauh dari Aluna. Hatinya berharap, Aluna mendengarkan kata-katanya tadi. “Baj*ngan kaya
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (102)Aluna baru keluar dari kantor kepolisian setelah memberikan keterangan. Adly pun sama, dia berjalan di sisi Aluna, tapi keduanya saling terdiam.Buma dan Cakra mengawal kakak perempuannya dari belakang. Dua pasang mata elang mereka mengawasi punggung Adly. Sesekali keduanya saling menoleh dan mengisyaratkan sesuatu. Pengacara yang mendampingi Aluna masih berada di dalam dan berbincang dengan aparat kepolisian. Dia sedang meminta personel untuk mengawal kliennya pulang. Bagaimanapun, Sang Pengacara menangkap ada hal yang janggal. “Lun, pulangnya biar aku anter.” Adly mencoba mengajak berbicara. Mereka sudah tiba di luar gedung dan kini Buma sedang menelpon Mang Parmin. Sopir yang akan menjemputnya. “Mbak Luna dijemput!” Sengak Cakra yang tengah menunggu adiknya menelpon. Dia berdiri beberapa langkah dari Aluna yang bersedekap sambil bersandar pada tiang bangunan. Mata elangnya mengawasi Aluna. “Dek, ini sudah malam. Mas cuma khawatir kalau Mbak Lun
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (103)“Sudahlah, Banyu. Ini ‘kan kecelakaan … siapa yang tahu kalau akan ada geng motor yang tiba-tiba menyerang!” tukas Oma Fera menghibur.“Ini tak sesederhana yang Mama bayangkan. Pengacara kita tadi bilang. Indikasinya adalah balas dendam. Ada dalang di balik semua pengeroyokkan ini dan feelingku tiba-tiba tertuju pada seseorang!” Papa Banyu menghela napas panjang. Unda Jingga dan Oma Fera serempak menatap pada Papa Banyu. “Siapa yang kamu curigai, Banyu?!” desak Ome Fera dengan tatapan penuh rasa penasaran.Papa Banyu terdiam sejenak. Namun kerutan pada dahinya menandakan kalau dirinya tengah berpikir. “Papa? Siapa?” Suara Unda Jingga juga terdengar menunggu. “Biar polisi melakukan penyelidikan dulu. Kita tak boleh sembarangan menyebut nama orang. Nanti bisa-bisa termasuk pencemaran nama baik.” Oma Fera saling tukar pandang dengan Unda Jingga. Unda Jingga seperti paham yang Oma fera pikirkan, tetapi Unda Jingga menggeleng pelan. Melihat wajah Pap
Sepasang bola bening Aluna berkaca-kaca melihat Adrian yang terbaring dengan berbagai peralatan medis pada tubuhnya. Hanya layar pada monitor yang menunjukkan garis-garis melengkung tak beraturan yang menunjukkan detak jantungnya. “Yayan … ini aku, Aluna.” “Kamu cepetan bangun, Yan ….” Seolah ada yang menggerakkan, jemari lentik Aluna perlahan meraih tangan Adrian lalu digenggamnya telapak tangan besar itu. Namun, tak sedikitpun ada balasan.“Yayan … maaf, karena aku … kamu jadi kayak gini. Aku minta maaf ….” Aluna menunduk dan air matanya menitik begitu saja. “Ayo bangun, Yan … nanti siapa yang makanin ceker ayam di sotoku, siapa yang beliin ikat rambutku, masa aku tiap hari harus naik motor sendiri ke tempat kursus?”Aluna bicara panjang lebar sambil sibuk menyeka air mata. Rasa bersalah menggunung dalam hatinya. Apalagi dirinya merasa, keberadaan Adly dalam insiden tersebut bukan hal kebetulan. Aluna yakin, Adly ada sangkut pautnya dengan semua ini. Menyesal dulu mengabaikan ke