BAB 3

Aris terbaring di tempat tidurnya, memandang langit-langit kamar yang gelap. Suara tawa Alena dari luar kamar terdengar samar, semakin menegaskan jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Tangannya menggenggam boneka kayu tua dengan erat, mencari kenyamanan dalam benda kecil yang menjadi teman setianya.

"Kenapa ibu tak pernah menyayangiku seperti Alena?" pikir Aris, bertanya pada dirinya sendiri. Keheningan malam membuat pikirannya berkelana ke ucapan-ucapan ibunya yang tajam dan dingin. Kata-kata seperti "kamu selalu membawa sial" terus terngiang, mengiris hatinya. Ia tidak mengerti alasan di balik ucapan itu, namun selalu merasa bahwa ia adalah biang keladi dari semua masalah yang terjadi di rumah.

Malam itu, ia memikirkan kembali apa yang pernah dikatakan Bu Siti, tetangga yang sering memberinya nasihat lembut. "Cobalah untuk berbicara, Aris. Kadang, masalah hanya bisa selesai jika kita berani menyuarakan hati kita," begitu kata Bu Siti suatu kali.

Aris menarik napas dalam. "Mungkin aku harus mencobanya," bisiknya lirih, meski hatinya masih diliputi keraguan.

Pagi harinya, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Udara pagi yang segar menyelinap masuk melalui celah jendela kamarnya, memberikan sedikit semangat baru. Ia memantapkan diri untuk mencoba berbicara dengan ibunya, berharap bisa mengurai sedikit kekusutan di antara mereka.

Namun, ketika keluar dari kamar, suasana rumah tetap sama seperti biasanya. Ibunya sibuk di dapur, sementara Alena, adiknya yang ceria, sudah duduk manis di meja makan dengan sarapan lengkap. Ada roti dengan selai cokelat dan segelas susu hangat di depannya.

Aris melangkah ke arah dapur, namun sebelum ia sempat bicara, ibunya sudah menegur dengan nada tegas. "Aris, bantu ibu dulu. Cepat ambil air di sumur!"

Tanpa banyak bicara, Aris mengambil ember di sudut dapur dan menuju ke sumur tua di belakang rumah. Udara dingin pagi itu membuat tangannya menggigil, tapi ia tetap menimba air dengan susah payah. Saat kembali ke dapur dan meletakkan ember penuh air, ibunya bahkan tidak menoleh.

Setelah selesai sarapan, ia duduk sebentar di ruang tamu, menatap foto keluarga yang tergantung di dinding. Dalam foto itu, ibunya memeluknya erat, sementara ayahnya tersenyum hangat di sisinya. Foto itu adalah sisa kenangan masa kecil yang indah, sebelum semuanya berubah.

"Kenapa sekarang ibu tidak pernah memelukku lagi?" pikirnya dalam hati.

Saat ia masih larut dalam pikirannya, suara ketukan pintu terdengar. Ketika pintu dibuka, terlihat Bu Siti dan Pak Rudi, tetangga mereka yang ramah, berdiri di depan pintu.

"Assalamualaikum, Aris," sapa Bu Siti dengan senyum hangatnya. "Ada waktu sebentar? Bu Siti mau ngajarin sesuatu, loh."

Aris menatap Bu Siti dengan sedikit ragu. Tapi senyum lembut dan nada suara penuh kasih itu membuatnya merasa nyaman. Ia mengangguk perlahan, kemudian mengikuti Bu Siti ke rumahnya yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahnya sendiri.

Di rumah Bu Siti, suasana terasa begitu berbeda. Tidak ada suara teguran atau perintah yang membebani. Sebaliknya, Bu Siti menyambutnya dengan ramah dan membimbingnya dengan sabar.

"Aris, kita belajar membaca Al-Qur'an, ya. Jangan takut salah, kita pelan-pelan saja," kata Bu Siti dengan senyum penuh keyakinan.

Aris mulai membaca dengan suara pelan, melafalkan huruf demi huruf. Beberapa kali ia salah, namun Bu Siti tidak pernah marah. Sebaliknya, ia memberikan pujian kecil setiap kali Aris menunjukkan usaha.

"Bagus sekali, Aris. Kamu cepat belajar, loh," ujar Bu Siti.

Ucapan itu membuat hati Aris menghangat. Ia merasa dihargai, sesuatu yang jarang ia rasakan di rumah. Selama beberapa jam, ia tenggelam dalam suasana yang penuh kedamaian itu. Bu Siti tidak hanya mengajarinya mengaji, tetapi juga mengajaknya berbincang tentang berbagai hal.

"Aris, kamu tahu? Semua orang itu istimewa, termasuk kamu," kata Bu Siti sambil menatapnya dengan penuh kasih sayang.

Kata-kata itu menggema dalam benak Aris. Ia merasa ada secercah harapan yang tumbuh di hatinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Ketika kembali ke rumah, Aris merasa lebih ringan. Ia menyadari bahwa kasih sayang tidak selalu datang dari keluarga, tetapi bisa ditemukan di tempat lain. Di malam harinya, ia duduk di bawah pohon besar di halaman rumah, memandangi langit yang penuh bintang.

Bu Siti benar, pikirnya. Aku harus berusaha untuk lebih berani. Mungkin, suatu hari nanti, aku bisa memahami kenapa ibu bersikap seperti ini.

Dengan hati yang sedikit lebih kuat, Aris menggenggam boneka kayunya erat. Ia tahu perjalanannya belum selesai, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian. Ada orang-orang seperti Bu Siti yang peduli padanya, dan itu cukup untuk memberinya alasan untuk terus berjuang