Setelah pertemuannya dengan Sasa, Aris merasa lebih bersemangat. Selain mengganti buku yang rusak, Sasa juga membawa kabar baik yang membuka peluang besar untuknya.
“Ris, aku dengar ada program beasiswa penuh untuk SMA favorit. Tiga sekolah unggulan buka pendaftaran. Kamu harus coba, ini kesempatan besar,” ujar Sasa penuh semangat. Aris tertegun. “Serius, Sa? Tapi… apa aku cukup bagus untuk bersaing?” “Kamu pasti bisa! Jangan ragu. Yuk, kita ke ruang guru sekarang. Siapa tahu masih ada slot,” ajaknya. Mereka pun segera pergi ke ruang guru. Beruntung, masih ada satu slot terakhir untuk mendaftar tes beasiswa. Tanpa pikir panjang, Aris langsung mendaftarkan dirinya. Tidak berhenti di situ, mereka menemukan pengumuman lomba menulis di mading sekolah dengan hadiah besar. “Sa, ini peluang bagus juga. Aku mau daftar lomba ini,” kata Aris antusias. “Daftar aja! Aku yakin kamu bisa menang,” balas Sasa, memberi dukungan penuh. Namun, kebahagiaan Aris terganggu saat Dina, yang terkenal suka mengganggu, merebut brosur lomba dari tangannya di kelas. “Aris, serius mau ikut lomba? Nggak takut kalah memalukan?” ejek Dina sambil tertawa. “Sudah, Dina! Jangan ganggu Aris!” tegur Sasa tegas, berdiri membela temannya. Aris memilih diam. Ia tidak ingin memperpanjang masalah, apalagi dengan Dina dan teman-temannya. --- Sepulang sekolah, Aris mampir ke rumah Bu Siti dan Pak Rudi. Di sana, ia bercerita tentang program beasiswa dan lomba menulis yang ingin diikutinya. “Kamu hebat, Ris,” ujar Bu Siti. “Kami yakin kamu bisa. Doa kami selalu menyertaimu.” “Jangan lupa fokus belajar ya, Ris,” tambah Pak Rudi sambil menepuk bahunya. Kata-kata itu membuat hati Aris lebih tenang. Ia merasa ada orang yang benar-benar percaya pada kemampuannya. --- Beberapa hari kemudian, seorang murid baru pindah ke sekolah Aris. Namanya Andre. Penampilannya rapi, dengan gaya yang membuatnya langsung mencuri perhatian banyak siswa, termasuk Aris. Saat istirahat, Andre tiba-tiba menghampiri Aris di taman sekolah. “Hey, kamu Aris, kan?” sapanya ramah. “Aku Andre. Baru pindah ke sini.” Aris mengangguk sambil tersenyum. “Iya, aku Aris. Senang kenalan sama kamu.” Mereka pun berbincang tentang sekolah dan hobi masing-masing. Andre tampak ramah dan mudah akrab. Namun, suasana berubah ketika Sasa datang membawa dua gelas es teh. Ia menyerahkannya kepada Aris. “Andre, kenalin, ini Sasa,” ujar Aris. Andre tersenyum kecil. “Halo, Sasa. Kamu pacar Aris ya?” Pertanyaan itu membuat Sasa tersipu, sementara Aris hanya tertawa kecil. “Bukan, dia sahabatku,” jawab Aris santai. Andre terlihat sedikit berbeda setelah pertemuan itu. Tatapannya mulai berubah, terutama setiap melihat Aris dan Sasa bersama. --- Kedekatan Aris dengan Sasa rupanya mengganggu Andre. Suatu hari, di kelas, Andre menghampiri Aris dengan nada yang tidak lagi ramah. “Ris, kamu tahu nggak, kamu itu kayak orang sok pintar. Nggak heran sih kalau banyak yang nggak suka sama kamu,” katanya tiba-tiba. Aris terkejut. “Maksudmu apa, Dre? Aku nggak pernah ada masalah sama kamu.” “Jangan sok nggak tahu. Kamu pikir Sasa benar-benar tulus temenan sama kamu?” balas Andre sambil tertawa kecil, meninggalkan Aris dengan banyak pertanyaan. --- Sikap Andre yang berubah ternyata menarik perhatian Alena. Ia mulai mendekati Andre, melihat peluang untuk menjatuhkan Aris. “Kamu tahu, Andre, Aris itu bukan anak yang kamu kira. Dia sering merebut perhatian orang lain,” ujar Alena, mencoba memancing emosi Andre. Andre hanya tersenyum tipis. “Aku tahu itu. Kita lihat saja sampai mana dia bisa bertahan.” Keduanya mulai merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan Aris, menggunakan kedekatannya dengan Sasa sebagai titik lemah. --- Meski semakin banyak rintangan, Aris tidak menyerah. Ia mulai menulis cerita untuk lomba menulis, dengan dukungan penuh dari Sasa dan Bu Siti. Malam harinya, ia berjalan ke taman kecil di dekat rumah, mencari inspirasi untuk ceritanya. Saat sedang menulis, Raka tiba-tiba datang dan duduk di sampingnya. “Kamu kelihatan serius banget, Ris. Ada apa?” tanya Raka, sahabatnya. Aris tersenyum kecil. “Aku cuma ingin buktiin kalau aku bisa.” “Bagus. Jangan pedulikan orang-orang yang nggak suka sama kamu. Aku selalu ada di pihakmu,” kata Raka sambil menepuk pundaknya. Percakapan itu membuat Aris merasa lebih tenang. Baginya, dukungan sahabat sejati seperti Raka adalah kekuatan terbesar yang ia miliki untuk menghadapi semua tantangan. --- Keesokan harinya, suasana sekolah kembali normal. Aris sibuk mempersiapkan diri untuk tes beasiswa, sementara Andre mulai menunjukkan sikap dinginnya. Di sela-sela jam istirahat, Aris melihat Andre berdiri sendirian di koridor. Meski merasa ada ketegangan di antara mereka, Aris mencoba untuk mengajak bicara. “Dre, kamu baik-baik saja?” tanya Aris. Andre menoleh, menatap Aris dengan ekspresi datar. “Aku baik. Kamu nggak perlu peduli.” Aris terdiam, merasa ada sesuatu yang salah. Tapi ia memilih untuk tidak memaksakan percakapan itu. --- Di tempat lain, Alena memanfaatkan situasi untuk mendekati Andre lebih jauh. Ia melihat Andre sebagai sekutu yang potensial untuk melawan Aris. “Andre, kamu sadar nggak? Aris itu pura-pura baik di depan semua orang. Dia selalu sok jadi pahlawan,” ujar Alena dengan nada tajam. Andre mengerutkan kening. “Kenapa kamu bilang begitu?” “Coba pikir. Kamu baru di sini, tapi dia sudah sok akrab, kan? Aku kenal dia sejak kecil. Dia selalu cari perhatian, apalagi kalau ada Sasa,” lanjut Alena, mencoba menyulut emosi Andre. Andre terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Aku juga merasa begitu. Dia terlalu… sempurna. Nggak ada orang yang benar-benar seperti itu.” Alena tersenyum puas. Dalam pikirannya, Andre adalah alat yang sempurna untuk menjatuhkan Aris. --- Di sisi lain, Raka tetap menjadi sahabat setia bagi Aris. Setiap kali Aris merasa tertekan oleh perlakuan Andre atau ejekan Alena, Raka selalu hadir untuk memberinya semangat. “Ris, nggak semua orang suka lihat orang lain sukses. Itu tanda kalau kamu punya sesuatu yang mereka iri,” ujar Raka suatu sore saat mereka sedang berjalan pulang bersama. Aris tersenyum kecil. “Kadang aku mikir, kenapa mereka nggak bisa biarin aku sendiri? Aku cuma pengen capai sesuatu yang lebih baik.” Raka menepuk pundaknya. “Karena kamu beda, Ris. Kamu punya tujuan. Dan orang seperti itu selalu bikin yang lain nggak nyaman. Tapi jangan pernah berhenti.” --- Sementara itu, Andre dan Alena mulai menjalankan rencana mereka. Mereka ingin menghancurkan kepercayaan diri Aris, dimulai dari memanfaatkan lomba menulis yang sedang diikuti Aris. Suatu hari, Aris menemukan kertas naskahnya yang ia tulis selama berhari-hari berserakan di lantai kelas. Beberapa halaman bahkan robek dan terkena tinta merah. “Apa ini?” gumam Aris panik, memunguti kertas-kertas itu. Dari kejauhan, Andre dan Alena memperhatikan dengan senyum licik. “Kamu lihat, Alena? Dia mulai goyah,” bisik Andre. Alena mengangguk. “Ini baru permulaan. Kita harus pastikan dia nggak punya waktu untuk fokus. Nanti aku akan cari cara untuk mengalihkan perhatian Sasa darinya juga.” --- Saat pulang ke rumah Bu Siti dan Pak Rudi, Aris bercerita tentang apa yang terjadi di sekolah. Ia merasa frustrasi karena naskahnya rusak, dan ia tidak tahu siapa yang melakukannya. “Ris, kamu nggak bisa menyerah cuma karena hal ini,” ujar Bu Siti lembut. Pak Rudi menambahkan, “Kadang, rintangan itu datang untuk menguji seberapa besar keinginanmu untuk berhasil. Kamu harus buktikan kalau kamu lebih kuat dari ini.” Kata-kata itu memberikan kekuatan baru bagi Aris. Malam itu, ia kembali menulis, bahkan dengan lebih semangat. Ia yakin bahwa tidak ada yang bisa menghentikannya selama ia terus berusaha. --- Beberapa hari kemudian, Alena mulai menjalankan bagian kedua dari rencananya. Ia mendekati Sasa dan berpura-pura bersikap ramah. “Sasa, aku dengar Aris ikut lomba menulis, ya? Aku yakin dia menang. Kamu pasti bangga punya teman seperti dia,” ujar Alena dengan nada manis, yang sebenarnya penuh sindiran. Sasa mengangguk. “Iya, aku bangga sama Aris. Dia kerja keras untuk semua ini.” Alena tersenyum tipis. “Oh, ya? Tapi kamu tahu nggak? Aku dengar ada orang yang bilang naskahnya kurang bagus. Apa dia masih sempat memperbaikinya?” Perkataan Alena membuat Sasa bingung. Ia tidak tahu apakah Alena benar-benar peduli atau hanya mencoba menanamkan keraguan. Di tempat lain, Andre terus mencari cara untuk memprovokasi Aris. Saat bertemu di kantin, ia sengaja menghalangi jalan Aris sambil berkata, “Aris, apa kamu yakin pantas ikut lomba itu? Jangan buang-buang waktu kalau hasilnya cuma mengecewakan.” Raka yang melihat kejadian itu segera maju untuk membela Aris. “Andre, kalau kamu nggak suka sama Aris, nggak usah cari gara-gara. Fokus aja sama urusanmu sendiri.” Andre hanya tertawa kecil dan pergi, meninggalkan Aris dan Raka dengan rasa kesal. --- Aris Tidak Menyerah Meski serangan dari Andre dan Alena terus datang, Aris tidak membiarkan hal itu menghentikannya. Ia terus menulis dan mempersiapkan diri untuk tes beasiswa. Pada hari pengumpulan naskah lomba, Aris menyerahkan hasil karyanya dengan perasaan lega. Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia telah memberikan yang terbaik.Malam itu, setelah kejadian di rumah Bu Siti dan Pak Rudi, Aris duduk termenung di depan laptop barunya. Hatinya masih dipenuhi rasa haru atas kebaikan mereka. Namun, bayangan perlakuan dingin keluarganya terus menghantui pikirannya. Tuduhan mencuri dari ayah dan sindiran pedas Alena seolah-olah mencabik keberaniannya untuk bermimpi.Aris menghela napas panjang. "Aku harus membuktikan kalau aku bisa," gumamnya sambil membuka aplikasi pengolah kata. Ia mulai mengetik naskah untuk lomba menulis.Namun, baru beberapa menit ia menulis, pintu kamarnya terbuka keras tanpa diketuk. Alena muncul dengan wajah penuh ejekan, seperti biasanya."Kamu pikir semua selesai, Aris?" sindir Alena sambil menyandarkan tubuhnya di pintu.Aris berhenti mengetik, menatap Alena dengan tenang. "Aku cuma mau berusaha untuk diriku sendiri. Kamu nggak perlu ikut campur."Alena mendekat sambil tertawa kecil. "Oh, aku nggak ikut campur? Kamu benar-benar polos, ya. Dunia ini nggak akan pernah berpihak sama orang kay
Keesokan harinya, tepat di hari Minggu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Ia memulai rutinitas paginya seperti biasa: membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya dan Alena, adik perempuannya. Sebagai kakak, Aris selalu berusaha menjaga dan memenuhi kebutuhan adiknya, meski hubungan mereka sering diwarnai konflik kecil. Aris sudah selesai menyiapkan nasi goreng dan teh manis di meja makan ketika ia kembali ke kamarnya. Ia melanjutkan mengetik cerita untuk lomba menulis. Baginya, ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa ia mampu melampaui batas dirinya. Namun, Alena yang merasa kesal karena merasa Aris selalu mendapat perhatian lebih di sekolah, mulai merencanakan sesuatu. “Aris nggak boleh terlalu santai. Aku mau lihat apa dia masih bisa fokus kalau semua rencananya gagal,” gumam Alena dengan tatapan licik. Diam-diam, Alena membuang nasi goreng yang sudah disiapkan kakaknya ke tempat sampah. Ia membersihkan meja makan agar tampak sepe
Bel pulang sekolah sudah berbunyi, Aris yang teringat ajakan Pak Rudi bergegas menuju pintu. Namun, hari ini tidak seperti biasanya. Hari ini, Aris merasa begitu semangat dan langsung pulang ke rumah.Sesampainya di rumah, Aris segera menuju kamarnya dan mengganti pakaian. Ia merasa bersemangat, lalu mulai membereskan rumah dan menyiapkan makan siang untuk keluarganya. Setelah semua tugas selesai, Aris berpamitan pada ibunya untuk pergi ke rumah Bu Siti.Awalnya, ibunya mengizinkan karena pekerjaan Aris sudah selesai. Namun, tiba-tiba Alena menghentikan langkah Aris dan mulai mengulur waktu agar ia tidak segera pergi."Tunggu, Aris! Kamu harus bantu aku menyelesaikan tugas sekolah dulu!" ujar Alena dengan sedikit berteriak.Namun, Aris kini sudah lebih tegas dan menolak perintah Alena karena ia merasa ada hal yang lebih penting untuk dikerjakan.Melihat Aris mulai berani membantahnya, Alena langsung mengadu pada ibunya. Ibunya, yang sangat menyayangi Alena, segera memarahi Aris dan me
Pagi ini, Aris terbangun dengan perasaan berat. Sejak kejadian kemarin di kantin, ia tahu bahwa situasinya semakin buruk. Di rumah, ibunya selalu menatapnya dengan mata penuh kebencian, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya untuk mengkritik atau menyalahkan Aris. Pagi ini, Aris tahu ia tidak bisa menghindari pertemuan dengan ibunya yang akan menanyakan tentang kejadian di sekolah. Saat ia memasuki ruang makan, ia melihat ibunya sudah duduk dengan tatapan dingin. Di sampingnya, Alena tampak berpura-pura sibuk dengan ponselnya, namun jelas ia sedang mengawasi Aris dengan tatapan yang penuh kebencian. "Kenapa kamu nggak pernah belajar? Kemarin saja malah bikin keributan di kantin!" bentak ibu Aris tanpa basa-basi. Aris menundukkan kepala, berusaha menahan rasa sakit dalam hatinya. "Aku tidak bikin keributan, Bu. Itu cuma salah paham," jawabnya pelan, mencoba menjelaskan meski tahu ibunya tidak akan pernah percaya. Ibu Aris menatapnya tajam. "Salah paham? Kamu memang sel
Malam itu, Aris masih duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang kosong. Sudah lebih dari setengah jam, jari-jarinya tidak bergerak di atas keyboard. Pikiran Aris begitu kacau. Di luar jendela, suara hujan yang rintik semakin deras, menciptakan suasana yang semakin menambah kegelisahannya. Sejenak, ia menutup mata dan berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan ibunya yang memarahinya dan wajah Alena yang sinis terus mengganggu pikirannya."Kenapa aku merasa seperti ini?" pikirnya dalam hati. "Ini kesempatan besar. Aku harus menyelesaikan naskah ini, tapi kenapa rasanya begitu berat?"Meskipun hatinya ragu, Aris tahu ia tak punya pilihan lain. Waktu perlombaan sudah semakin dekat. Meskipun ia masih merasa tertekan, ia harus berusaha mengumpulkan semangat. Ia menghela napas panjang dan mulai mengetik beberapa kalimat, mencoba mencari alur yang tepat untuk ceritanya. Tapi tetap saja, pikirannya terus teralihkan.Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan. Bu Siti masuk dengan secangkir
Keesokan harinya, Aris datang ke sekolah dengan semangat baru. Naskah yang ia tulis semalaman rapi dalam map berwarna biru, siap untuk diserahkan kepada Bu Fitri, guru pembimbing lomba menulis. Ia merasa lega karena berhasil menyelesaikan langkah pertama dalam perjalanan mimpinya.Namun, begitu ia melangkah ke koridor sekolah, beberapa siswa terlihat menatapnya dengan aneh. Bisik-bisik terdengar, membuat Aris merasa tidak nyaman.“Kamu dengar? Katanya, naskah Aris itu bukan dia yang tulis,” bisik salah seorang siswi kepada temannya.“Aku dengar juga. Ada yang bilang dia pakai bantuan guru supaya menang,” sahut temannya dengan suara pelan tapi tetap terdengar oleh Aris.Aris menghentikan langkahnya. Dadanya terasa sesak mendengar tuduhan tersebut. Tapi ia memutuskan untuk tetap berjalan menuju ruang guru. Ia tidak ingin rumor itu menghentikannya.Konspirasi DimulaiSementara itu, di taman belakang sekolah, Alena duduk bersama dua sahabatnya, Vivi dan Maya. Mereka tertawa kecil sambil m
Pagi itu, setelah menyerahkan naskahnya kepada Bu Fitri, Aris kembali ke kelas. Suasana di kelas terasa berbeda. Beberapa teman sekelasnya menatapnya dengan tatapan aneh, sementara yang lain berbisik-bisik. Aris berjalan menuju bangkunya dengan perasaan gelisah. Ketika duduk di samping Sasa, teman sebangkunya, Sasa tampak ragu untuk memulai percakapan. "Ada apa, Sasa?" Aris bertanya, mencoba mengatur napasnya. "Um... aku dengar gosip tentang kamu," Sasa mulai dengan hati-hati. Aris mengerutkan kening. "Gosip? Apa itu?" "Katanya kamu nggak nulis naskah itu sendiri," jawab Sasa pelan. Aris terkejut dan merasa darahnya mendidih. "Siapa yang bilang begitu?" tanyanya, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya. "Sebenarnya... aku nggak tahu pasti. Tapi banyak yang bilang itu dari Alena," jawab Sasa, wajahnya penuh kekhawatiran. Aris menundukkan kepala, berusaha menahan amarah yang mulai menggerogoti hatinya. "Kenapa dia selalu menganggap aku seperti itu? Apa salahku?" Sasa meraih t
Keesokan harinya, saat Aris tiba di sekolah, ia langsung merasakan ketegangan di udara. Teman-temannya tampak terdiam saat ia masuk ke kelas. Ada yang berbisik, dan beberapa dari mereka menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Beberapa bahkan tampak canggung ketika Aris melewati mereka.Aris berusaha untuk tidak peduli. Namun, perasaan cemas mulai menggerogoti hatinya. Ia tahu pasti, ini pasti ada hubungannya dengan gosip yang tersebar tentangnya. Ia tidak mengerti kenapa Alena selalu berusaha merusaknya. Kenapa setiap kali ia merasa sedikit berhasil, Alena selalu berusaha menghancurkan semuanya?Saat jam istirahat, Sasa menghampirinya dengan wajah serius. "Aris, aku dengar Alena semakin gencar nyebarin gosip tentang kamu," ujar Sasa dengan suara rendah. "Ada yang bilang kamu cuma bisa nulis karena orang tua kamu punya uang."Aris menatap Sasa dengan ekspresi datar. “Gosip lagi?” Ia menarik napas dalam-dalam. "Kenapa dia nggak bisa berhenti?"Sasa menggelengkan kepala. "Aku n
Malam itu, Aris, Raka, dan Sasa kembali dari gudang dengan rasa kecewa. Meski telah menemukan keberadaan Andre dan Edo, mereka belum memiliki bukti kuat untuk melaporkan tindakan mereka. Namun, tekad Aris semakin membara. Ia tahu, perang ini belum selesai. Di rumah, Aris berusaha menyusun rencana. Pikirannya berkecamuk, mencoba menyatukan setiap petunjuk yang ia miliki. Gudang kosong, dokumen-dokumen yang sudah diambil, dan kehadiran Edo—semua ini seperti potongan puzzle yang belum sempurna. “Aku harus menemukan cara untuk menjebak mereka,” pikir Aris sambil menatap papan tulis kecil di kamarnya, tempat ia mencatat semua detail yang ia ketahui. Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari Raka: Raka: “Aku dengar dari salah satu anak OSIS, Andre sedang mengumpulkan uang untuk sesuatu. Kita harus cari tahu apa itu.” Aris membalas cepat: Aris: “Besok kita selidiki. Jangan sampai mereka tahu kita mengawasi.” --- Pagi di Sekolah Di kantin, Aris, Raka, dan Sasa duduk di mej
Malam itu, setelah insiden di gudang, Aris duduk termenung di kamarnya. Ia memandangi dokumen-dokumen yang baru saja berhasil ia rebut kembali. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Alena terus terngiang di kepalanya: “Kamu itu anak hasil kecelakaan... pembawa sial...”Aris menghela napas panjang. Ia tahu, tidak ada gunanya melarutkan diri dalam kebencian Alena. Tapi, pertanyaan besar yang selama ini ia coba hindari kembali menyeruak: apa benar ia tidak diinginkan dalam keluarga ini?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sasa.Sasa: “Aris, aku tahu kamu mungkin nggak ingin bicara sekarang. Tapi kalau butuh teman, aku selalu ada.”Aris tersenyum tipis membaca pesan itu. Sasa selalu tahu bagaimana menghiburnya, bahkan tanpa banyak kata. Namun, sebelum ia sempat membalas, pesan lain masuk, kali ini dari nomor tak dikenal.Pesan anonim: “Kalau kamu ingin tahu kebenaran tentang keluargamu, temui aku di taman belakang sekolah besok malam. Jangan bilang siapa-siapa.”Jantung A
Malam itu, Aris duduk gelisah di kamarnya. Pesan dari Raka tentang dugaan Alena dan Andre yang mencuri dokumen-dokumen pentingnya terus mengganggu pikirannya. Ia tidak pernah menyangka bahwa adiknya sendiri mampu melakukan hal sekejam itu. “Aris, kamu nggak bisa diam aja. Kalau benar mereka pelakunya, kamu harus bertindak,” suara Raka menggema di pikirannya. Keesokan harinya, di sekolah, Raka dan Sasa menunggu Aris di tempat biasa. Wajah mereka menunjukkan tekad kuat untuk memulai rencana. “Aris, kita nggak bisa nunggu lama-lama. Aku dengar Andre dan Alena ada di ruang OSIS tadi malam,” ujar Raka sambil menyodorkan foto bukti keberadaan mereka. Sasa mengangguk. “Kita harus cek ke sana. Siapa tahu ada jejak yang mereka tinggalkan.” Aris menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai dari ruang OSIS.” Di ruang OSIS, mereka menemukan sebuah laci yang tidak terkunci. Di dalamnya, ada sebuah kertas yang berisi catatan tulisan tangan Andre, menyebutkan sebuah lokasi: Gudang
Kegiatan di perpustakaan sore itu tampak seperti biasa. Beberapa siswa sibuk mengerjakan tugas, sementara yang lainnya berbincang pelan. Di sudut ruangan, Raka menatap Sasa dengan serius. Mereka duduk di meja pojok, menjauh dari keramaian. “Aku yakin dokumen Aris dicuri sama Alena dan Andre,” Raka memulai pembicaraan. Matanya menatap tajam ke arah Sasa, seolah memastikan dia mendengarkan dengan serius. Sasa mengangkat alisnya, setengah tidak percaya. “Kamu serius, Ka? Itu tuduhan yang berat.” Raka mengangguk. “Aku nggak asal bicara, Sa. Aku lihat cara mereka memandang Aris kemarin—ada sesuatu yang nggak beres.” Sasa menggigit bibir bawahnya, mencoba mencerna ucapan Raka. “Tapi, kalau mereka memang pelakunya, kita harus punya bukti. Kalau nggak, Aris tetap akan jadi korban.” “Itu sebabnya aku butuh bantuan kamu. Kita harus cari cara memata-matai mereka tanpa bikin mereka curiga.” Sasa terdiam sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Demi Aris, aku mau bantu. Tapi gimana car
Pagi itu, Aris memulai harinya dengan semangat, meskipun bayangan persaingan beasiswa terus menghantui pikirannya. Ia tahu, langkah menuju beasiswa tidak mudah, terutama dengan kehadiran Andre, yang belakangan ini terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan.Setiba di sekolah, Aris membawa dokumen beasiswa yang hampir selesai diisi. Ia ingin menyerahkannya kepada guru pembimbing untuk mendapat persetujuan. Namun, suasana hatinya berubah ketika ia melihat Andre berdiri di depan pintu kelas bersama Alena.Andre tersenyum dingin, tetapi ada sesuatu dalam caranya menatap yang membuat Aris waspada."Aris," sapa Andre dengan nada santai. "Kamu sibuk banget, ya? Apa nggak capek ngejar sesuatu yang... kayaknya nggak bakal kamu dapatkan?"Aris menatap Andre dengan tenang. "Aku rasa nggak ada salahnya mencoba."Andre tersenyum sinis. "Tapi kadang usaha berlebihan malah bikin kecewa, apalagi kalau tahu hasilnya nggak sesuai."Sasa, yang baru masuk ke kelas, langsung mendekat dengan ekspresi kes
Hari itu suasana kelas sedikit berbeda. Semua siswa tampak antusias menanti kedatangan siswa baru yang akan bergabung. Bu Farida, wali kelas Aris, masuk bersama seorang anak laki-laki dengan rambut hitam pendek dan raut wajah percaya diri. Anak itu menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, sesekali tersenyum tipis.“Anak-anak, kenalkan, ini tomi, teman baru kalian. tomi pindah ke sini karena mengikuti keluarganya. Ibu harap kalian bisa menerima dan membantunya menyesuaikan diri,” ucap Bu Farida dengan nada ramah.Sontak, kelas riuh dengan tepuk tangan. Aris ikut bertepuk tangan pelan dari bangkunya di sudut kelas. Sementara itu, Alena, yang duduk tidak jauh darinya, tampak memutar mata, tampak tidak terlalu tertarik.Andre melangkah mantap ke salah satu bangku kosong. Saat melewati Aris, ia berhenti sejenak, menatapnya.“Aris?” tanya tomi dengan nada terkejut.Aris mengangkat alis. “tomi?”Keduanya sempat terdiam sebelum tomi tersenyum lebar dan menjabat tangan Aris dengan semangat.“A
Aris memanfaatkan akhir pekannya untuk mempersiapkan dokumen beasiswa yang ia incar. Di sudut kamar kecilnya, ia menyalakan laptop tua yang sering macet, berusaha mengetik esai dengan teliti. Setiap kata yang ia tuliskan adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa ia juga layak dihargai. Namun, suara gaduh di luar kamar membuat fokusnya terusik. "Aris! Kamu enggak dengar ibu manggil? Cepat bantu adikmu!" teriak ibunya dari ruang tengah. Aris memejamkan mata sesaat, mencoba mengendalikan diri. "Ya, Bu, sebentar lagi," jawabnya pelan. "Lama banget jawabnya! Dasar anak enggak tahu diri!" Aris menelan ludah, tangan besarnya mengepal erat di atas meja. Ia ingin membalas, tapi suaranya tercekat. Dengan tubuh berat, ia meninggalkan laptopnya dan melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, ibunya berdiri dengan wajah kesal, sementara Alena, adik perempuannya, duduk santai di sofa dengan senyum sinis. "Makanya, Kak," sindir Alena sambil melirik Aris. "Jangan sok sibuk sama hal-hal enggak penti
Hari itu, seperti biasa, Aris merasa dunia seakan menekan bahunya. Dia melangkah memasuki ruang tamu rumahnya, matanya memandangi tumpukan buku yang harus diselesaikan untuk sekolah dan naskah yang belum selesai untuk lomba menulis. Pekerjaan rumah semakin menumpuk, tapi di balik itu, ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan: program beasiswa yang telah ia daftarkan. Itu adalah harapan satu-satunya untuk membuktikan bahwa ia mampu berbuat lebih, keluar dari bayang-bayang keluarganya yang selalu mengabaikannya.Di meja belajarnya, sebuah formulir beasiswa yang sudah setengah terisi tampak tergeletak. Aris duduk, menarik napas panjang, dan mulai menulis lagi."Jangan sampai gagal," gumamnya pada diri sendiri.Namun, di sisi lain, Alena tidak pernah memberikan ruang untuknya merasa tenang. Alena tahu persis betapa pentingnya beasiswa itu bagi Aris, dan di setiap kesempatan, ia selalu membuatnya merasa seolah-olah tidak layak untuk mencapai impian tersebut."Aris, lagi-lag
Minggu pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah jendela kamar membangunkannya. Namun bukan semangat yang ia rasakan, melainkan rasa berat. Hari libur yang seharusnya menjadi waktu untuk bersantai bagi anak seusianya, bagi Aris hanyalah hari lain yang dipenuhi tugas rumah tangga.Ia merapikan tempat tidur dengan cepat sebelum menuju dapur. Pemandangan biasa menyambutnya—tumpukan piring kotor di wastafel dan lantai yang penuh dengan remah-remah makanan. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan tenaga untuk memulai rutinitasnya.Di luar rumah, Sasa dan Raka sudah menunggu. Mereka berdiri di depan pagar kecil yang sudah berkarat, dengan ekspresi tak sabar."Kok lama banget, ya, Sa? Jangan-jangan Aris nggak diizinin lagi," Raka berkata sambil melirik jam tangannya.Sasa mendesah panjang. "Entahlah, tapi aku punya firasat buruk. Tante itu nggak pernah kasih Aris kebebasan. Aku nggak ngerti, kenapa dia diperlakukan begitu."Raka mengangguk se