Share

BAB 9

Penulis: Intan april
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-20 16:33:45

Setelah pertemuannya dengan Sasa, Aris merasa lebih bersemangat. Selain mengganti buku yang rusak, Sasa juga membawa kabar baik yang membuka peluang besar untuknya.

“Ris, aku dengar ada program beasiswa penuh untuk SMA favorit. Tiga sekolah unggulan buka pendaftaran. Kamu harus coba, ini kesempatan besar,” ujar Sasa penuh semangat.

Aris tertegun. “Serius, Sa? Tapi… apa aku cukup bagus untuk bersaing?”

“Kamu pasti bisa! Jangan ragu. Yuk, kita ke ruang guru sekarang. Siapa tahu masih ada slot,” ajaknya.

Mereka pun segera pergi ke ruang guru. Beruntung, masih ada satu slot terakhir untuk mendaftar tes beasiswa. Tanpa pikir panjang, Aris langsung mendaftarkan dirinya.

Tidak berhenti di situ, mereka menemukan pengumuman lomba menulis di mading sekolah dengan hadiah besar.

“Sa, ini peluang bagus juga. Aku mau daftar lomba ini,” kata Aris antusias.

“Daftar aja! Aku yakin kamu bisa menang,” balas Sasa, memberi dukungan penuh.

Namun, kebahagiaan Aris terganggu saat Dina, yang terkenal suka mengganggu, merebut brosur lomba dari tangannya di kelas.

“Aris, serius mau ikut lomba? Nggak takut kalah memalukan?” ejek Dina sambil tertawa.

“Sudah, Dina! Jangan ganggu Aris!” tegur Sasa tegas, berdiri membela temannya.

Aris memilih diam. Ia tidak ingin memperpanjang masalah, apalagi dengan Dina dan teman-temannya.

---

Sepulang sekolah, Aris mampir ke rumah Bu Siti dan Pak Rudi. Di sana, ia bercerita tentang program beasiswa dan lomba menulis yang ingin diikutinya.

“Kamu hebat, Ris,” ujar Bu Siti. “Kami yakin kamu bisa. Doa kami selalu menyertaimu.”

“Jangan lupa fokus belajar ya, Ris,” tambah Pak Rudi sambil menepuk bahunya.

Kata-kata itu membuat hati Aris lebih tenang. Ia merasa ada orang yang benar-benar percaya pada kemampuannya.

---

Beberapa hari kemudian, seorang murid baru pindah ke sekolah Aris. Namanya Andre. Penampilannya rapi, dengan gaya yang membuatnya langsung mencuri perhatian banyak siswa, termasuk Aris.

Saat istirahat, Andre tiba-tiba menghampiri Aris di taman sekolah.

“Hey, kamu Aris, kan?” sapanya ramah. “Aku Andre. Baru pindah ke sini.”

Aris mengangguk sambil tersenyum. “Iya, aku Aris. Senang kenalan sama kamu.”

Mereka pun berbincang tentang sekolah dan hobi masing-masing. Andre tampak ramah dan mudah akrab.

Namun, suasana berubah ketika Sasa datang membawa dua gelas es teh. Ia menyerahkannya kepada Aris.

“Andre, kenalin, ini Sasa,” ujar Aris.

Andre tersenyum kecil. “Halo, Sasa. Kamu pacar Aris ya?”

Pertanyaan itu membuat Sasa tersipu, sementara Aris hanya tertawa kecil. “Bukan, dia sahabatku,” jawab Aris santai.

Andre terlihat sedikit berbeda setelah pertemuan itu. Tatapannya mulai berubah, terutama setiap melihat Aris dan Sasa bersama.

---

Kedekatan Aris dengan Sasa rupanya mengganggu Andre. Suatu hari, di kelas, Andre menghampiri Aris dengan nada yang tidak lagi ramah.

“Ris, kamu tahu nggak, kamu itu kayak orang sok pintar. Nggak heran sih kalau banyak yang nggak suka sama kamu,” katanya tiba-tiba.

Aris terkejut. “Maksudmu apa, Dre? Aku nggak pernah ada masalah sama kamu.”

“Jangan sok nggak tahu. Kamu pikir Sasa benar-benar tulus temenan sama kamu?” balas Andre sambil tertawa kecil, meninggalkan Aris dengan banyak pertanyaan.

---

Sikap Andre yang berubah ternyata menarik perhatian Alena. Ia mulai mendekati Andre, melihat peluang untuk menjatuhkan Aris.

“Kamu tahu, Andre, Aris itu bukan anak yang kamu kira. Dia sering merebut perhatian orang lain,” ujar Alena, mencoba memancing emosi Andre.

Andre hanya tersenyum tipis. “Aku tahu itu. Kita lihat saja sampai mana dia bisa bertahan.”

Keduanya mulai merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan Aris, menggunakan kedekatannya dengan Sasa sebagai titik lemah.

---

Meski semakin banyak rintangan, Aris tidak menyerah. Ia mulai menulis cerita untuk lomba menulis, dengan dukungan penuh dari Sasa dan Bu Siti.

Malam harinya, ia berjalan ke taman kecil di dekat rumah, mencari inspirasi untuk ceritanya.

Saat sedang menulis, Raka tiba-tiba datang dan duduk di sampingnya.

“Kamu kelihatan serius banget, Ris. Ada apa?” tanya Raka, sahabatnya.

Aris tersenyum kecil. “Aku cuma ingin buktiin kalau aku bisa.”

“Bagus. Jangan pedulikan orang-orang yang nggak suka sama kamu. Aku selalu ada di pihakmu,” kata Raka sambil menepuk pundaknya.

Percakapan itu membuat Aris merasa lebih tenang. Baginya, dukungan sahabat sejati seperti Raka adalah kekuatan terbesar yang ia miliki untuk menghadapi semua tantangan.

---

Keesokan harinya, suasana sekolah kembali normal. Aris sibuk mempersiapkan diri untuk tes beasiswa, sementara Andre mulai menunjukkan sikap dinginnya.

Di sela-sela jam istirahat, Aris melihat Andre berdiri sendirian di koridor. Meski merasa ada ketegangan di antara mereka, Aris mencoba untuk mengajak bicara.

“Dre, kamu baik-baik saja?” tanya Aris.

Andre menoleh, menatap Aris dengan ekspresi datar. “Aku baik. Kamu nggak perlu peduli.”

Aris terdiam, merasa ada sesuatu yang salah. Tapi ia memilih untuk tidak memaksakan percakapan itu.

---

Di tempat lain, Alena memanfaatkan situasi untuk mendekati Andre lebih jauh. Ia melihat Andre sebagai sekutu yang potensial untuk melawan Aris.

“Andre, kamu sadar nggak? Aris itu pura-pura baik di depan semua orang. Dia selalu sok jadi pahlawan,” ujar Alena dengan nada tajam.

Andre mengerutkan kening. “Kenapa kamu bilang begitu?”

“Coba pikir. Kamu baru di sini, tapi dia sudah sok akrab, kan? Aku kenal dia sejak kecil. Dia selalu cari perhatian, apalagi kalau ada Sasa,” lanjut Alena, mencoba menyulut emosi Andre.

Andre terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Aku juga merasa begitu. Dia terlalu… sempurna. Nggak ada orang yang benar-benar seperti itu.”

Alena tersenyum puas. Dalam pikirannya, Andre adalah alat yang sempurna untuk menjatuhkan Aris.

---

Di sisi lain, Raka tetap menjadi sahabat setia bagi Aris. Setiap kali Aris merasa tertekan oleh perlakuan Andre atau ejekan Alena, Raka selalu hadir untuk memberinya semangat.

“Ris, nggak semua orang suka lihat orang lain sukses. Itu tanda kalau kamu punya sesuatu yang mereka iri,” ujar Raka suatu sore saat mereka sedang berjalan pulang bersama.

Aris tersenyum kecil. “Kadang aku mikir, kenapa mereka nggak bisa biarin aku sendiri? Aku cuma pengen capai sesuatu yang lebih baik.”

Raka menepuk pundaknya. “Karena kamu beda, Ris. Kamu punya tujuan. Dan orang seperti itu selalu bikin yang lain nggak nyaman. Tapi jangan pernah berhenti.”

---

Sementara itu, Andre dan Alena mulai menjalankan rencana mereka. Mereka ingin menghancurkan kepercayaan diri Aris, dimulai dari memanfaatkan lomba menulis yang sedang diikuti Aris.

Suatu hari, Aris menemukan kertas naskahnya yang ia tulis selama berhari-hari berserakan di lantai kelas. Beberapa halaman bahkan robek dan terkena tinta merah.

“Apa ini?” gumam Aris panik, memunguti kertas-kertas itu.

Dari kejauhan, Andre dan Alena memperhatikan dengan senyum licik.

“Kamu lihat, Alena? Dia mulai goyah,” bisik Andre.

Alena mengangguk. “Ini baru permulaan. Kita harus pastikan dia nggak punya waktu untuk fokus. Nanti aku akan cari cara untuk mengalihkan perhatian Sasa darinya juga.”

---

Saat pulang ke rumah Bu Siti dan Pak Rudi, Aris bercerita tentang apa yang terjadi di sekolah. Ia merasa frustrasi karena naskahnya rusak, dan ia tidak tahu siapa yang melakukannya.

“Ris, kamu nggak bisa menyerah cuma karena hal ini,” ujar Bu Siti lembut.

Pak Rudi menambahkan, “Kadang, rintangan itu datang untuk menguji seberapa besar keinginanmu untuk berhasil. Kamu harus buktikan kalau kamu lebih kuat dari ini.”

Kata-kata itu memberikan kekuatan baru bagi Aris. Malam itu, ia kembali menulis, bahkan dengan lebih semangat. Ia yakin bahwa tidak ada yang bisa menghentikannya selama ia terus berusaha.

---

Beberapa hari kemudian, Alena mulai menjalankan bagian kedua dari rencananya. Ia mendekati Sasa dan berpura-pura bersikap ramah.

“Sasa, aku dengar Aris ikut lomba menulis, ya? Aku yakin dia menang. Kamu pasti bangga punya teman seperti dia,” ujar Alena dengan nada manis, yang sebenarnya penuh sindiran.

Sasa mengangguk. “Iya, aku bangga sama Aris. Dia kerja keras untuk semua ini.”

Alena tersenyum tipis. “Oh, ya? Tapi kamu tahu nggak? Aku dengar ada orang yang bilang naskahnya kurang bagus. Apa dia masih sempat memperbaikinya?”

Perkataan Alena membuat Sasa bingung. Ia tidak tahu apakah Alena benar-benar peduli atau hanya mencoba menanamkan keraguan.

Di tempat lain, Andre terus mencari cara untuk memprovokasi Aris. Saat bertemu di kantin, ia sengaja menghalangi jalan Aris sambil berkata, “Aris, apa kamu yakin pantas ikut lomba itu? Jangan buang-buang waktu kalau hasilnya cuma mengecewakan.”

Raka yang melihat kejadian itu segera maju untuk membela Aris. “Andre, kalau kamu nggak suka sama Aris, nggak usah cari gara-gara. Fokus aja sama urusanmu sendiri.”

Andre hanya tertawa kecil dan pergi, meninggalkan Aris dan Raka dengan rasa kesal.

---

Aris Tidak Menyerah

Meski serangan dari Andre dan Alena terus datang, Aris tidak membiarkan hal itu menghentikannya. Ia terus menulis dan mempersiapkan diri untuk tes beasiswa.

Pada hari pengumpulan naskah lomba, Aris menyerahkan hasil karyanya dengan perasaan lega. Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia telah memberikan yang terbaik.

Bab terkait

  • Luka Tak Terlihat   BAB 10

    Malam itu, setelah kejadian di rumah Bu Siti dan Pak Rudi, Aris duduk termenung di depan laptop barunya. Hatinya masih dipenuhi rasa haru atas kebaikan mereka. Namun, bayangan perlakuan dingin keluarganya terus menghantui pikirannya. Tuduhan mencuri dari ayah dan sindiran pedas Alena seolah-olah mencabik keberaniannya untuk bermimpi.Aris menghela napas panjang. "Aku harus membuktikan kalau aku bisa," gumamnya sambil membuka aplikasi pengolah kata. Ia mulai mengetik naskah untuk lomba menulis.Namun, baru beberapa menit ia menulis, pintu kamarnya terbuka keras tanpa diketuk. Alena muncul dengan wajah penuh ejekan, seperti biasanya."Kamu pikir semua selesai, Aris?" sindir Alena sambil menyandarkan tubuhnya di pintu.Aris berhenti mengetik, menatap Alena dengan tenang. "Aku cuma mau berusaha untuk diriku sendiri. Kamu nggak perlu ikut campur."Alena mendekat sambil tertawa kecil. "Oh, aku nggak ikut campur? Kamu benar-benar polos, ya. Dunia ini nggak akan pernah berpihak sama orang kay

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Luka Tak Terlihat   BAB 11

    Keesokan harinya, tepat di hari Minggu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Ia memulai rutinitas paginya seperti biasa: membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya dan Alena, adik perempuannya. Sebagai kakak, Aris selalu berusaha menjaga dan memenuhi kebutuhan adiknya, meski hubungan mereka sering diwarnai konflik kecil. Aris sudah selesai menyiapkan nasi goreng dan teh manis di meja makan ketika ia kembali ke kamarnya. Ia melanjutkan mengetik cerita untuk lomba menulis. Baginya, ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa ia mampu melampaui batas dirinya. Namun, Alena yang merasa kesal karena merasa Aris selalu mendapat perhatian lebih di sekolah, mulai merencanakan sesuatu. “Aris nggak boleh terlalu santai. Aku mau lihat apa dia masih bisa fokus kalau semua rencananya gagal,” gumam Alena dengan tatapan licik. Diam-diam, Alena membuang nasi goreng yang sudah disiapkan kakaknya ke tempat sampah. Ia membersihkan meja makan agar tampak sepe

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Luka Tak Terlihat   BAB 12

    Bel pulang sekolah sudah berbunyi, Aris yang teringat ajakan Pak Rudi bergegas menuju pintu. Namun, hari ini tidak seperti biasanya. Hari ini, Aris merasa begitu semangat dan langsung pulang ke rumah.Sesampainya di rumah, Aris segera menuju kamarnya dan mengganti pakaian. Ia merasa bersemangat, lalu mulai membereskan rumah dan menyiapkan makan siang untuk keluarganya. Setelah semua tugas selesai, Aris berpamitan pada ibunya untuk pergi ke rumah Bu Siti.Awalnya, ibunya mengizinkan karena pekerjaan Aris sudah selesai. Namun, tiba-tiba Alena menghentikan langkah Aris dan mulai mengulur waktu agar ia tidak segera pergi."Tunggu, Aris! Kamu harus bantu aku menyelesaikan tugas sekolah dulu!" ujar Alena dengan sedikit berteriak.Namun, Aris kini sudah lebih tegas dan menolak perintah Alena karena ia merasa ada hal yang lebih penting untuk dikerjakan.Melihat Aris mulai berani membantahnya, Alena langsung mengadu pada ibunya. Ibunya, yang sangat menyayangi Alena, segera memarahi Aris dan me

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • Luka Tak Terlihat   BAB 13

    Pagi ini, Aris terbangun dengan perasaan berat. Sejak kejadian kemarin di kantin, ia tahu bahwa situasinya semakin buruk. Di rumah, ibunya selalu menatapnya dengan mata penuh kebencian, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya untuk mengkritik atau menyalahkan Aris. Pagi ini, Aris tahu ia tidak bisa menghindari pertemuan dengan ibunya yang akan menanyakan tentang kejadian di sekolah. Saat ia memasuki ruang makan, ia melihat ibunya sudah duduk dengan tatapan dingin. Di sampingnya, Alena tampak berpura-pura sibuk dengan ponselnya, namun jelas ia sedang mengawasi Aris dengan tatapan yang penuh kebencian. "Kenapa kamu nggak pernah belajar? Kemarin saja malah bikin keributan di kantin!" bentak ibu Aris tanpa basa-basi. Aris menundukkan kepala, berusaha menahan rasa sakit dalam hatinya. "Aku tidak bikin keributan, Bu. Itu cuma salah paham," jawabnya pelan, mencoba menjelaskan meski tahu ibunya tidak akan pernah percaya. Ibu Aris menatapnya tajam. "Salah paham? Kamu memang sel

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • Luka Tak Terlihat   BAB 14

    Malam itu, Aris masih duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang kosong. Sudah lebih dari setengah jam, jari-jarinya tidak bergerak di atas keyboard. Pikiran Aris begitu kacau. Di luar jendela, suara hujan yang rintik semakin deras, menciptakan suasana yang semakin menambah kegelisahannya. Sejenak, ia menutup mata dan berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan ibunya yang memarahinya dan wajah Alena yang sinis terus mengganggu pikirannya."Kenapa aku merasa seperti ini?" pikirnya dalam hati. "Ini kesempatan besar. Aku harus menyelesaikan naskah ini, tapi kenapa rasanya begitu berat?"Meskipun hatinya ragu, Aris tahu ia tak punya pilihan lain. Waktu perlombaan sudah semakin dekat. Meskipun ia masih merasa tertekan, ia harus berusaha mengumpulkan semangat. Ia menghela napas panjang dan mulai mengetik beberapa kalimat, mencoba mencari alur yang tepat untuk ceritanya. Tapi tetap saja, pikirannya terus teralihkan.Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan. Bu Siti masuk dengan secangkir

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Luka Tak Terlihat   BAB 15

    Keesokan harinya, Aris datang ke sekolah dengan semangat baru. Naskah yang ia tulis semalaman rapi dalam map berwarna biru, siap untuk diserahkan kepada Bu Fitri, guru pembimbing lomba menulis. Ia merasa lega karena berhasil menyelesaikan langkah pertama dalam perjalanan mimpinya.Namun, begitu ia melangkah ke koridor sekolah, beberapa siswa terlihat menatapnya dengan aneh. Bisik-bisik terdengar, membuat Aris merasa tidak nyaman.“Kamu dengar? Katanya, naskah Aris itu bukan dia yang tulis,” bisik salah seorang siswi kepada temannya.“Aku dengar juga. Ada yang bilang dia pakai bantuan guru supaya menang,” sahut temannya dengan suara pelan tapi tetap terdengar oleh Aris.Aris menghentikan langkahnya. Dadanya terasa sesak mendengar tuduhan tersebut. Tapi ia memutuskan untuk tetap berjalan menuju ruang guru. Ia tidak ingin rumor itu menghentikannya.Konspirasi DimulaiSementara itu, di taman belakang sekolah, Alena duduk bersama dua sahabatnya, Vivi dan Maya. Mereka tertawa kecil sambil m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Luka Tak Terlihat   BAB 16

    Pagi itu, setelah menyerahkan naskahnya kepada Bu Fitri, Aris kembali ke kelas. Suasana di kelas terasa berbeda. Beberapa teman sekelasnya menatapnya dengan tatapan aneh, sementara yang lain berbisik-bisik. Aris berjalan menuju bangkunya dengan perasaan gelisah. Ketika duduk di samping Sasa, teman sebangkunya, Sasa tampak ragu untuk memulai percakapan. "Ada apa, Sasa?" Aris bertanya, mencoba mengatur napasnya. "Um... aku dengar gosip tentang kamu," Sasa mulai dengan hati-hati. Aris mengerutkan kening. "Gosip? Apa itu?" "Katanya kamu nggak nulis naskah itu sendiri," jawab Sasa pelan. Aris terkejut dan merasa darahnya mendidih. "Siapa yang bilang begitu?" tanyanya, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya. "Sebenarnya... aku nggak tahu pasti. Tapi banyak yang bilang itu dari Alena," jawab Sasa, wajahnya penuh kekhawatiran. Aris menundukkan kepala, berusaha menahan amarah yang mulai menggerogoti hatinya. "Kenapa dia selalu menganggap aku seperti itu? Apa salahku?" Sasa meraih t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • Luka Tak Terlihat   BAB 17

    Keesokan harinya, saat Aris tiba di sekolah, ia langsung merasakan ketegangan di udara. Teman-temannya tampak terdiam saat ia masuk ke kelas. Ada yang berbisik, dan beberapa dari mereka menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Beberapa bahkan tampak canggung ketika Aris melewati mereka.Aris berusaha untuk tidak peduli. Namun, perasaan cemas mulai menggerogoti hatinya. Ia tahu pasti, ini pasti ada hubungannya dengan gosip yang tersebar tentangnya. Ia tidak mengerti kenapa Alena selalu berusaha merusaknya. Kenapa setiap kali ia merasa sedikit berhasil, Alena selalu berusaha menghancurkan semuanya?Saat jam istirahat, Sasa menghampirinya dengan wajah serius. "Aris, aku dengar Alena semakin gencar nyebarin gosip tentang kamu," ujar Sasa dengan suara rendah. "Ada yang bilang kamu cuma bisa nulis karena orang tua kamu punya uang."Aris menatap Sasa dengan ekspresi datar. “Gosip lagi?” Ia menarik napas dalam-dalam. "Kenapa dia nggak bisa berhenti?"Sasa menggelengkan kepala. "Aku n

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23

Bab terbaru

  • Luka Tak Terlihat   BAB 97

    Pagi berikutnya, markas Victor kembali bergeliat. Setelah menerima informasi penting dari Clara, setiap anggota tim terlihat sibuk dengan tugas mereka. Ada yang mempersiapkan peralatan, ada pula yang memperkuat sistem keamanan seperti yang dirancang oleh Aris.Victor berdiri di ruang rapat bersama Andre, Aris, dan Clara, menatap peta besar yang memenuhi layar. Peta itu menampilkan lokasi-lokasi strategis yang dikendalikan oleh Raven Syndicate.“Prioritas kita sekarang adalah mengamati pergerakan mereka,” kata Victor sambil menunjuk salah satu titik merah di peta. “Basis utama mereka ada di sini, tapi mereka punya tiga lokasi cadangan yang digunakan untuk menyimpan persenjataan dan dokumen penting.”Andre mengangguk. “Kalau kita bisa menyerang lokasi cadangan itu, mereka akan kehilangan banyak sumber daya.”“Tapi itu berisiko,” Clara menimpali. “Raven Syndicate bukan organisasi kecil. Mereka punya penjaga bersenjata di setiap lokasi.”Aris yang berdiri di belakang Clara angkat bicara,

  • Luka Tak Terlihat   BAB 96

    Pagi itu, markas Victor tampak sibuk seperti biasa. Meskipun bekas-bekas pertempuran masih terlihat di beberapa sudut bangunan, para anggota tim tidak membiarkan semangat mereka surut. Mereka saling membantu memperbaiki kerusakan, mengatur ulang peralatan, dan memastikan markas kembali berfungsi optimal.Aris bergabung dengan kelompok yang sedang memperbaiki area penyimpanan. Ia memegang alat berat di tangannya, membantu mengangkat puing-puing yang menumpuk. Keringat mengalir di wajahnya, tetapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya."Aris, kau pasti bisa jadi tukang bangunan setelah ini," canda Andre yang lewat sambil membawa papan kayu.Aris tertawa kecil. "Kalau begini terus, aku mungkin bisa buka jasa renovasi rumah setelah semua ini selesai."Tawa kecil di antara mereka membuat suasana kerja terasa lebih ringan, meskipun tugas yang mereka hadapi cukup berat.---Rapat Strategi BaruSetelah beberapa jam bekerja, Victor memanggil seluruh tim inti untuk berkumpul di ruang rapat utam

  • Luka Tak Terlihat   BAB 95

    Setelah mendapatkan informasi lengkap dari Jovan, Victor memutuskan untuk bertindak cepat. Dengan peta markas utama Raven Syndicate yang Jovan berikan, mereka mulai menyusun strategi untuk menyerang balik."Kita tidak bisa membiarkan mereka menyerang kita lagi," ujar Victor tegas. "Ini saatnya kita mengambil alih kendali."Aris mengangguk setuju. "Tapi kita harus berhati-hati. Raven Syndicate tidak akan membiarkan kita masuk tanpa perlawanan."Victor membagi tim menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama akan menangani keamanan dan menyerang langsung, kelompok kedua bertugas menciptakan pengalihan, sementara kelompok terakhir, yang dipimpin Aris, akan fokus menyusup ke dalam markas untuk menghancurkan sistem komunikasi mereka."Kita harus membuat mereka lumpuh sebelum mereka sadar apa yang terjadi," tambah Andre, yang berada di kelompok pertama.Aris mengepalkan tangannya. "Aku siap memimpin timku."---Persiapan Sebelum PerangMalam itu, suasana di markas Victor sangat tegang. Semua ang

  • Luka Tak Terlihat   BAB 94

    Tim Victor kembali ke markas utama menjelang fajar. Udara pagi terasa dingin, namun tidak ada yang lebih menyejukkan daripada rasa lega setelah pertempuran panjang. Meskipun begitu, suasana di antara mereka tetap tegang. Mereka tahu bahwa kemenangan ini hanya sementara.Aris melangkah keluar dari kendaraan, wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. Lina mendekatinya, membawa segelas kopi hangat yang ia buat di ruang sementara."Kau butuh ini," katanya lembut sambil menyerahkan kopi tersebut."Terima kasih," jawab Aris, meminum seteguk kopi. "Bagaimana keadaan tim lainnya?"Lina menghela napas panjang. "Beberapa masih dalam perawatan. Tapi kita kehilangan tiga orang."Aris terdiam. Setiap kehilangan adalah beban berat, terutama saat dia melihat mereka sebagai bagian dari keluarganya.---Victor Merancang Strategi BaruSementara itu, Victor langsung memimpin rapat darurat di ruang utama. Darius, pemimpin Raven Syndicate, telah ditahan di ruang bawah tanah untuk diinterogasi."Ini be

  • Luka Tak Terlihat   BAB 93

    Malam itu, markas dipenuhi dengan ketegangan yang terasa di udara. Setiap orang bergerak cepat, mempersiapkan diri untuk serangan yang hampir pasti datang. Aris berdiri di salah satu pos penjagaan, matanya tajam mengamati kegelapan di depan gerbang utama."Lina, pastikan timmu sudah siap di posisi masing-masing," ujar Aris melalui radio."Semua sudah siap," jawab Lina singkat namun tegas.Sementara itu, Victor berada di ruang komando, memantau layar monitor yang menampilkan rekaman dari kamera pengawas. Dia tahu ini adalah momen yang menentukan. Jika mereka kalah malam ini, seluruh jaringan mereka bisa runtuh."Kita tidak bisa membiarkan mereka mengambil alih," kata Victor dengan nada penuh keyakinan.---Serangan DimulaiTepat tengah malam, suara mesin kendaraan terdengar mendekat. Lampu sorot dari truk dan mobil SUV menerangi area depan markas, mengungkapkan belasan orang bersenjata lengkap yang keluar dari kendaraan tersebut."Semua di posisi masing-masing!" teriak Aris melalui rad

  • Luka Tak Terlihat   BAB 92

    Pagi hari setelah insiden di gudang, Victor memimpin pertemuan besar di markas. Seluruh tim inti hadir, termasuk Aris, Lina, Andre, dan beberapa orang kepercayaan Victor. Mereka tahu bahwa waktu semakin menipis untuk menghadapi ancaman dari Raven Syndicate."Aris sudah membawa dokumen penting tadi malam," Victor membuka pertemuan. "Dan informasi ini memastikan bahwa mereka tidak hanya mengincar kita. Mereka berencana menguasai semua wilayah yang selama ini menjadi bagian dari jaringan kita."Andre mengamati peta yang terbentang di meja. "Mereka tahu semua lokasi strategis kita. Kalau informasi ini benar, maka ada pengkhianat di dalam tim kita."Kata-kata Andre membuat suasana menjadi tegang. Semua orang saling memandang, mencoba mencari tanda-tanda siapa yang mungkin berkhianat.Victor mengangguk setuju. "Aku sudah memikirkan hal itu. Karena itu, kita harus bergerak cepat. Sebelum kita menemukan siapa yang membocorkan informasi, kita perlu melindungi tempat-tempat yang rentan terhadap

  • Luka Tak Terlihat   BAB 91

    Kembali ke MarkasAris dan tim tiba di markas utama yang kini dalam keadaan kacau. Pintu-pintu terbuka, barang-barang berserakan, dan beberapa anggota tim terlihat terluka. Kekacauan ini tidak hanya fisik, tetapi juga mental.Victor segera memimpin rapat darurat. "Ada yang membocorkan informasi penting tentang markas kita. Ini bukan kebetulan."Sang Rubah mengangguk. "Kita perlu mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini."Aris memperhatikan suasana tegang di ruangan. Ia tahu bahwa pengkhianatan ini dapat merusak kepercayaan di antara mereka.---Penyelidikan DimulaiVictor membentuk tim kecil untuk menyelidiki kemungkinan adanya mata-mata di dalam kelompok mereka. Aris, Andre, dan Lina dipercaya untuk memimpin investigasi."Kita mulai dari siapa saja yang memiliki akses ke data penting," kata Victor. "Cari tahu siapa yang terakhir kali menggunakan sistem komunikasi kita."Andre menambahkan, "Kita juga perlu memeriksa semua orang yang berada di dekat lokasi kejadian saat seran

  • Luka Tak Terlihat   BAB 90

    Mentor Victor, pria tua yang dikenal dengan nama sandi Sang Rubah, mulai mempelajari situasi yang dihadapi oleh tim Victor. Ia meminta semua informasi terbaru mengenai Raven Syndicate, termasuk pola serangan mereka, struktur organisasi, dan segala data yang berhasil dikumpulkan."Raven Syndicate bukan hanya organisasi kriminal," kata Sang Rubah dengan nada serius. "Mereka adalah ahli dalam permainan psikologi. Mereka memanipulasi musuh untuk bertindak tergesa-gesa, kemudian menghancurkannya perlahan-lahan."Victor mengangguk. "Kami menyadari itu. Tapi kali ini, kami tidak akan membiarkan mereka memimpin permainan."Sang Rubah tersenyum kecil. "Bagus. Kalau begitu, kita harus memulai dengan serangan balik yang tidak mereka duga."---Misi RahasiaSang Rubah menyusun strategi yang melibatkan infiltrasi ke salah satu lokasi operasi kecil Raven Syndicate. Aris dan Andre ditugaskan untuk memimpin misi ini, dengan dukungan beberapa anggota terpercaya."Kalian harus bergerak tanpa terdeteksi

  • Luka Tak Terlihat   BAB 89

    Sementara itu, Victor menerima informasi penting dari salah satu informannya. Kelompok yang menyerang mereka dikenal sebagai Raven Syndicate, sebuah organisasi kriminal besar yang sudah lama mengincar wilayah Victor."Mereka tidak hanya ingin menghancurkan kita," kata Victor kepada Andre. "Mereka ingin mengambil alih seluruh jaringan kita."Andre menghela napas panjang. "Kalau begitu, kita harus bersiap menghadapi perang yang lebih besar."Victor mengangguk. "Tapi pertama-tama, kita harus memastikan Aris dan yang lain selamat."---Pengepungan di Tengah MalamMalam itu, situasi semakin tegang. Aris, Andre, dan beberapa anggota lainnya tetap berjaga di markas yang tersisa. Mereka tahu bahwa serangan berikutnya bisa datang kapan saja.Saat tengah malam, suara kendaraan mendekat membuat semua orang siaga. Aris memegang senjatanya erat-erat, bersiap menghadapi apa pun yang datang.Victor memberikan instruksi melalui radio, "Tetap di posisimu. Jangan bertindak gegabah."Namun, apa yang mer

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status