Bel pulang sekolah sudah berbunyi, Aris yang teringat ajakan Pak Rudi bergegas menuju pintu. Namun, hari ini tidak seperti biasanya. Hari ini, Aris merasa begitu semangat dan langsung pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Aris segera menuju kamarnya dan mengganti pakaian. Ia merasa bersemangat, lalu mulai membereskan rumah dan menyiapkan makan siang untuk keluarganya. Setelah semua tugas selesai, Aris berpamitan pada ibunya untuk pergi ke rumah Bu Siti. Awalnya, ibunya mengizinkan karena pekerjaan Aris sudah selesai. Namun, tiba-tiba Alena menghentikan langkah Aris dan mulai mengulur waktu agar ia tidak segera pergi. "Tunggu, Aris! Kamu harus bantu aku menyelesaikan tugas sekolah dulu!" ujar Alena dengan sedikit berteriak. Namun, Aris kini sudah lebih tegas dan menolak perintah Alena karena ia merasa ada hal yang lebih penting untuk dikerjakan. Melihat Aris mulai berani membantahnya, Alena langsung mengadu pada ibunya. Ibunya, yang sangat menyayangi Alena, segera memarahi Aris dan menyuruhnya menyelesaikan tugas Alena jika tidak ingin dilarang keluar rumah. Aris merasa bingung dan sedih, namun ia tidak bisa membantah. Dengan cepat, ia mendapatkan ide yang cerdik. "Aku akan bawa tugas Alena dan menyelesaikannya di rumah Bu Siti," kata Aris dengan yakin. Sang ibu, yang sedang asyik menonton sinetron favoritnya, tidak berpikir panjang dan langsung setuju. Dengan begitu, Aris bisa segera pergi tanpa harus menunda-nunda lebih lama. Alena, yang kesal melihat rencana jahatnya gagal, melemparkan buku tugasnya kepada Aris dengan marah. Aris pun akhirnya bisa pergi menuju rumah Bu Siti. Sesampainya di sana, ia disambut hangat oleh Bu Siti dan Pak Rudi. Bu Siti menanyakan mengapa Aris datang terlambat, dan Aris pun menceritakan bahwa Alena berusaha menghalanginya. Pak Rudi segera mengajak Bu Siti dan Aris untuk bersiap-siap, dan mereka pun bergegas menuju tempat yang telah dijanjikan untuk bertemu dengan penulis profesional itu. Mereka berangkat menggunakan mobil Pak Rudi, sementara di perjalanan, Aris sibuk menyelesaikan tugas Alena dengan bantuan Bu Siti. Sesampainya di tempat tujuan, mereka memasuki restoran dan melihat penulis yang mereka tuju, Ardi Wijaya Kusuma, sudah menunggu. "Selamat sore, Nak Ardi. Sudah lama menunggu?" sapa Pak Rudi dengan ramah. "Oh, tidak Pak. Baru lima menit yang lalu saya sampai," jawab Ardi, sang penulis, dengan senyum hangat. Pak Rudi mengenalkan Aris sebagai anaknya kepada Ardi. Mereka pun saling berkenalan dan berbincang mengenai dunia menulis. Ardi, seorang penulis profesional yang masih muda namun sudah memiliki banyak karya terkenal, akan menjadi mentor Aris. Aris pun mulai mengasah kemampuannya dalam menulis. Meskipun banyak yang harus direvisi, Ardi memuji Aris karena tulisannya sangat menarik dan punya potensi besar. Setelah beberapa jam belajar, Pak Rudi, Bu Siti, dan Aris berpamitan untuk pulang lebih dulu karena Ardi masih ada janji lain. Sebelum berpisah, Ardi memberikan nomor teleponnya kepada Aris untuk terus membimbingnya dalam menulis karya pertama untuk lomba yang akan dimulai minggu depan. Di perjalanan pulang, Aris merasa sangat senang dan bersemangat. Bu Siti yang melihatnya juga ikut merasa bahagia. Setibanya di rumah, Aris segera menyerahkan buku tugas Alena. Tugas itu sudah selesai dikerjakannya dengan baik. Alena, yang menerima buku tersebut dengan kasar, hanya bisa melihat dengan kesal. Aris hanya bisa menghela napas, mengusap dadanya, melihat perlakuan Alena yang selalu seperti itu. Di dalam kamar, Aris mulai menulis bab pertamanya dengan semangat baru. Ilmu yang didapatkan dari Ardi memberikan dorongan besar untuknya. Namun, ia juga menyadari bahwa menulis dalam rumah yang terasa seperti penjara bagi dirinya bukanlah hal yang mudah. Tiba-tiba, Alena masuk ke dalam kamar Aris dan mengganggu konsentrasi Aris yang sedang menulis. Dengan tegas, Aris meminta Alena untuk keluar dan tidak mengganggu dirinya. Alena, yang merasa dimarahi, langsung mengadu kepada orang tua mereka. Ayah mereka yang baru pulang kerja segera pergi ke kamar Aris dan memarahi Aris. Ibu mereka yang mendengar keributan pun ikut serta dan menanyakan apa yang sedang terjadi. Alena berkata dengan memelas, "Aris mengusir aku dari kamarnya dan mendorongku sampai jatuh hanya karena aku mengganggunya menulis." Ibunya langsung memarahi Aris, bahkan merendahkan dirinya dengan berkata, "Kamu tidak akan pernah bisa jadi juara. Jangan bermimpi!" Aris tidak bisa membalas, ia hanya menunduk dan menahan rasa sakit dalam hatinya. Saat keributan reda, tiba-tiba ponsel Aris berbunyi. Ada pesan dari nomor tak dikenal, dan ternyata itu dari Raka. Raka memberi dukungan dan terus menyemangati Aris. Keesokan harinya, setelah rutinitas yang biasa, Aris bersiap untuk berangkat ke sekolah. Namun, saat ia keluar rumah, sebuah motor berhenti di depannya. Ternyata itu adalah Sasa, yang menjemput Aris untuk berangkat bersama. Di sekolah, Aris dan Sasa langsung menuju kelas. Bel segera berbunyi, dan mereka pun duduk di tempat masing-masing. Tidak lama kemudian, Karina datang dan menantang Aris untuk menulis tiga bab dalam waktu jam istirahat. Awalnya, Aris menolak, namun Karina terus mengejeknya, membuat Sasa tak tahan dan membentak Karina. Pertengkaran antara Sasa dan Karina semakin memanas, ditambah dengan Dina dan teman-teman lainnya yang ikut memperkeruh suasana. Aris, yang melihat keadaan itu, akhirnya dengan tegas menerima tantangan Karina. Ia mengingat saran dari Ka Ardi dan dukungan dari Pak Rudi, Bu Siti, serta sahabatnya Sasa. Saat bel istirahat berbunyi, banyak siswa berkumpul di aula untuk melihat perlombaan menulis dadakan ini. Aris dan Karina masing-masing fokus menulis naskah mereka. Setelah selesai, hasil tulisan mereka dinilai oleh teman-teman. Naskah Aris mendapat pujian lebih banyak daripada naskah Karina. Tiba-tiba, ayah Karina yang datang mengantarkan buku sekolah Karina mendengar hasil penilaian itu. Ia marah besar dan menampar Karina di depan teman-temannya, membuat suasana semakin tegang. Karina, yang selama ini hanya mengikuti lomba karena tekanan dari ayahnya, merasa malu dan ketakutan. Aris, yang melihat kejadian itu, mendekati Karina dan memberikan semangat serta kekuatan. Karina merasa bersalah dan akhirnya meminta maaf kepada Aris. Aris dengan ikhlas memaafkan Karina. Saat mereka berbincang, tiba-tiba Raka datang dan mengajak Aris ke kantin. Sasa memberi kode kepada Karina untuk menjauh, sehingga hanya Raka dan Aris yang pergi bersama. Di kantin, Aris mulai merasa canggung karena banyak pasang mata yang memandangnya, terutama teman-teman yang mengidolakan Raka. Raka yang melihat ketidaknyamanan Aris langsung memberinya dukungan, menyuruhnya untuk tidak peduli dengan tatapan negatif. Namun, saat mereka sedang makan, Alena datang dengan teman-temannya dan mulai menyebarkan rumor buruk tentang Aris. Alena mengaku bahwa Aris memiliki hubungan dengan pria tua yang memberinya laptop, berusaha memalukan Aris di depan teman-temannya. Aris merasa sangat kesal dan malu, namun Raka dengan cepat membela Aris. Ketika Alena bertanya kepada Aris mengenai laptop itu, Aris dengan jujur menjawab bahwa itu pemberian Pak Rudi, ayah angkatnya. Walaupun Raka tahu tentang hubungan mereka, teman-teman di kantin mulai mencibir Aris. Aris, yang sudah tidak tahan, akhirnya membentak Alena dan menjelaskan dengan tegas siapa sebenarnya Pak Rudi. Ia mengungkapkan bahwa Pak Rudi adalah ayah angkatnya, dan Bu Siti adalah ibu angkatnya yang selalu menyayangi Aris. Dengan hati yang berat, Aris pergi setelah kejadian itu. Namun, ia mulai merasa cemas. Apa yang akan terjadi ketika ia sampai di rumah? Apakah ia akan mendapat tamparan keras dari ibu dan ayahnya? Atau mungkin lebih dari itu?Pagi ini, Aris terbangun dengan perasaan berat. Sejak kejadian kemarin di kantin, ia tahu bahwa situasinya semakin buruk. Di rumah, ibunya selalu menatapnya dengan mata penuh kebencian, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya untuk mengkritik atau menyalahkan Aris. Pagi ini, Aris tahu ia tidak bisa menghindari pertemuan dengan ibunya yang akan menanyakan tentang kejadian di sekolah. Saat ia memasuki ruang makan, ia melihat ibunya sudah duduk dengan tatapan dingin. Di sampingnya, Alena tampak berpura-pura sibuk dengan ponselnya, namun jelas ia sedang mengawasi Aris dengan tatapan yang penuh kebencian. "Kenapa kamu nggak pernah belajar? Kemarin saja malah bikin keributan di kantin!" bentak ibu Aris tanpa basa-basi. Aris menundukkan kepala, berusaha menahan rasa sakit dalam hatinya. "Aku tidak bikin keributan, Bu. Itu cuma salah paham," jawabnya pelan, mencoba menjelaskan meski tahu ibunya tidak akan pernah percaya. Ibu Aris menatapnya tajam. "Salah paham? Kamu memang sel
Malam itu, Aris masih duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang kosong. Sudah lebih dari setengah jam, jari-jarinya tidak bergerak di atas keyboard. Pikiran Aris begitu kacau. Di luar jendela, suara hujan yang rintik semakin deras, menciptakan suasana yang semakin menambah kegelisahannya. Sejenak, ia menutup mata dan berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan ibunya yang memarahinya dan wajah Alena yang sinis terus mengganggu pikirannya."Kenapa aku merasa seperti ini?" pikirnya dalam hati. "Ini kesempatan besar. Aku harus menyelesaikan naskah ini, tapi kenapa rasanya begitu berat?"Meskipun hatinya ragu, Aris tahu ia tak punya pilihan lain. Waktu perlombaan sudah semakin dekat. Meskipun ia masih merasa tertekan, ia harus berusaha mengumpulkan semangat. Ia menghela napas panjang dan mulai mengetik beberapa kalimat, mencoba mencari alur yang tepat untuk ceritanya. Tapi tetap saja, pikirannya terus teralihkan.Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan. Bu Siti masuk dengan secangkir
Keesokan harinya, Aris datang ke sekolah dengan semangat baru. Naskah yang ia tulis semalaman rapi dalam map berwarna biru, siap untuk diserahkan kepada Bu Fitri, guru pembimbing lomba menulis. Ia merasa lega karena berhasil menyelesaikan langkah pertama dalam perjalanan mimpinya.Namun, begitu ia melangkah ke koridor sekolah, beberapa siswa terlihat menatapnya dengan aneh. Bisik-bisik terdengar, membuat Aris merasa tidak nyaman.“Kamu dengar? Katanya, naskah Aris itu bukan dia yang tulis,” bisik salah seorang siswi kepada temannya.“Aku dengar juga. Ada yang bilang dia pakai bantuan guru supaya menang,” sahut temannya dengan suara pelan tapi tetap terdengar oleh Aris.Aris menghentikan langkahnya. Dadanya terasa sesak mendengar tuduhan tersebut. Tapi ia memutuskan untuk tetap berjalan menuju ruang guru. Ia tidak ingin rumor itu menghentikannya.Konspirasi DimulaiSementara itu, di taman belakang sekolah, Alena duduk bersama dua sahabatnya, Vivi dan Maya. Mereka tertawa kecil sambil m
Pagi itu, setelah menyerahkan naskahnya kepada Bu Fitri, Aris kembali ke kelas. Suasana di kelas terasa berbeda. Beberapa teman sekelasnya menatapnya dengan tatapan aneh, sementara yang lain berbisik-bisik. Aris berjalan menuju bangkunya dengan perasaan gelisah. Ketika duduk di samping Sasa, teman sebangkunya, Sasa tampak ragu untuk memulai percakapan. "Ada apa, Sasa?" Aris bertanya, mencoba mengatur napasnya. "Um... aku dengar gosip tentang kamu," Sasa mulai dengan hati-hati. Aris mengerutkan kening. "Gosip? Apa itu?" "Katanya kamu nggak nulis naskah itu sendiri," jawab Sasa pelan. Aris terkejut dan merasa darahnya mendidih. "Siapa yang bilang begitu?" tanyanya, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya. "Sebenarnya... aku nggak tahu pasti. Tapi banyak yang bilang itu dari Alena," jawab Sasa, wajahnya penuh kekhawatiran. Aris menundukkan kepala, berusaha menahan amarah yang mulai menggerogoti hatinya. "Kenapa dia selalu menganggap aku seperti itu? Apa salahku?" Sasa meraih t
Keesokan harinya, saat Aris tiba di sekolah, ia langsung merasakan ketegangan di udara. Teman-temannya tampak terdiam saat ia masuk ke kelas. Ada yang berbisik, dan beberapa dari mereka menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Beberapa bahkan tampak canggung ketika Aris melewati mereka.Aris berusaha untuk tidak peduli. Namun, perasaan cemas mulai menggerogoti hatinya. Ia tahu pasti, ini pasti ada hubungannya dengan gosip yang tersebar tentangnya. Ia tidak mengerti kenapa Alena selalu berusaha merusaknya. Kenapa setiap kali ia merasa sedikit berhasil, Alena selalu berusaha menghancurkan semuanya?Saat jam istirahat, Sasa menghampirinya dengan wajah serius. "Aris, aku dengar Alena semakin gencar nyebarin gosip tentang kamu," ujar Sasa dengan suara rendah. "Ada yang bilang kamu cuma bisa nulis karena orang tua kamu punya uang."Aris menatap Sasa dengan ekspresi datar. “Gosip lagi?” Ia menarik napas dalam-dalam. "Kenapa dia nggak bisa berhenti?"Sasa menggelengkan kepala. "Aku n
Minggu pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah jendela kamar membangunkannya. Namun bukan semangat yang ia rasakan, melainkan rasa berat. Hari libur yang seharusnya menjadi waktu untuk bersantai bagi anak seusianya, bagi Aris hanyalah hari lain yang dipenuhi tugas rumah tangga.Ia merapikan tempat tidur dengan cepat sebelum menuju dapur. Pemandangan biasa menyambutnya—tumpukan piring kotor di wastafel dan lantai yang penuh dengan remah-remah makanan. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan tenaga untuk memulai rutinitasnya.Di luar rumah, Sasa dan Raka sudah menunggu. Mereka berdiri di depan pagar kecil yang sudah berkarat, dengan ekspresi tak sabar."Kok lama banget, ya, Sa? Jangan-jangan Aris nggak diizinin lagi," Raka berkata sambil melirik jam tangannya.Sasa mendesah panjang. "Entahlah, tapi aku punya firasat buruk. Tante itu nggak pernah kasih Aris kebebasan. Aku nggak ngerti, kenapa dia diperlakukan begitu."Raka mengangguk se
Hari itu, seperti biasa, Aris merasa dunia seakan menekan bahunya. Dia melangkah memasuki ruang tamu rumahnya, matanya memandangi tumpukan buku yang harus diselesaikan untuk sekolah dan naskah yang belum selesai untuk lomba menulis. Pekerjaan rumah semakin menumpuk, tapi di balik itu, ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan: program beasiswa yang telah ia daftarkan. Itu adalah harapan satu-satunya untuk membuktikan bahwa ia mampu berbuat lebih, keluar dari bayang-bayang keluarganya yang selalu mengabaikannya.Di meja belajarnya, sebuah formulir beasiswa yang sudah setengah terisi tampak tergeletak. Aris duduk, menarik napas panjang, dan mulai menulis lagi."Jangan sampai gagal," gumamnya pada diri sendiri.Namun, di sisi lain, Alena tidak pernah memberikan ruang untuknya merasa tenang. Alena tahu persis betapa pentingnya beasiswa itu bagi Aris, dan di setiap kesempatan, ia selalu membuatnya merasa seolah-olah tidak layak untuk mencapai impian tersebut."Aris, lagi-lag
Aris memanfaatkan akhir pekannya untuk mempersiapkan dokumen beasiswa yang ia incar. Di sudut kamar kecilnya, ia menyalakan laptop tua yang sering macet, berusaha mengetik esai dengan teliti. Setiap kata yang ia tuliskan adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa ia juga layak dihargai. Namun, suara gaduh di luar kamar membuat fokusnya terusik. "Aris! Kamu enggak dengar ibu manggil? Cepat bantu adikmu!" teriak ibunya dari ruang tengah. Aris memejamkan mata sesaat, mencoba mengendalikan diri. "Ya, Bu, sebentar lagi," jawabnya pelan. "Lama banget jawabnya! Dasar anak enggak tahu diri!" Aris menelan ludah, tangan besarnya mengepal erat di atas meja. Ia ingin membalas, tapi suaranya tercekat. Dengan tubuh berat, ia meninggalkan laptopnya dan melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, ibunya berdiri dengan wajah kesal, sementara Alena, adik perempuannya, duduk santai di sofa dengan senyum sinis. "Makanya, Kak," sindir Alena sambil melirik Aris. "Jangan sok sibuk sama hal-hal enggak penti
Malam itu, Aris, Raka, dan Sasa kembali dari gudang dengan rasa kecewa. Meski telah menemukan keberadaan Andre dan Edo, mereka belum memiliki bukti kuat untuk melaporkan tindakan mereka. Namun, tekad Aris semakin membara. Ia tahu, perang ini belum selesai. Di rumah, Aris berusaha menyusun rencana. Pikirannya berkecamuk, mencoba menyatukan setiap petunjuk yang ia miliki. Gudang kosong, dokumen-dokumen yang sudah diambil, dan kehadiran Edo—semua ini seperti potongan puzzle yang belum sempurna. “Aku harus menemukan cara untuk menjebak mereka,” pikir Aris sambil menatap papan tulis kecil di kamarnya, tempat ia mencatat semua detail yang ia ketahui. Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari Raka: Raka: “Aku dengar dari salah satu anak OSIS, Andre sedang mengumpulkan uang untuk sesuatu. Kita harus cari tahu apa itu.” Aris membalas cepat: Aris: “Besok kita selidiki. Jangan sampai mereka tahu kita mengawasi.” --- Pagi di Sekolah Di kantin, Aris, Raka, dan Sasa duduk di mej
Malam itu, setelah insiden di gudang, Aris duduk termenung di kamarnya. Ia memandangi dokumen-dokumen yang baru saja berhasil ia rebut kembali. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Alena terus terngiang di kepalanya: “Kamu itu anak hasil kecelakaan... pembawa sial...”Aris menghela napas panjang. Ia tahu, tidak ada gunanya melarutkan diri dalam kebencian Alena. Tapi, pertanyaan besar yang selama ini ia coba hindari kembali menyeruak: apa benar ia tidak diinginkan dalam keluarga ini?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sasa.Sasa: “Aris, aku tahu kamu mungkin nggak ingin bicara sekarang. Tapi kalau butuh teman, aku selalu ada.”Aris tersenyum tipis membaca pesan itu. Sasa selalu tahu bagaimana menghiburnya, bahkan tanpa banyak kata. Namun, sebelum ia sempat membalas, pesan lain masuk, kali ini dari nomor tak dikenal.Pesan anonim: “Kalau kamu ingin tahu kebenaran tentang keluargamu, temui aku di taman belakang sekolah besok malam. Jangan bilang siapa-siapa.”Jantung A
Malam itu, Aris duduk gelisah di kamarnya. Pesan dari Raka tentang dugaan Alena dan Andre yang mencuri dokumen-dokumen pentingnya terus mengganggu pikirannya. Ia tidak pernah menyangka bahwa adiknya sendiri mampu melakukan hal sekejam itu. “Aris, kamu nggak bisa diam aja. Kalau benar mereka pelakunya, kamu harus bertindak,” suara Raka menggema di pikirannya. Keesokan harinya, di sekolah, Raka dan Sasa menunggu Aris di tempat biasa. Wajah mereka menunjukkan tekad kuat untuk memulai rencana. “Aris, kita nggak bisa nunggu lama-lama. Aku dengar Andre dan Alena ada di ruang OSIS tadi malam,” ujar Raka sambil menyodorkan foto bukti keberadaan mereka. Sasa mengangguk. “Kita harus cek ke sana. Siapa tahu ada jejak yang mereka tinggalkan.” Aris menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai dari ruang OSIS.” Di ruang OSIS, mereka menemukan sebuah laci yang tidak terkunci. Di dalamnya, ada sebuah kertas yang berisi catatan tulisan tangan Andre, menyebutkan sebuah lokasi: Gudang
Kegiatan di perpustakaan sore itu tampak seperti biasa. Beberapa siswa sibuk mengerjakan tugas, sementara yang lainnya berbincang pelan. Di sudut ruangan, Raka menatap Sasa dengan serius. Mereka duduk di meja pojok, menjauh dari keramaian. “Aku yakin dokumen Aris dicuri sama Alena dan Andre,” Raka memulai pembicaraan. Matanya menatap tajam ke arah Sasa, seolah memastikan dia mendengarkan dengan serius. Sasa mengangkat alisnya, setengah tidak percaya. “Kamu serius, Ka? Itu tuduhan yang berat.” Raka mengangguk. “Aku nggak asal bicara, Sa. Aku lihat cara mereka memandang Aris kemarin—ada sesuatu yang nggak beres.” Sasa menggigit bibir bawahnya, mencoba mencerna ucapan Raka. “Tapi, kalau mereka memang pelakunya, kita harus punya bukti. Kalau nggak, Aris tetap akan jadi korban.” “Itu sebabnya aku butuh bantuan kamu. Kita harus cari cara memata-matai mereka tanpa bikin mereka curiga.” Sasa terdiam sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Demi Aris, aku mau bantu. Tapi gimana car
Pagi itu, Aris memulai harinya dengan semangat, meskipun bayangan persaingan beasiswa terus menghantui pikirannya. Ia tahu, langkah menuju beasiswa tidak mudah, terutama dengan kehadiran Andre, yang belakangan ini terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan.Setiba di sekolah, Aris membawa dokumen beasiswa yang hampir selesai diisi. Ia ingin menyerahkannya kepada guru pembimbing untuk mendapat persetujuan. Namun, suasana hatinya berubah ketika ia melihat Andre berdiri di depan pintu kelas bersama Alena.Andre tersenyum dingin, tetapi ada sesuatu dalam caranya menatap yang membuat Aris waspada."Aris," sapa Andre dengan nada santai. "Kamu sibuk banget, ya? Apa nggak capek ngejar sesuatu yang... kayaknya nggak bakal kamu dapatkan?"Aris menatap Andre dengan tenang. "Aku rasa nggak ada salahnya mencoba."Andre tersenyum sinis. "Tapi kadang usaha berlebihan malah bikin kecewa, apalagi kalau tahu hasilnya nggak sesuai."Sasa, yang baru masuk ke kelas, langsung mendekat dengan ekspresi kes
Hari itu suasana kelas sedikit berbeda. Semua siswa tampak antusias menanti kedatangan siswa baru yang akan bergabung. Bu Farida, wali kelas Aris, masuk bersama seorang anak laki-laki dengan rambut hitam pendek dan raut wajah percaya diri. Anak itu menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, sesekali tersenyum tipis.“Anak-anak, kenalkan, ini tomi, teman baru kalian. tomi pindah ke sini karena mengikuti keluarganya. Ibu harap kalian bisa menerima dan membantunya menyesuaikan diri,” ucap Bu Farida dengan nada ramah.Sontak, kelas riuh dengan tepuk tangan. Aris ikut bertepuk tangan pelan dari bangkunya di sudut kelas. Sementara itu, Alena, yang duduk tidak jauh darinya, tampak memutar mata, tampak tidak terlalu tertarik.Andre melangkah mantap ke salah satu bangku kosong. Saat melewati Aris, ia berhenti sejenak, menatapnya.“Aris?” tanya tomi dengan nada terkejut.Aris mengangkat alis. “tomi?”Keduanya sempat terdiam sebelum tomi tersenyum lebar dan menjabat tangan Aris dengan semangat.“A
Aris memanfaatkan akhir pekannya untuk mempersiapkan dokumen beasiswa yang ia incar. Di sudut kamar kecilnya, ia menyalakan laptop tua yang sering macet, berusaha mengetik esai dengan teliti. Setiap kata yang ia tuliskan adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa ia juga layak dihargai. Namun, suara gaduh di luar kamar membuat fokusnya terusik. "Aris! Kamu enggak dengar ibu manggil? Cepat bantu adikmu!" teriak ibunya dari ruang tengah. Aris memejamkan mata sesaat, mencoba mengendalikan diri. "Ya, Bu, sebentar lagi," jawabnya pelan. "Lama banget jawabnya! Dasar anak enggak tahu diri!" Aris menelan ludah, tangan besarnya mengepal erat di atas meja. Ia ingin membalas, tapi suaranya tercekat. Dengan tubuh berat, ia meninggalkan laptopnya dan melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, ibunya berdiri dengan wajah kesal, sementara Alena, adik perempuannya, duduk santai di sofa dengan senyum sinis. "Makanya, Kak," sindir Alena sambil melirik Aris. "Jangan sok sibuk sama hal-hal enggak penti
Hari itu, seperti biasa, Aris merasa dunia seakan menekan bahunya. Dia melangkah memasuki ruang tamu rumahnya, matanya memandangi tumpukan buku yang harus diselesaikan untuk sekolah dan naskah yang belum selesai untuk lomba menulis. Pekerjaan rumah semakin menumpuk, tapi di balik itu, ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan: program beasiswa yang telah ia daftarkan. Itu adalah harapan satu-satunya untuk membuktikan bahwa ia mampu berbuat lebih, keluar dari bayang-bayang keluarganya yang selalu mengabaikannya.Di meja belajarnya, sebuah formulir beasiswa yang sudah setengah terisi tampak tergeletak. Aris duduk, menarik napas panjang, dan mulai menulis lagi."Jangan sampai gagal," gumamnya pada diri sendiri.Namun, di sisi lain, Alena tidak pernah memberikan ruang untuknya merasa tenang. Alena tahu persis betapa pentingnya beasiswa itu bagi Aris, dan di setiap kesempatan, ia selalu membuatnya merasa seolah-olah tidak layak untuk mencapai impian tersebut."Aris, lagi-lag
Minggu pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah jendela kamar membangunkannya. Namun bukan semangat yang ia rasakan, melainkan rasa berat. Hari libur yang seharusnya menjadi waktu untuk bersantai bagi anak seusianya, bagi Aris hanyalah hari lain yang dipenuhi tugas rumah tangga.Ia merapikan tempat tidur dengan cepat sebelum menuju dapur. Pemandangan biasa menyambutnya—tumpukan piring kotor di wastafel dan lantai yang penuh dengan remah-remah makanan. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan tenaga untuk memulai rutinitasnya.Di luar rumah, Sasa dan Raka sudah menunggu. Mereka berdiri di depan pagar kecil yang sudah berkarat, dengan ekspresi tak sabar."Kok lama banget, ya, Sa? Jangan-jangan Aris nggak diizinin lagi," Raka berkata sambil melirik jam tangannya.Sasa mendesah panjang. "Entahlah, tapi aku punya firasat buruk. Tante itu nggak pernah kasih Aris kebebasan. Aku nggak ngerti, kenapa dia diperlakukan begitu."Raka mengangguk se