Share

BAB 18

Author: Intan april
last update Last Updated: 2024-11-29 18:32:12

Minggu pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah jendela kamar membangunkannya. Namun bukan semangat yang ia rasakan, melainkan rasa berat. Hari libur yang seharusnya menjadi waktu untuk bersantai bagi anak seusianya, bagi Aris hanyalah hari lain yang dipenuhi tugas rumah tangga.

Ia merapikan tempat tidur dengan cepat sebelum menuju dapur. Pemandangan biasa menyambutnya—tumpukan piring kotor di wastafel dan lantai yang penuh dengan remah-remah makanan. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan tenaga untuk memulai rutinitasnya.

Di luar rumah, Sasa dan Raka sudah menunggu. Mereka berdiri di depan pagar kecil yang sudah berkarat, dengan ekspresi tak sabar.

"Kok lama banget, ya, Sa? Jangan-jangan Aris nggak diizinin lagi," Raka berkata sambil melirik jam tangannya.

Sasa mendesah panjang. "Entahlah, tapi aku punya firasat buruk. Tante itu nggak pernah kasih Aris kebebasan. Aku nggak ngerti, kenapa dia diperlakukan begitu."

Raka mengangguk setuju, namun tetap tidak beranjak dari tempatnya. "Kita tunggu sebentar lagi. Kalau nggak ada kabar, kita langsung masuk aja. Aku nggak peduli."

Sementara itu, Aris sedang sibuk mencuci piring ketika suara ibunya menggema dari ruang tamu.

"Aris! Itu lantai depan belum dipel, kan? Setelah cuci piring, langsung kerjakan itu juga!" perintah ibunya dengan nada tinggi.

"Iya, Bu. Sebentar lagi," balas Aris, meski ia tahu jawabannya tidak akan membuat ibunya puas.

Tidak lama kemudian, ketukan terdengar di pintu. Aris merasa panik, namun juga sedikit berharap. "Sasa dan Raka pasti sudah datang," gumamnya dalam hati.

Ibunya yang membuka pintu. Wajahnya langsung berubah menjadi datar ketika melihat dua anak yang berdiri di luar.

"Assalamualaikum, Tante," Sasa menyapa dengan sopan. "Kami datang untuk menjemput Aris. Kami mau ngajak dia jalan-jalan ke taman. Nggak lama kok, janji."

Ibunya memandang mereka dengan tatapan tajam. "Waalaikumsalam. Aris nggak bisa pergi ke mana-mana. Dia masih banyak pekerjaan di rumah. Lagi pula, aku nggak suka dia bergaul sama kalian."

Mendengar jawaban itu, wajah Sasa mengeras. "Tante, kami cuma mau ngajak dia refreshing. Masa dia harus terus kerja di rumah tanpa istirahat? Kami janji nggak akan lama."

Namun, respons ibu Aris tetap dingin. "Aku sudah bilang tidak, ya tidak. Kalian pulang saja."

Sasa dan Raka saling pandang, bingung dengan sikap sang ibu.

Dari arah ruang tengah, suara langkah terdengar. Alena muncul dengan senyum manis, mengenakan baju santai yang terlihat mahal. Ia berjalan mendekati ibunya sambil melirik Raka sekilas.

"Bu, siapa sih yang datang pagi-pagi?" tanya Alena dengan nada dibuat-buat.

Ibunya menjawab singkat, "Teman-temannya Aris. Mereka ngajak Aris pergi, tapi kan kamu tahu dia nggak bisa."

Alena mendekati ibunya dan berbisik pelan, namun sengaja membuat suaranya cukup keras agar Raka bisa mendengar. "Tapi, Bu, kalau Raka yang ngajak, kayaknya nggak apa-apa deh. Lagipula, dia kan orangnya baik. Aku juga mau ikut dengan Raka."

Mendengar itu, ibu Aris mengubah ekspresinya. Ia menatap Raka sejenak, kemudian mengangguk pelan. "Baiklah, Aris boleh pergi. Tapi cepat pulang, ya."

Aris yang mendengar percakapan itu dari dapur merasa bingung. Ia tahu Alena tidak mungkin berubah sebaik itu tanpa alasan. Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Alena sudah melangkah mendekatinya.

"Cepat ganti baju, Kak. Jangan bikin Raka lama nunggu. Malu-maluin aja kalau dia tahu kamu kerja seperti pembantu," sindir Alena dengan nada sinis.

Aris hanya diam, menahan rasa sesak di dadanya. Ia tahu Alena sengaja berkata seperti itu untuk merendahkannya, tapi ia memilih tidak merespons.

Ketika Aris akhirnya keluar rumah, Sasa langsung menghampirinya.

"Aris, kamu nggak apa-apa? Tadi kami dengar semuanya," tanya Sasa dengan nada khawatir.

Aris tersenyum kecil, mencoba menutupi kesedihannya. "Aku nggak apa-apa. Maaf ya bikin kalian nunggu lama."

Raka yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Aris, kalau ada apa-apa, kamu harus cerita. Aku sama Sasa selalu ada buat kamu."

Namun sebelum Aris sempat menjawab, Alena keluar rumah dengan wajah ceria.

"Raka, ayo jalan bareng aku! Kita harus nikmatin hari libur ini," serunya sambil menggandeng lengan Raka.

Sasa memutar mata, tidak bisa menyembunyikan rasa sebalnya. "Alena, kamu nggak diajak kok ikut-ikut? Lagian, kamu tadi cuma bantu karena mau cari perhatian kan?"

Alena membalas dengan senyum tipis. "Cemburu ya, Sa? Jangan gitu dong. Aku cuma pengen bikin semuanya nyaman."

Raka melepaskan lengannya dari genggaman Alena dengan halus. "Kita ke taman sekarang, ya? Aku pengen duduk santai sambil ngobrol," ujarnya mencoba mengalihkan perhatian.

Alena sedikit cemberut, namun ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk mengesankan Raka. "Ya udah, kita jalan. Kak Aris, jangan cuma diem. Kamu kan katanya mau refreshing," ucapnya sambil melirik tajam ke arah Aris.

Mereka akhirnya berjalan bersama menuju taman. Sasa sengaja mempercepat langkahnya untuk mendekati Aris, meninggalkan Alena yang terus berusaha menarik perhatian Raka.

"Aris, aku serius. Kamu nggak perlu terima semua perlakuan itu dari keluarga kamu. Kenapa kamu nggak bicara atau ngelawan, sih?" bisik Sasa dengan nada prihatin.

Aris menunduk. "Sa, aku udah biasa. Kalau aku protes, aku malah dibilang nggak tahu diri. Aku nggak mau ribut sama mereka. Lagian, aku kan cuma numpang di rumah itu."

Sasa menggeleng tegas. "Kamu bukan numpang! Kamu juga anak mereka. Kamu harus mulai bersuara, Aris. Aku nggak tahan liat kamu diperlakukan seperti itu terus."

Raka yang mendengar percakapan mereka dari belakang akhirnya ikut menimpali. "Aris, Sasa benar. Kita bisa bantu kamu kalau kamu mau. Nggak apa-apa kok kalau kamu mau cerita semuanya ke kita."

Namun, sebelum Aris sempat menjawab, Alena yang merasa diabaikan memotong pembicaraan mereka. "Eh, ngomong-ngomong, kita mau ke mana sih setelah taman? Gimana kalau kita cari makan di tempat baru yang lagi viral?"

Sasa mendesah panjang. "Alena, kita tuh cuma mau santai. Kamu kok ribet banget sih?"

Alena pura-pura tertawa. "Sa, jangan marah-marah gitu dong. Kan aku cuma kasih saran biar kita seru-seruan."

Mereka akhirnya sampai di taman dan duduk di sebuah bangku kayu di bawah pohon besar. Udara sejuk dan angin lembut yang bertiup sedikit mengurangi ketegangan di antara mereka.

Namun, suasana kembali memanas ketika Alena terus-menerus mencoba mendominasi pembicaraan. Ia berbicara tentang betapa sibuknya dirinya di sekolah, tentang guru-guru yang selalu memuji kecerdasannya, dan tentang rencana besar masa depannya.

Sasa yang sudah kehilangan kesabaran akhirnya menyela. "Alena, kamu tahu nggak sih, Aris juga baru aja ikut lomba menulis? Kayaknya dia punya peluang besar buat menang."

Wajah Alena langsung berubah, tapi ia cepat-cepat menyembunyikannya di balik senyum palsu. "Oh ya? Wah, Kak Aris hebat banget. Kalau aku sih nggak sempat ikut lomba. Terlalu banyak kegiatan."

Aris hanya tersenyum kecil tanpa menjawab. Ia tahu, di balik pujian itu, Alena pasti menyimpan sesuatu.

Raka mencoba mengalihkan pembicaraan ke topik lain. "Eh, ngomong-ngomong, aku sempat baca berita kalau taman ini mau direnovasi. Sayang ya, tempatnya udah nyaman banget."

Alena langsung merespons antusias. "Iya, bener banget! Tapi kalau direnovasi jadi lebih bagus, aku sih setuju. Nanti kalau udah selesai, kita harus balik ke sini bareng lagi."

Namun, Sasa tidak mau membiarkan pembicaraan tentang lomba berlalu begitu saja. Ia kembali menatap Aris dengan serius. "Aris, kamu udah cerita belum ke keluarga kamu kalau kamu ikut lomba?

Related chapters

  • Luka Tak Terlihat   BAB 19

    Hari itu, seperti biasa, Aris merasa dunia seakan menekan bahunya. Dia melangkah memasuki ruang tamu rumahnya, matanya memandangi tumpukan buku yang harus diselesaikan untuk sekolah dan naskah yang belum selesai untuk lomba menulis. Pekerjaan rumah semakin menumpuk, tapi di balik itu, ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan: program beasiswa yang telah ia daftarkan. Itu adalah harapan satu-satunya untuk membuktikan bahwa ia mampu berbuat lebih, keluar dari bayang-bayang keluarganya yang selalu mengabaikannya.Di meja belajarnya, sebuah formulir beasiswa yang sudah setengah terisi tampak tergeletak. Aris duduk, menarik napas panjang, dan mulai menulis lagi."Jangan sampai gagal," gumamnya pada diri sendiri.Namun, di sisi lain, Alena tidak pernah memberikan ruang untuknya merasa tenang. Alena tahu persis betapa pentingnya beasiswa itu bagi Aris, dan di setiap kesempatan, ia selalu membuatnya merasa seolah-olah tidak layak untuk mencapai impian tersebut."Aris, lagi-lag

    Last Updated : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 20

    Aris memanfaatkan akhir pekannya untuk mempersiapkan dokumen beasiswa yang ia incar. Di sudut kamar kecilnya, ia menyalakan laptop tua yang sering macet, berusaha mengetik esai dengan teliti. Setiap kata yang ia tuliskan adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa ia juga layak dihargai. Namun, suara gaduh di luar kamar membuat fokusnya terusik. "Aris! Kamu enggak dengar ibu manggil? Cepat bantu adikmu!" teriak ibunya dari ruang tengah. Aris memejamkan mata sesaat, mencoba mengendalikan diri. "Ya, Bu, sebentar lagi," jawabnya pelan. "Lama banget jawabnya! Dasar anak enggak tahu diri!" Aris menelan ludah, tangan besarnya mengepal erat di atas meja. Ia ingin membalas, tapi suaranya tercekat. Dengan tubuh berat, ia meninggalkan laptopnya dan melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, ibunya berdiri dengan wajah kesal, sementara Alena, adik perempuannya, duduk santai di sofa dengan senyum sinis. "Makanya, Kak," sindir Alena sambil melirik Aris. "Jangan sok sibuk sama hal-hal enggak penti

    Last Updated : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 21

    Hari itu suasana kelas sedikit berbeda. Semua siswa tampak antusias menanti kedatangan siswa baru yang akan bergabung. Bu Farida, wali kelas Aris, masuk bersama seorang anak laki-laki dengan rambut hitam pendek dan raut wajah percaya diri. Anak itu menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, sesekali tersenyum tipis.“Anak-anak, kenalkan, ini tomi, teman baru kalian. tomi pindah ke sini karena mengikuti keluarganya. Ibu harap kalian bisa menerima dan membantunya menyesuaikan diri,” ucap Bu Farida dengan nada ramah.Sontak, kelas riuh dengan tepuk tangan. Aris ikut bertepuk tangan pelan dari bangkunya di sudut kelas. Sementara itu, Alena, yang duduk tidak jauh darinya, tampak memutar mata, tampak tidak terlalu tertarik.Andre melangkah mantap ke salah satu bangku kosong. Saat melewati Aris, ia berhenti sejenak, menatapnya.“Aris?” tanya tomi dengan nada terkejut.Aris mengangkat alis. “tomi?”Keduanya sempat terdiam sebelum tomi tersenyum lebar dan menjabat tangan Aris dengan semangat.“A

    Last Updated : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 22

    Pagi itu, Aris memulai harinya dengan semangat, meskipun bayangan persaingan beasiswa terus menghantui pikirannya. Ia tahu, langkah menuju beasiswa tidak mudah, terutama dengan kehadiran Andre, yang belakangan ini terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan.Setiba di sekolah, Aris membawa dokumen beasiswa yang hampir selesai diisi. Ia ingin menyerahkannya kepada guru pembimbing untuk mendapat persetujuan. Namun, suasana hatinya berubah ketika ia melihat Andre berdiri di depan pintu kelas bersama Alena.Andre tersenyum dingin, tetapi ada sesuatu dalam caranya menatap yang membuat Aris waspada."Aris," sapa Andre dengan nada santai. "Kamu sibuk banget, ya? Apa nggak capek ngejar sesuatu yang... kayaknya nggak bakal kamu dapatkan?"Aris menatap Andre dengan tenang. "Aku rasa nggak ada salahnya mencoba."Andre tersenyum sinis. "Tapi kadang usaha berlebihan malah bikin kecewa, apalagi kalau tahu hasilnya nggak sesuai."Sasa, yang baru masuk ke kelas, langsung mendekat dengan ekspresi kes

    Last Updated : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 23

    Kegiatan di perpustakaan sore itu tampak seperti biasa. Beberapa siswa sibuk mengerjakan tugas, sementara yang lainnya berbincang pelan. Di sudut ruangan, Raka menatap Sasa dengan serius. Mereka duduk di meja pojok, menjauh dari keramaian. “Aku yakin dokumen Aris dicuri sama Alena dan Andre,” Raka memulai pembicaraan. Matanya menatap tajam ke arah Sasa, seolah memastikan dia mendengarkan dengan serius. Sasa mengangkat alisnya, setengah tidak percaya. “Kamu serius, Ka? Itu tuduhan yang berat.” Raka mengangguk. “Aku nggak asal bicara, Sa. Aku lihat cara mereka memandang Aris kemarin—ada sesuatu yang nggak beres.” Sasa menggigit bibir bawahnya, mencoba mencerna ucapan Raka. “Tapi, kalau mereka memang pelakunya, kita harus punya bukti. Kalau nggak, Aris tetap akan jadi korban.” “Itu sebabnya aku butuh bantuan kamu. Kita harus cari cara memata-matai mereka tanpa bikin mereka curiga.” Sasa terdiam sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Demi Aris, aku mau bantu. Tapi gimana car

    Last Updated : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 24

    Malam itu, Aris duduk gelisah di kamarnya. Pesan dari Raka tentang dugaan Alena dan Andre yang mencuri dokumen-dokumen pentingnya terus mengganggu pikirannya. Ia tidak pernah menyangka bahwa adiknya sendiri mampu melakukan hal sekejam itu. “Aris, kamu nggak bisa diam aja. Kalau benar mereka pelakunya, kamu harus bertindak,” suara Raka menggema di pikirannya. Keesokan harinya, di sekolah, Raka dan Sasa menunggu Aris di tempat biasa. Wajah mereka menunjukkan tekad kuat untuk memulai rencana. “Aris, kita nggak bisa nunggu lama-lama. Aku dengar Andre dan Alena ada di ruang OSIS tadi malam,” ujar Raka sambil menyodorkan foto bukti keberadaan mereka. Sasa mengangguk. “Kita harus cek ke sana. Siapa tahu ada jejak yang mereka tinggalkan.” Aris menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai dari ruang OSIS.” Di ruang OSIS, mereka menemukan sebuah laci yang tidak terkunci. Di dalamnya, ada sebuah kertas yang berisi catatan tulisan tangan Andre, menyebutkan sebuah lokasi: Gudang

    Last Updated : 2024-11-30
  • Luka Tak Terlihat   BAB 25

    Malam itu, setelah insiden di gudang, Aris duduk termenung di kamarnya. Ia memandangi dokumen-dokumen yang baru saja berhasil ia rebut kembali. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Alena terus terngiang di kepalanya: “Kamu itu anak hasil kecelakaan... pembawa sial...”Aris menghela napas panjang. Ia tahu, tidak ada gunanya melarutkan diri dalam kebencian Alena. Tapi, pertanyaan besar yang selama ini ia coba hindari kembali menyeruak: apa benar ia tidak diinginkan dalam keluarga ini?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sasa.Sasa: “Aris, aku tahu kamu mungkin nggak ingin bicara sekarang. Tapi kalau butuh teman, aku selalu ada.”Aris tersenyum tipis membaca pesan itu. Sasa selalu tahu bagaimana menghiburnya, bahkan tanpa banyak kata. Namun, sebelum ia sempat membalas, pesan lain masuk, kali ini dari nomor tak dikenal.Pesan anonim: “Kalau kamu ingin tahu kebenaran tentang keluargamu, temui aku di taman belakang sekolah besok malam. Jangan bilang siapa-siapa.”Jantung A

    Last Updated : 2024-11-30
  • Luka Tak Terlihat   BAB 26

    Malam itu, Aris, Raka, dan Sasa kembali dari gudang dengan rasa kecewa. Meski telah menemukan keberadaan Andre dan Edo, mereka belum memiliki bukti kuat untuk melaporkan tindakan mereka. Namun, tekad Aris semakin membara. Ia tahu, perang ini belum selesai. Di rumah, Aris berusaha menyusun rencana. Pikirannya berkecamuk, mencoba menyatukan setiap petunjuk yang ia miliki. Gudang kosong, dokumen-dokumen yang sudah diambil, dan kehadiran Edo—semua ini seperti potongan puzzle yang belum sempurna. “Aku harus menemukan cara untuk menjebak mereka,” pikir Aris sambil menatap papan tulis kecil di kamarnya, tempat ia mencatat semua detail yang ia ketahui. Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari Raka: Raka: “Aku dengar dari salah satu anak OSIS, Andre sedang mengumpulkan uang untuk sesuatu. Kita harus cari tahu apa itu.” Aris membalas cepat: Aris: “Besok kita selidiki. Jangan sampai mereka tahu kita mengawasi.” --- Pagi di Sekolah Di kantin, Aris, Raka, dan Sasa duduk di mej

    Last Updated : 2024-11-30

Latest chapter

  • Luka Tak Terlihat   BAB 26

    Malam itu, Aris, Raka, dan Sasa kembali dari gudang dengan rasa kecewa. Meski telah menemukan keberadaan Andre dan Edo, mereka belum memiliki bukti kuat untuk melaporkan tindakan mereka. Namun, tekad Aris semakin membara. Ia tahu, perang ini belum selesai. Di rumah, Aris berusaha menyusun rencana. Pikirannya berkecamuk, mencoba menyatukan setiap petunjuk yang ia miliki. Gudang kosong, dokumen-dokumen yang sudah diambil, dan kehadiran Edo—semua ini seperti potongan puzzle yang belum sempurna. “Aku harus menemukan cara untuk menjebak mereka,” pikir Aris sambil menatap papan tulis kecil di kamarnya, tempat ia mencatat semua detail yang ia ketahui. Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari Raka: Raka: “Aku dengar dari salah satu anak OSIS, Andre sedang mengumpulkan uang untuk sesuatu. Kita harus cari tahu apa itu.” Aris membalas cepat: Aris: “Besok kita selidiki. Jangan sampai mereka tahu kita mengawasi.” --- Pagi di Sekolah Di kantin, Aris, Raka, dan Sasa duduk di mej

  • Luka Tak Terlihat   BAB 25

    Malam itu, setelah insiden di gudang, Aris duduk termenung di kamarnya. Ia memandangi dokumen-dokumen yang baru saja berhasil ia rebut kembali. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Alena terus terngiang di kepalanya: “Kamu itu anak hasil kecelakaan... pembawa sial...”Aris menghela napas panjang. Ia tahu, tidak ada gunanya melarutkan diri dalam kebencian Alena. Tapi, pertanyaan besar yang selama ini ia coba hindari kembali menyeruak: apa benar ia tidak diinginkan dalam keluarga ini?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sasa.Sasa: “Aris, aku tahu kamu mungkin nggak ingin bicara sekarang. Tapi kalau butuh teman, aku selalu ada.”Aris tersenyum tipis membaca pesan itu. Sasa selalu tahu bagaimana menghiburnya, bahkan tanpa banyak kata. Namun, sebelum ia sempat membalas, pesan lain masuk, kali ini dari nomor tak dikenal.Pesan anonim: “Kalau kamu ingin tahu kebenaran tentang keluargamu, temui aku di taman belakang sekolah besok malam. Jangan bilang siapa-siapa.”Jantung A

  • Luka Tak Terlihat   BAB 24

    Malam itu, Aris duduk gelisah di kamarnya. Pesan dari Raka tentang dugaan Alena dan Andre yang mencuri dokumen-dokumen pentingnya terus mengganggu pikirannya. Ia tidak pernah menyangka bahwa adiknya sendiri mampu melakukan hal sekejam itu. “Aris, kamu nggak bisa diam aja. Kalau benar mereka pelakunya, kamu harus bertindak,” suara Raka menggema di pikirannya. Keesokan harinya, di sekolah, Raka dan Sasa menunggu Aris di tempat biasa. Wajah mereka menunjukkan tekad kuat untuk memulai rencana. “Aris, kita nggak bisa nunggu lama-lama. Aku dengar Andre dan Alena ada di ruang OSIS tadi malam,” ujar Raka sambil menyodorkan foto bukti keberadaan mereka. Sasa mengangguk. “Kita harus cek ke sana. Siapa tahu ada jejak yang mereka tinggalkan.” Aris menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai dari ruang OSIS.” Di ruang OSIS, mereka menemukan sebuah laci yang tidak terkunci. Di dalamnya, ada sebuah kertas yang berisi catatan tulisan tangan Andre, menyebutkan sebuah lokasi: Gudang

  • Luka Tak Terlihat   BAB 23

    Kegiatan di perpustakaan sore itu tampak seperti biasa. Beberapa siswa sibuk mengerjakan tugas, sementara yang lainnya berbincang pelan. Di sudut ruangan, Raka menatap Sasa dengan serius. Mereka duduk di meja pojok, menjauh dari keramaian. “Aku yakin dokumen Aris dicuri sama Alena dan Andre,” Raka memulai pembicaraan. Matanya menatap tajam ke arah Sasa, seolah memastikan dia mendengarkan dengan serius. Sasa mengangkat alisnya, setengah tidak percaya. “Kamu serius, Ka? Itu tuduhan yang berat.” Raka mengangguk. “Aku nggak asal bicara, Sa. Aku lihat cara mereka memandang Aris kemarin—ada sesuatu yang nggak beres.” Sasa menggigit bibir bawahnya, mencoba mencerna ucapan Raka. “Tapi, kalau mereka memang pelakunya, kita harus punya bukti. Kalau nggak, Aris tetap akan jadi korban.” “Itu sebabnya aku butuh bantuan kamu. Kita harus cari cara memata-matai mereka tanpa bikin mereka curiga.” Sasa terdiam sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Demi Aris, aku mau bantu. Tapi gimana car

  • Luka Tak Terlihat   BAB 22

    Pagi itu, Aris memulai harinya dengan semangat, meskipun bayangan persaingan beasiswa terus menghantui pikirannya. Ia tahu, langkah menuju beasiswa tidak mudah, terutama dengan kehadiran Andre, yang belakangan ini terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan.Setiba di sekolah, Aris membawa dokumen beasiswa yang hampir selesai diisi. Ia ingin menyerahkannya kepada guru pembimbing untuk mendapat persetujuan. Namun, suasana hatinya berubah ketika ia melihat Andre berdiri di depan pintu kelas bersama Alena.Andre tersenyum dingin, tetapi ada sesuatu dalam caranya menatap yang membuat Aris waspada."Aris," sapa Andre dengan nada santai. "Kamu sibuk banget, ya? Apa nggak capek ngejar sesuatu yang... kayaknya nggak bakal kamu dapatkan?"Aris menatap Andre dengan tenang. "Aku rasa nggak ada salahnya mencoba."Andre tersenyum sinis. "Tapi kadang usaha berlebihan malah bikin kecewa, apalagi kalau tahu hasilnya nggak sesuai."Sasa, yang baru masuk ke kelas, langsung mendekat dengan ekspresi kes

  • Luka Tak Terlihat   BAB 21

    Hari itu suasana kelas sedikit berbeda. Semua siswa tampak antusias menanti kedatangan siswa baru yang akan bergabung. Bu Farida, wali kelas Aris, masuk bersama seorang anak laki-laki dengan rambut hitam pendek dan raut wajah percaya diri. Anak itu menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, sesekali tersenyum tipis.“Anak-anak, kenalkan, ini tomi, teman baru kalian. tomi pindah ke sini karena mengikuti keluarganya. Ibu harap kalian bisa menerima dan membantunya menyesuaikan diri,” ucap Bu Farida dengan nada ramah.Sontak, kelas riuh dengan tepuk tangan. Aris ikut bertepuk tangan pelan dari bangkunya di sudut kelas. Sementara itu, Alena, yang duduk tidak jauh darinya, tampak memutar mata, tampak tidak terlalu tertarik.Andre melangkah mantap ke salah satu bangku kosong. Saat melewati Aris, ia berhenti sejenak, menatapnya.“Aris?” tanya tomi dengan nada terkejut.Aris mengangkat alis. “tomi?”Keduanya sempat terdiam sebelum tomi tersenyum lebar dan menjabat tangan Aris dengan semangat.“A

  • Luka Tak Terlihat   BAB 20

    Aris memanfaatkan akhir pekannya untuk mempersiapkan dokumen beasiswa yang ia incar. Di sudut kamar kecilnya, ia menyalakan laptop tua yang sering macet, berusaha mengetik esai dengan teliti. Setiap kata yang ia tuliskan adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa ia juga layak dihargai. Namun, suara gaduh di luar kamar membuat fokusnya terusik. "Aris! Kamu enggak dengar ibu manggil? Cepat bantu adikmu!" teriak ibunya dari ruang tengah. Aris memejamkan mata sesaat, mencoba mengendalikan diri. "Ya, Bu, sebentar lagi," jawabnya pelan. "Lama banget jawabnya! Dasar anak enggak tahu diri!" Aris menelan ludah, tangan besarnya mengepal erat di atas meja. Ia ingin membalas, tapi suaranya tercekat. Dengan tubuh berat, ia meninggalkan laptopnya dan melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, ibunya berdiri dengan wajah kesal, sementara Alena, adik perempuannya, duduk santai di sofa dengan senyum sinis. "Makanya, Kak," sindir Alena sambil melirik Aris. "Jangan sok sibuk sama hal-hal enggak penti

  • Luka Tak Terlihat   BAB 19

    Hari itu, seperti biasa, Aris merasa dunia seakan menekan bahunya. Dia melangkah memasuki ruang tamu rumahnya, matanya memandangi tumpukan buku yang harus diselesaikan untuk sekolah dan naskah yang belum selesai untuk lomba menulis. Pekerjaan rumah semakin menumpuk, tapi di balik itu, ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan: program beasiswa yang telah ia daftarkan. Itu adalah harapan satu-satunya untuk membuktikan bahwa ia mampu berbuat lebih, keluar dari bayang-bayang keluarganya yang selalu mengabaikannya.Di meja belajarnya, sebuah formulir beasiswa yang sudah setengah terisi tampak tergeletak. Aris duduk, menarik napas panjang, dan mulai menulis lagi."Jangan sampai gagal," gumamnya pada diri sendiri.Namun, di sisi lain, Alena tidak pernah memberikan ruang untuknya merasa tenang. Alena tahu persis betapa pentingnya beasiswa itu bagi Aris, dan di setiap kesempatan, ia selalu membuatnya merasa seolah-olah tidak layak untuk mencapai impian tersebut."Aris, lagi-lag

  • Luka Tak Terlihat   BAB 18

    Minggu pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah jendela kamar membangunkannya. Namun bukan semangat yang ia rasakan, melainkan rasa berat. Hari libur yang seharusnya menjadi waktu untuk bersantai bagi anak seusianya, bagi Aris hanyalah hari lain yang dipenuhi tugas rumah tangga.Ia merapikan tempat tidur dengan cepat sebelum menuju dapur. Pemandangan biasa menyambutnya—tumpukan piring kotor di wastafel dan lantai yang penuh dengan remah-remah makanan. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan tenaga untuk memulai rutinitasnya.Di luar rumah, Sasa dan Raka sudah menunggu. Mereka berdiri di depan pagar kecil yang sudah berkarat, dengan ekspresi tak sabar."Kok lama banget, ya, Sa? Jangan-jangan Aris nggak diizinin lagi," Raka berkata sambil melirik jam tangannya.Sasa mendesah panjang. "Entahlah, tapi aku punya firasat buruk. Tante itu nggak pernah kasih Aris kebebasan. Aku nggak ngerti, kenapa dia diperlakukan begitu."Raka mengangguk se

DMCA.com Protection Status