Malam itu, Aris duduk gelisah di kamarnya. Pesan dari Raka tentang dugaan Alena dan Andre yang mencuri dokumen-dokumen pentingnya terus mengganggu pikirannya. Ia tidak pernah menyangka bahwa adiknya sendiri mampu melakukan hal sekejam itu.
“Aris, kamu nggak bisa diam aja. Kalau benar mereka pelakunya, kamu harus bertindak,” suara Raka menggema di pikirannya. Keesokan harinya, di sekolah, Raka dan Sasa menunggu Aris di tempat biasa. Wajah mereka menunjukkan tekad kuat untuk memulai rencana. “Aris, kita nggak bisa nunggu lama-lama. Aku dengar Andre dan Alena ada di ruang OSIS tadi malam,” ujar Raka sambil menyodorkan foto bukti keberadaan mereka. Sasa mengangguk. “Kita harus cek ke sana. Siapa tahu ada jejak yang mereka tinggalkan.” Aris menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai dari ruang OSIS.” Di ruang OSIS, mereka menemukan sebuah laci yang tidak terkunci. Di dalamnya, ada sebuah kertas yang berisi catatan tulisan tangan Andre, menyebutkan sebuah lokasi: Gudang belakang sekolah, pukul 19.00. “Ini pasti tempat mereka menyimpan dokumenku!” bisik Aris penuh emosi. Raka menahan lengannya. “Kita harus hati-hati. Kalau mereka sampai tahu kita mengendus ini, semuanya bisa berantakan.” Sore harinya, ketiganya menyelinap ke gudang yang dimaksud. Mereka bersembunyi di balik rak-rak tua, menunggu dengan waspada. Tidak lama kemudian, Alena dan Andre muncul, membawa tas besar. “Jadi, semua ini sudah aman, kan?” tanya Andre sambil melirik tas yang ia bawa. Alena mengangguk. “Iya. Asal nggak ada yang tahu, semua dokumen Aris akan tetap terkunci di sini.” Mendengar itu, darah Aris mendidih. Ia tidak tahan lagi. Tanpa pikir panjang, ia keluar dari persembunyian. “Jadi ini kerjaan kalian?!” Alena terkejut, tetapi segera memasang wajah dingin. “Oh, akhirnya kamu tahu juga. Ya, ini semua karena kamu, Aris. Kamu selalu jadi penghalang dalam hidupku!” Andre mencoba menenangkan Alena, tetapi adiknya itu melanjutkan dengan suara yang semakin keras. “Aku benci kamu, Aris! Kamu nggak pernah pantas mendapatkan semua yang kamu miliki!” Raka dan Sasa keluar dari tempat persembunyian mereka, bersiap menghadapi Andre. “Serahkan tas itu, atau kami akan melaporkan kalian ke kepala sekolah,” ancam Raka. Andre tertawa kecil. “Kalian pikir aku takut?” Situasi semakin tegang. Andre mencoba melawan, tetapi Raka berhasil merebut tasnya. Sasa segera membuka tas itu dan menemukan dokumen yang selama ini dicari Aris. “Ini milik Aris! Kalian nggak punya hak untuk mengambilnya!” seru Sasa. Alena mendekat dengan wajah marah. “Kalian pikir menang hanya dengan ini? Tunggu saja. Aku akan pastikan Aris tidak punya tempat di sekolah ini, bahkan di rumah sekalipun!” Terima kasih telah membagikan Bab 24. Saya akan melanjutkan cerita ini dengan tetap mempertahankan tempo cepat sesuai saran editor, fokus pada konflik besar, dan menjaga konsistensi hubungan antar karakter. Berikut kelanjutannya: --- Andre tertawa dingin mendengar ancaman Alena. “Sudahlah, Alena. Mereka cuma berani sekarang karena menang angka. Tapi aku setuju, ini belum selesai.” Andre dan Alena perlahan mundur, berusaha mencari jalan keluar. Raka, yang tidak ingin mengambil risiko mereka melarikan diri, segera menghalangi pintu keluar. “Kalian nggak akan pergi sebelum kita bicara dengan kepala sekolah,” ujar Raka tegas, sorot matanya penuh kemarahan. Alena tersenyum sinis. “Oh, kamu pikir aku takut pada kepala sekolah? Silakan saja! Tapi, apa kamu sudah siap dengan rahasia keluarga yang akan aku bocorkan, Aris?” Aris terdiam, sorot matanya berubah gugup. “Apa maksudmu?” “Biar aku tanya satu hal,” Alena mendekat, suaranya lirih tapi menusuk. “Apa kamu pernah bertanya kenapa Ayah dan Ibu selalu membencimu? Kenapa kamu tidak pernah dianggap seperti aku?” Ucapan Alena membuat ruangan terasa semakin dingin. Raka dan Sasa saling memandang, bingung dengan arah pembicaraan. “Berhenti, Alena,” pinta Aris dengan suara serak. “Tidak. Mereka harus tahu. Kebenaran ini sudah lama tersembunyi,” jawab Alena, senyum dinginnya semakin melebar. “Kamu itu anak hasil kecelakaan. Ibu bahkan pernah bilang kamu adalah pembawa sial. Semua hal buruk di keluarga kita dimulai sejak kamu lahir!” Kata-kata itu bagaikan pukulan telak bagi Aris. Ia merasa seluruh dunianya runtuh seketika. Meski ia tahu Alena membencinya, ia tidak pernah menyangka adiknya akan mengungkit hal sekejam itu di depan orang lain. “Alena, cukup!” Raka memotong dengan nada tajam. “Apa pun masalah keluarga kalian, itu tidak membenarkan tindakanmu mencuri dokumen Aris.” Namun, Alena hanya tertawa. “Silakan, Raka. Laporkan kami. Tapi aku jamin, setelah ini, Aris nggak akan bisa hidup tenang lagi.” Andre tampak ragu dengan ucapan Alena. “Alena, mungkin ini sudah terlalu jauh...” “Diam!” bentak Alena, matanya melotot tajam ke arah Andre. “Jangan berani mengkhianati ku.” Sasa, yang sejak tadi diam, maju ke depan dan menarik perhatian mereka. “Kalian sudah cukup merusak hidup Aris. Kami tidak akan tinggal diam lagi. Alena, kamu boleh membenci kakakmu, tapi apa kamu pernah berpikir kenapa dia tetap berusaha melindungi mu? Meskipun kamu terus menyakitinya?” Alena terdiam. Kata-kata Sasa sejenak menggoyahkan pertahanannya. Raka mengambil kesempatan itu untuk mendekati Andre. “Andre, aku tahu kamu nggak benar-benar ingin terlibat dalam semua ini. Ini kesempatanmu untuk keluar dari masalah ini. Tinggalkan Alena sebelum semuanya bertambah buruk.” Andre terlihat bimbang. Ia menatap Alena, lalu menunduk. “Aku... aku nggak bisa...” gumamnya pelan, tapi jelas terdengar ada rasa bersalah dalam suaranya. Aris, yang sejak tadi terdiam, akhirnya angkat bicara. Suaranya rendah, tapi penuh ketegasan. “Alena, aku nggak tahu apa yang membuatmu sebenci ini padaku. Tapi aku lelah hidup dalam bayang-bayang kebencianmu. Kalau memang aku seburuk itu di matamu, kenapa kamu nggak pernah mencoba bicara? Kenapa harus menghancurkan semua yang aku perjuangkan?” Alena menatap Aris dengan mata berkilat emosi. “Karena kamu selalu jadi pengingat semua rasa sakit ku, Aris. Semua kasih sayang yang aku dapatkan hanyalah cara mereka menutupi kebencian mereka padamu. Kamu tahu betul aku juga tidak pernah bahagia, tapi kamu selalu menutup mata!” Kata-kata itu membuat suasana semakin tegang. “Kamu salah, Alena,” ujar Aris dengan suara lirih. “Aku mungkin bukan kakak yang sempurna, tapi aku selalu berharap kita bisa saling mendukung. Apa itu terlalu sulit untukmu?” --- Situasi semakin intens, tetapi sebelum salah satu dari mereka bisa melanjutkan, suara langkah kaki terdengar dari luar gudang. Semua orang menoleh. “Siapa itu?” bisik Raka, waspada. Pintu gudang terbuka, dan muncul seorang guru dengan wajah penuh tanda tanya. “Apa yang kalian lakukan di sini? Jam sekolah sudah selesai!” Raka dengan cepat menyembunyikan tas berisi dokumen di belakang punggungnya. “Kami... sedang mencari barang yang tertinggal, Pak,” jawabnya dengan gugup. Guru tersebut menatap mereka dengan curiga. “Keluar sekarang. Gudang ini bukan tempat bermain.” Andre tampak lega bisa melarikan diri tanpa konfrontasi lebih lanjut. Alena, meskipun marah, mengikuti langkah Andre keluar dari gudang. Sebelum pergi, ia sempat menatap tajam ke arah Aris. “Kita belum selesai.” Setelah mereka pergi, Raka, Sasa, dan Aris keluar dengan hati-hati. Di luar gudang, Sasa menepuk bahu Aris. “Kamu baik-baik saja?” Aris mengangguk pelan, meski wajahnya menunjukkan konflik batin. “Aku harus kuat. Ini belum selesai.” Raka tersenyum tipis. “Dan kita akan terus bersamamu, apa pun yang terjadi.” Dengan dokumen kembali di tangan mereka, langkah berikutnya adalah memutuskan bagaimana menghadapi ancaman Alena tanpa merusak hubungan keluarga sepenuhnya. Namun, satu hal yang pasti: Aris tidak akan lagi tinggal diam.Malam itu, setelah insiden di gudang, Aris duduk termenung di kamarnya. Ia memandangi dokumen-dokumen yang baru saja berhasil ia rebut kembali. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Alena terus terngiang di kepalanya: “Kamu itu anak hasil kecelakaan... pembawa sial...”Aris menghela napas panjang. Ia tahu, tidak ada gunanya melarutkan diri dalam kebencian Alena. Tapi, pertanyaan besar yang selama ini ia coba hindari kembali menyeruak: apa benar ia tidak diinginkan dalam keluarga ini?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sasa.Sasa: “Aris, aku tahu kamu mungkin nggak ingin bicara sekarang. Tapi kalau butuh teman, aku selalu ada.”Aris tersenyum tipis membaca pesan itu. Sasa selalu tahu bagaimana menghiburnya, bahkan tanpa banyak kata. Namun, sebelum ia sempat membalas, pesan lain masuk, kali ini dari nomor tak dikenal.Pesan anonim: “Kalau kamu ingin tahu kebenaran tentang keluargamu, temui aku di taman belakang sekolah besok malam. Jangan bilang siapa-siapa.”Jantung A
Malam itu, Aris, Raka, dan Sasa kembali dari gudang dengan rasa kecewa. Meski telah menemukan keberadaan Andre dan Edo, mereka belum memiliki bukti kuat untuk melaporkan tindakan mereka. Namun, tekad Aris semakin membara. Ia tahu, perang ini belum selesai. Di rumah, Aris berusaha menyusun rencana. Pikirannya berkecamuk, mencoba menyatukan setiap petunjuk yang ia miliki. Gudang kosong, dokumen-dokumen yang sudah diambil, dan kehadiran Edo—semua ini seperti potongan puzzle yang belum sempurna. “Aku harus menemukan cara untuk menjebak mereka,” pikir Aris sambil menatap papan tulis kecil di kamarnya, tempat ia mencatat semua detail yang ia ketahui. Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari Raka: Raka: “Aku dengar dari salah satu anak OSIS, Andre sedang mengumpulkan uang untuk sesuatu. Kita harus cari tahu apa itu.” Aris membalas cepat: Aris: “Besok kita selidiki. Jangan sampai mereka tahu kita mengawasi.” --- Pagi di Sekolah Di kantin, Aris, Raka, dan Sasa duduk di mej
Pagi itu, sinar matahari menyusup perlahan melalui celah-celah jendela rumah kecil di pinggir desa. Rumah itu sederhana, dengan dinding kayu yang mulai memudar warnanya dan atap seng yang sering berbunyi pelan saat diterpa angin. Di dalam rumah, suara aktivitas keluarga mulai terdengar, seperti simfoni yang berulang setiap pagi. Aris kecil membuka matanya perlahan. Ia mengucek-ucek matanya dengan tangan mungilnya, lalu menguap lebar. Dengan langkah tertatih-tatih, ia keluar dari kamar kecilnya. Wajahnya terlihat polos dengan rambut yang masih berantakan. Tapi, ada semangat berbeda di matanya pagi itu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang kelima. Dalam pikirannya, ulang tahun adalah hari istimewa, penuh kebahagiaan, hadiah, dan cinta dari orang-orang terdekat. Namun, begitu kakinya menginjak ruang tengah, harapannya mulai memudar. Di meja, ia melihat sebuah kotak hadiah besar yang tampak baru, masih terbungkus plastik rapi. Hatinya melompat girang. “Itu pasti untukku,” pikirnya.
Pagi itu, Aris bangun lebih pagi dari biasanya. Udara dingin menyelimuti rumah, memaksa dirinya menggigil sambil menarik selimut tipis yang hampir tak lagi mampu menghangatkannya. Dari kamarnya yang sempit, ia bisa mendengar suara panci beradu di dapur dan langkah-langkah ringan Alena menuju meja makan. Ketika keluar dari kamar, pandangan pertama Aris tertuju pada Alena. Dengan wajah cerah dan tawa riang, Alena sudah duduk di meja makan, menikmati sarapannya. Ada roti dengan selai cokelat dan segelas susu hangat di depannya. Aris hanya berdiri mematung, mengamati bagaimana adiknya tampak bahagia tanpa beban. Perlahan, ia melangkah ke dapur dengan harapan mendapatkan perhatian dari ibunya. Namun, begitu sampai di sana, ibunya menoleh sekilas, lalu berkata dengan nada yang sama sekali tak hangat, "Kamu bangun telat, ya? Kalau mau makan, bantu ibu dulu. Sana ambil air di sumur!" Aris menunduk, menggigit bibir bawahnya untuk menahan kekecewaan. "Iya, Bu," jawabnya pelan. Dengan langkah
Aris terbaring di tempat tidurnya, memandang langit-langit kamar yang gelap. Suara tawa Alena dari luar kamar terdengar samar, semakin menegaskan jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Tangannya menggenggam boneka kayu tua dengan erat, mencari kenyamanan dalam benda kecil yang menjadi teman setianya."Kenapa ibu tak pernah menyayangiku seperti Alena?" pikir Aris, bertanya pada dirinya sendiri. Keheningan malam membuat pikirannya berkelana ke ucapan-ucapan ibunya yang tajam dan dingin. Kata-kata seperti "kamu selalu membawa sial" terus terngiang, mengiris hatinya. Ia tidak mengerti alasan di balik ucapan itu, namun selalu merasa bahwa ia adalah biang keladi dari semua masalah yang terjadi di rumah.Malam itu, ia memikirkan kembali apa yang pernah dikatakan Bu Siti, tetangga yang sering memberinya nasihat lembut. "Cobalah untuk berbicara, Aris. Kadang, masalah hanya bisa selesai jika kita berani menyuarakan hati kita," begitu kata Bu Siti suatu kali.Aris menarik napas dalam. "Mung
Tahun demi tahun berlalu. Aris kini telah memasuki sekolah dasar. Meski usianya masih belia, tanggung jawab yang ia pikul sudah jauh melebihi teman-teman seusianya. Sejak kecil, Aris terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga sendirian. Membersihkan lantai, mencuci pakaian, menjemur, hingga memasak sering kali menjadi rutinitas harian yang harus ia selesaikan, terutama saat ibunya sibuk bekerja. Di rumah, perhatian ibu Aris lebih banyak tercurah pada Alena, adiknya yang ceria dan manja. Alena selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Mainan, pakaian, bahkan perhatian yang hangat. Sedangkan Aris? Ia lebih sering dianggap tidak ada. Kehadirannya di rumah terasa seperti bayang-bayang yang hanya diingat ketika dibutuhkan. Meski begitu, Aris tidak pernah mengeluh. Ia menerima semua perlakuan itu dengan diam, meskipun di dalam hatinya ada rasa sakit yang sulit ia ungkapkan. Setiap hari, rutinitas sekolah menjadi pelarian kecil bagi Aris, meski tidak selalu menyenangkan. Di sekolah, teman
Pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Matahari masih malu-malu memunculkan sinarnya di ufuk timur. Dengan mata yang masih berat, ia langsung bergegas menyelesaikan pekerjaan rumah yang sudah menjadi tanggung jawabnya setiap hari. Seperti biasa, mencuci piring, menyapu lantai, dan membersihkan seluruh rumah harus selesai sebelum ia bersiap ke sekolah. Sementara itu, Alena, adiknya yang masih kecil, bangun dengan wajah ceria. Alena selalu menjadi pusat perhatian di rumah. Ibu mereka selalu memastikan Alena mendapatkan segalanya, mulai dari baju baru hingga mainan yang ia inginkan. Aris melirik pakaian yang dikenakan Alena pagi itu. Gaun putih dengan motif bunga yang baru dibelikan oleh ibu. Sementara itu, Aris hanya mengenakan seragam sekolahnya yang sudah terlihat pudar warnanya. Meskipun begitu, ia tidak mengeluh. Namun, pagi ini ada satu hal yang membuat Aris merasa sedikit lebih baik. Sepatu barunya yang diberikan oleh Bu Siti terlihat bersih dan mengkilap. Itu adala
Beberapa hari berlalu sejak insiden sepatu itu. Meski luka di hati Aris masih terasa perih, ia mencoba menjalani rutinitas seperti biasa. Setiap pagi, ia bangun lebih awal dari semua penghuni rumah, menyelesaikan pekerjaan rumah yang sebenarnya bukan tanggung jawabnya, lalu bersiap-siap untuk sekolah. Kehidupan di rumah tidak pernah berubah; perhatian dan kasih sayang orang tua sepenuhnya tercurah kepada Alena, adiknya, sementara Aris hanya menerima perintah dan tuntutan. Namun, ada sesuatu yang membuat hari-hari Aris sedikit lebih ringan. Setelah mengetahui insiden itu, Bu Siti, tetangga sekaligus orang yang sangat peduli padanya, membelikannya sepasang sepatu baru. Tetapi, karena takut menimbulkan masalah, Bu Siti tidak memberikannya langsung kepada Aris. Sebaliknya, ia menyimpan sepatu itu di rumahnya. Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah, Aris mampir ke rumah Bu Siti untuk mengenakan sepatu itu. Bagi Aris, perhatian sederhana itu sudah cukup membuatnya merasa dihargai, meski
Malam itu, Aris, Raka, dan Sasa kembali dari gudang dengan rasa kecewa. Meski telah menemukan keberadaan Andre dan Edo, mereka belum memiliki bukti kuat untuk melaporkan tindakan mereka. Namun, tekad Aris semakin membara. Ia tahu, perang ini belum selesai. Di rumah, Aris berusaha menyusun rencana. Pikirannya berkecamuk, mencoba menyatukan setiap petunjuk yang ia miliki. Gudang kosong, dokumen-dokumen yang sudah diambil, dan kehadiran Edo—semua ini seperti potongan puzzle yang belum sempurna. “Aku harus menemukan cara untuk menjebak mereka,” pikir Aris sambil menatap papan tulis kecil di kamarnya, tempat ia mencatat semua detail yang ia ketahui. Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari Raka: Raka: “Aku dengar dari salah satu anak OSIS, Andre sedang mengumpulkan uang untuk sesuatu. Kita harus cari tahu apa itu.” Aris membalas cepat: Aris: “Besok kita selidiki. Jangan sampai mereka tahu kita mengawasi.” --- Pagi di Sekolah Di kantin, Aris, Raka, dan Sasa duduk di mej
Malam itu, setelah insiden di gudang, Aris duduk termenung di kamarnya. Ia memandangi dokumen-dokumen yang baru saja berhasil ia rebut kembali. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Alena terus terngiang di kepalanya: “Kamu itu anak hasil kecelakaan... pembawa sial...”Aris menghela napas panjang. Ia tahu, tidak ada gunanya melarutkan diri dalam kebencian Alena. Tapi, pertanyaan besar yang selama ini ia coba hindari kembali menyeruak: apa benar ia tidak diinginkan dalam keluarga ini?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sasa.Sasa: “Aris, aku tahu kamu mungkin nggak ingin bicara sekarang. Tapi kalau butuh teman, aku selalu ada.”Aris tersenyum tipis membaca pesan itu. Sasa selalu tahu bagaimana menghiburnya, bahkan tanpa banyak kata. Namun, sebelum ia sempat membalas, pesan lain masuk, kali ini dari nomor tak dikenal.Pesan anonim: “Kalau kamu ingin tahu kebenaran tentang keluargamu, temui aku di taman belakang sekolah besok malam. Jangan bilang siapa-siapa.”Jantung A
Malam itu, Aris duduk gelisah di kamarnya. Pesan dari Raka tentang dugaan Alena dan Andre yang mencuri dokumen-dokumen pentingnya terus mengganggu pikirannya. Ia tidak pernah menyangka bahwa adiknya sendiri mampu melakukan hal sekejam itu. “Aris, kamu nggak bisa diam aja. Kalau benar mereka pelakunya, kamu harus bertindak,” suara Raka menggema di pikirannya. Keesokan harinya, di sekolah, Raka dan Sasa menunggu Aris di tempat biasa. Wajah mereka menunjukkan tekad kuat untuk memulai rencana. “Aris, kita nggak bisa nunggu lama-lama. Aku dengar Andre dan Alena ada di ruang OSIS tadi malam,” ujar Raka sambil menyodorkan foto bukti keberadaan mereka. Sasa mengangguk. “Kita harus cek ke sana. Siapa tahu ada jejak yang mereka tinggalkan.” Aris menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai dari ruang OSIS.” Di ruang OSIS, mereka menemukan sebuah laci yang tidak terkunci. Di dalamnya, ada sebuah kertas yang berisi catatan tulisan tangan Andre, menyebutkan sebuah lokasi: Gudang
Kegiatan di perpustakaan sore itu tampak seperti biasa. Beberapa siswa sibuk mengerjakan tugas, sementara yang lainnya berbincang pelan. Di sudut ruangan, Raka menatap Sasa dengan serius. Mereka duduk di meja pojok, menjauh dari keramaian. “Aku yakin dokumen Aris dicuri sama Alena dan Andre,” Raka memulai pembicaraan. Matanya menatap tajam ke arah Sasa, seolah memastikan dia mendengarkan dengan serius. Sasa mengangkat alisnya, setengah tidak percaya. “Kamu serius, Ka? Itu tuduhan yang berat.” Raka mengangguk. “Aku nggak asal bicara, Sa. Aku lihat cara mereka memandang Aris kemarin—ada sesuatu yang nggak beres.” Sasa menggigit bibir bawahnya, mencoba mencerna ucapan Raka. “Tapi, kalau mereka memang pelakunya, kita harus punya bukti. Kalau nggak, Aris tetap akan jadi korban.” “Itu sebabnya aku butuh bantuan kamu. Kita harus cari cara memata-matai mereka tanpa bikin mereka curiga.” Sasa terdiam sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Demi Aris, aku mau bantu. Tapi gimana car
Pagi itu, Aris memulai harinya dengan semangat, meskipun bayangan persaingan beasiswa terus menghantui pikirannya. Ia tahu, langkah menuju beasiswa tidak mudah, terutama dengan kehadiran Andre, yang belakangan ini terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan.Setiba di sekolah, Aris membawa dokumen beasiswa yang hampir selesai diisi. Ia ingin menyerahkannya kepada guru pembimbing untuk mendapat persetujuan. Namun, suasana hatinya berubah ketika ia melihat Andre berdiri di depan pintu kelas bersama Alena.Andre tersenyum dingin, tetapi ada sesuatu dalam caranya menatap yang membuat Aris waspada."Aris," sapa Andre dengan nada santai. "Kamu sibuk banget, ya? Apa nggak capek ngejar sesuatu yang... kayaknya nggak bakal kamu dapatkan?"Aris menatap Andre dengan tenang. "Aku rasa nggak ada salahnya mencoba."Andre tersenyum sinis. "Tapi kadang usaha berlebihan malah bikin kecewa, apalagi kalau tahu hasilnya nggak sesuai."Sasa, yang baru masuk ke kelas, langsung mendekat dengan ekspresi kes
Hari itu suasana kelas sedikit berbeda. Semua siswa tampak antusias menanti kedatangan siswa baru yang akan bergabung. Bu Farida, wali kelas Aris, masuk bersama seorang anak laki-laki dengan rambut hitam pendek dan raut wajah percaya diri. Anak itu menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, sesekali tersenyum tipis.“Anak-anak, kenalkan, ini tomi, teman baru kalian. tomi pindah ke sini karena mengikuti keluarganya. Ibu harap kalian bisa menerima dan membantunya menyesuaikan diri,” ucap Bu Farida dengan nada ramah.Sontak, kelas riuh dengan tepuk tangan. Aris ikut bertepuk tangan pelan dari bangkunya di sudut kelas. Sementara itu, Alena, yang duduk tidak jauh darinya, tampak memutar mata, tampak tidak terlalu tertarik.Andre melangkah mantap ke salah satu bangku kosong. Saat melewati Aris, ia berhenti sejenak, menatapnya.“Aris?” tanya tomi dengan nada terkejut.Aris mengangkat alis. “tomi?”Keduanya sempat terdiam sebelum tomi tersenyum lebar dan menjabat tangan Aris dengan semangat.“A
Aris memanfaatkan akhir pekannya untuk mempersiapkan dokumen beasiswa yang ia incar. Di sudut kamar kecilnya, ia menyalakan laptop tua yang sering macet, berusaha mengetik esai dengan teliti. Setiap kata yang ia tuliskan adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa ia juga layak dihargai. Namun, suara gaduh di luar kamar membuat fokusnya terusik. "Aris! Kamu enggak dengar ibu manggil? Cepat bantu adikmu!" teriak ibunya dari ruang tengah. Aris memejamkan mata sesaat, mencoba mengendalikan diri. "Ya, Bu, sebentar lagi," jawabnya pelan. "Lama banget jawabnya! Dasar anak enggak tahu diri!" Aris menelan ludah, tangan besarnya mengepal erat di atas meja. Ia ingin membalas, tapi suaranya tercekat. Dengan tubuh berat, ia meninggalkan laptopnya dan melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, ibunya berdiri dengan wajah kesal, sementara Alena, adik perempuannya, duduk santai di sofa dengan senyum sinis. "Makanya, Kak," sindir Alena sambil melirik Aris. "Jangan sok sibuk sama hal-hal enggak penti
Hari itu, seperti biasa, Aris merasa dunia seakan menekan bahunya. Dia melangkah memasuki ruang tamu rumahnya, matanya memandangi tumpukan buku yang harus diselesaikan untuk sekolah dan naskah yang belum selesai untuk lomba menulis. Pekerjaan rumah semakin menumpuk, tapi di balik itu, ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan: program beasiswa yang telah ia daftarkan. Itu adalah harapan satu-satunya untuk membuktikan bahwa ia mampu berbuat lebih, keluar dari bayang-bayang keluarganya yang selalu mengabaikannya.Di meja belajarnya, sebuah formulir beasiswa yang sudah setengah terisi tampak tergeletak. Aris duduk, menarik napas panjang, dan mulai menulis lagi."Jangan sampai gagal," gumamnya pada diri sendiri.Namun, di sisi lain, Alena tidak pernah memberikan ruang untuknya merasa tenang. Alena tahu persis betapa pentingnya beasiswa itu bagi Aris, dan di setiap kesempatan, ia selalu membuatnya merasa seolah-olah tidak layak untuk mencapai impian tersebut."Aris, lagi-lag
Minggu pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah jendela kamar membangunkannya. Namun bukan semangat yang ia rasakan, melainkan rasa berat. Hari libur yang seharusnya menjadi waktu untuk bersantai bagi anak seusianya, bagi Aris hanyalah hari lain yang dipenuhi tugas rumah tangga.Ia merapikan tempat tidur dengan cepat sebelum menuju dapur. Pemandangan biasa menyambutnya—tumpukan piring kotor di wastafel dan lantai yang penuh dengan remah-remah makanan. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan tenaga untuk memulai rutinitasnya.Di luar rumah, Sasa dan Raka sudah menunggu. Mereka berdiri di depan pagar kecil yang sudah berkarat, dengan ekspresi tak sabar."Kok lama banget, ya, Sa? Jangan-jangan Aris nggak diizinin lagi," Raka berkata sambil melirik jam tangannya.Sasa mendesah panjang. "Entahlah, tapi aku punya firasat buruk. Tante itu nggak pernah kasih Aris kebebasan. Aku nggak ngerti, kenapa dia diperlakukan begitu."Raka mengangguk se