Share

BAB 13

Penulis: Intan april
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-29 18:32:12

Pagi ini, Aris terbangun dengan perasaan berat. Sejak kejadian kemarin di kantin, ia tahu bahwa situasinya semakin buruk. Di rumah, ibunya selalu menatapnya dengan mata penuh kebencian, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya untuk mengkritik atau menyalahkan Aris. Pagi ini, Aris tahu ia tidak bisa menghindari pertemuan dengan ibunya yang akan menanyakan tentang kejadian di sekolah.

Saat ia memasuki ruang makan, ia melihat ibunya sudah duduk dengan tatapan dingin. Di sampingnya, Alena tampak berpura-pura sibuk dengan ponselnya, namun jelas ia sedang mengawasi Aris dengan tatapan yang penuh kebencian.

"Kenapa kamu nggak pernah belajar? Kemarin saja malah bikin keributan di kantin!" bentak ibu Aris tanpa basa-basi.

Aris menundukkan kepala, berusaha menahan rasa sakit dalam hatinya. "Aku tidak bikin keributan, Bu. Itu cuma salah paham," jawabnya pelan, mencoba menjelaskan meski tahu ibunya tidak akan pernah percaya.

Ibu Aris menatapnya tajam. "Salah paham? Kamu memang selalu membuat masalah! Itu karena kamu terlalu sering menghindar dari tanggung jawab! Kalau kamu nggak berubah, kamu akan terus jadi beban di rumah ini!" kata ibu Aris dengan nada yang penuh kebencian.

Aris bisa merasakan hatinya semakin perih. Setiap kata ibunya seperti pisau yang mengiris hati. "Aku... aku cuma ingin melakukan yang terbaik, Bu," jawab Aris dengan suara rendah, berusaha tidak menangis.

Alena yang sejak tadi diam akhirnya berbicara dengan suara menyindir, "Kamu kan cuma anak pembawa sial Aris. Jangan harap bisa meraih apa-apa. Semua yang kamu lakukan selalu salah."

Aris menggigit bibirnya. Ia tahu tidak ada yang mendukungnya di sini, selain Bu Siti dan Pak Rudi yang selalu memberikan perhatian dan kasih sayang padanya. Tetapi ia tidak bisa terus-menerus berlarut-larut dalam keadaan seperti ini.

"Ibu, aku hanya ingin melakukan sesuatu yang baik. Aku punya kesempatan untuk belajar menulis. Aku ingin serius dengan ini," ujar Aris, mencoba meyakinkan ibunya meskipun ia tahu itu sia-sia.

Ibunya tertawa sinis. "Menulis? Kamu pikir kamu bisa jadi penulis? Kamu nggak lebih dari seorang anak yang cuma bisa bikin masalah di rumah ini," kata ibunya dengan suara dingin.

Aris menahan amarah yang mulai membakar dadanya. Ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan, ibunya tidak akan pernah mendukungnya. Ia hanya menghela napas dan berpamitan untuk pergi ke sekolah. Tanpa menunggu jawaban, Aris berjalan keluar rumah dengan perasaan berat.

Sesampainya di sekolah, ia bertemu dengan Sasa di depan gerbang. Sasa langsung menyapanya dengan wajah cemas. "Aris, kamu baik-baik saja? Kelihatannya kamu tidak dalam keadaan yang baik."

Aris hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. "Aku akan baik-baik saja, Sasa," jawabnya pelan, meskipun hatinya penuh dengan kecemasan.

Di kelas, Aris merasa suasana semakin berat. Ia teringat tentang apa yang terjadi di rumah dan bagaimana ibunya selalu memperlakukannya dengan tidak adil. Rasa frustasi itu semakin memuncak saat raka sahabatnya, mendekatinya.

"Aris, kamu kelihatan cemas. Apa yang terjadi?" tanya raka dengan nada khawatir.

Aris hanya tersenyum masam. "Semua baik-baik saja, Andre. Aku cuma... merasa semakin jauh dengan ibu," jawab Aris dengan hati yang perih.

"Jangan terlalu peduli dengan ibumu. Kamu punya jalan sendiri, Aris," kata raka dengan tegas, mencoba memberi semangat.

Aris mengangguk pelan. Memang, meskipun ibu kandungnya membencinya, ia tahu ada orang lain yang peduli padanya. Seperti Pak Rudi dan Bu Siti yang selalu memberi dukungan. Itu yang membuatnya bisa bertahan.

Setelah sekolah berakhir, Aris pergi menuju rumah Bu Siti. Di sana, ia merasa lebih tenang, lebih diterima. Bu Siti dan Pak Rudi menyambutnya dengan hangat.

"Aris, sudah siap untuk lomba menulis?" tanya Bu Siti dengan senyum penuh semangat.

Aris tersenyum tipis. "Iya, Bu. Aku akan mencoba yang terbaik."

Pak Rudi menepuk bahunya dengan lembut. "Kami percaya kamu bisa, Aris. Jangan biarkan masalah rumah menghalangimu."

Aris merasa semangatnya kembali. Meskipun ia tidak bisa mendapatkan dukungan dari ibu kandungnya, ia tahu ada orang yang percaya padanya. Ia bertekad untuk terus melangkah maju, tidak peduli dengan apa yang orang lain katakan.

---

Aris melanjutkan langkahnya, meninggalkan rumah dengan rasa tidak nyaman yang tak bisa dijelaskan. Ia tahu bahwa hubungan dengan ibunya sudah tidak bisa diperbaiki. Setiap kali berusaha berbicara, selalu saja ada kata-kata tajam yang melukai hatinya. Meskipun begitu, ia tidak bisa terus menerus terjebak dalam rasa sakit itu. Ia harus berusaha lebih keras, bahkan jika itu berarti berjuang sendiri.

Saat Aris sampai di rumah Bu Siti, ia merasa sedikit lega. Pak Rudi yang sudah menunggu di depan pintu rumah segera menyambutnya dengan senyum hangat. “Aris, sudah datang. Bagaimana sekolah tadi?” tanyanya dengan nada ramah.

Aris tersenyum lemah. “Ya, biasa saja, Pak. Sekolah tidak pernah terlalu menyenangkan.” Ia tidak ingin bercerita lebih banyak tentang kejadian di rumah.

“Jangan biarkan masalah di rumah mengganggu fokusmu, Aris. Kamu harus tetap semangat. Di sini, kamu bisa belajar banyak hal,” kata Pak Rudi, yang tahu betul bahwa Aris sedang berjuang dengan situasi yang sulit.

Bu Siti datang dari dalam rumah, membawa secangkir teh hangat. “Ayo, Aris, duduk. Kita mulai belajar menulis. Kamu sudah siap?” tanyanya dengan penuh perhatian.

Aris mengangguk. Meskipun hatinya masih terasa berat, ia tahu ini adalah kesempatan yang tidak bisa disia-siakan. Di rumah Bu Siti, dia merasa dihargai dan diterima, jauh berbeda dengan di rumahnya sendiri.

Setelah berbincang-bincang sejenak, Bu Siti mengajak Aris duduk bersama di ruang kerja. “Kamu sudah tahu apa yang ingin kamu tulis untuk lomba nanti, kan?” Bu Siti bertanya, sambil membuka beberapa buku panduan menulis.

“Ya, Bu. Aku sudah memikirkan beberapa ide. Tapi, aku merasa masih kurang percaya diri,” jawab Aris dengan suara yang sedikit ragu.

Pak Rudi duduk di sampingnya, memberikan dukungan. “Jangan khawatir, Aris. Menulis itu tentang proses. Semakin sering kamu mencoba, semakin baik tulisanmu. Kami akan membantu.”

Aris menghela napas dan mulai menulis. Kata demi kata mulai muncul, meskipun kadang ia harus berhenti sejenak untuk memikirkan kalimat yang tepat. Setiap kali ia merasa kesulitan, Bu Siti atau Pak Rudi selalu memberikan masukan yang membuatnya semakin semangat.

Beberapa jam berlalu, dan Aris merasa mulai lebih nyaman dengan apa yang sedang ditulisnya. Tulisannya masih jauh dari sempurna, tetapi ia merasakan perubahan besar dalam dirinya. Setiap detik yang dihabiskan di sini memberi rasa lega yang sulit dijelaskan.

Saat malam tiba, Aris merasa kelelahan tetapi puas. Ia telah berhasil menulis dua bab pertama dari cerita yang ia rencanakan. Pak Rudi dan Bu Siti memberinya tepukan di bahu, memberi pujian atas kerja kerasnya.

“Luar biasa, Aris. Kamu sudah jauh berkembang. Jangan lupa terus berlatih,” kata Pak Rudi dengan senyum bangga.

Aris merasa senang mendengar pujian itu, meskipun hatinya tetap terasa hampa setiap kali ia mengingat ibunya. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang kebencian itu. Ia harus melanjutkan hidupnya dan mengejar mimpinya, apapun yang terjadi.

Di perjalanan pulang, Aris memikirkan kembali obrolan dengan Bu Siti dan Pak Rudi. Mereka memberinya rasa percaya diri yang selama ini tidak ia dapatkan di rumahnya. Mereka memberi tahu Aris bahwa ia memiliki potensi yang besar, dan itu membuat Aris merasa lebih bersemangat untuk menghadapi tantangan yang ada.

Sesampainya di rumah, ia langsung menuju kamarnya, namun ia tahu bahwa malam ini juga akan penuh dengan kecaman dari ibunya. Seperti biasa, ibunya sudah duduk di ruang tamu dengan wajah dingin.

“Kenapa lama sekali? Apa yang kamu lakukan di luar? Kamu pikir kamu bisa jadi penulis? Itu hanya akan membuatmu lebih jauh dari kenyataan!” suara ibu Aris sudah terdengar sebelum Aris sempat membuka mulut.

Aris menahan diri untuk tidak membalas, meskipun kata-kata itu menghantam perasaannya. Ia sudah terbiasa mendengar sindiran dan kata-kata tajam dari ibunya. Namun, kali ini ia merasa sedikit lebih kuat. Ia tidak akan membiarkan perkataan ibunya menghancurkan semangatnya.

“Ibu, aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk diriku. Aku ingin belajar,” jawab Aris dengan tegas, meskipun di dalam hatinya terasa sangat berat.

Ibu Aris hanya mendengus, “Belajarlah, tapi jangan harap ada orang yang peduli. Kamu hanya buang waktu.”

Aris menahan air mata yang hampir jatuh, berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahannya. Ia tahu ibunya tidak akan pernah mendukungnya. Tetapi, untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lega. Ia tahu ada orang-orang yang peduli padanya, seperti Pak Rudi dan Bu Siti. Mereka memberinya harapan dan tujuan dalam hidup.

Setelah berbicara dengan ibunya, Aris menuju kamarnya dan membuka laptopnya. Ia mulai menulis lagi, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan banyak pertanyaan dan keraguan. Tapi ia tahu satu hal: ia tidak akan menyerah. Ia harus melanjutkan perjalanan ini, meskipun ibunya terus menghina dan menganggapnya tak berguna.

Malam itu, Aris memutuskan pergi dan menginap di rumah bu siti .

Bab terkait

  • Luka Tak Terlihat   BAB 14

    Malam itu, Aris masih duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang kosong. Sudah lebih dari setengah jam, jari-jarinya tidak bergerak di atas keyboard. Pikiran Aris begitu kacau. Di luar jendela, suara hujan yang rintik semakin deras, menciptakan suasana yang semakin menambah kegelisahannya. Sejenak, ia menutup mata dan berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan ibunya yang memarahinya dan wajah Alena yang sinis terus mengganggu pikirannya."Kenapa aku merasa seperti ini?" pikirnya dalam hati. "Ini kesempatan besar. Aku harus menyelesaikan naskah ini, tapi kenapa rasanya begitu berat?"Meskipun hatinya ragu, Aris tahu ia tak punya pilihan lain. Waktu perlombaan sudah semakin dekat. Meskipun ia masih merasa tertekan, ia harus berusaha mengumpulkan semangat. Ia menghela napas panjang dan mulai mengetik beberapa kalimat, mencoba mencari alur yang tepat untuk ceritanya. Tapi tetap saja, pikirannya terus teralihkan.Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan. Bu Siti masuk dengan secangkir

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 15

    Keesokan harinya, Aris datang ke sekolah dengan semangat baru. Naskah yang ia tulis semalaman rapi dalam map berwarna biru, siap untuk diserahkan kepada Bu Fitri, guru pembimbing lomba menulis. Ia merasa lega karena berhasil menyelesaikan langkah pertama dalam perjalanan mimpinya.Namun, begitu ia melangkah ke koridor sekolah, beberapa siswa terlihat menatapnya dengan aneh. Bisik-bisik terdengar, membuat Aris merasa tidak nyaman.“Kamu dengar? Katanya, naskah Aris itu bukan dia yang tulis,” bisik salah seorang siswi kepada temannya.“Aku dengar juga. Ada yang bilang dia pakai bantuan guru supaya menang,” sahut temannya dengan suara pelan tapi tetap terdengar oleh Aris.Aris menghentikan langkahnya. Dadanya terasa sesak mendengar tuduhan tersebut. Tapi ia memutuskan untuk tetap berjalan menuju ruang guru. Ia tidak ingin rumor itu menghentikannya.Konspirasi DimulaiSementara itu, di taman belakang sekolah, Alena duduk bersama dua sahabatnya, Vivi dan Maya. Mereka tertawa kecil sambil m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 16

    Pagi itu, setelah menyerahkan naskahnya kepada Bu Fitri, Aris kembali ke kelas. Suasana di kelas terasa berbeda. Beberapa teman sekelasnya menatapnya dengan tatapan aneh, sementara yang lain berbisik-bisik. Aris berjalan menuju bangkunya dengan perasaan gelisah. Ketika duduk di samping Sasa, teman sebangkunya, Sasa tampak ragu untuk memulai percakapan. "Ada apa, Sasa?" Aris bertanya, mencoba mengatur napasnya. "Um... aku dengar gosip tentang kamu," Sasa mulai dengan hati-hati. Aris mengerutkan kening. "Gosip? Apa itu?" "Katanya kamu nggak nulis naskah itu sendiri," jawab Sasa pelan. Aris terkejut dan merasa darahnya mendidih. "Siapa yang bilang begitu?" tanyanya, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya. "Sebenarnya... aku nggak tahu pasti. Tapi banyak yang bilang itu dari Alena," jawab Sasa, wajahnya penuh kekhawatiran. Aris menundukkan kepala, berusaha menahan amarah yang mulai menggerogoti hatinya. "Kenapa dia selalu menganggap aku seperti itu? Apa salahku?" Sasa meraih t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 17

    Keesokan harinya, saat Aris tiba di sekolah, ia langsung merasakan ketegangan di udara. Teman-temannya tampak terdiam saat ia masuk ke kelas. Ada yang berbisik, dan beberapa dari mereka menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Beberapa bahkan tampak canggung ketika Aris melewati mereka.Aris berusaha untuk tidak peduli. Namun, perasaan cemas mulai menggerogoti hatinya. Ia tahu pasti, ini pasti ada hubungannya dengan gosip yang tersebar tentangnya. Ia tidak mengerti kenapa Alena selalu berusaha merusaknya. Kenapa setiap kali ia merasa sedikit berhasil, Alena selalu berusaha menghancurkan semuanya?Saat jam istirahat, Sasa menghampirinya dengan wajah serius. "Aris, aku dengar Alena semakin gencar nyebarin gosip tentang kamu," ujar Sasa dengan suara rendah. "Ada yang bilang kamu cuma bisa nulis karena orang tua kamu punya uang."Aris menatap Sasa dengan ekspresi datar. “Gosip lagi?” Ia menarik napas dalam-dalam. "Kenapa dia nggak bisa berhenti?"Sasa menggelengkan kepala. "Aku n

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 18

    Minggu pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah jendela kamar membangunkannya. Namun bukan semangat yang ia rasakan, melainkan rasa berat. Hari libur yang seharusnya menjadi waktu untuk bersantai bagi anak seusianya, bagi Aris hanyalah hari lain yang dipenuhi tugas rumah tangga.Ia merapikan tempat tidur dengan cepat sebelum menuju dapur. Pemandangan biasa menyambutnya—tumpukan piring kotor di wastafel dan lantai yang penuh dengan remah-remah makanan. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan tenaga untuk memulai rutinitasnya.Di luar rumah, Sasa dan Raka sudah menunggu. Mereka berdiri di depan pagar kecil yang sudah berkarat, dengan ekspresi tak sabar."Kok lama banget, ya, Sa? Jangan-jangan Aris nggak diizinin lagi," Raka berkata sambil melirik jam tangannya.Sasa mendesah panjang. "Entahlah, tapi aku punya firasat buruk. Tante itu nggak pernah kasih Aris kebebasan. Aku nggak ngerti, kenapa dia diperlakukan begitu."Raka mengangguk se

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 19

    Hari itu, seperti biasa, Aris merasa dunia seakan menekan bahunya. Dia melangkah memasuki ruang tamu rumahnya, matanya memandangi tumpukan buku yang harus diselesaikan untuk sekolah dan naskah yang belum selesai untuk lomba menulis. Pekerjaan rumah semakin menumpuk, tapi di balik itu, ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan: program beasiswa yang telah ia daftarkan. Itu adalah harapan satu-satunya untuk membuktikan bahwa ia mampu berbuat lebih, keluar dari bayang-bayang keluarganya yang selalu mengabaikannya.Di meja belajarnya, sebuah formulir beasiswa yang sudah setengah terisi tampak tergeletak. Aris duduk, menarik napas panjang, dan mulai menulis lagi."Jangan sampai gagal," gumamnya pada diri sendiri.Namun, di sisi lain, Alena tidak pernah memberikan ruang untuknya merasa tenang. Alena tahu persis betapa pentingnya beasiswa itu bagi Aris, dan di setiap kesempatan, ia selalu membuatnya merasa seolah-olah tidak layak untuk mencapai impian tersebut."Aris, lagi-lag

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 20

    Aris memanfaatkan akhir pekannya untuk mempersiapkan dokumen beasiswa yang ia incar. Di sudut kamar kecilnya, ia menyalakan laptop tua yang sering macet, berusaha mengetik esai dengan teliti. Setiap kata yang ia tuliskan adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa ia juga layak dihargai. Namun, suara gaduh di luar kamar membuat fokusnya terusik. "Aris! Kamu enggak dengar ibu manggil? Cepat bantu adikmu!" teriak ibunya dari ruang tengah. Aris memejamkan mata sesaat, mencoba mengendalikan diri. "Ya, Bu, sebentar lagi," jawabnya pelan. "Lama banget jawabnya! Dasar anak enggak tahu diri!" Aris menelan ludah, tangan besarnya mengepal erat di atas meja. Ia ingin membalas, tapi suaranya tercekat. Dengan tubuh berat, ia meninggalkan laptopnya dan melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, ibunya berdiri dengan wajah kesal, sementara Alena, adik perempuannya, duduk santai di sofa dengan senyum sinis. "Makanya, Kak," sindir Alena sambil melirik Aris. "Jangan sok sibuk sama hal-hal enggak penti

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 21

    Hari itu suasana kelas sedikit berbeda. Semua siswa tampak antusias menanti kedatangan siswa baru yang akan bergabung. Bu Farida, wali kelas Aris, masuk bersama seorang anak laki-laki dengan rambut hitam pendek dan raut wajah percaya diri. Anak itu menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, sesekali tersenyum tipis.“Anak-anak, kenalkan, ini tomi, teman baru kalian. tomi pindah ke sini karena mengikuti keluarganya. Ibu harap kalian bisa menerima dan membantunya menyesuaikan diri,” ucap Bu Farida dengan nada ramah.Sontak, kelas riuh dengan tepuk tangan. Aris ikut bertepuk tangan pelan dari bangkunya di sudut kelas. Sementara itu, Alena, yang duduk tidak jauh darinya, tampak memutar mata, tampak tidak terlalu tertarik.Andre melangkah mantap ke salah satu bangku kosong. Saat melewati Aris, ia berhenti sejenak, menatapnya.“Aris?” tanya tomi dengan nada terkejut.Aris mengangkat alis. “tomi?”Keduanya sempat terdiam sebelum tomi tersenyum lebar dan menjabat tangan Aris dengan semangat.“A

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29

Bab terbaru

  • Luka Tak Terlihat   BAB 26

    Malam itu, Aris, Raka, dan Sasa kembali dari gudang dengan rasa kecewa. Meski telah menemukan keberadaan Andre dan Edo, mereka belum memiliki bukti kuat untuk melaporkan tindakan mereka. Namun, tekad Aris semakin membara. Ia tahu, perang ini belum selesai. Di rumah, Aris berusaha menyusun rencana. Pikirannya berkecamuk, mencoba menyatukan setiap petunjuk yang ia miliki. Gudang kosong, dokumen-dokumen yang sudah diambil, dan kehadiran Edo—semua ini seperti potongan puzzle yang belum sempurna. “Aku harus menemukan cara untuk menjebak mereka,” pikir Aris sambil menatap papan tulis kecil di kamarnya, tempat ia mencatat semua detail yang ia ketahui. Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari Raka: Raka: “Aku dengar dari salah satu anak OSIS, Andre sedang mengumpulkan uang untuk sesuatu. Kita harus cari tahu apa itu.” Aris membalas cepat: Aris: “Besok kita selidiki. Jangan sampai mereka tahu kita mengawasi.” --- Pagi di Sekolah Di kantin, Aris, Raka, dan Sasa duduk di mej

  • Luka Tak Terlihat   BAB 25

    Malam itu, setelah insiden di gudang, Aris duduk termenung di kamarnya. Ia memandangi dokumen-dokumen yang baru saja berhasil ia rebut kembali. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Alena terus terngiang di kepalanya: “Kamu itu anak hasil kecelakaan... pembawa sial...”Aris menghela napas panjang. Ia tahu, tidak ada gunanya melarutkan diri dalam kebencian Alena. Tapi, pertanyaan besar yang selama ini ia coba hindari kembali menyeruak: apa benar ia tidak diinginkan dalam keluarga ini?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sasa.Sasa: “Aris, aku tahu kamu mungkin nggak ingin bicara sekarang. Tapi kalau butuh teman, aku selalu ada.”Aris tersenyum tipis membaca pesan itu. Sasa selalu tahu bagaimana menghiburnya, bahkan tanpa banyak kata. Namun, sebelum ia sempat membalas, pesan lain masuk, kali ini dari nomor tak dikenal.Pesan anonim: “Kalau kamu ingin tahu kebenaran tentang keluargamu, temui aku di taman belakang sekolah besok malam. Jangan bilang siapa-siapa.”Jantung A

  • Luka Tak Terlihat   BAB 24

    Malam itu, Aris duduk gelisah di kamarnya. Pesan dari Raka tentang dugaan Alena dan Andre yang mencuri dokumen-dokumen pentingnya terus mengganggu pikirannya. Ia tidak pernah menyangka bahwa adiknya sendiri mampu melakukan hal sekejam itu. “Aris, kamu nggak bisa diam aja. Kalau benar mereka pelakunya, kamu harus bertindak,” suara Raka menggema di pikirannya. Keesokan harinya, di sekolah, Raka dan Sasa menunggu Aris di tempat biasa. Wajah mereka menunjukkan tekad kuat untuk memulai rencana. “Aris, kita nggak bisa nunggu lama-lama. Aku dengar Andre dan Alena ada di ruang OSIS tadi malam,” ujar Raka sambil menyodorkan foto bukti keberadaan mereka. Sasa mengangguk. “Kita harus cek ke sana. Siapa tahu ada jejak yang mereka tinggalkan.” Aris menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai dari ruang OSIS.” Di ruang OSIS, mereka menemukan sebuah laci yang tidak terkunci. Di dalamnya, ada sebuah kertas yang berisi catatan tulisan tangan Andre, menyebutkan sebuah lokasi: Gudang

  • Luka Tak Terlihat   BAB 23

    Kegiatan di perpustakaan sore itu tampak seperti biasa. Beberapa siswa sibuk mengerjakan tugas, sementara yang lainnya berbincang pelan. Di sudut ruangan, Raka menatap Sasa dengan serius. Mereka duduk di meja pojok, menjauh dari keramaian. “Aku yakin dokumen Aris dicuri sama Alena dan Andre,” Raka memulai pembicaraan. Matanya menatap tajam ke arah Sasa, seolah memastikan dia mendengarkan dengan serius. Sasa mengangkat alisnya, setengah tidak percaya. “Kamu serius, Ka? Itu tuduhan yang berat.” Raka mengangguk. “Aku nggak asal bicara, Sa. Aku lihat cara mereka memandang Aris kemarin—ada sesuatu yang nggak beres.” Sasa menggigit bibir bawahnya, mencoba mencerna ucapan Raka. “Tapi, kalau mereka memang pelakunya, kita harus punya bukti. Kalau nggak, Aris tetap akan jadi korban.” “Itu sebabnya aku butuh bantuan kamu. Kita harus cari cara memata-matai mereka tanpa bikin mereka curiga.” Sasa terdiam sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Demi Aris, aku mau bantu. Tapi gimana car

  • Luka Tak Terlihat   BAB 22

    Pagi itu, Aris memulai harinya dengan semangat, meskipun bayangan persaingan beasiswa terus menghantui pikirannya. Ia tahu, langkah menuju beasiswa tidak mudah, terutama dengan kehadiran Andre, yang belakangan ini terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan.Setiba di sekolah, Aris membawa dokumen beasiswa yang hampir selesai diisi. Ia ingin menyerahkannya kepada guru pembimbing untuk mendapat persetujuan. Namun, suasana hatinya berubah ketika ia melihat Andre berdiri di depan pintu kelas bersama Alena.Andre tersenyum dingin, tetapi ada sesuatu dalam caranya menatap yang membuat Aris waspada."Aris," sapa Andre dengan nada santai. "Kamu sibuk banget, ya? Apa nggak capek ngejar sesuatu yang... kayaknya nggak bakal kamu dapatkan?"Aris menatap Andre dengan tenang. "Aku rasa nggak ada salahnya mencoba."Andre tersenyum sinis. "Tapi kadang usaha berlebihan malah bikin kecewa, apalagi kalau tahu hasilnya nggak sesuai."Sasa, yang baru masuk ke kelas, langsung mendekat dengan ekspresi kes

  • Luka Tak Terlihat   BAB 21

    Hari itu suasana kelas sedikit berbeda. Semua siswa tampak antusias menanti kedatangan siswa baru yang akan bergabung. Bu Farida, wali kelas Aris, masuk bersama seorang anak laki-laki dengan rambut hitam pendek dan raut wajah percaya diri. Anak itu menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, sesekali tersenyum tipis.“Anak-anak, kenalkan, ini tomi, teman baru kalian. tomi pindah ke sini karena mengikuti keluarganya. Ibu harap kalian bisa menerima dan membantunya menyesuaikan diri,” ucap Bu Farida dengan nada ramah.Sontak, kelas riuh dengan tepuk tangan. Aris ikut bertepuk tangan pelan dari bangkunya di sudut kelas. Sementara itu, Alena, yang duduk tidak jauh darinya, tampak memutar mata, tampak tidak terlalu tertarik.Andre melangkah mantap ke salah satu bangku kosong. Saat melewati Aris, ia berhenti sejenak, menatapnya.“Aris?” tanya tomi dengan nada terkejut.Aris mengangkat alis. “tomi?”Keduanya sempat terdiam sebelum tomi tersenyum lebar dan menjabat tangan Aris dengan semangat.“A

  • Luka Tak Terlihat   BAB 20

    Aris memanfaatkan akhir pekannya untuk mempersiapkan dokumen beasiswa yang ia incar. Di sudut kamar kecilnya, ia menyalakan laptop tua yang sering macet, berusaha mengetik esai dengan teliti. Setiap kata yang ia tuliskan adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa ia juga layak dihargai. Namun, suara gaduh di luar kamar membuat fokusnya terusik. "Aris! Kamu enggak dengar ibu manggil? Cepat bantu adikmu!" teriak ibunya dari ruang tengah. Aris memejamkan mata sesaat, mencoba mengendalikan diri. "Ya, Bu, sebentar lagi," jawabnya pelan. "Lama banget jawabnya! Dasar anak enggak tahu diri!" Aris menelan ludah, tangan besarnya mengepal erat di atas meja. Ia ingin membalas, tapi suaranya tercekat. Dengan tubuh berat, ia meninggalkan laptopnya dan melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, ibunya berdiri dengan wajah kesal, sementara Alena, adik perempuannya, duduk santai di sofa dengan senyum sinis. "Makanya, Kak," sindir Alena sambil melirik Aris. "Jangan sok sibuk sama hal-hal enggak penti

  • Luka Tak Terlihat   BAB 19

    Hari itu, seperti biasa, Aris merasa dunia seakan menekan bahunya. Dia melangkah memasuki ruang tamu rumahnya, matanya memandangi tumpukan buku yang harus diselesaikan untuk sekolah dan naskah yang belum selesai untuk lomba menulis. Pekerjaan rumah semakin menumpuk, tapi di balik itu, ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan: program beasiswa yang telah ia daftarkan. Itu adalah harapan satu-satunya untuk membuktikan bahwa ia mampu berbuat lebih, keluar dari bayang-bayang keluarganya yang selalu mengabaikannya.Di meja belajarnya, sebuah formulir beasiswa yang sudah setengah terisi tampak tergeletak. Aris duduk, menarik napas panjang, dan mulai menulis lagi."Jangan sampai gagal," gumamnya pada diri sendiri.Namun, di sisi lain, Alena tidak pernah memberikan ruang untuknya merasa tenang. Alena tahu persis betapa pentingnya beasiswa itu bagi Aris, dan di setiap kesempatan, ia selalu membuatnya merasa seolah-olah tidak layak untuk mencapai impian tersebut."Aris, lagi-lag

  • Luka Tak Terlihat   BAB 18

    Minggu pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah jendela kamar membangunkannya. Namun bukan semangat yang ia rasakan, melainkan rasa berat. Hari libur yang seharusnya menjadi waktu untuk bersantai bagi anak seusianya, bagi Aris hanyalah hari lain yang dipenuhi tugas rumah tangga.Ia merapikan tempat tidur dengan cepat sebelum menuju dapur. Pemandangan biasa menyambutnya—tumpukan piring kotor di wastafel dan lantai yang penuh dengan remah-remah makanan. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan tenaga untuk memulai rutinitasnya.Di luar rumah, Sasa dan Raka sudah menunggu. Mereka berdiri di depan pagar kecil yang sudah berkarat, dengan ekspresi tak sabar."Kok lama banget, ya, Sa? Jangan-jangan Aris nggak diizinin lagi," Raka berkata sambil melirik jam tangannya.Sasa mendesah panjang. "Entahlah, tapi aku punya firasat buruk. Tante itu nggak pernah kasih Aris kebebasan. Aku nggak ngerti, kenapa dia diperlakukan begitu."Raka mengangguk se

DMCA.com Protection Status