BAB 14

Malam itu, Aris masih duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang kosong. Sudah lebih dari setengah jam, jari-jarinya tidak bergerak di atas keyboard. Pikiran Aris begitu kacau. Di luar jendela, suara hujan yang rintik semakin deras, menciptakan suasana yang semakin menambah kegelisahannya. Sejenak, ia menutup mata dan berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan ibunya yang memarahinya dan wajah Alena yang sinis terus mengganggu pikirannya.

"Kenapa aku merasa seperti ini?" pikirnya dalam hati. "Ini kesempatan besar. Aku harus menyelesaikan naskah ini, tapi kenapa rasanya begitu berat?"

Meskipun hatinya ragu, Aris tahu ia tak punya pilihan lain. Waktu perlombaan sudah semakin dekat. Meskipun ia masih merasa tertekan, ia harus berusaha mengumpulkan semangat. Ia menghela napas panjang dan mulai mengetik beberapa kalimat, mencoba mencari alur yang tepat untuk ceritanya. Tapi tetap saja, pikirannya terus teralihkan.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan. Bu Siti masuk dengan secangkir susu hangat di tangannya. “Aris, masih begadang?” tanya Bu Siti dengan senyum lembut.

Aris terkejut, lalu cepat-cepat menoleh ke arah ibunya. “Iya, Bu. Naskah ini harus segera selesai. Deadline-nya semakin dekat.”

Bu Siti mengamati wajah Aris yang terlihat lelah. “Nggak masalah kalau kamu butuh waktu lebih. Jangan sampai kesehatanmu terganggu, ya. Istirahatlah dulu kalau kamu merasa capek.”

Aris menunduk, mencoba menyembunyikan perasaan cemas di balik senyum tipis. “Tapi, Bu... ini peluang besar. Aku nggak bisa gagal.”

Bu Siti duduk di sampingnya dan meletakkan susu di atas meja. Ia menyentuh tangan Aris dengan lembut. “Kami semua mendukungmu, Aris. Jangan biarkan ketakutan dan keraguan menghalangimu. Kamu bisa melakukannya, kami percaya padamu.”

Aris menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. “Terima kasih, Bu. Tapi kadang saya merasa seperti... tidak mampu. Semua terasa begitu berat.”

Bu Siti tersenyum dengan penuh kasih sayang, matanya berbinar. “Tidak ada yang mudah di dunia ini, Aris. Tapi aku tahu, kamu bisa. Kamu sudah melewati banyak hal yang jauh lebih sulit. Kamu hanya perlu percaya pada dirimu sendiri.”

Aris mengangguk pelan, merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar kata-kata ibunya. Meskipun ragu, ia merasa semangat baru mengalir dalam dirinya. “Terima kasih, Bu. Aku akan coba lagi.”

Setelah Bu Siti meninggalkan kamarnya, Aris kembali menatap laptopnya. Kali ini, ia mulai menulis dengan lebih fokus. Namun, meskipun ia terus mengetik, bayangan Alena yang mencuri perhatian Raka tetap menghantui pikirannya. “Kenapa dia harus begitu?” pikirnya. “Kenapa aku merasa dia selalu menghalangi jalan saya?”

Sementara itu, di kamar Alena, suasana yang sangat berbeda terjadi. Alena duduk di depan laptopnya dengan raut wajah yang penuh percaya diri. Tangannya terampil mengetik di atas keyboard, menambahkan kalimat-kalimat baru ke dalam naskah yang baru saja ia salin dari tulisan Aris. Wajahnya menunjukkan kepuasan yang jelas, dan senyum licik terlihat di bibirnya.

“Dengan ini, aku pasti menang,” gumamnya pelan, membayangkan dirinya berdiri di depan para juri lomba menulis dengan bangga. Ia membayangkan bagaimana Raka akan terkesan dengan kemenangannya nanti. Tentu saja, dia akan mendapatkan perhatian penuh dari Raka jika ia memenangkan lomba ini. Semua orang akan terkesima dengan bakat menulisnya, dan Aris tidak akan pernah tahu kalau naskahnya telah dicuri.

Alena menghela napas puas setelah selesai menambahkan beberapa paragraf. Ia menyandarkan punggungnya di kursi dan membayangkan betapa indahnya kemenangan itu. Di luar, hujan semakin deras, namun Alena tidak peduli. Dalam pikirannya, hanya ada kemenangan yang semakin nyata.

Di sekolah, Sasa mulai merasa ada yang aneh dengan sikap Alena. Ia melihat Alena keluar dari ruang komputer dengan map besar yang tampak mencurigakan. Ada sesuatu yang tidak beres. Sasa merasa jantungnya berdebar, curiga terhadap tingkah laku Alena yang terlalu terburu-buru. Tanpa banyak berpikir, Sasa memutuskan untuk mengikuti Alena dari kejauhan.

“Alena, kamu bawa apa itu?” tanya Sasa dengan suara hati-hati ketika Alena sudah cukup jauh dari ruang komputer.

Alena menoleh dengan cepat dan tampak terkejut. “Oh, hanya tugas sekolah,” jawabnya singkat, namun Sasa melihat ada ekspresi gugup di wajah Alena. Sepertinya ia sedang mencoba menutupi sesuatu.

Sasa mendengus pelan, merasa curiga. Tapi ia tidak ingin langsung menuduh tanpa bukti. Ia memutuskan untuk tidak mengungkitnya lebih jauh. Namun, hatinya merasa tidak tenang. Sesuatu tentang sikap Alena terasa salah.

Pulang sekolah, Raka datang berkunjung ke rumah Bu Siti untuk menjenguk Aris. Ia membawa sekotak makanan ringan dan beberapa buku motivasi untuk memberi semangat.

“Aris, kamu nggak sendirian. Kami semua mendukungmu,” kata Raka dengan senyum penuh pengertian.

Aris menatapnya dengan tatapan lelah. “Terima kasih, Raka. Tapi kadang saya merasa seperti saya nggak akan bisa menyelesaikannya. Semua tekanan ini... saya takut gagal.”

Raka duduk lebih dekat dan menatapnya dengan perhatian penuh. “Kamu lebih kuat dari yang kamu kira, Aris. Semua orang di sini percaya padamu. Jangan biarkan ketakutan itu menghentikanmu.”

Aris merasa sedikit lebih baik setelah mendengar kata-kata Raka. Semangatnya yang sempat pudar kembali menyala. “Terima kasih, Raka. Kamu benar. Saya harus tetap melawan ketakutan ini.”

Di sekolah, Sasa semakin khawatir dengan tingkah laku Alena yang semakin mencurigakan. Hari itu, Sasa mendengar dari beberapa teman bahwa Alena telah menyerahkan naskahnya ke panitia lomba menulis. Naskah itu... sangat mirip dengan naskah Aris yang sempat dibaca Sasa. Hatinya semakin terasa berat.

“Aris tidak pantas diperlakukan seperti ini,” gumam Sasa dengan emosi yang mulai memuncak. “Dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Sasa pun memutuskan untuk menemui Raka. Mereka berbicara di taman sekolah, jauh dari kerumunan.

“Ada yang aneh dengan Alena,” kata Sasa dengan suara serius. “Aku melihat dia membawa naskah ke panitia. Naskah itu... hampir mirip sekali dengan yang Aris tulis. Aku takut dia mencurinya.”

Raka terlihat terkejut. “Apa? Jadi... dia memang sengaja merusak kesempatan Aris?”

Sasa mengangguk dengan penuh rasa curiga. “Aku tahu Aris nggak pantas diperlakukan seperti ini. Dia sudah cukup menderita. Kita harus cari cara untuk memberitahu dia.”

Raka menghela napas. “Kami harus melindungi Aris, Sasa. Ini bukan hanya soal lomba menulis, ini tentang keadilan. Aris tidak bisa begitu saja diperlakukan seperti itu.”

Sasa mengangguk setuju. Mereka berdua menyusun rencana untuk memberitahu Bu Siti dan Pak Rudi tentang apa yang telah terjadi. “Kita harus memastikan mereka tahu. Aris nggak boleh merasa sendiri dalam hal ini.”

Sementara itu, di rumah Bu Siti, Pak Rudi dan Bu Siti sedang berbicara serius di ruang tamu. Bu Siti terlihat sangat khawatir. “Pak, saya khawatir kalau Aris tahu tentang apa yang Alena lakukan. Dia pasti akan merasa lebih tertekan.”

Pak Rudi menatap istrinya dengan serius. “Kami harus melindunginya, Bu. Aris adalah bagian dari keluarga ini. Kalau ada yang mencoba menjatuhkannya, kita harus bertindak.”

Bu Siti mengangguk. “Benar, kita harus hati-hati. Alena bukan orang yang mudah untuk dilawan.”

Pak Rudi menatap pintu kamar Aris dengan penuh perhatian. “Kita akan lakukan apa yang perlu dilakukan. Aris tidak sendirian.”