Keesokan harinya, tepat di hari Minggu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Ia memulai rutinitas paginya seperti biasa: membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya dan Alena, adik perempuannya. Sebagai kakak, Aris selalu berusaha menjaga dan memenuhi kebutuhan adiknya, meski hubungan mereka sering diwarnai konflik kecil.
Aris sudah selesai menyiapkan nasi goreng dan teh manis di meja makan ketika ia kembali ke kamarnya. Ia melanjutkan mengetik cerita untuk lomba menulis. Baginya, ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa ia mampu melampaui batas dirinya. Namun, Alena yang merasa kesal karena merasa Aris selalu mendapat perhatian lebih di sekolah, mulai merencanakan sesuatu. “Aris nggak boleh terlalu santai. Aku mau lihat apa dia masih bisa fokus kalau semua rencananya gagal,” gumam Alena dengan tatapan licik. Diam-diam, Alena membuang nasi goreng yang sudah disiapkan kakaknya ke tempat sampah. Ia membersihkan meja makan agar tampak seperti tidak ada apa pun di Keesokan harinya, tepat di hari Minggu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Ia memulai rutinitas paginya dengan membersihkan rumah, mencuci pakaian, mencuci piring, dan menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Tugas-tugas ini, yang seharusnya dilakukan ibunya, kini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Aris. Meski perlakuan keluarganya sering menyakitkan, Aris tetap menyayangi dan menghormati kedua orang tuanya. Setelah selesai dengan pekerjaan rumah, Aris segera masuk ke kamar untuk melanjutkan persiapan karya tulisnya. Namun, Alena yang telah mengintip sejak pagi, menyusun rencana licik untuk menghambat Aris. Dengan sengaja, Alena membuang makanan yang sudah Aris siapkan dan merapikan ruang makan agar terlihat seolah-olah tidak ada sarapan yang dibuat. "Akhirnya selesai juga. Tangan kasar sedikit nggak apa-apa, yang penting Aris nggak bisa nulis!" gumam Alena sambil tersenyum puas. Setelah itu, Alena mengetuk pintu kamar orang tuanya dan mengajak mereka sarapan. Sesuai rencananya, saat ayah dan ibu membuka tutup saji, meja makan kosong tanpa makanan. “Aris! Ke sini sekarang juga!” suara ibunya menggema di seluruh rumah. Aris yang sedang asyik menulis langsung bergegas membuka pintu dengan tangan gemetar. "Iya, Bu. Ada apa?" tanyanya, takut. Ibunya langsung meluapkan amarah. "Kamu itu nggak bisa diandalkan! Masa nggak ada sarapan sama sekali? Apa maumu, hah?" Aris kaget. "Tapi, Bu, aku sudah masak nasi goreng tadi pagi." “Jangan cari alasan, Aris! Mau bilang makanan itu kabur sendiri?” bentak ibunya. Ayah Aris ikut memarahi, bahkan menyebut Aris sebagai anak pembawa sial yang tidak pernah berguna. Hati Aris hancur. Ia menangis sambil meminta maaf meski tidak tahu kesalahannya. Dengan air mata yang masih mengalir, ia kembali ke dapur dan memasak ulang sarapan untuk keluarganya. Setelah semua selesai, Aris memberanikan diri untuk meminta izin keluar rumah sebentar. Sang ibu hanya menanggapi dengan dingin, "Terserah kamu!" Aris membawa laptopnya dan pergi ke taman dekat rumah. Di sana, ia duduk termenung, memikirkan cacian dan makian dari keluarganya. Rasa putus asa mulai menguasai hatinya. Namun, tiba-tiba suara hangat menyapanya. “Hai, Aris. Kamu kenapa? Wajahmu kelihatan habis nangis,” tanya sasa yang datang mendekat. “Hah? Eh, nggak kok, tadi cuma kelilipan,” jawab Aris buru-buru. sasa duduk di sampingnya. “Kamu lagi mikirin lomba menulis, ya?” Aris mengangguk. Ia tidak ingin sasa tahu konflik di rumahnya. sasa tersenyum lembut. “Kamu hebat, Aris. Aku yakin kamu bisa. Jangan pernah menyerah, ya. Kalau butuh apa-apa, aku selalu ada buat kamu.” Kata-kata sasa membuat hati Aris terasa lebih ringan. Ia merasa dihargai, meski oleh seseorang yang tidak begitu mengenalnya. Siang menjelang, sasa iku menemani Aris pulanh ke rumah Bu Siti dan Pak Rudi. Sesampainya di sana, Bu Siti langsung menggoda Aris. "Wah, siapa itu? Pacar kamu ya, Aris?” Aris tersipu malu sementara sasa hanya tersenyum hangat. Setelah itu Aris dan makan siang bersama Bu Siti dan Pak Rudi. setelah sasa berpamitan pulang , aris , bu siti dan pak rudi berbincang di ruang keluarga . Dalam suasana nyaman itu, Aris menceritakan kejadian pagi tadi. Pak Rudi dan Bu Siti hanya bisa memberi nasihat agar Aris tetap sabar dan kuat menghadapi ujian hidupnya. Setelah Aris mulai tenang, Pak Rudi memberikan kejutan. "Aris, besok pulang sekolah ikut Bapak, ya. Bapak mau kenalin kamu ke seorang penulis profesional. Dia bisa bantu bimbing kamu buat lomba itu." Mata Aris berbinar. “Benarkah, Pak? Terima kasih banyak! Bapak dan Ibu selalu ada untuk Aris, terima kasih...” Namun, rasa takut mulai menyelimuti Aris saat ia sadar waktu sudah sore. Saat pulang ke rumah, kekhawatirannya menjadi kenyataan. Ibunya langsung menampar Aris begitu ia masuk ke pintu. “Aris! Kamu berani-beraninya pacaran sama wanita tua di depan umum? Apa kamu nggak malu, hah?” bentak ibunya. Aris terkejut. Ia tahu ini ulah Alena. Dengan iri hati membara, Alena memanipulasi ibunya agar semakin membenci Aris. “Aris nggak pacaran, Bu! Dia cuma teman, lagi pula dia masih muda bu , teman sekelas aris ” jawab Aris, menahan air mata. Namun, ibunya tidak mendengarkan. Aris hanya bisa masuk ke kamar dengan pipi yang masih perih. Malam itu, ia menangis hingga tertidur dengan air mata yang mengering di wajahnya. Keesokan harinya, Aris bertemu Sasa saat berjalan ke sekolah. Sasa langsung menyadari ada sesuatu yang tidak beres. “Aris, kenapa wajah kamu kayak ada bekas tamparan? Ada apa?” “Nggak, Sa. Aku nggak apa-apa,” jawab Aris, mencoba menutupi kesedihannya. Sasa tidak memaksa, tetapi ia tetap memberi semangat kepada Aris sepanjang perjalanan. “Kamu itu kuat, Aris. Jangan biarkan siapa pun menghentikan langkahmu. Aku percaya kamu pasti bisa!” Kata-kata Sasa sedikit mengobati luka di hati Aris. Ia tahu, meskipun keluarganya tidak mendukung, masih ada orang-orang yang tulus menyayanginya. Saat Aris dan Sasa sampai di sekolah, suasana sudah ramai oleh siswa-siswi yang sedang berkumpul di lapangan. Pagi itu terasa berbeda. Sebuah pengumuman besar tentang lomba menulis dipajang di papan informasi. Beberapa nama peserta dari sekolah Aris tercantum di sana, termasuk namanya sendiri. Namun, perhatian Aris segera teralihkan ketika seorang siswa perempuan bernama Karina mendekatinya. Karina adalah siswa yang cukup populer di sekolah, dikenal pandai, tetapi juga sering memandang remeh orang lain. “Oh, jadi kamu ya, Aris, yang ikut lomba menulis itu?” ucap Karina dengan nada sinis. Ia melipat tangan di dada, matanya menatap Aris dari atas ke bawah. Aris mengangguk pelan. “Iya, kenapa, Karina?” Karina menyeringai. “Aku cuma heran aja. Kamu nggak pernah kelihatan serius belajar, kok berani-beraninya ikut lomba ini? Apa kamu pikir bisa menang?” Aris terdiam, mencoba menahan perasaan tersinggung. Sasa yang berdiri di sampingnya tidak terima dengan perlakuan Karina. “Karina, lomba ini kan soal karya, bukan soal siapa yang lebih pintar di kelas. Semua peserta punya kesempatan yang sama,” ucap Sasa tegas. Namun, Karina hanya tertawa kecil. “Oh, jadi kamu yang jadi pembelanya, Sa? Aku cuma mau ngasih tahu aja, kalau lomba ini bukan buat orang seperti Aris. Jangan sampai nanti dia malu sendiri saat kalah.” Aris menguatkan diri untuk menjawab. “Kamu nggak perlu khawatir, Karina. Aku ikut lomba ini bukan untuk bersaing denganmu atau siapa pun. Aku ikut karena aku ingin berbagi cerita melalui tulisanku. Kalau kamu merasa lebih baik, buktikan saja dengan hasil karyamu, bukan dengan meremehkan orang lain.” Karina terdiam sesaat, lalu mendengus kesal sebelum pergi meninggalkan Aris dan Sasa. “Aris, kamu hebat! Berani ngomong gitu ke Karina,” ujar Sasa kagum. Aris tersenyum kecil, meski hatinya masih terasa berat. Kata-kata Karina tadi terngiang di kepalanya, membuat rasa percaya dirinya sedikit goyah. Sepanjang hari, pikiran Aris tidak bisa lepas dari omongan Karina. Ia merasa semakin tertekan dengan semua harapan dan tantangan yang ia hadapi. Namun, ia juga tahu bahwa berhenti sekarang bukanlah pilihan. Bagaimanapun, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai.Bel pulang sekolah sudah berbunyi, Aris yang teringat ajakan Pak Rudi bergegas menuju pintu. Namun, hari ini tidak seperti biasanya. Hari ini, Aris merasa begitu semangat dan langsung pulang ke rumah.Sesampainya di rumah, Aris segera menuju kamarnya dan mengganti pakaian. Ia merasa bersemangat, lalu mulai membereskan rumah dan menyiapkan makan siang untuk keluarganya. Setelah semua tugas selesai, Aris berpamitan pada ibunya untuk pergi ke rumah Bu Siti.Awalnya, ibunya mengizinkan karena pekerjaan Aris sudah selesai. Namun, tiba-tiba Alena menghentikan langkah Aris dan mulai mengulur waktu agar ia tidak segera pergi."Tunggu, Aris! Kamu harus bantu aku menyelesaikan tugas sekolah dulu!" ujar Alena dengan sedikit berteriak.Namun, Aris kini sudah lebih tegas dan menolak perintah Alena karena ia merasa ada hal yang lebih penting untuk dikerjakan.Melihat Aris mulai berani membantahnya, Alena langsung mengadu pada ibunya. Ibunya, yang sangat menyayangi Alena, segera memarahi Aris dan me
Pagi ini, Aris terbangun dengan perasaan berat. Sejak kejadian kemarin di kantin, ia tahu bahwa situasinya semakin buruk. Di rumah, ibunya selalu menatapnya dengan mata penuh kebencian, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya untuk mengkritik atau menyalahkan Aris. Pagi ini, Aris tahu ia tidak bisa menghindari pertemuan dengan ibunya yang akan menanyakan tentang kejadian di sekolah. Saat ia memasuki ruang makan, ia melihat ibunya sudah duduk dengan tatapan dingin. Di sampingnya, Alena tampak berpura-pura sibuk dengan ponselnya, namun jelas ia sedang mengawasi Aris dengan tatapan yang penuh kebencian. "Kenapa kamu nggak pernah belajar? Kemarin saja malah bikin keributan di kantin!" bentak ibu Aris tanpa basa-basi. Aris menundukkan kepala, berusaha menahan rasa sakit dalam hatinya. "Aku tidak bikin keributan, Bu. Itu cuma salah paham," jawabnya pelan, mencoba menjelaskan meski tahu ibunya tidak akan pernah percaya. Ibu Aris menatapnya tajam. "Salah paham? Kamu memang sel
Malam itu, Aris masih duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang kosong. Sudah lebih dari setengah jam, jari-jarinya tidak bergerak di atas keyboard. Pikiran Aris begitu kacau. Di luar jendela, suara hujan yang rintik semakin deras, menciptakan suasana yang semakin menambah kegelisahannya. Sejenak, ia menutup mata dan berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan ibunya yang memarahinya dan wajah Alena yang sinis terus mengganggu pikirannya."Kenapa aku merasa seperti ini?" pikirnya dalam hati. "Ini kesempatan besar. Aku harus menyelesaikan naskah ini, tapi kenapa rasanya begitu berat?"Meskipun hatinya ragu, Aris tahu ia tak punya pilihan lain. Waktu perlombaan sudah semakin dekat. Meskipun ia masih merasa tertekan, ia harus berusaha mengumpulkan semangat. Ia menghela napas panjang dan mulai mengetik beberapa kalimat, mencoba mencari alur yang tepat untuk ceritanya. Tapi tetap saja, pikirannya terus teralihkan.Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan. Bu Siti masuk dengan secangkir
Keesokan harinya, Aris datang ke sekolah dengan semangat baru. Naskah yang ia tulis semalaman rapi dalam map berwarna biru, siap untuk diserahkan kepada Bu Fitri, guru pembimbing lomba menulis. Ia merasa lega karena berhasil menyelesaikan langkah pertama dalam perjalanan mimpinya.Namun, begitu ia melangkah ke koridor sekolah, beberapa siswa terlihat menatapnya dengan aneh. Bisik-bisik terdengar, membuat Aris merasa tidak nyaman.“Kamu dengar? Katanya, naskah Aris itu bukan dia yang tulis,” bisik salah seorang siswi kepada temannya.“Aku dengar juga. Ada yang bilang dia pakai bantuan guru supaya menang,” sahut temannya dengan suara pelan tapi tetap terdengar oleh Aris.Aris menghentikan langkahnya. Dadanya terasa sesak mendengar tuduhan tersebut. Tapi ia memutuskan untuk tetap berjalan menuju ruang guru. Ia tidak ingin rumor itu menghentikannya.Konspirasi DimulaiSementara itu, di taman belakang sekolah, Alena duduk bersama dua sahabatnya, Vivi dan Maya. Mereka tertawa kecil sambil m
Pagi itu, setelah menyerahkan naskahnya kepada Bu Fitri, Aris kembali ke kelas. Suasana di kelas terasa berbeda. Beberapa teman sekelasnya menatapnya dengan tatapan aneh, sementara yang lain berbisik-bisik. Aris berjalan menuju bangkunya dengan perasaan gelisah. Ketika duduk di samping Sasa, teman sebangkunya, Sasa tampak ragu untuk memulai percakapan. "Ada apa, Sasa?" Aris bertanya, mencoba mengatur napasnya. "Um... aku dengar gosip tentang kamu," Sasa mulai dengan hati-hati. Aris mengerutkan kening. "Gosip? Apa itu?" "Katanya kamu nggak nulis naskah itu sendiri," jawab Sasa pelan. Aris terkejut dan merasa darahnya mendidih. "Siapa yang bilang begitu?" tanyanya, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya. "Sebenarnya... aku nggak tahu pasti. Tapi banyak yang bilang itu dari Alena," jawab Sasa, wajahnya penuh kekhawatiran. Aris menundukkan kepala, berusaha menahan amarah yang mulai menggerogoti hatinya. "Kenapa dia selalu menganggap aku seperti itu? Apa salahku?" Sasa meraih t
Keesokan harinya, saat Aris tiba di sekolah, ia langsung merasakan ketegangan di udara. Teman-temannya tampak terdiam saat ia masuk ke kelas. Ada yang berbisik, dan beberapa dari mereka menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Beberapa bahkan tampak canggung ketika Aris melewati mereka.Aris berusaha untuk tidak peduli. Namun, perasaan cemas mulai menggerogoti hatinya. Ia tahu pasti, ini pasti ada hubungannya dengan gosip yang tersebar tentangnya. Ia tidak mengerti kenapa Alena selalu berusaha merusaknya. Kenapa setiap kali ia merasa sedikit berhasil, Alena selalu berusaha menghancurkan semuanya?Saat jam istirahat, Sasa menghampirinya dengan wajah serius. "Aris, aku dengar Alena semakin gencar nyebarin gosip tentang kamu," ujar Sasa dengan suara rendah. "Ada yang bilang kamu cuma bisa nulis karena orang tua kamu punya uang."Aris menatap Sasa dengan ekspresi datar. “Gosip lagi?” Ia menarik napas dalam-dalam. "Kenapa dia nggak bisa berhenti?"Sasa menggelengkan kepala. "Aku n
Minggu pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah jendela kamar membangunkannya. Namun bukan semangat yang ia rasakan, melainkan rasa berat. Hari libur yang seharusnya menjadi waktu untuk bersantai bagi anak seusianya, bagi Aris hanyalah hari lain yang dipenuhi tugas rumah tangga.Ia merapikan tempat tidur dengan cepat sebelum menuju dapur. Pemandangan biasa menyambutnya—tumpukan piring kotor di wastafel dan lantai yang penuh dengan remah-remah makanan. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan tenaga untuk memulai rutinitasnya.Di luar rumah, Sasa dan Raka sudah menunggu. Mereka berdiri di depan pagar kecil yang sudah berkarat, dengan ekspresi tak sabar."Kok lama banget, ya, Sa? Jangan-jangan Aris nggak diizinin lagi," Raka berkata sambil melirik jam tangannya.Sasa mendesah panjang. "Entahlah, tapi aku punya firasat buruk. Tante itu nggak pernah kasih Aris kebebasan. Aku nggak ngerti, kenapa dia diperlakukan begitu."Raka mengangguk se
Hari itu, seperti biasa, Aris merasa dunia seakan menekan bahunya. Dia melangkah memasuki ruang tamu rumahnya, matanya memandangi tumpukan buku yang harus diselesaikan untuk sekolah dan naskah yang belum selesai untuk lomba menulis. Pekerjaan rumah semakin menumpuk, tapi di balik itu, ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan: program beasiswa yang telah ia daftarkan. Itu adalah harapan satu-satunya untuk membuktikan bahwa ia mampu berbuat lebih, keluar dari bayang-bayang keluarganya yang selalu mengabaikannya.Di meja belajarnya, sebuah formulir beasiswa yang sudah setengah terisi tampak tergeletak. Aris duduk, menarik napas panjang, dan mulai menulis lagi."Jangan sampai gagal," gumamnya pada diri sendiri.Namun, di sisi lain, Alena tidak pernah memberikan ruang untuknya merasa tenang. Alena tahu persis betapa pentingnya beasiswa itu bagi Aris, dan di setiap kesempatan, ia selalu membuatnya merasa seolah-olah tidak layak untuk mencapai impian tersebut."Aris, lagi-lag
Malam itu, Aris, Raka, dan Sasa kembali dari gudang dengan rasa kecewa. Meski telah menemukan keberadaan Andre dan Edo, mereka belum memiliki bukti kuat untuk melaporkan tindakan mereka. Namun, tekad Aris semakin membara. Ia tahu, perang ini belum selesai. Di rumah, Aris berusaha menyusun rencana. Pikirannya berkecamuk, mencoba menyatukan setiap petunjuk yang ia miliki. Gudang kosong, dokumen-dokumen yang sudah diambil, dan kehadiran Edo—semua ini seperti potongan puzzle yang belum sempurna. “Aku harus menemukan cara untuk menjebak mereka,” pikir Aris sambil menatap papan tulis kecil di kamarnya, tempat ia mencatat semua detail yang ia ketahui. Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari Raka: Raka: “Aku dengar dari salah satu anak OSIS, Andre sedang mengumpulkan uang untuk sesuatu. Kita harus cari tahu apa itu.” Aris membalas cepat: Aris: “Besok kita selidiki. Jangan sampai mereka tahu kita mengawasi.” --- Pagi di Sekolah Di kantin, Aris, Raka, dan Sasa duduk di mej
Malam itu, setelah insiden di gudang, Aris duduk termenung di kamarnya. Ia memandangi dokumen-dokumen yang baru saja berhasil ia rebut kembali. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Alena terus terngiang di kepalanya: “Kamu itu anak hasil kecelakaan... pembawa sial...”Aris menghela napas panjang. Ia tahu, tidak ada gunanya melarutkan diri dalam kebencian Alena. Tapi, pertanyaan besar yang selama ini ia coba hindari kembali menyeruak: apa benar ia tidak diinginkan dalam keluarga ini?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sasa.Sasa: “Aris, aku tahu kamu mungkin nggak ingin bicara sekarang. Tapi kalau butuh teman, aku selalu ada.”Aris tersenyum tipis membaca pesan itu. Sasa selalu tahu bagaimana menghiburnya, bahkan tanpa banyak kata. Namun, sebelum ia sempat membalas, pesan lain masuk, kali ini dari nomor tak dikenal.Pesan anonim: “Kalau kamu ingin tahu kebenaran tentang keluargamu, temui aku di taman belakang sekolah besok malam. Jangan bilang siapa-siapa.”Jantung A
Malam itu, Aris duduk gelisah di kamarnya. Pesan dari Raka tentang dugaan Alena dan Andre yang mencuri dokumen-dokumen pentingnya terus mengganggu pikirannya. Ia tidak pernah menyangka bahwa adiknya sendiri mampu melakukan hal sekejam itu. “Aris, kamu nggak bisa diam aja. Kalau benar mereka pelakunya, kamu harus bertindak,” suara Raka menggema di pikirannya. Keesokan harinya, di sekolah, Raka dan Sasa menunggu Aris di tempat biasa. Wajah mereka menunjukkan tekad kuat untuk memulai rencana. “Aris, kita nggak bisa nunggu lama-lama. Aku dengar Andre dan Alena ada di ruang OSIS tadi malam,” ujar Raka sambil menyodorkan foto bukti keberadaan mereka. Sasa mengangguk. “Kita harus cek ke sana. Siapa tahu ada jejak yang mereka tinggalkan.” Aris menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai dari ruang OSIS.” Di ruang OSIS, mereka menemukan sebuah laci yang tidak terkunci. Di dalamnya, ada sebuah kertas yang berisi catatan tulisan tangan Andre, menyebutkan sebuah lokasi: Gudang
Kegiatan di perpustakaan sore itu tampak seperti biasa. Beberapa siswa sibuk mengerjakan tugas, sementara yang lainnya berbincang pelan. Di sudut ruangan, Raka menatap Sasa dengan serius. Mereka duduk di meja pojok, menjauh dari keramaian. “Aku yakin dokumen Aris dicuri sama Alena dan Andre,” Raka memulai pembicaraan. Matanya menatap tajam ke arah Sasa, seolah memastikan dia mendengarkan dengan serius. Sasa mengangkat alisnya, setengah tidak percaya. “Kamu serius, Ka? Itu tuduhan yang berat.” Raka mengangguk. “Aku nggak asal bicara, Sa. Aku lihat cara mereka memandang Aris kemarin—ada sesuatu yang nggak beres.” Sasa menggigit bibir bawahnya, mencoba mencerna ucapan Raka. “Tapi, kalau mereka memang pelakunya, kita harus punya bukti. Kalau nggak, Aris tetap akan jadi korban.” “Itu sebabnya aku butuh bantuan kamu. Kita harus cari cara memata-matai mereka tanpa bikin mereka curiga.” Sasa terdiam sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Demi Aris, aku mau bantu. Tapi gimana car
Pagi itu, Aris memulai harinya dengan semangat, meskipun bayangan persaingan beasiswa terus menghantui pikirannya. Ia tahu, langkah menuju beasiswa tidak mudah, terutama dengan kehadiran Andre, yang belakangan ini terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan.Setiba di sekolah, Aris membawa dokumen beasiswa yang hampir selesai diisi. Ia ingin menyerahkannya kepada guru pembimbing untuk mendapat persetujuan. Namun, suasana hatinya berubah ketika ia melihat Andre berdiri di depan pintu kelas bersama Alena.Andre tersenyum dingin, tetapi ada sesuatu dalam caranya menatap yang membuat Aris waspada."Aris," sapa Andre dengan nada santai. "Kamu sibuk banget, ya? Apa nggak capek ngejar sesuatu yang... kayaknya nggak bakal kamu dapatkan?"Aris menatap Andre dengan tenang. "Aku rasa nggak ada salahnya mencoba."Andre tersenyum sinis. "Tapi kadang usaha berlebihan malah bikin kecewa, apalagi kalau tahu hasilnya nggak sesuai."Sasa, yang baru masuk ke kelas, langsung mendekat dengan ekspresi kes
Hari itu suasana kelas sedikit berbeda. Semua siswa tampak antusias menanti kedatangan siswa baru yang akan bergabung. Bu Farida, wali kelas Aris, masuk bersama seorang anak laki-laki dengan rambut hitam pendek dan raut wajah percaya diri. Anak itu menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, sesekali tersenyum tipis.“Anak-anak, kenalkan, ini tomi, teman baru kalian. tomi pindah ke sini karena mengikuti keluarganya. Ibu harap kalian bisa menerima dan membantunya menyesuaikan diri,” ucap Bu Farida dengan nada ramah.Sontak, kelas riuh dengan tepuk tangan. Aris ikut bertepuk tangan pelan dari bangkunya di sudut kelas. Sementara itu, Alena, yang duduk tidak jauh darinya, tampak memutar mata, tampak tidak terlalu tertarik.Andre melangkah mantap ke salah satu bangku kosong. Saat melewati Aris, ia berhenti sejenak, menatapnya.“Aris?” tanya tomi dengan nada terkejut.Aris mengangkat alis. “tomi?”Keduanya sempat terdiam sebelum tomi tersenyum lebar dan menjabat tangan Aris dengan semangat.“A
Aris memanfaatkan akhir pekannya untuk mempersiapkan dokumen beasiswa yang ia incar. Di sudut kamar kecilnya, ia menyalakan laptop tua yang sering macet, berusaha mengetik esai dengan teliti. Setiap kata yang ia tuliskan adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa ia juga layak dihargai. Namun, suara gaduh di luar kamar membuat fokusnya terusik. "Aris! Kamu enggak dengar ibu manggil? Cepat bantu adikmu!" teriak ibunya dari ruang tengah. Aris memejamkan mata sesaat, mencoba mengendalikan diri. "Ya, Bu, sebentar lagi," jawabnya pelan. "Lama banget jawabnya! Dasar anak enggak tahu diri!" Aris menelan ludah, tangan besarnya mengepal erat di atas meja. Ia ingin membalas, tapi suaranya tercekat. Dengan tubuh berat, ia meninggalkan laptopnya dan melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, ibunya berdiri dengan wajah kesal, sementara Alena, adik perempuannya, duduk santai di sofa dengan senyum sinis. "Makanya, Kak," sindir Alena sambil melirik Aris. "Jangan sok sibuk sama hal-hal enggak penti
Hari itu, seperti biasa, Aris merasa dunia seakan menekan bahunya. Dia melangkah memasuki ruang tamu rumahnya, matanya memandangi tumpukan buku yang harus diselesaikan untuk sekolah dan naskah yang belum selesai untuk lomba menulis. Pekerjaan rumah semakin menumpuk, tapi di balik itu, ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan: program beasiswa yang telah ia daftarkan. Itu adalah harapan satu-satunya untuk membuktikan bahwa ia mampu berbuat lebih, keluar dari bayang-bayang keluarganya yang selalu mengabaikannya.Di meja belajarnya, sebuah formulir beasiswa yang sudah setengah terisi tampak tergeletak. Aris duduk, menarik napas panjang, dan mulai menulis lagi."Jangan sampai gagal," gumamnya pada diri sendiri.Namun, di sisi lain, Alena tidak pernah memberikan ruang untuknya merasa tenang. Alena tahu persis betapa pentingnya beasiswa itu bagi Aris, dan di setiap kesempatan, ia selalu membuatnya merasa seolah-olah tidak layak untuk mencapai impian tersebut."Aris, lagi-lag
Minggu pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah jendela kamar membangunkannya. Namun bukan semangat yang ia rasakan, melainkan rasa berat. Hari libur yang seharusnya menjadi waktu untuk bersantai bagi anak seusianya, bagi Aris hanyalah hari lain yang dipenuhi tugas rumah tangga.Ia merapikan tempat tidur dengan cepat sebelum menuju dapur. Pemandangan biasa menyambutnya—tumpukan piring kotor di wastafel dan lantai yang penuh dengan remah-remah makanan. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan tenaga untuk memulai rutinitasnya.Di luar rumah, Sasa dan Raka sudah menunggu. Mereka berdiri di depan pagar kecil yang sudah berkarat, dengan ekspresi tak sabar."Kok lama banget, ya, Sa? Jangan-jangan Aris nggak diizinin lagi," Raka berkata sambil melirik jam tangannya.Sasa mendesah panjang. "Entahlah, tapi aku punya firasat buruk. Tante itu nggak pernah kasih Aris kebebasan. Aku nggak ngerti, kenapa dia diperlakukan begitu."Raka mengangguk se