Malam itu, setelah kejadian di rumah Bu Siti dan Pak Rudi, Aris duduk termenung di depan laptop barunya. Hatinya masih dipenuhi rasa haru atas kebaikan mereka. Namun, bayangan perlakuan dingin keluarganya terus menghantui pikirannya. Tuduhan mencuri dari ayah dan sindiran pedas Alena seolah-olah mencabik keberaniannya untuk bermimpi.
Aris menghela napas panjang. "Aku harus membuktikan kalau aku bisa," gumamnya sambil membuka aplikasi pengolah kata. Ia mulai mengetik naskah untuk lomba menulis. Namun, baru beberapa menit ia menulis, pintu kamarnya terbuka keras tanpa diketuk. Alena muncul dengan wajah penuh ejekan, seperti biasanya. "Kamu pikir semua selesai, Aris?" sindir Alena sambil menyandarkan tubuhnya di pintu. Aris berhenti mengetik, menatap Alena dengan tenang. "Aku cuma mau berusaha untuk diriku sendiri. Kamu nggak perlu ikut campur." Alena mendekat sambil tertawa kecil. "Oh, aku nggak ikut campur? Kamu benar-benar polos, ya. Dunia ini nggak akan pernah berpihak sama orang kayak kamu. Kamu pikir mimpi-mimpi itu bakal bawa kamu ke mana? Hah, mimpi cuma buat orang kaya, Aris." Aris mencoba mengabaikannya, tetapi hatinya kembali terasa perih. "Kalau memang begitu, kenapa kamu begitu peduli untuk menjatuhkanku?" tanyanya tenang. Tatapan Alena berubah, sedikit terganggu. Ia mendengus, lalu berbalik meninggalkan kamar Aris tanpa berkata apa-apa lagi. Keesokan Harinya Di sekolah, Aris menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan untuk menyelesaikan naskahnya. Ia memilih tempat yang sepi agar bisa fokus. Namun, suasana tenang itu terusik ketika seorang siswa tiba-tiba duduk di depannya. "Hei, Aris," sapa suara yang familiar. Aris mendongak dan melihat Raka, sahabatnya. Senyum hangat Raka sedikit mengurangi tekanan di dadanya. "Apa kabar? Kamu kelihatan sibuk banget belakangan ini," tanya Raka sambil melirik laptop di meja. "Ya, aku lagi coba nyelesaikan naskah buat lomba menulis. Besok pendaftarannya terakhir," jawab Aris sambil tersenyum tipis. Raka mengangguk pelan. "Bagus, aku yakin kamu bisa menang. Tapi kamu harus ingat, jangan terlalu keras sama diri sendiri, ya." "Terima kasih, Raka," ujar Aris. Meski ia jarang menunjukkan perasaan, dukungan Raka selalu memberinya semangat. Namun, saat Raka pergi, seseorang lain mendekat. Sosok itu adalah Andre, siswa baru yang baru-baru ini menjadi pusat perhatian di sekolah. "Hei, Aris, lagi nulis, ya?" tanyanya sambil melirik layar laptop Aris. "Iya, aku lagi ikut lomba menulis," jawab Aris singkat. "Bagus, semoga sukses, ya," kata Andre dengan senyum lebar, tetapi di balik senyum itu, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan. Saat Andre pergi, Aris kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Namun, ia tidak menyadari bahwa dari kejauhan, Alena mengamati semuanya. Tatapan Alena penuh dengan rencana. . Malam Itu Aris pulang dari sekolah dan langsung menuju kamarnya untuk melanjutkan menulis. Namun, ia menemukan laptopnya tidak ada di meja. Jantungnya berdebar. Ia mencari ke seluruh penjuru kamar, tetapi tidak menemukannya. "Siapa yang mengambil laptopku?" gumamnya panik. Tiba-tiba, Alena muncul di depan pintu dengan senyum sinis. "Oh, cari laptopmu? Aku pinjam sebentar, kok. Tenang saja." "Alena! Kembalikan sekarang!" seru Aris dengan nada marah. Alena tertawa kecil. "Kenapa? Takut nggak selesai, ya? Sayang banget, ya, laptop itu seharusnya untuk sesuatu yang lebih berguna, bukan buat mimpi-mimpi konyolmu." Aris merasa amarahnya memuncak, tetapi ia menahan diri. "Alena, aku mohon, jangan ganggu aku. Aku hanya ingin mencoba." Tatapan Alena berubah dingin. "Kamu nggak pernah sadar, ya? Aku nggak suka kalau kamu terlihat lebih baik dariku, Aris. Dunia ini milikku, bukan milikmu." Dengan penuh tekad, Aris menatap adiknya "Kalau kamu pikir kamu bisa menghentikanku, kamu salah besar." Malam itu, Aris memutuskan pergi ke rumah Bu Siti untuk meminta bantuan. Di sana, ia kembali menemukan dukungan yang ia butuhkan. Pak Rudi memberikan kata-kata penyemangat yang membuat hatinya lebih kuat. "Aris, kalau kamu menyerah sekarang, itu artinya kamu kalah. Kamu tahu betapa berharganya mimpi kamu, dan Bapak tahu kamu mampu mewujudkannya," ujar Pak Rudi. Dengan dukungan itu, Aris bertekad untuk tidak menyerah. Ia tahu bahwa jalannya tidak akan mudah, tetapi ia akan terus melangkah, meskipun orang-orang terdekatnya terus mencoba menjatuhkannya. Malam itu, setelah pergi dari rumah Bu Siti, Aris duduk termenung di kamar. Laptop pemberian Pak Rudi sudah ia letakkan kembali di meja. Namun, pikirannya terus dipenuhi pertanyaan. Mengapa Alena begitu membencinya? Apa yang salah sampai keluarganya sendiri begitu sulit percaya padanya? Aris mencoba melanjutkan tulisannya, tetapi pikirannya terganggu oleh suara langkah kaki di luar kamar. Ia tidak salah dengar—itu suara langkah seseorang yang berjalan perlahan menuju pintu kamarnya. Tok. Tok. Tok. "Aris, buka pintunya," suara Alena terdengar dari balik pintu. Dengan berat hati, Aris bangkit dan membuka pintu. Alena berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Ini untuk kamu," katanya sambil menyerahkan sesuatu. Sebuah amplop putih dengan tulisan "Lomba Menulis Nasional." Aris mengernyit. "Apa maksudmu, Alena?" "Anggap saja hadiah perpisahan. Aku tahu kamu nggak akan menang, tapi setidaknya kamu sudah mencoba," jawab Alena dingin. Aris merasakan sesuatu yang aneh. Ia menerima amplop itu, tetapi tetap waspada. "Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini?" Alena tersenyum kecil, tetapi ada sesuatu yang gelap di balik senyumnya. "Kamu terlalu banyak berpikir, Aris. Fokus saja sama naskahmu. Aku nggak akan ganggu lagi." Setelah berkata begitu, Alena pergi meninggalkan Aris dengan sejuta tanda tanya. Hari Berikutnya Di sekolah, Aris membawa laptopnya ke perpustakaan untuk menyelesaikan naskahnya. Ia merasa ada yang tidak beres, tetapi ia tidak punya pilihan selain fokus pada tujuannya. Ketika ia sedang mengetik, Sasa muncul di depannya dengan wajah cemas. "Aris, kamu sudah dengar kabar terbaru?" tanya Sasa sambil duduk di depannya. Aris menggeleng. "Kabar apa?" Sasa menunduk, tampak ragu-ragu. "Katanya Andre menyebarkan rumor kalau kamu mendapatkan laptop itu dari cara nggak benar. Semua orang di kelas ngomongin itu." Aris tertegun. "Apa? Dari mana Andre tahu soal laptop itu?" Sasa menggeleng. "Aku nggak tahu. Tapi yang jelas, sekarang semua orang berpikir kamu melakukan sesuatu yang buruk untuk mendapatkannya." Aris merasa dadanya sesak. Ia tahu Andre dan Alena pasti ada hubungannya dengan ini. "Aku harus bicara sama Andre," kata Aris tegas. Sasa tampak khawatir. "Kamu yakin? Kalau kamu terlalu keras, dia bisa memutar balikkan semuanya. Kita harus hati-hati, Aris." Namun, Aris tidak bisa menunggu. Ia keluar dari perpustakaan dan berjalan cepat menuju halaman belakang sekolah, tempat Andre biasanya berada. Di sana, Andre sudah menunggu, seolah tahu Aris akan datang. Alena berdiri di sampingnya, dengan tangan terlipat di dada dan senyum penuh kemenangan. "Kamu sengaja menyebarkan rumor itu, kan?" sergah Aris tanpa basa-basi. Andre hanya tertawa kecil. "Rumor apa? Aku cuma bilang yang aku dengar. Lagipula, bukannya aneh kalau seseorang tiba-tiba dapat laptop mahal tanpa alasan?" Alena menyela. "Aris, kamu seharusnya berterima kasih karena Andre hanya bicara soal rumor. Kalau aku, mungkin aku akan memastikan semua orang percaya bahwa kamu itu pembohong." Aris menatap mereka dengan tajam. "Kenapa kalian melakukan ini? Apa salahku?" Andre mendekat, menepuk bahu Aris dengan santai. "Salahmu? Kamu terlalu naif, Aris. Dunia ini nggak seindah itu. Kamu harus tahu tempatmu." Alena menambahkan, "Dan tempatmu itu bukan di atas, Aris. Kamu hanya seorang anak angkat yang nggak punya apa-apa. Jadi berhenti bermimpi besar." Aris mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarah. "Kalian salah. Aku nggak akan mundur hanya karena kalian ingin aku jatuh. Aku akan buktikan kalau aku bisa." Andre tersenyum sinis. "Kita lihat saja, Aris. Tapi ingat, satu langkah salah, dan semua usahamu akan sia-sia." Malam Hari di Rumah Aris merasa lelah, bukan hanya secara fisik tetapi juga mental. Ia tahu jalan yang ia pilih penuh rintangan, tetapi ia tidak mau menyerah. Setelah makan malam, ia kembali ke kamarnya untuk melanjutkan menulis. Namun, saat ia membuka laptopnya, sesuatu yang aneh terjadi. File naskah yang ia kerjakan hilang. Ia mencari di semua folder, tetapi tidak menemukannya. "Apa ini kerjaan Alena lagi?" pikir Aris panik. Ia mencoba mencari bantuan ke Pak Rudi, tetapi hari sudah larut. Dengan hati yang hancur, ia memutuskan untuk memulai semuanya dari awal. Di tengah malam, ketika semua orang di rumah sudah tidur, Aris duduk di depan laptopnya, mencoba menulis kembali dari ingatannya. Ia tidak tahu apakah ia bisa menyelesaikannya tepat waktu, tetapi ia tetap berusaha. "Sekalipun mereka menghancurkan segalanya, aku nggak akan berhenti," gumamnya sambil mengetik dengan penuh semangat. Di luar kamarnya, Alena berdiri diam, mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Tatapannya penuh dengan rencana baru. "Aris, kamu mungkin berhasil kali ini, tapi aku nggak akan membiarkanmu menang," bisik Alena pada dirinya sendiri. .Keesokan harinya, tepat di hari Minggu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Ia memulai rutinitas paginya seperti biasa: membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya dan Alena, adik perempuannya. Sebagai kakak, Aris selalu berusaha menjaga dan memenuhi kebutuhan adiknya, meski hubungan mereka sering diwarnai konflik kecil. Aris sudah selesai menyiapkan nasi goreng dan teh manis di meja makan ketika ia kembali ke kamarnya. Ia melanjutkan mengetik cerita untuk lomba menulis. Baginya, ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa ia mampu melampaui batas dirinya. Namun, Alena yang merasa kesal karena merasa Aris selalu mendapat perhatian lebih di sekolah, mulai merencanakan sesuatu. “Aris nggak boleh terlalu santai. Aku mau lihat apa dia masih bisa fokus kalau semua rencananya gagal,” gumam Alena dengan tatapan licik. Diam-diam, Alena membuang nasi goreng yang sudah disiapkan kakaknya ke tempat sampah. Ia membersihkan meja makan agar tampak sepe
Bel pulang sekolah sudah berbunyi, Aris yang teringat ajakan Pak Rudi bergegas menuju pintu. Namun, hari ini tidak seperti biasanya. Hari ini, Aris merasa begitu semangat dan langsung pulang ke rumah.Sesampainya di rumah, Aris segera menuju kamarnya dan mengganti pakaian. Ia merasa bersemangat, lalu mulai membereskan rumah dan menyiapkan makan siang untuk keluarganya. Setelah semua tugas selesai, Aris berpamitan pada ibunya untuk pergi ke rumah Bu Siti.Awalnya, ibunya mengizinkan karena pekerjaan Aris sudah selesai. Namun, tiba-tiba Alena menghentikan langkah Aris dan mulai mengulur waktu agar ia tidak segera pergi."Tunggu, Aris! Kamu harus bantu aku menyelesaikan tugas sekolah dulu!" ujar Alena dengan sedikit berteriak.Namun, Aris kini sudah lebih tegas dan menolak perintah Alena karena ia merasa ada hal yang lebih penting untuk dikerjakan.Melihat Aris mulai berani membantahnya, Alena langsung mengadu pada ibunya. Ibunya, yang sangat menyayangi Alena, segera memarahi Aris dan me
Pagi ini, Aris terbangun dengan perasaan berat. Sejak kejadian kemarin di kantin, ia tahu bahwa situasinya semakin buruk. Di rumah, ibunya selalu menatapnya dengan mata penuh kebencian, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya untuk mengkritik atau menyalahkan Aris. Pagi ini, Aris tahu ia tidak bisa menghindari pertemuan dengan ibunya yang akan menanyakan tentang kejadian di sekolah. Saat ia memasuki ruang makan, ia melihat ibunya sudah duduk dengan tatapan dingin. Di sampingnya, Alena tampak berpura-pura sibuk dengan ponselnya, namun jelas ia sedang mengawasi Aris dengan tatapan yang penuh kebencian. "Kenapa kamu nggak pernah belajar? Kemarin saja malah bikin keributan di kantin!" bentak ibu Aris tanpa basa-basi. Aris menundukkan kepala, berusaha menahan rasa sakit dalam hatinya. "Aku tidak bikin keributan, Bu. Itu cuma salah paham," jawabnya pelan, mencoba menjelaskan meski tahu ibunya tidak akan pernah percaya. Ibu Aris menatapnya tajam. "Salah paham? Kamu memang sel
Malam itu, Aris masih duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang kosong. Sudah lebih dari setengah jam, jari-jarinya tidak bergerak di atas keyboard. Pikiran Aris begitu kacau. Di luar jendela, suara hujan yang rintik semakin deras, menciptakan suasana yang semakin menambah kegelisahannya. Sejenak, ia menutup mata dan berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan ibunya yang memarahinya dan wajah Alena yang sinis terus mengganggu pikirannya."Kenapa aku merasa seperti ini?" pikirnya dalam hati. "Ini kesempatan besar. Aku harus menyelesaikan naskah ini, tapi kenapa rasanya begitu berat?"Meskipun hatinya ragu, Aris tahu ia tak punya pilihan lain. Waktu perlombaan sudah semakin dekat. Meskipun ia masih merasa tertekan, ia harus berusaha mengumpulkan semangat. Ia menghela napas panjang dan mulai mengetik beberapa kalimat, mencoba mencari alur yang tepat untuk ceritanya. Tapi tetap saja, pikirannya terus teralihkan.Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan. Bu Siti masuk dengan secangkir
Keesokan harinya, Aris datang ke sekolah dengan semangat baru. Naskah yang ia tulis semalaman rapi dalam map berwarna biru, siap untuk diserahkan kepada Bu Fitri, guru pembimbing lomba menulis. Ia merasa lega karena berhasil menyelesaikan langkah pertama dalam perjalanan mimpinya.Namun, begitu ia melangkah ke koridor sekolah, beberapa siswa terlihat menatapnya dengan aneh. Bisik-bisik terdengar, membuat Aris merasa tidak nyaman.“Kamu dengar? Katanya, naskah Aris itu bukan dia yang tulis,” bisik salah seorang siswi kepada temannya.“Aku dengar juga. Ada yang bilang dia pakai bantuan guru supaya menang,” sahut temannya dengan suara pelan tapi tetap terdengar oleh Aris.Aris menghentikan langkahnya. Dadanya terasa sesak mendengar tuduhan tersebut. Tapi ia memutuskan untuk tetap berjalan menuju ruang guru. Ia tidak ingin rumor itu menghentikannya.Konspirasi DimulaiSementara itu, di taman belakang sekolah, Alena duduk bersama dua sahabatnya, Vivi dan Maya. Mereka tertawa kecil sambil m
Pagi itu, setelah menyerahkan naskahnya kepada Bu Fitri, Aris kembali ke kelas. Suasana di kelas terasa berbeda. Beberapa teman sekelasnya menatapnya dengan tatapan aneh, sementara yang lain berbisik-bisik. Aris berjalan menuju bangkunya dengan perasaan gelisah. Ketika duduk di samping Sasa, teman sebangkunya, Sasa tampak ragu untuk memulai percakapan. "Ada apa, Sasa?" Aris bertanya, mencoba mengatur napasnya. "Um... aku dengar gosip tentang kamu," Sasa mulai dengan hati-hati. Aris mengerutkan kening. "Gosip? Apa itu?" "Katanya kamu nggak nulis naskah itu sendiri," jawab Sasa pelan. Aris terkejut dan merasa darahnya mendidih. "Siapa yang bilang begitu?" tanyanya, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya. "Sebenarnya... aku nggak tahu pasti. Tapi banyak yang bilang itu dari Alena," jawab Sasa, wajahnya penuh kekhawatiran. Aris menundukkan kepala, berusaha menahan amarah yang mulai menggerogoti hatinya. "Kenapa dia selalu menganggap aku seperti itu? Apa salahku?" Sasa meraih t
Keesokan harinya, saat Aris tiba di sekolah, ia langsung merasakan ketegangan di udara. Teman-temannya tampak terdiam saat ia masuk ke kelas. Ada yang berbisik, dan beberapa dari mereka menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Beberapa bahkan tampak canggung ketika Aris melewati mereka.Aris berusaha untuk tidak peduli. Namun, perasaan cemas mulai menggerogoti hatinya. Ia tahu pasti, ini pasti ada hubungannya dengan gosip yang tersebar tentangnya. Ia tidak mengerti kenapa Alena selalu berusaha merusaknya. Kenapa setiap kali ia merasa sedikit berhasil, Alena selalu berusaha menghancurkan semuanya?Saat jam istirahat, Sasa menghampirinya dengan wajah serius. "Aris, aku dengar Alena semakin gencar nyebarin gosip tentang kamu," ujar Sasa dengan suara rendah. "Ada yang bilang kamu cuma bisa nulis karena orang tua kamu punya uang."Aris menatap Sasa dengan ekspresi datar. “Gosip lagi?” Ia menarik napas dalam-dalam. "Kenapa dia nggak bisa berhenti?"Sasa menggelengkan kepala. "Aku n
Minggu pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah jendela kamar membangunkannya. Namun bukan semangat yang ia rasakan, melainkan rasa berat. Hari libur yang seharusnya menjadi waktu untuk bersantai bagi anak seusianya, bagi Aris hanyalah hari lain yang dipenuhi tugas rumah tangga.Ia merapikan tempat tidur dengan cepat sebelum menuju dapur. Pemandangan biasa menyambutnya—tumpukan piring kotor di wastafel dan lantai yang penuh dengan remah-remah makanan. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan tenaga untuk memulai rutinitasnya.Di luar rumah, Sasa dan Raka sudah menunggu. Mereka berdiri di depan pagar kecil yang sudah berkarat, dengan ekspresi tak sabar."Kok lama banget, ya, Sa? Jangan-jangan Aris nggak diizinin lagi," Raka berkata sambil melirik jam tangannya.Sasa mendesah panjang. "Entahlah, tapi aku punya firasat buruk. Tante itu nggak pernah kasih Aris kebebasan. Aku nggak ngerti, kenapa dia diperlakukan begitu."Raka mengangguk se
Pagi berikutnya, markas Victor kembali bergeliat. Setelah menerima informasi penting dari Clara, setiap anggota tim terlihat sibuk dengan tugas mereka. Ada yang mempersiapkan peralatan, ada pula yang memperkuat sistem keamanan seperti yang dirancang oleh Aris.Victor berdiri di ruang rapat bersama Andre, Aris, dan Clara, menatap peta besar yang memenuhi layar. Peta itu menampilkan lokasi-lokasi strategis yang dikendalikan oleh Raven Syndicate.“Prioritas kita sekarang adalah mengamati pergerakan mereka,” kata Victor sambil menunjuk salah satu titik merah di peta. “Basis utama mereka ada di sini, tapi mereka punya tiga lokasi cadangan yang digunakan untuk menyimpan persenjataan dan dokumen penting.”Andre mengangguk. “Kalau kita bisa menyerang lokasi cadangan itu, mereka akan kehilangan banyak sumber daya.”“Tapi itu berisiko,” Clara menimpali. “Raven Syndicate bukan organisasi kecil. Mereka punya penjaga bersenjata di setiap lokasi.”Aris yang berdiri di belakang Clara angkat bicara,
Pagi itu, markas Victor tampak sibuk seperti biasa. Meskipun bekas-bekas pertempuran masih terlihat di beberapa sudut bangunan, para anggota tim tidak membiarkan semangat mereka surut. Mereka saling membantu memperbaiki kerusakan, mengatur ulang peralatan, dan memastikan markas kembali berfungsi optimal.Aris bergabung dengan kelompok yang sedang memperbaiki area penyimpanan. Ia memegang alat berat di tangannya, membantu mengangkat puing-puing yang menumpuk. Keringat mengalir di wajahnya, tetapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya."Aris, kau pasti bisa jadi tukang bangunan setelah ini," canda Andre yang lewat sambil membawa papan kayu.Aris tertawa kecil. "Kalau begini terus, aku mungkin bisa buka jasa renovasi rumah setelah semua ini selesai."Tawa kecil di antara mereka membuat suasana kerja terasa lebih ringan, meskipun tugas yang mereka hadapi cukup berat.---Rapat Strategi BaruSetelah beberapa jam bekerja, Victor memanggil seluruh tim inti untuk berkumpul di ruang rapat utam
Setelah mendapatkan informasi lengkap dari Jovan, Victor memutuskan untuk bertindak cepat. Dengan peta markas utama Raven Syndicate yang Jovan berikan, mereka mulai menyusun strategi untuk menyerang balik."Kita tidak bisa membiarkan mereka menyerang kita lagi," ujar Victor tegas. "Ini saatnya kita mengambil alih kendali."Aris mengangguk setuju. "Tapi kita harus berhati-hati. Raven Syndicate tidak akan membiarkan kita masuk tanpa perlawanan."Victor membagi tim menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama akan menangani keamanan dan menyerang langsung, kelompok kedua bertugas menciptakan pengalihan, sementara kelompok terakhir, yang dipimpin Aris, akan fokus menyusup ke dalam markas untuk menghancurkan sistem komunikasi mereka."Kita harus membuat mereka lumpuh sebelum mereka sadar apa yang terjadi," tambah Andre, yang berada di kelompok pertama.Aris mengepalkan tangannya. "Aku siap memimpin timku."---Persiapan Sebelum PerangMalam itu, suasana di markas Victor sangat tegang. Semua ang
Tim Victor kembali ke markas utama menjelang fajar. Udara pagi terasa dingin, namun tidak ada yang lebih menyejukkan daripada rasa lega setelah pertempuran panjang. Meskipun begitu, suasana di antara mereka tetap tegang. Mereka tahu bahwa kemenangan ini hanya sementara.Aris melangkah keluar dari kendaraan, wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. Lina mendekatinya, membawa segelas kopi hangat yang ia buat di ruang sementara."Kau butuh ini," katanya lembut sambil menyerahkan kopi tersebut."Terima kasih," jawab Aris, meminum seteguk kopi. "Bagaimana keadaan tim lainnya?"Lina menghela napas panjang. "Beberapa masih dalam perawatan. Tapi kita kehilangan tiga orang."Aris terdiam. Setiap kehilangan adalah beban berat, terutama saat dia melihat mereka sebagai bagian dari keluarganya.---Victor Merancang Strategi BaruSementara itu, Victor langsung memimpin rapat darurat di ruang utama. Darius, pemimpin Raven Syndicate, telah ditahan di ruang bawah tanah untuk diinterogasi."Ini be
Malam itu, markas dipenuhi dengan ketegangan yang terasa di udara. Setiap orang bergerak cepat, mempersiapkan diri untuk serangan yang hampir pasti datang. Aris berdiri di salah satu pos penjagaan, matanya tajam mengamati kegelapan di depan gerbang utama."Lina, pastikan timmu sudah siap di posisi masing-masing," ujar Aris melalui radio."Semua sudah siap," jawab Lina singkat namun tegas.Sementara itu, Victor berada di ruang komando, memantau layar monitor yang menampilkan rekaman dari kamera pengawas. Dia tahu ini adalah momen yang menentukan. Jika mereka kalah malam ini, seluruh jaringan mereka bisa runtuh."Kita tidak bisa membiarkan mereka mengambil alih," kata Victor dengan nada penuh keyakinan.---Serangan DimulaiTepat tengah malam, suara mesin kendaraan terdengar mendekat. Lampu sorot dari truk dan mobil SUV menerangi area depan markas, mengungkapkan belasan orang bersenjata lengkap yang keluar dari kendaraan tersebut."Semua di posisi masing-masing!" teriak Aris melalui rad
Pagi hari setelah insiden di gudang, Victor memimpin pertemuan besar di markas. Seluruh tim inti hadir, termasuk Aris, Lina, Andre, dan beberapa orang kepercayaan Victor. Mereka tahu bahwa waktu semakin menipis untuk menghadapi ancaman dari Raven Syndicate."Aris sudah membawa dokumen penting tadi malam," Victor membuka pertemuan. "Dan informasi ini memastikan bahwa mereka tidak hanya mengincar kita. Mereka berencana menguasai semua wilayah yang selama ini menjadi bagian dari jaringan kita."Andre mengamati peta yang terbentang di meja. "Mereka tahu semua lokasi strategis kita. Kalau informasi ini benar, maka ada pengkhianat di dalam tim kita."Kata-kata Andre membuat suasana menjadi tegang. Semua orang saling memandang, mencoba mencari tanda-tanda siapa yang mungkin berkhianat.Victor mengangguk setuju. "Aku sudah memikirkan hal itu. Karena itu, kita harus bergerak cepat. Sebelum kita menemukan siapa yang membocorkan informasi, kita perlu melindungi tempat-tempat yang rentan terhadap
Kembali ke MarkasAris dan tim tiba di markas utama yang kini dalam keadaan kacau. Pintu-pintu terbuka, barang-barang berserakan, dan beberapa anggota tim terlihat terluka. Kekacauan ini tidak hanya fisik, tetapi juga mental.Victor segera memimpin rapat darurat. "Ada yang membocorkan informasi penting tentang markas kita. Ini bukan kebetulan."Sang Rubah mengangguk. "Kita perlu mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini."Aris memperhatikan suasana tegang di ruangan. Ia tahu bahwa pengkhianatan ini dapat merusak kepercayaan di antara mereka.---Penyelidikan DimulaiVictor membentuk tim kecil untuk menyelidiki kemungkinan adanya mata-mata di dalam kelompok mereka. Aris, Andre, dan Lina dipercaya untuk memimpin investigasi."Kita mulai dari siapa saja yang memiliki akses ke data penting," kata Victor. "Cari tahu siapa yang terakhir kali menggunakan sistem komunikasi kita."Andre menambahkan, "Kita juga perlu memeriksa semua orang yang berada di dekat lokasi kejadian saat seran
Mentor Victor, pria tua yang dikenal dengan nama sandi Sang Rubah, mulai mempelajari situasi yang dihadapi oleh tim Victor. Ia meminta semua informasi terbaru mengenai Raven Syndicate, termasuk pola serangan mereka, struktur organisasi, dan segala data yang berhasil dikumpulkan."Raven Syndicate bukan hanya organisasi kriminal," kata Sang Rubah dengan nada serius. "Mereka adalah ahli dalam permainan psikologi. Mereka memanipulasi musuh untuk bertindak tergesa-gesa, kemudian menghancurkannya perlahan-lahan."Victor mengangguk. "Kami menyadari itu. Tapi kali ini, kami tidak akan membiarkan mereka memimpin permainan."Sang Rubah tersenyum kecil. "Bagus. Kalau begitu, kita harus memulai dengan serangan balik yang tidak mereka duga."---Misi RahasiaSang Rubah menyusun strategi yang melibatkan infiltrasi ke salah satu lokasi operasi kecil Raven Syndicate. Aris dan Andre ditugaskan untuk memimpin misi ini, dengan dukungan beberapa anggota terpercaya."Kalian harus bergerak tanpa terdeteksi
Sementara itu, Victor menerima informasi penting dari salah satu informannya. Kelompok yang menyerang mereka dikenal sebagai Raven Syndicate, sebuah organisasi kriminal besar yang sudah lama mengincar wilayah Victor."Mereka tidak hanya ingin menghancurkan kita," kata Victor kepada Andre. "Mereka ingin mengambil alih seluruh jaringan kita."Andre menghela napas panjang. "Kalau begitu, kita harus bersiap menghadapi perang yang lebih besar."Victor mengangguk. "Tapi pertama-tama, kita harus memastikan Aris dan yang lain selamat."---Pengepungan di Tengah MalamMalam itu, situasi semakin tegang. Aris, Andre, dan beberapa anggota lainnya tetap berjaga di markas yang tersisa. Mereka tahu bahwa serangan berikutnya bisa datang kapan saja.Saat tengah malam, suara kendaraan mendekat membuat semua orang siaga. Aris memegang senjatanya erat-erat, bersiap menghadapi apa pun yang datang.Victor memberikan instruksi melalui radio, "Tetap di posisimu. Jangan bertindak gegabah."Namun, apa yang mer