Share

BAB 2

Penulis: Intan april
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-29 18:32:12

Pagi itu, Aris bangun lebih pagi dari biasanya. Udara dingin menyelimuti rumah, memaksa dirinya menggigil sambil menarik selimut tipis yang hampir tak lagi mampu menghangatkannya. Dari kamarnya yang sempit, ia bisa mendengar suara panci beradu di dapur dan langkah-langkah ringan Alena menuju meja makan.

Ketika keluar dari kamar, pandangan pertama Aris tertuju pada Alena. Dengan wajah cerah dan tawa riang, Alena sudah duduk di meja makan, menikmati sarapannya. Ada roti dengan selai cokelat dan segelas susu hangat di depannya. Aris hanya berdiri mematung, mengamati bagaimana adiknya tampak bahagia tanpa beban.

Perlahan, ia melangkah ke dapur dengan harapan mendapatkan perhatian dari ibunya. Namun, begitu sampai di sana, ibunya menoleh sekilas, lalu berkata dengan nada yang sama sekali tak hangat, "Kamu bangun telat, ya? Kalau mau makan, bantu ibu dulu. Sana ambil air di sumur!"

Aris menunduk, menggigit bibir bawahnya untuk menahan kekecewaan. "Iya, Bu," jawabnya pelan. Dengan langkah gontai, ia mengambil ember di sudut dapur dan berjalan ke belakang rumah.

Udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, tapi ia tak punya pilihan. Sumur tua di belakang rumah adalah tempat yang sering ia datangi setiap pagi. Dengan susah payah, ia menimba air yang terasa berat untuk tangannya yang mungil. Sesekali, ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.

Setelah ember penuh, ia kembali ke dapur, meletakkan air di tempat biasa. Ibunya hanya melirik sebentar tanpa sepatah kata. Sementara itu, Alena masih asyik menikmati sarapannya di meja makan.

"Ibu, boleh Aris makan sekarang?" tanyanya hati-hati.

Ibunya mengangguk tanpa bicara, tetapi Aris tahu itu berarti ia harus mengambil makanannya sendiri. Di dapur, hanya ada sepiring nasi putih dan telur yang tampak tak begitu menggugah selera. Aris duduk di sudut meja, menjauh dari Alena, sambil mengunyah perlahan.

Ketika matanya bertemu dengan Alena, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Roti kamu kelihatannya enak," kata Aris.

Alena menoleh dengan ceria. "Iya dong! ibu yang bikinin khusus buat aku!" jawabnya penuh kebanggaan.

Aris hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya ia bertanya-tanya mengapa ibunya tak pernah membuatkan sesuatu yang spesial untuknya. Ia tidak iri pada Alena, tapi ia ingin merasakan cinta yang sama.

Setelah sarapan, Alena segera berlari keluar untuk bermain. Aris tetap di tempatnya, mencuci piring bekas makannya sambil mencuri pandang pada foto keluarga yang tergantung di dinding ruang tamu. Dalam foto itu, ibunya memeluknya erat, sementara ayahnya tersenyum bangga.

"Kapan terakhir kali mereka tersenyum seperti itu padaku?" pikirnya.

Aris mendekati foto itu, tangannya menyentuh bingkainya yang berdebu. Ia merasakan perasaan hangat bercampur sedih. Di masa kecilnya, ia sering merasa istimewa. Tapi, seiring waktu, perhatian itu seolah beralih sepenuhnya pada Alena.

Ketika ia beranjak ke kamar, ia mendapati Alena sedang duduk di lantai dengan boneka barunya. Boneka itu cantik, dengan gaun putih yang berkilauan. Alena memandang Aris dan berkata, "Lihat, ini boneka baru aku! ibu belikan kemarin. Cantik, kan?"

Aris tersenyum kecil. "Iya, cantik sekali," jawabnya.

"Aku tahu. ibu bilang aku anak yang paling manis, makanya aku dapat boneka ini," lanjut Alena tanpa menyadari perubahan raut wajah kakaknya.

Aris hanya mengangguk, menahan perasaan yang membuncah di dalam dadanya. Setelah Alena pergi, ia mengeluarkan boneka kayu usangnya dari bawah bantal. Boneka itu adalah hadiah ulang tahun terakhir yang ia terima dari ibunya, beberapa tahun lalu. Meski usang, ia selalu membawa boneka itu ke mana pun, seolah itu menjadi satu-satunya penghibur di tengah kesepiannya.

Sore harinya, Aris duduk di bawah pohon besar di halaman belakang. Pohon itu adalah tempat favoritnya, tempat ia bisa merenung dan melupakan sejenak keruwetan hidupnya. Tangan kecilnya memeluk lututnya erat, dan matanya menatap jauh ke arah cakrawala.

"Kenapa ibu selalu marah padaku?" gumamnya pelan. "Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"

Suara tawa Alena terdengar dari dalam rumah, membuat Aris semakin merasa terasing. Ia ingin bertanya langsung pada ibunya, ingin tahu apa yang membuat hubungan mereka terasa begitu jauh. Tapi, keberanian itu selalu sirna setiap kali ia melihat tatapan dingin ibunya.

Menjelang malam, ketika semua orang sudah tertidur, Aris masih terjaga. Ia membuka buku cerita lama yang ia temukan di rak. Buku itu penuh dengan gambar dan kisah tentang anak-anak pemberani yang menghadapi rintangan besar.

Dalam hati, ia mulai membayangkan dirinya sebagai salah satu anak itu. "Mungkin aku juga harus berani," pikirnya. "Mungkin suatu hari nanti, aku akan menemukan cara agar ibu melihatku seperti dulu."

Dengan pikiran itu, ia memejamkan mata, berharap esok akan membawa harapan baru.

Bab terkait

  • Luka Tak Terlihat   BAB 3

    Aris terbaring di tempat tidurnya, memandang langit-langit kamar yang gelap. Suara tawa Alena dari luar kamar terdengar samar, semakin menegaskan jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Tangannya menggenggam boneka kayu tua dengan erat, mencari kenyamanan dalam benda kecil yang menjadi teman setianya."Kenapa ibu tak pernah menyayangiku seperti Alena?" pikir Aris, bertanya pada dirinya sendiri. Keheningan malam membuat pikirannya berkelana ke ucapan-ucapan ibunya yang tajam dan dingin. Kata-kata seperti "kamu selalu membawa sial" terus terngiang, mengiris hatinya. Ia tidak mengerti alasan di balik ucapan itu, namun selalu merasa bahwa ia adalah biang keladi dari semua masalah yang terjadi di rumah.Malam itu, ia memikirkan kembali apa yang pernah dikatakan Bu Siti, tetangga yang sering memberinya nasihat lembut. "Cobalah untuk berbicara, Aris. Kadang, masalah hanya bisa selesai jika kita berani menyuarakan hati kita," begitu kata Bu Siti suatu kali.Aris menarik napas dalam. "Mung

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 4

    Tahun demi tahun berlalu. Aris kini telah memasuki sekolah dasar. Meski usianya masih belia, tanggung jawab yang ia pikul sudah jauh melebihi teman-teman seusianya. Sejak kecil, Aris terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga sendirian. Membersihkan lantai, mencuci pakaian, menjemur, hingga memasak sering kali menjadi rutinitas harian yang harus ia selesaikan, terutama saat ibunya sibuk bekerja. Di rumah, perhatian ibu Aris lebih banyak tercurah pada Alena, adiknya yang ceria dan manja. Alena selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Mainan, pakaian, bahkan perhatian yang hangat. Sedangkan Aris? Ia lebih sering dianggap tidak ada. Kehadirannya di rumah terasa seperti bayang-bayang yang hanya diingat ketika dibutuhkan. Meski begitu, Aris tidak pernah mengeluh. Ia menerima semua perlakuan itu dengan diam, meskipun di dalam hatinya ada rasa sakit yang sulit ia ungkapkan. Setiap hari, rutinitas sekolah menjadi pelarian kecil bagi Aris, meski tidak selalu menyenangkan. Di sekolah, teman

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 5

    Pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Matahari masih malu-malu memunculkan sinarnya di ufuk timur. Dengan mata yang masih berat, ia langsung bergegas menyelesaikan pekerjaan rumah yang sudah menjadi tanggung jawabnya setiap hari. Seperti biasa, mencuci piring, menyapu lantai, dan membersihkan seluruh rumah harus selesai sebelum ia bersiap ke sekolah. Sementara itu, Alena, adiknya yang masih kecil, bangun dengan wajah ceria. Alena selalu menjadi pusat perhatian di rumah. Ibu mereka selalu memastikan Alena mendapatkan segalanya, mulai dari baju baru hingga mainan yang ia inginkan. Aris melirik pakaian yang dikenakan Alena pagi itu. Gaun putih dengan motif bunga yang baru dibelikan oleh ibu. Sementara itu, Aris hanya mengenakan seragam sekolahnya yang sudah terlihat pudar warnanya. Meskipun begitu, ia tidak mengeluh. Namun, pagi ini ada satu hal yang membuat Aris merasa sedikit lebih baik. Sepatu barunya yang diberikan oleh Bu Siti terlihat bersih dan mengkilap. Itu adala

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 6

    Beberapa hari berlalu sejak insiden sepatu itu. Meski luka di hati Aris masih terasa perih, ia mencoba menjalani rutinitas seperti biasa. Setiap pagi, ia bangun lebih awal dari semua penghuni rumah, menyelesaikan pekerjaan rumah yang sebenarnya bukan tanggung jawabnya, lalu bersiap-siap untuk sekolah. Kehidupan di rumah tidak pernah berubah; perhatian dan kasih sayang orang tua sepenuhnya tercurah kepada Alena, adiknya, sementara Aris hanya menerima perintah dan tuntutan. Namun, ada sesuatu yang membuat hari-hari Aris sedikit lebih ringan. Setelah mengetahui insiden itu, Bu Siti, tetangga sekaligus orang yang sangat peduli padanya, membelikannya sepasang sepatu baru. Tetapi, karena takut menimbulkan masalah, Bu Siti tidak memberikannya langsung kepada Aris. Sebaliknya, ia menyimpan sepatu itu di rumahnya. Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah, Aris mampir ke rumah Bu Siti untuk mengenakan sepatu itu. Bagi Aris, perhatian sederhana itu sudah cukup membuatnya merasa dihargai, meski

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 7

    Setelah menghabiskan waktu bersama Bu Siti dan Pak Rudi, Aris merasa hatinya sedikit lebih ringan. Jalan-jalan ke taman dengan mereka memberinya kesempatan untuk sejenak melupakan kesulitan yang terus membelenggu hidupnya. Perhatian sederhana dari pasangan itu menjadi secercah harapan di tengah rasa kesepian yang melingkupinya. Mereka menghabiskan waktu dengan piknik kecil, menikmati bekal yang dibawa Bu Siti. Pak Rudi bahkan mengajarinya cara membuat kapal kertas yang bisa mengapung di kolam kecil di taman. Aris tertawa lepas untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Namun, ketika matahari mulai terbenam, perasaan cemas mulai merayap di hati Aris. Ia tahu, kebahagiaan ini sementara. Di ujung hari, ia harus kembali ke rumah, tempat yang tidak pernah memberikan kedamaian. Di perjalanan pulang, Aris tak banyak bicara. Ia hanya menunduk, menikmati momen-momen terakhir bersama Bu Siti dan Pak Rudi sebelum kembali menghadapi kenyataan. Ketika mereka sampai di depan rumahnya, Aris

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 8

    Sekolah sering menjadi pelarian bagi Aris. Di tempat itu, ia bisa melupakan sejenak kerasnya hidup di rumah. Namun, hari ini terasa berbeda. 'Ding ding'—bel berbunyi, menandakan waktu istirahat telah usai. Aris yang sedang membaca di perpustakaan segera membereskan bukunya. Ia bergegas menuju kelas agar tidak terlambat. Tetapi begitu memasuki ruang kelas, sebuah insiden tak terduga terjadi. Dina, teman sekelasnya yang sering mencari masalah, sengaja menjulurkan kaki ke arah Aris. Aris tersandung dan terjatuh. “Ups, maaf,” ucap Dina dengan nada pura-pura menyesal sambil menutup mulutnya. Belum cukup sampai di situ, Dina memungut salah satu buku catatan Aris yang terjatuh. Ia membuka botol air minumnya, lalu menuangkan sebagian isinya ke buku itu. “Eh, maaf lagi ya, Aris. Aku nggak sengaja,” katanya sambil menyeringai. “Tapi kan kamu bisa beli buku baru. Masa nggak mampu sih? Buku doang kok.” Teman-teman sekelasnya tertawa mendengar ejekan Dina. Aris tidak mengatakan apa-a

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 9

    Setelah pertemuannya dengan Sasa, Aris merasa lebih bersemangat. Selain mengganti buku yang rusak, Sasa juga membawa kabar baik yang membuka peluang besar untuknya.“Ris, aku dengar ada program beasiswa penuh untuk SMA favorit. Tiga sekolah unggulan buka pendaftaran. Kamu harus coba, ini kesempatan besar,” ujar Sasa penuh semangat.Aris tertegun. “Serius, Sa? Tapi… apa aku cukup bagus untuk bersaing?”“Kamu pasti bisa! Jangan ragu. Yuk, kita ke ruang guru sekarang. Siapa tahu masih ada slot,” ajaknya.Mereka pun segera pergi ke ruang guru. Beruntung, masih ada satu slot terakhir untuk mendaftar tes beasiswa. Tanpa pikir panjang, Aris langsung mendaftarkan dirinya.Tidak berhenti di situ, mereka menemukan pengumuman lomba menulis di mading sekolah dengan hadiah besar.“Sa, ini peluang bagus juga. Aku mau daftar lomba ini,” kata Aris antusias.“Daftar aja! Aku yakin kamu bisa menang,” balas Sasa, memberi dukungan penuh.Namun, kebahagiaan Aris terganggu saat Dina, yang terkenal suka men

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Luka Tak Terlihat   BAB 10

    Malam itu, setelah kejadian di rumah Bu Siti dan Pak Rudi, Aris duduk termenung di depan laptop barunya. Hatinya masih dipenuhi rasa haru atas kebaikan mereka. Namun, bayangan perlakuan dingin keluarganya terus menghantui pikirannya. Tuduhan mencuri dari ayah dan sindiran pedas Alena seolah-olah mencabik keberaniannya untuk bermimpi.Aris menghela napas panjang. "Aku harus membuktikan kalau aku bisa," gumamnya sambil membuka aplikasi pengolah kata. Ia mulai mengetik naskah untuk lomba menulis.Namun, baru beberapa menit ia menulis, pintu kamarnya terbuka keras tanpa diketuk. Alena muncul dengan wajah penuh ejekan, seperti biasanya."Kamu pikir semua selesai, Aris?" sindir Alena sambil menyandarkan tubuhnya di pintu.Aris berhenti mengetik, menatap Alena dengan tenang. "Aku cuma mau berusaha untuk diriku sendiri. Kamu nggak perlu ikut campur."Alena mendekat sambil tertawa kecil. "Oh, aku nggak ikut campur? Kamu benar-benar polos, ya. Dunia ini nggak akan pernah berpihak sama orang kay

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29

Bab terbaru

  • Luka Tak Terlihat   BAB 26

    Malam itu, Aris, Raka, dan Sasa kembali dari gudang dengan rasa kecewa. Meski telah menemukan keberadaan Andre dan Edo, mereka belum memiliki bukti kuat untuk melaporkan tindakan mereka. Namun, tekad Aris semakin membara. Ia tahu, perang ini belum selesai. Di rumah, Aris berusaha menyusun rencana. Pikirannya berkecamuk, mencoba menyatukan setiap petunjuk yang ia miliki. Gudang kosong, dokumen-dokumen yang sudah diambil, dan kehadiran Edo—semua ini seperti potongan puzzle yang belum sempurna. “Aku harus menemukan cara untuk menjebak mereka,” pikir Aris sambil menatap papan tulis kecil di kamarnya, tempat ia mencatat semua detail yang ia ketahui. Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari Raka: Raka: “Aku dengar dari salah satu anak OSIS, Andre sedang mengumpulkan uang untuk sesuatu. Kita harus cari tahu apa itu.” Aris membalas cepat: Aris: “Besok kita selidiki. Jangan sampai mereka tahu kita mengawasi.” --- Pagi di Sekolah Di kantin, Aris, Raka, dan Sasa duduk di mej

  • Luka Tak Terlihat   BAB 25

    Malam itu, setelah insiden di gudang, Aris duduk termenung di kamarnya. Ia memandangi dokumen-dokumen yang baru saja berhasil ia rebut kembali. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Alena terus terngiang di kepalanya: “Kamu itu anak hasil kecelakaan... pembawa sial...”Aris menghela napas panjang. Ia tahu, tidak ada gunanya melarutkan diri dalam kebencian Alena. Tapi, pertanyaan besar yang selama ini ia coba hindari kembali menyeruak: apa benar ia tidak diinginkan dalam keluarga ini?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sasa.Sasa: “Aris, aku tahu kamu mungkin nggak ingin bicara sekarang. Tapi kalau butuh teman, aku selalu ada.”Aris tersenyum tipis membaca pesan itu. Sasa selalu tahu bagaimana menghiburnya, bahkan tanpa banyak kata. Namun, sebelum ia sempat membalas, pesan lain masuk, kali ini dari nomor tak dikenal.Pesan anonim: “Kalau kamu ingin tahu kebenaran tentang keluargamu, temui aku di taman belakang sekolah besok malam. Jangan bilang siapa-siapa.”Jantung A

  • Luka Tak Terlihat   BAB 24

    Malam itu, Aris duduk gelisah di kamarnya. Pesan dari Raka tentang dugaan Alena dan Andre yang mencuri dokumen-dokumen pentingnya terus mengganggu pikirannya. Ia tidak pernah menyangka bahwa adiknya sendiri mampu melakukan hal sekejam itu. “Aris, kamu nggak bisa diam aja. Kalau benar mereka pelakunya, kamu harus bertindak,” suara Raka menggema di pikirannya. Keesokan harinya, di sekolah, Raka dan Sasa menunggu Aris di tempat biasa. Wajah mereka menunjukkan tekad kuat untuk memulai rencana. “Aris, kita nggak bisa nunggu lama-lama. Aku dengar Andre dan Alena ada di ruang OSIS tadi malam,” ujar Raka sambil menyodorkan foto bukti keberadaan mereka. Sasa mengangguk. “Kita harus cek ke sana. Siapa tahu ada jejak yang mereka tinggalkan.” Aris menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baik. Kita mulai dari ruang OSIS.” Di ruang OSIS, mereka menemukan sebuah laci yang tidak terkunci. Di dalamnya, ada sebuah kertas yang berisi catatan tulisan tangan Andre, menyebutkan sebuah lokasi: Gudang

  • Luka Tak Terlihat   BAB 23

    Kegiatan di perpustakaan sore itu tampak seperti biasa. Beberapa siswa sibuk mengerjakan tugas, sementara yang lainnya berbincang pelan. Di sudut ruangan, Raka menatap Sasa dengan serius. Mereka duduk di meja pojok, menjauh dari keramaian. “Aku yakin dokumen Aris dicuri sama Alena dan Andre,” Raka memulai pembicaraan. Matanya menatap tajam ke arah Sasa, seolah memastikan dia mendengarkan dengan serius. Sasa mengangkat alisnya, setengah tidak percaya. “Kamu serius, Ka? Itu tuduhan yang berat.” Raka mengangguk. “Aku nggak asal bicara, Sa. Aku lihat cara mereka memandang Aris kemarin—ada sesuatu yang nggak beres.” Sasa menggigit bibir bawahnya, mencoba mencerna ucapan Raka. “Tapi, kalau mereka memang pelakunya, kita harus punya bukti. Kalau nggak, Aris tetap akan jadi korban.” “Itu sebabnya aku butuh bantuan kamu. Kita harus cari cara memata-matai mereka tanpa bikin mereka curiga.” Sasa terdiam sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Demi Aris, aku mau bantu. Tapi gimana car

  • Luka Tak Terlihat   BAB 22

    Pagi itu, Aris memulai harinya dengan semangat, meskipun bayangan persaingan beasiswa terus menghantui pikirannya. Ia tahu, langkah menuju beasiswa tidak mudah, terutama dengan kehadiran Andre, yang belakangan ini terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan.Setiba di sekolah, Aris membawa dokumen beasiswa yang hampir selesai diisi. Ia ingin menyerahkannya kepada guru pembimbing untuk mendapat persetujuan. Namun, suasana hatinya berubah ketika ia melihat Andre berdiri di depan pintu kelas bersama Alena.Andre tersenyum dingin, tetapi ada sesuatu dalam caranya menatap yang membuat Aris waspada."Aris," sapa Andre dengan nada santai. "Kamu sibuk banget, ya? Apa nggak capek ngejar sesuatu yang... kayaknya nggak bakal kamu dapatkan?"Aris menatap Andre dengan tenang. "Aku rasa nggak ada salahnya mencoba."Andre tersenyum sinis. "Tapi kadang usaha berlebihan malah bikin kecewa, apalagi kalau tahu hasilnya nggak sesuai."Sasa, yang baru masuk ke kelas, langsung mendekat dengan ekspresi kes

  • Luka Tak Terlihat   BAB 21

    Hari itu suasana kelas sedikit berbeda. Semua siswa tampak antusias menanti kedatangan siswa baru yang akan bergabung. Bu Farida, wali kelas Aris, masuk bersama seorang anak laki-laki dengan rambut hitam pendek dan raut wajah percaya diri. Anak itu menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, sesekali tersenyum tipis.“Anak-anak, kenalkan, ini tomi, teman baru kalian. tomi pindah ke sini karena mengikuti keluarganya. Ibu harap kalian bisa menerima dan membantunya menyesuaikan diri,” ucap Bu Farida dengan nada ramah.Sontak, kelas riuh dengan tepuk tangan. Aris ikut bertepuk tangan pelan dari bangkunya di sudut kelas. Sementara itu, Alena, yang duduk tidak jauh darinya, tampak memutar mata, tampak tidak terlalu tertarik.Andre melangkah mantap ke salah satu bangku kosong. Saat melewati Aris, ia berhenti sejenak, menatapnya.“Aris?” tanya tomi dengan nada terkejut.Aris mengangkat alis. “tomi?”Keduanya sempat terdiam sebelum tomi tersenyum lebar dan menjabat tangan Aris dengan semangat.“A

  • Luka Tak Terlihat   BAB 20

    Aris memanfaatkan akhir pekannya untuk mempersiapkan dokumen beasiswa yang ia incar. Di sudut kamar kecilnya, ia menyalakan laptop tua yang sering macet, berusaha mengetik esai dengan teliti. Setiap kata yang ia tuliskan adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa ia juga layak dihargai. Namun, suara gaduh di luar kamar membuat fokusnya terusik. "Aris! Kamu enggak dengar ibu manggil? Cepat bantu adikmu!" teriak ibunya dari ruang tengah. Aris memejamkan mata sesaat, mencoba mengendalikan diri. "Ya, Bu, sebentar lagi," jawabnya pelan. "Lama banget jawabnya! Dasar anak enggak tahu diri!" Aris menelan ludah, tangan besarnya mengepal erat di atas meja. Ia ingin membalas, tapi suaranya tercekat. Dengan tubuh berat, ia meninggalkan laptopnya dan melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, ibunya berdiri dengan wajah kesal, sementara Alena, adik perempuannya, duduk santai di sofa dengan senyum sinis. "Makanya, Kak," sindir Alena sambil melirik Aris. "Jangan sok sibuk sama hal-hal enggak penti

  • Luka Tak Terlihat   BAB 19

    Hari itu, seperti biasa, Aris merasa dunia seakan menekan bahunya. Dia melangkah memasuki ruang tamu rumahnya, matanya memandangi tumpukan buku yang harus diselesaikan untuk sekolah dan naskah yang belum selesai untuk lomba menulis. Pekerjaan rumah semakin menumpuk, tapi di balik itu, ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan: program beasiswa yang telah ia daftarkan. Itu adalah harapan satu-satunya untuk membuktikan bahwa ia mampu berbuat lebih, keluar dari bayang-bayang keluarganya yang selalu mengabaikannya.Di meja belajarnya, sebuah formulir beasiswa yang sudah setengah terisi tampak tergeletak. Aris duduk, menarik napas panjang, dan mulai menulis lagi."Jangan sampai gagal," gumamnya pada diri sendiri.Namun, di sisi lain, Alena tidak pernah memberikan ruang untuknya merasa tenang. Alena tahu persis betapa pentingnya beasiswa itu bagi Aris, dan di setiap kesempatan, ia selalu membuatnya merasa seolah-olah tidak layak untuk mencapai impian tersebut."Aris, lagi-lag

  • Luka Tak Terlihat   BAB 18

    Minggu pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari pagi yang masuk melalui celah jendela kamar membangunkannya. Namun bukan semangat yang ia rasakan, melainkan rasa berat. Hari libur yang seharusnya menjadi waktu untuk bersantai bagi anak seusianya, bagi Aris hanyalah hari lain yang dipenuhi tugas rumah tangga.Ia merapikan tempat tidur dengan cepat sebelum menuju dapur. Pemandangan biasa menyambutnya—tumpukan piring kotor di wastafel dan lantai yang penuh dengan remah-remah makanan. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan tenaga untuk memulai rutinitasnya.Di luar rumah, Sasa dan Raka sudah menunggu. Mereka berdiri di depan pagar kecil yang sudah berkarat, dengan ekspresi tak sabar."Kok lama banget, ya, Sa? Jangan-jangan Aris nggak diizinin lagi," Raka berkata sambil melirik jam tangannya.Sasa mendesah panjang. "Entahlah, tapi aku punya firasat buruk. Tante itu nggak pernah kasih Aris kebebasan. Aku nggak ngerti, kenapa dia diperlakukan begitu."Raka mengangguk se

DMCA.com Protection Status