Tahun demi tahun berlalu. Aris kini telah memasuki sekolah dasar. Meski usianya masih belia, tanggung jawab yang ia pikul sudah jauh melebihi teman-teman seusianya. Sejak kecil, Aris terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga sendirian. Membersihkan lantai, mencuci pakaian, menjemur, hingga memasak sering kali menjadi rutinitas harian yang harus ia selesaikan, terutama saat ibunya sibuk bekerja.
Di rumah, perhatian ibu Aris lebih banyak tercurah pada Alena, adiknya yang ceria dan manja. Alena selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Mainan, pakaian, bahkan perhatian yang hangat. Sedangkan Aris? Ia lebih sering dianggap tidak ada. Kehadirannya di rumah terasa seperti bayang-bayang yang hanya diingat ketika dibutuhkan. Meski begitu, Aris tidak pernah mengeluh. Ia menerima semua perlakuan itu dengan diam, meskipun di dalam hatinya ada rasa sakit yang sulit ia ungkapkan. Setiap hari, rutinitas sekolah menjadi pelarian kecil bagi Aris, meski tidak selalu menyenangkan. Di sekolah, teman-temannya sering mengejeknya karena penampilannya yang sederhana dan lusuh. "Aris, itu sepatu apa sih? Bolong di mana-mana, kayak sepatu buangan!" ejek salah satu anak, disambut gelak tawa teman-temannya. "Kayaknya sepatu itu udah bisa pensiun, deh! Jangan-jangan itu lebih tua dari kamu!" tambah yang lain, tak kalah keras. Aris hanya diam, menunduk tanpa membalas. Ia tahu, berdebat hanya akan memperburuk keadaan. Namun, setiap ejekan itu seperti duri yang menusuk hatinya. Sepanjang perjalanan pulang sekolah, kata-kata itu terus terngiang di kepalanya. Sampai di rumah, ia menendang-nendang kerikil di jalan sambil menarik napas panjang. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Bu Siti, tetangga yang sering memberinya perhatian, sedang duduk di teras rumahnya. "Assalamualaikum, Aris," sapa Bu Siti lembut, senyumnya selalu menenangkan. "Waalaikumsalam, Bu Siti," jawab Aris lirih. Bu Siti menatap wajahnya yang murung dengan penuh perhatian. "Kamu kenapa, Nak? Mukamu kelihatan kusut. Di sekolah ada apa?" tanyanya sambil menepuk bangku di sebelahnya, mengisyaratkan agar Aris duduk. Awalnya Aris ragu, tapi tatapan Bu Siti yang hangat membuatnya merasa aman. Ia pun duduk dan menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Teman-teman suka mengejek saya, Bu. Kata mereka, sepatu aku jelek. Bolong..." Suaranya bergetar, hampir tak terdengar. Bu Siti terdiam sejenak. Ia tahu betapa beratnya perasaan anak itu, meski Aris berusaha menyembunyikannya. "Aris, kamu tahu nggak? Sepatu itu cuma benda. Apa yang ada di hati kita jauh lebih penting daripada apa yang kita pakai. Kamu nggak perlu malu." Aris menatap Bu Siti dengan mata berkaca-kaca. "Tapi, Bu, mereka nggak pernah berhenti mengejek. Rasanya sakit sekali. aku cuma ingin sepatu yang nggak bikin mereka tertawa." Bu Siti terdiam sesaat, lalu membuka tas yang ia bawa. "Ibu tahu ini nggak akan mengubah semuanya, tapi Ibu punya sesuatu buat kamu. Semoga ini bisa membuatmu lebih percaya diri." Dengan perlahan, Bu Siti mengeluarkan sebuah kotak kecil yang terbungkus rapi. "Ini... untuk aku Bu?" tanya Aris dengan suara pelan, tidak percaya. "Iya, Nak. Bukalah," jawab Bu Siti sambil tersenyum lembut. Dengan tangan gemetar, Aris membuka kotak itu. Sepasang sepatu baru yang bersih dan kokoh ada di dalamnya. Sepatu itu tampak sempurna di matanya, jauh lebih baik daripada sepatu bolong yang ia pakai selama ini. Aris menatap Bu Siti dengan mata yang mulai dipenuhi air mata. "Bu Siti... kenapa Ibu mau melakukan ini untuk aku?" Bu Siti tersenyum, mengusap kepala Aris dengan penuh kasih. "Aris, kamu anak yang baik dan kuat. Ibu ingin kamu tahu kalau ada orang yang peduli sama kamu. Kamu pantas mendapatkan yang terbaik." Aris tidak bisa berkata apa-apa lagi. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa dihargai. "Terima kasih, Bu Siti. aku nggak tahu harus bilang apa... Ini sangat berarti buat aku," ucapnya pelan. Hari itu, Aris pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Sepatu baru itu ia peluk erat, seolah menjadi harta paling berharga yang pernah ia miliki. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Saat Aris mencoba sepatu barunya di kamar, Alena tiba-tiba masuk. "Kak Aris, kok punya sepatu baru? Aku nggak pernah dibeliin sepatu kayak gitu!" serunya dengan nada kesal. Aris terdiam sejenak. Ia tidak ingin menjelaskan panjang lebar. "Ini dari Bu Siti," jawabnya singkat. Alena mengerutkan kening, tapi akhirnya keluar tanpa berkata lebih banyak. Aris tahu, perhatian ibunya mungkin akan tertuju pada sepatu itu. Jika Alena mengadu, ia bisa saja dimarahi karena dianggap menyusahkan orang lain. Malam itu, Aris duduk di tepi tempat tidurnya sambil memandangi sepatu baru itu. Ia menggenggam boneka kayu kecil yang sudah lusuh, benda terakhir yang ia miliki dari ayahnya. "yah, Aris kangen... Kenapa hidup jadi berat begini?" bisiknya pelan, meski tahu tidak akan ada jawaban. Namun, ia teringat kata-kata Bu Siti. "Kamu anak yang baik dan kuat." Kata-kata itu terulang di kepalanya, memberi secercah harapan di tengah rasa sakit yang ia rasakan. Dengan hati yang sedikit lebih ringan, Aris memejamkan mata, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menghadapi semua ini dengan keberanian.Pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Matahari masih malu-malu memunculkan sinarnya di ufuk timur. Dengan mata yang masih berat, ia langsung bergegas menyelesaikan pekerjaan rumah yang sudah menjadi tanggung jawabnya setiap hari. Seperti biasa, mencuci piring, menyapu lantai, dan membersihkan seluruh rumah harus selesai sebelum ia bersiap ke sekolah. Sementara itu, Alena, adiknya yang masih kecil, bangun dengan wajah ceria. Alena selalu menjadi pusat perhatian di rumah. Ibu mereka selalu memastikan Alena mendapatkan segalanya, mulai dari baju baru hingga mainan yang ia inginkan. Aris melirik pakaian yang dikenakan Alena pagi itu. Gaun putih dengan motif bunga yang baru dibelikan oleh ibu. Sementara itu, Aris hanya mengenakan seragam sekolahnya yang sudah terlihat pudar warnanya. Meskipun begitu, ia tidak mengeluh. Namun, pagi ini ada satu hal yang membuat Aris merasa sedikit lebih baik. Sepatu barunya yang diberikan oleh Bu Siti terlihat bersih dan mengkilap. Itu adala
Beberapa hari berlalu sejak insiden sepatu itu. Meski luka di hati Aris masih terasa perih, ia mencoba menjalani rutinitas seperti biasa. Setiap pagi, ia bangun lebih awal dari semua penghuni rumah, menyelesaikan pekerjaan rumah yang sebenarnya bukan tanggung jawabnya, lalu bersiap-siap untuk sekolah. Kehidupan di rumah tidak pernah berubah; perhatian dan kasih sayang orang tua sepenuhnya tercurah kepada Alena, adiknya, sementara Aris hanya menerima perintah dan tuntutan. Namun, ada sesuatu yang membuat hari-hari Aris sedikit lebih ringan. Setelah mengetahui insiden itu, Bu Siti, tetangga sekaligus orang yang sangat peduli padanya, membelikannya sepasang sepatu baru. Tetapi, karena takut menimbulkan masalah, Bu Siti tidak memberikannya langsung kepada Aris. Sebaliknya, ia menyimpan sepatu itu di rumahnya. Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah, Aris mampir ke rumah Bu Siti untuk mengenakan sepatu itu. Bagi Aris, perhatian sederhana itu sudah cukup membuatnya merasa dihargai, meski
Setelah menghabiskan waktu bersama Bu Siti dan Pak Rudi, Aris merasa hatinya sedikit lebih ringan. Jalan-jalan ke taman dengan mereka memberinya kesempatan untuk sejenak melupakan kesulitan yang terus membelenggu hidupnya. Perhatian sederhana dari pasangan itu menjadi secercah harapan di tengah rasa kesepian yang melingkupinya. Mereka menghabiskan waktu dengan piknik kecil, menikmati bekal yang dibawa Bu Siti. Pak Rudi bahkan mengajarinya cara membuat kapal kertas yang bisa mengapung di kolam kecil di taman. Aris tertawa lepas untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Namun, ketika matahari mulai terbenam, perasaan cemas mulai merayap di hati Aris. Ia tahu, kebahagiaan ini sementara. Di ujung hari, ia harus kembali ke rumah, tempat yang tidak pernah memberikan kedamaian. Di perjalanan pulang, Aris tak banyak bicara. Ia hanya menunduk, menikmati momen-momen terakhir bersama Bu Siti dan Pak Rudi sebelum kembali menghadapi kenyataan. Ketika mereka sampai di depan rumahnya, Aris
Sekolah sering menjadi pelarian bagi Aris. Di tempat itu, ia bisa melupakan sejenak kerasnya hidup di rumah. Namun, hari ini terasa berbeda. 'Ding ding'—bel berbunyi, menandakan waktu istirahat telah usai. Aris yang sedang membaca di perpustakaan segera membereskan bukunya. Ia bergegas menuju kelas agar tidak terlambat. Tetapi begitu memasuki ruang kelas, sebuah insiden tak terduga terjadi. Dina, teman sekelasnya yang sering mencari masalah, sengaja menjulurkan kaki ke arah Aris. Aris tersandung dan terjatuh. “Ups, maaf,” ucap Dina dengan nada pura-pura menyesal sambil menutup mulutnya. Belum cukup sampai di situ, Dina memungut salah satu buku catatan Aris yang terjatuh. Ia membuka botol air minumnya, lalu menuangkan sebagian isinya ke buku itu. “Eh, maaf lagi ya, Aris. Aku nggak sengaja,” katanya sambil menyeringai. “Tapi kan kamu bisa beli buku baru. Masa nggak mampu sih? Buku doang kok.” Teman-teman sekelasnya tertawa mendengar ejekan Dina. Aris tidak mengatakan apa-a
Setelah pertemuannya dengan Sasa, Aris merasa lebih bersemangat. Selain mengganti buku yang rusak, Sasa juga membawa kabar baik yang membuka peluang besar untuknya.“Ris, aku dengar ada program beasiswa penuh untuk SMA favorit. Tiga sekolah unggulan buka pendaftaran. Kamu harus coba, ini kesempatan besar,” ujar Sasa penuh semangat.Aris tertegun. “Serius, Sa? Tapi… apa aku cukup bagus untuk bersaing?”“Kamu pasti bisa! Jangan ragu. Yuk, kita ke ruang guru sekarang. Siapa tahu masih ada slot,” ajaknya.Mereka pun segera pergi ke ruang guru. Beruntung, masih ada satu slot terakhir untuk mendaftar tes beasiswa. Tanpa pikir panjang, Aris langsung mendaftarkan dirinya.Tidak berhenti di situ, mereka menemukan pengumuman lomba menulis di mading sekolah dengan hadiah besar.“Sa, ini peluang bagus juga. Aku mau daftar lomba ini,” kata Aris antusias.“Daftar aja! Aku yakin kamu bisa menang,” balas Sasa, memberi dukungan penuh.Namun, kebahagiaan Aris terganggu saat Dina, yang terkenal suka men
Malam itu, setelah kejadian di rumah Bu Siti dan Pak Rudi, Aris duduk termenung di depan laptop barunya. Hatinya masih dipenuhi rasa haru atas kebaikan mereka. Namun, bayangan perlakuan dingin keluarganya terus menghantui pikirannya. Tuduhan mencuri dari ayah dan sindiran pedas Alena seolah-olah mencabik keberaniannya untuk bermimpi.Aris menghela napas panjang. "Aku harus membuktikan kalau aku bisa," gumamnya sambil membuka aplikasi pengolah kata. Ia mulai mengetik naskah untuk lomba menulis.Namun, baru beberapa menit ia menulis, pintu kamarnya terbuka keras tanpa diketuk. Alena muncul dengan wajah penuh ejekan, seperti biasanya."Kamu pikir semua selesai, Aris?" sindir Alena sambil menyandarkan tubuhnya di pintu.Aris berhenti mengetik, menatap Alena dengan tenang. "Aku cuma mau berusaha untuk diriku sendiri. Kamu nggak perlu ikut campur."Alena mendekat sambil tertawa kecil. "Oh, aku nggak ikut campur? Kamu benar-benar polos, ya. Dunia ini nggak akan pernah berpihak sama orang kay
Keesokan harinya, tepat di hari Minggu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Ia memulai rutinitas paginya seperti biasa: membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya dan Alena, adik perempuannya. Sebagai kakak, Aris selalu berusaha menjaga dan memenuhi kebutuhan adiknya, meski hubungan mereka sering diwarnai konflik kecil. Aris sudah selesai menyiapkan nasi goreng dan teh manis di meja makan ketika ia kembali ke kamarnya. Ia melanjutkan mengetik cerita untuk lomba menulis. Baginya, ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa ia mampu melampaui batas dirinya. Namun, Alena yang merasa kesal karena merasa Aris selalu mendapat perhatian lebih di sekolah, mulai merencanakan sesuatu. “Aris nggak boleh terlalu santai. Aku mau lihat apa dia masih bisa fokus kalau semua rencananya gagal,” gumam Alena dengan tatapan licik. Diam-diam, Alena membuang nasi goreng yang sudah disiapkan kakaknya ke tempat sampah. Ia membersihkan meja makan agar tampak sepe
Bel pulang sekolah sudah berbunyi, Aris yang teringat ajakan Pak Rudi bergegas menuju pintu. Namun, hari ini tidak seperti biasanya. Hari ini, Aris merasa begitu semangat dan langsung pulang ke rumah.Sesampainya di rumah, Aris segera menuju kamarnya dan mengganti pakaian. Ia merasa bersemangat, lalu mulai membereskan rumah dan menyiapkan makan siang untuk keluarganya. Setelah semua tugas selesai, Aris berpamitan pada ibunya untuk pergi ke rumah Bu Siti.Awalnya, ibunya mengizinkan karena pekerjaan Aris sudah selesai. Namun, tiba-tiba Alena menghentikan langkah Aris dan mulai mengulur waktu agar ia tidak segera pergi."Tunggu, Aris! Kamu harus bantu aku menyelesaikan tugas sekolah dulu!" ujar Alena dengan sedikit berteriak.Namun, Aris kini sudah lebih tegas dan menolak perintah Alena karena ia merasa ada hal yang lebih penting untuk dikerjakan.Melihat Aris mulai berani membantahnya, Alena langsung mengadu pada ibunya. Ibunya, yang sangat menyayangi Alena, segera memarahi Aris dan me
Pagi berikutnya, markas Victor kembali bergeliat. Setelah menerima informasi penting dari Clara, setiap anggota tim terlihat sibuk dengan tugas mereka. Ada yang mempersiapkan peralatan, ada pula yang memperkuat sistem keamanan seperti yang dirancang oleh Aris.Victor berdiri di ruang rapat bersama Andre, Aris, dan Clara, menatap peta besar yang memenuhi layar. Peta itu menampilkan lokasi-lokasi strategis yang dikendalikan oleh Raven Syndicate.“Prioritas kita sekarang adalah mengamati pergerakan mereka,” kata Victor sambil menunjuk salah satu titik merah di peta. “Basis utama mereka ada di sini, tapi mereka punya tiga lokasi cadangan yang digunakan untuk menyimpan persenjataan dan dokumen penting.”Andre mengangguk. “Kalau kita bisa menyerang lokasi cadangan itu, mereka akan kehilangan banyak sumber daya.”“Tapi itu berisiko,” Clara menimpali. “Raven Syndicate bukan organisasi kecil. Mereka punya penjaga bersenjata di setiap lokasi.”Aris yang berdiri di belakang Clara angkat bicara,
Pagi itu, markas Victor tampak sibuk seperti biasa. Meskipun bekas-bekas pertempuran masih terlihat di beberapa sudut bangunan, para anggota tim tidak membiarkan semangat mereka surut. Mereka saling membantu memperbaiki kerusakan, mengatur ulang peralatan, dan memastikan markas kembali berfungsi optimal.Aris bergabung dengan kelompok yang sedang memperbaiki area penyimpanan. Ia memegang alat berat di tangannya, membantu mengangkat puing-puing yang menumpuk. Keringat mengalir di wajahnya, tetapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya."Aris, kau pasti bisa jadi tukang bangunan setelah ini," canda Andre yang lewat sambil membawa papan kayu.Aris tertawa kecil. "Kalau begini terus, aku mungkin bisa buka jasa renovasi rumah setelah semua ini selesai."Tawa kecil di antara mereka membuat suasana kerja terasa lebih ringan, meskipun tugas yang mereka hadapi cukup berat.---Rapat Strategi BaruSetelah beberapa jam bekerja, Victor memanggil seluruh tim inti untuk berkumpul di ruang rapat utam
Setelah mendapatkan informasi lengkap dari Jovan, Victor memutuskan untuk bertindak cepat. Dengan peta markas utama Raven Syndicate yang Jovan berikan, mereka mulai menyusun strategi untuk menyerang balik."Kita tidak bisa membiarkan mereka menyerang kita lagi," ujar Victor tegas. "Ini saatnya kita mengambil alih kendali."Aris mengangguk setuju. "Tapi kita harus berhati-hati. Raven Syndicate tidak akan membiarkan kita masuk tanpa perlawanan."Victor membagi tim menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama akan menangani keamanan dan menyerang langsung, kelompok kedua bertugas menciptakan pengalihan, sementara kelompok terakhir, yang dipimpin Aris, akan fokus menyusup ke dalam markas untuk menghancurkan sistem komunikasi mereka."Kita harus membuat mereka lumpuh sebelum mereka sadar apa yang terjadi," tambah Andre, yang berada di kelompok pertama.Aris mengepalkan tangannya. "Aku siap memimpin timku."---Persiapan Sebelum PerangMalam itu, suasana di markas Victor sangat tegang. Semua ang
Tim Victor kembali ke markas utama menjelang fajar. Udara pagi terasa dingin, namun tidak ada yang lebih menyejukkan daripada rasa lega setelah pertempuran panjang. Meskipun begitu, suasana di antara mereka tetap tegang. Mereka tahu bahwa kemenangan ini hanya sementara.Aris melangkah keluar dari kendaraan, wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. Lina mendekatinya, membawa segelas kopi hangat yang ia buat di ruang sementara."Kau butuh ini," katanya lembut sambil menyerahkan kopi tersebut."Terima kasih," jawab Aris, meminum seteguk kopi. "Bagaimana keadaan tim lainnya?"Lina menghela napas panjang. "Beberapa masih dalam perawatan. Tapi kita kehilangan tiga orang."Aris terdiam. Setiap kehilangan adalah beban berat, terutama saat dia melihat mereka sebagai bagian dari keluarganya.---Victor Merancang Strategi BaruSementara itu, Victor langsung memimpin rapat darurat di ruang utama. Darius, pemimpin Raven Syndicate, telah ditahan di ruang bawah tanah untuk diinterogasi."Ini be
Malam itu, markas dipenuhi dengan ketegangan yang terasa di udara. Setiap orang bergerak cepat, mempersiapkan diri untuk serangan yang hampir pasti datang. Aris berdiri di salah satu pos penjagaan, matanya tajam mengamati kegelapan di depan gerbang utama."Lina, pastikan timmu sudah siap di posisi masing-masing," ujar Aris melalui radio."Semua sudah siap," jawab Lina singkat namun tegas.Sementara itu, Victor berada di ruang komando, memantau layar monitor yang menampilkan rekaman dari kamera pengawas. Dia tahu ini adalah momen yang menentukan. Jika mereka kalah malam ini, seluruh jaringan mereka bisa runtuh."Kita tidak bisa membiarkan mereka mengambil alih," kata Victor dengan nada penuh keyakinan.---Serangan DimulaiTepat tengah malam, suara mesin kendaraan terdengar mendekat. Lampu sorot dari truk dan mobil SUV menerangi area depan markas, mengungkapkan belasan orang bersenjata lengkap yang keluar dari kendaraan tersebut."Semua di posisi masing-masing!" teriak Aris melalui rad
Pagi hari setelah insiden di gudang, Victor memimpin pertemuan besar di markas. Seluruh tim inti hadir, termasuk Aris, Lina, Andre, dan beberapa orang kepercayaan Victor. Mereka tahu bahwa waktu semakin menipis untuk menghadapi ancaman dari Raven Syndicate."Aris sudah membawa dokumen penting tadi malam," Victor membuka pertemuan. "Dan informasi ini memastikan bahwa mereka tidak hanya mengincar kita. Mereka berencana menguasai semua wilayah yang selama ini menjadi bagian dari jaringan kita."Andre mengamati peta yang terbentang di meja. "Mereka tahu semua lokasi strategis kita. Kalau informasi ini benar, maka ada pengkhianat di dalam tim kita."Kata-kata Andre membuat suasana menjadi tegang. Semua orang saling memandang, mencoba mencari tanda-tanda siapa yang mungkin berkhianat.Victor mengangguk setuju. "Aku sudah memikirkan hal itu. Karena itu, kita harus bergerak cepat. Sebelum kita menemukan siapa yang membocorkan informasi, kita perlu melindungi tempat-tempat yang rentan terhadap
Kembali ke MarkasAris dan tim tiba di markas utama yang kini dalam keadaan kacau. Pintu-pintu terbuka, barang-barang berserakan, dan beberapa anggota tim terlihat terluka. Kekacauan ini tidak hanya fisik, tetapi juga mental.Victor segera memimpin rapat darurat. "Ada yang membocorkan informasi penting tentang markas kita. Ini bukan kebetulan."Sang Rubah mengangguk. "Kita perlu mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini."Aris memperhatikan suasana tegang di ruangan. Ia tahu bahwa pengkhianatan ini dapat merusak kepercayaan di antara mereka.---Penyelidikan DimulaiVictor membentuk tim kecil untuk menyelidiki kemungkinan adanya mata-mata di dalam kelompok mereka. Aris, Andre, dan Lina dipercaya untuk memimpin investigasi."Kita mulai dari siapa saja yang memiliki akses ke data penting," kata Victor. "Cari tahu siapa yang terakhir kali menggunakan sistem komunikasi kita."Andre menambahkan, "Kita juga perlu memeriksa semua orang yang berada di dekat lokasi kejadian saat seran
Mentor Victor, pria tua yang dikenal dengan nama sandi Sang Rubah, mulai mempelajari situasi yang dihadapi oleh tim Victor. Ia meminta semua informasi terbaru mengenai Raven Syndicate, termasuk pola serangan mereka, struktur organisasi, dan segala data yang berhasil dikumpulkan."Raven Syndicate bukan hanya organisasi kriminal," kata Sang Rubah dengan nada serius. "Mereka adalah ahli dalam permainan psikologi. Mereka memanipulasi musuh untuk bertindak tergesa-gesa, kemudian menghancurkannya perlahan-lahan."Victor mengangguk. "Kami menyadari itu. Tapi kali ini, kami tidak akan membiarkan mereka memimpin permainan."Sang Rubah tersenyum kecil. "Bagus. Kalau begitu, kita harus memulai dengan serangan balik yang tidak mereka duga."---Misi RahasiaSang Rubah menyusun strategi yang melibatkan infiltrasi ke salah satu lokasi operasi kecil Raven Syndicate. Aris dan Andre ditugaskan untuk memimpin misi ini, dengan dukungan beberapa anggota terpercaya."Kalian harus bergerak tanpa terdeteksi
Sementara itu, Victor menerima informasi penting dari salah satu informannya. Kelompok yang menyerang mereka dikenal sebagai Raven Syndicate, sebuah organisasi kriminal besar yang sudah lama mengincar wilayah Victor."Mereka tidak hanya ingin menghancurkan kita," kata Victor kepada Andre. "Mereka ingin mengambil alih seluruh jaringan kita."Andre menghela napas panjang. "Kalau begitu, kita harus bersiap menghadapi perang yang lebih besar."Victor mengangguk. "Tapi pertama-tama, kita harus memastikan Aris dan yang lain selamat."---Pengepungan di Tengah MalamMalam itu, situasi semakin tegang. Aris, Andre, dan beberapa anggota lainnya tetap berjaga di markas yang tersisa. Mereka tahu bahwa serangan berikutnya bisa datang kapan saja.Saat tengah malam, suara kendaraan mendekat membuat semua orang siaga. Aris memegang senjatanya erat-erat, bersiap menghadapi apa pun yang datang.Victor memberikan instruksi melalui radio, "Tetap di posisimu. Jangan bertindak gegabah."Namun, apa yang mer