BAB 5

Pagi itu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Matahari masih malu-malu memunculkan sinarnya di ufuk timur. Dengan mata yang masih berat, ia langsung bergegas menyelesaikan pekerjaan rumah yang sudah menjadi tanggung jawabnya setiap hari. Seperti biasa, mencuci piring, menyapu lantai, dan membersihkan seluruh rumah harus selesai sebelum ia bersiap ke sekolah.

Sementara itu, Alena, adiknya yang masih kecil, bangun dengan wajah ceria. Alena selalu menjadi pusat perhatian di rumah. Ibu mereka selalu memastikan Alena mendapatkan segalanya, mulai dari baju baru hingga mainan yang ia inginkan.

Aris melirik pakaian yang dikenakan Alena pagi itu. Gaun putih dengan motif bunga yang baru dibelikan oleh ibu. Sementara itu, Aris hanya mengenakan seragam sekolahnya yang sudah terlihat pudar warnanya. Meskipun begitu, ia tidak mengeluh.

Namun, pagi ini ada satu hal yang membuat Aris merasa sedikit lebih baik. Sepatu barunya yang diberikan oleh Bu Siti terlihat bersih dan mengkilap. Itu adalah hadiah yang sangat berarti baginya. Ia mengenakan sepatu itu dengan hati-hati, seolah-olah itu adalah benda paling berharga di dunia.

Ketika Aris sedang merapikan tali sepatu, Alena tiba-tiba mendekat. Dengan wajah penasaran, ia memandangi sepatu itu dengan tatapan penuh keinginan.

"Aris, kenapa sih sepatu barumu bagus banget? Aku mau juga!" seru Alena sambil mengulurkan tangannya, seolah-olah meminta.

Aris terkejut dengan permintaan itu. "Ini... ini hadiah dari Bu Siti. Aku nggak bisa kasih sepatu ini ke kamu, Alena," jawabnya pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

Namun, Alena tidak mau mendengarkan. Wajahnya berubah cemberut, dan ia langsung berlari ke dalam rumah. "Kalau kamu nggak kasih sepatu itu, aku nggak mau sekolah!" teriaknya keras-keras, cukup untuk memanggil perhatian ibu mereka.

Tidak lama kemudian, ibu mereka keluar dari dapur dengan wajah yang jelas menunjukkan rasa kesal. Ia melipat tangan di dada dan menatap Aris tajam.

"Aris! Kenapa kamu bikin adikmu nangis pagi-pagi begini?" tegur ibu dengan nada tinggi.

"Tapi, Bu... ini sepatu aku . Hadiah dari Bu Siti," jawab Aris, suaranya hampir tidak terdengar.

"Sepatu aja nggak mau berbagi? Kamu itu kakaknya! Harusnya bisa ngalah dong sama adikmu!" bentak ibu sambil melangkah mendekat.

Aris diam. Ia ingin membela diri, tapi kata-kata ibunya membuatnya merasa bersalah. Dalam diam, ia melepas sepatu itu dan menyerahkannya kepada Alena yang sudah berdiri di belakang ibu mereka dengan senyum kemenangan.

"Terima kasih, Kak Aris!" seru Alena riang sambil mengambil sepatu itu. Ia langsung memakainya dan melompat-lompat kegirangan.

Aris hanya bisa menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia merasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

---

Siang harinya, sepulang sekolah, Aris berjalan dengan langkah lesu. Sepatu lamanya kembali dikenakan, dengan bagian depan yang sudah hampir sobek. Ketika sampai di depan rumah, ia melihat Bu Siti sedang duduk di teras seperti biasa.

"Aris, sudah pulang? Gimana sekolahnya hari ini?" sapa Bu Siti dengan senyuman ramah. Namun, senyum itu perlahan memudar ketika ia melihat sepatu yang dikenakan Aris.

"Aris, kenapa kamu pakai sepatu yang lama? Bukannya Ibu sudah kasih kamu sepatu baru?" tanyanya penuh keheranan.

Aris tidak langsung menjawab. Ia menunduk, merasa malu untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, tatapan lembut Bu Siti membuatnya akhirnya memberanikan diri.

"Bu... sepatunya diambil Alena. Ibu nyuruh aku ngasih ke dia," jawab Aris lirih.

Bu Siti terdiam. Wajahnya menunjukkan campuran antara sedih dan prihatin. Ia tahu kehidupan Aris di rumah tidak mudah, tapi ia tidak menyangka Aris harus kehilangan satu-satunya hadiah yang pernah ia terima.

"Aris, dengar ya," kata Bu Siti lembut sambil memegang bahu Aris. "Kamu anak yang baik, tapi kamu juga berhak untuk mempertahankan apa yang penting buat kamu. Ibu kasih sepatu itu karena kamu memang pantas mendapatkannya."

"Tapi, Bu... kalau aku nggak kasih, ibu aku pasti marah," ujar Aris dengan suara gemetar. "aku nggak mau bikin masalah di rumah."

Bu Siti menghela napas panjang, lalu menatap Aris dengan penuh kasih sayang. "Kamu memang anak yang sangat pengertian, Aris. Tapi jangan lupa, kamu juga punya hak untuk bahagia. Jangan selalu mengorbankan dirimu untuk orang lain, apalagi kalau itu membuatmu merasa sedih."

Aris terdiam, mencerna kata-kata itu. Hatinya terasa sedikit lebih ringan, meski rasa kecewa masih menyelimuti dirinya.

"Ibu bangga sama kamu, Aris. Kamu anak yang kuat. Tapi ingat, kalau ada apa-apa, kamu selalu bisa cerita ke Ibu, ya," lanjut Bu Siti.

Aris mengangguk pelan. "Terima kasih, Bu. Ibu selalu baik sama aku," katanya dengan suara lirih.

---

Malam harinya, Aris duduk di sudut kamarnya sambil memegang boneka kayu kecil yang pernah dibuat ayahnya. Ia memandang benda itu lama, mencoba mencari kekuatan dari kenangan masa lalu.

Dalam hati, ia berjanji untuk menjadi lebih kuat. Jika orang-orang di sekitarnya tidak memberinya kebahagiaan, ia akan mencarinya sendiri. Kata-kata Bu Siti terus terngiang di benaknya, memberikan harapan kecil di tengah kegelapan yang ia rasakan.

**"Kamu berhak bahagia, Aris. Jangan pernah lupa itu."**