Share

BAB 7

Author: Intan april
last update Last Updated: 2024-11-19 23:24:12

Setelah menghabiskan waktu bersama Bu Siti dan Pak Rudi, Aris merasa hatinya sedikit lebih ringan. Jalan-jalan ke taman dengan mereka memberinya kesempatan untuk sejenak melupakan kesulitan yang terus membelenggu hidupnya. Perhatian sederhana dari pasangan itu menjadi secercah harapan di tengah rasa kesepian yang melingkupinya.

Mereka menghabiskan waktu dengan piknik kecil, menikmati bekal yang dibawa Bu Siti. Pak Rudi bahkan mengajarinya cara membuat kapal kertas yang bisa mengapung di kolam kecil di taman. Aris tertawa lepas untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Namun, ketika matahari mulai terbenam, perasaan cemas mulai merayap di hati Aris. Ia tahu, kebahagiaan ini sementara. Di ujung hari, ia harus kembali ke rumah, tempat yang tidak pernah memberikan kedamaian.

Di perjalanan pulang, Aris tak banyak bicara. Ia hanya menunduk, menikmati momen-momen terakhir bersama Bu Siti dan Pak Rudi sebelum kembali menghadapi kenyataan. Ketika mereka sampai di depan rumahnya, Aris melihat mobil keluarganya sudah terparkir di halaman. Ia tahu, itu artinya keluarganya telah pulang dari perjalanan mereka.

Bu Siti menyadari kegelisahan Aris. Ia berusaha meyakinkan anak itu dengan berkata lembut, "Jangan khawatir, Aris. Kalau ada apa-apa, ingat kami selalu ada di sini untukmu."

Aris hanya mengangguk. Senyumnya tipis, hampir tak terlihat. Dengan langkah berat, ia membuka pintu rumah, sementara Bu Siti dan Pak Rudi menunggu sejenak di depan untuk memastikan semuanya baik-baik saja.

Begitu masuk ke rumah, Aris langsung disambut dengan pemandangan yang membuat hatinya mencelos. Alena, adiknya, duduk santai di sofa ruang tamu sambil menyantap ayam bakar yang tampak begitu menggoda. Ayah dan ibu duduk di sudut, wajah mereka masam, seperti sedang menahan kemarahan.

"Ke mana saja kamu seharian?" suara ibunya langsung menghujam Aris begitu ia melangkah masuk.

Aris terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ia tahu, apapun yang ia katakan tidak akan diterima. Bu Siti yang berdiri di luar mencoba menjelaskan, "Kami mengajak Aris jalan-jalan sebentar, Bu. Dia sudah banyak membantu kami, jadi kami pikir tidak apa-apa—"

Namun, sebelum Bu Siti selesai bicara, ibu Aris memotong dengan nada dingin. "Tidak ada yang berhak membuat keputusan untuk anak saya tanpa izin. Kalian tidak tahu aturan? Sudahlah, pergi saja. Jangan ikut campur urusan keluarga kami."

Kata-kata itu begitu menusuk, bahkan untuk Bu Siti yang sudah terbiasa menghadapi sifat dingin ibu Aris. Pak Rudi menarik tangan istrinya perlahan, memberi isyarat agar mereka pergi. "Mari, Bu. Kita pulang dulu."

Sebelum pergi, Bu Siti sempat berbisik pada Aris, "Kalau ada apa-apa, panggil kami, ya."

Aris hanya mengangguk kecil, tidak berani membalas dengan kata-kata. Ketika pintu tertutup, ia berbalik menghadap keluarganya.

"Apa-apaan ini, Aris?" Ayahnya berdiri, suaranya penuh emosi. "Kamu pikir kamu bisa seenaknya meninggalkan rumah begitu saja? Tidak ada izin, tidak ada kabar, lalu pulang bersama orang lain. Memalukan!"

Aris mencoba menjelaskan, meskipun ia tahu itu sia-sia. "Maaf, Ayah... aku hanya diajak oleh Bu Siti dan Pak Rudi. Mereka baik kepada aku—"

"Jangan bawa-bawa mereka!" bentak ibunya. "Kalau mereka baik, mereka tidak akan mengajarkanmu untuk melawan kami. Kamu ini anak kami, tahu diri sedikit!"

Aris merasakan panas di matanya. Ia ingin membela diri, tetapi tubuhnya terasa kaku. Alena yang sejak tadi diam tiba-tiba ikut angkat bicara. "Makanya, jadi anak yang nurut. Jangan bikin malu orang tua. Kalau aku, nggak akan pernah bikin masalah kayak kamu."

Aris menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang. "aku minta maaf... aki tidak akan melakukannya lagi," katanya pelan.

Namun, permintaan maafnya tidak cukup untuk meredakan amarah orang tuanya. Mereka terus meluapkan kemarahan hingga akhirnya Aris disuruh pergi ke dapur untuk memasak nasi. Tubuhnya lelah, tetapi ia tahu ia tidak punya pilihan.

Malam itu, setelah menyelesaikan semua tugasnya, Aris masuk ke kamarnya. Ia duduk di ranjang kecilnya, memeluk lutut sambil memandang ke luar jendela. Di luar, bintang-bintang berkelap-kelip, seolah menyaksikan penderitaannya.

Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mengalir. Ia tidak mengeluarkan suara, hanya membiarkan pipinya basah. Di tengah malam yang sunyi, ia bertanya pada dirinya sendiri, *Apa salahku? Kenapa aku selalu dianggap beban?*

Pikiran-pikiran itu terus berputar di kepalanya hingga ia tertidur. Bahkan dalam mimpinya, ia merasa tidak tenang. Bayangan wajah dingin orang tuanya terus menghantui, mengingatkan betapa ia merasa tidak diinginkan.

Waktu berlalu, dan Aris kini telah tumbuh menjadi seorang remaja. Ia duduk di bangku kelas dua SMP. Penampilannya sederhana, jauh berbeda dengan Alena yang selalu tampil mencolok dengan barang-barang mewah.

Aris tidak pernah peduli dengan penampilan, tetapi hal itu sering menjadi bahan ejekan teman-temannya. Mereka tidak mengerti bahwa ia lebih memilih hidup sederhana daripada berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan dirinya.

Meskipun sering diejek, Aris tetap berprestasi di sekolah. Ia dikenal sebagai siswa yang pintar dan rajin. Guru-guru memuji kecerdasannya, tetapi di rumah, ia masih dianggap tidak berguna. Apapun yang ia capai di sekolah, tidak pernah cukup untuk mendapatkan perhatian atau pujian dari orang tuanya.

Di sisi lain, Alena selalu menjadi kebanggaan keluarga. Dengan sikap percaya diri dan penampilannya yang menarik, ia mudah mendapatkan perhatian orang lain. Setiap kali ada acara sekolah, Alena selalu menjadi pusat perhatian. Ia seperti berlian yang bersinar terang, sementara Aris hanya bayangan yang nyaris tak terlihat.

Suatu hari, di kelas, Aris bertemu dengan seorang siswa baru bernama raka . Anak laki-laki itu pendiam, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Aris merasa nyaman.

Raka tidak seperti anak-anak lain yang suka mengejeknya. Sebaliknya, ia sering mengajak Aris berbicara tentang hal-hal kecil, seperti pelajaran atau buku favorit mereka. Lambat laun, mereka menjadi teman dekat.

persahabatan itu bisa bertahan lama. Alena yang mengetahui kedekatan mereka merasa tidak senang. Ia tidak suka melihat Aris memiliki sesuatu yang tidak ia miliki, bahkan jika itu hanya seorang teman.

"Raka kamu tahu nggak, Aris itu bukan siapa-siapa. Dia cuma numpang hidup di rumah kami. Kamu nggak perlu dekat-dekat dia," kata Alena suatu hari, mencoba mempengaruhi Raka.

raka awalnya terpengaruh dengan omongan alena tetapi perlahan, kata-kata Alena hanya angin lewat saja bagi raka .

mempunyai satu-satunya teman membuat Aris kembali bersemangat , namun tidak mengubah apa pun dari diri aris .

meski hubungan dengan Raka semakin baik Aris tetap lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah, tenggelam dalam buku-buku yang memberinya dunia lain untuk melarikan diri. Di sana, ia menemukan kedamaian yang tidak pernah ia dapatkan di rumah.

Suatu hari, ia menemukan sebuah buku tentang astronomi. Halaman-halaman buku itu dipenuhi gambar-gambar planet, bintang, dan galaksi yang memukau. Aris merasa seperti menemukan sesuatu yang berharga. Ia teringat pada malam-malam di kamarnya, ketika ia sering menatap bintang melalui jendela.

"Seandainya aku bisa pergi sejauh itu," gumamnya pelan.

Astronomi menjadi pelariannya. Ia mulai menggambar sketsa planet dan bintang di buku catatan kecilnya. Ia bahkan menulis impian-impian kecil, seperti menjadi seorang ilmuwan atau astronot yang bisa menjelajahi luar angkasa.

Namun, ketika Alena mengetahui kebiasaan barunya, ia kembali mengejek. "Aris, kamu mimpi apa sih? Kamu nggak akan pernah bisa jadi apa-apa. Lagian, buat apa mimpi setinggi itu? Kamu bahkan nggak punya apa-apa."

Ejekan itu menyakitkan, tetapi Aris berusaha untuk tidak memedulikannya. Ia tahu, jika ia terus membiarkan kata-kata Alena memengaruhinya, ia tidak akan pernah bisa berkembang.

Pada suatu siang yang sepi, sepulang sekolah, Aris memutuskan untuk mengunjungi Bu Siti dan Pak Rudi. Ia rindu pada mereka, terutama perhatian tulus yang selalu mereka berikan. Ketika sampai di rumah kecil pasangan itu, ia disambut dengan hangat.

"Aris! Lama sekali tidak ke sini. Apa kabar, Nak?" sapa Bu Siti sambil menyuguhkan segelas teh hangat.

Aris tersenyum tipis. "Baik, Bu. aku hanya ingin mampir sebentar."

Pak Rudi yang sedang memperbaiki sebuah kursi di halaman menoleh. "Kamu kelihatan lebih kurus, Aris. Kamu makan cukup, kan?"

Pertanyaan itu membuat Aris terdiam sejenak. Ia tidak ingin mengeluh, tetapi kehangatan dari Pak Rudi dan Bu Siti membuatnya merasa aman untuk jujur. "Kadang... tidak, Pak. Tapi aku masih bisa bertahan."

Bu Siti memandangnya dengan penuh kasih. "Kamu tahu, Aris, tidak apa-apa kalau kamu merasa lelah. Tapi jangan pernah menyerah. Kami selalu ada untukmu."

Kata-kata itu menjadi penyemangat bagi Aris. Ia merasa bahwa meskipun keluarganya tidak menghargainya, masih ada orang-orang seperti Bu Siti dan Pak Rudi yang peduli padanya.

Pada hari Senin berikutnya, sekolah Aris mengadakan lomba sains. Tema lomba itu adalah tentang tata surya. Tanpa ragu, Aris mendaftar. Ia menggunakan semua pengetahuan yang ia pelajari dari buku-buku di perpustakaan untuk mempersiapkan diri.

Saat hari lomba tiba, ia merasa gugup. Banyak peserta lain yang tampil percaya diri, terutama Alena yang juga ikut serta. Alena membawa presentasi yang dihiasi gambar-gambar mewah, sementara Aris hanya membawa poster sederhana hasil buatannya sendiri.

Ketika giliran Aris tiba, ia berdiri di depan kelas dengan tangan gemetar. Namun, ketika ia mulai berbicara tentang tata surya, kegugupannya perlahan menghilang. Ia berbicara dengan penuh semangat, menjelaskan setiap planet dengan detail yang membuat juri dan teman-temannya terpukau.

Ketika lomba selesai, pengumuman pemenang menjadi momen yang mendebarkan. Aris tidak berharap banyak, tetapi ketika namanya disebut sebagai juara pertama, ia hampir tidak percaya.

Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan, tetapi di sudut, Alena tampak tidak senang. Ia memandang Aris dengan tatapan dingin, merasa malu karena kalah dari kakaknya yang selama ini ia remehkan.

Namun, kebahagiaan Aris tidak berlangsung lama. Ketika ia pulang ke rumah dengan piala di tangannya, ia hanya disambut dengan komentar sinis dari ibunya. "Piala itu mau kamu taruh di mana? Rumah ini bukan museum. Jangan buat berantakan!"

Aris menunduk, meremas piala itu erat-erat di tangannya. Ia tahu, tak peduli seberapa keras ia berusaha, pengakuan dari keluarganya adalah sesuatu yang tidak akan pernah ia dapatkan.

Malam itu, Aris merenung di kamarnya. Ia memandang piala yang kini terletak di meja kecil di sudut ruangan. Meski tak dihargai oleh keluarganya, piala itu adalah bukti bahwa ia mampu.

Ia bertekad untuk terus maju, tidak peduli seberapa sulit jalannya. Ia tahu, suatu hari nanti, ia akan menemukan tempat di mana ia benar-benar diterima.

Related chapters

  • Luka Tak Terlihat   BAB 8

    Sekolah sering menjadi pelarian bagi Aris. Di tempat itu, ia bisa melupakan sejenak kerasnya hidup di rumah. Namun, hari ini terasa berbeda. 'Ding ding'—bel berbunyi, menandakan waktu istirahat telah usai. Aris yang sedang membaca di perpustakaan segera membereskan bukunya. Ia bergegas menuju kelas agar tidak terlambat. Tetapi begitu memasuki ruang kelas, sebuah insiden tak terduga terjadi. Dina, teman sekelasnya yang sering mencari masalah, sengaja menjulurkan kaki ke arah Aris. Aris tersandung dan terjatuh. “Ups, maaf,” ucap Dina dengan nada pura-pura menyesal sambil menutup mulutnya. Belum cukup sampai di situ, Dina memungut salah satu buku catatan Aris yang terjatuh. Ia membuka botol air minumnya, lalu menuangkan sebagian isinya ke buku itu. “Eh, maaf lagi ya, Aris. Aku nggak sengaja,” katanya sambil menyeringai. “Tapi kan kamu bisa beli buku baru. Masa nggak mampu sih? Buku doang kok.” Teman-teman sekelasnya tertawa mendengar ejekan Dina. Aris tidak mengatakan apa-a

    Last Updated : 2024-11-20
  • Luka Tak Terlihat   BAB 9

    Setelah pertemuannya dengan Sasa, Aris merasa lebih bersemangat. Selain mengganti buku yang rusak, Sasa juga membawa kabar baik yang membuka peluang besar untuknya.“Ris, aku dengar ada program beasiswa penuh untuk SMA favorit. Tiga sekolah unggulan buka pendaftaran. Kamu harus coba, ini kesempatan besar,” ujar Sasa penuh semangat.Aris tertegun. “Serius, Sa? Tapi… apa aku cukup bagus untuk bersaing?”“Kamu pasti bisa! Jangan ragu. Yuk, kita ke ruang guru sekarang. Siapa tahu masih ada slot,” ajaknya.Mereka pun segera pergi ke ruang guru. Beruntung, masih ada satu slot terakhir untuk mendaftar tes beasiswa. Tanpa pikir panjang, Aris langsung mendaftarkan dirinya.Tidak berhenti di situ, mereka menemukan pengumuman lomba menulis di mading sekolah dengan hadiah besar.“Sa, ini peluang bagus juga. Aku mau daftar lomba ini,” kata Aris antusias.“Daftar aja! Aku yakin kamu bisa menang,” balas Sasa, memberi dukungan penuh.Namun, kebahagiaan Aris terganggu saat Dina, yang terkenal suka men

    Last Updated : 2024-11-20
  • Luka Tak Terlihat   BAB 10

    Malam itu, setelah kejadian di rumah Bu Siti dan Pak Rudi, Aris duduk termenung di depan laptop barunya. Hatinya masih dipenuhi rasa haru atas kebaikan mereka. Namun, bayangan perlakuan dingin keluarganya terus menghantui pikirannya. Tuduhan mencuri dari ayah dan sindiran pedas Alena seolah-olah mencabik keberaniannya untuk bermimpi.Aris menghela napas panjang. "Aku harus membuktikan kalau aku bisa," gumamnya sambil membuka aplikasi pengolah kata. Ia mulai mengetik naskah untuk lomba menulis.Namun, baru beberapa menit ia menulis, pintu kamarnya terbuka keras tanpa diketuk. Alena muncul dengan wajah penuh ejekan, seperti biasanya."Kamu pikir semua selesai, Aris?" sindir Alena sambil menyandarkan tubuhnya di pintu.Aris berhenti mengetik, menatap Alena dengan tenang. "Aku cuma mau berusaha untuk diriku sendiri. Kamu nggak perlu ikut campur."Alena mendekat sambil tertawa kecil. "Oh, aku nggak ikut campur? Kamu benar-benar polos, ya. Dunia ini nggak akan pernah berpihak sama orang kay

    Last Updated : 2024-11-20
  • Luka Tak Terlihat   BAB 11

    Keesokan harinya, tepat di hari Minggu, Aris bangun lebih awal dari biasanya. Ia memulai rutinitas paginya seperti biasa: membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya dan Alena, adik perempuannya. Sebagai kakak, Aris selalu berusaha menjaga dan memenuhi kebutuhan adiknya, meski hubungan mereka sering diwarnai konflik kecil. Aris sudah selesai menyiapkan nasi goreng dan teh manis di meja makan ketika ia kembali ke kamarnya. Ia melanjutkan mengetik cerita untuk lomba menulis. Baginya, ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa ia mampu melampaui batas dirinya. Namun, Alena yang merasa kesal karena merasa Aris selalu mendapat perhatian lebih di sekolah, mulai merencanakan sesuatu. “Aris nggak boleh terlalu santai. Aku mau lihat apa dia masih bisa fokus kalau semua rencananya gagal,” gumam Alena dengan tatapan licik. Diam-diam, Alena membuang nasi goreng yang sudah disiapkan kakaknya ke tempat sampah. Ia membersihkan meja makan agar tampak sepe

    Last Updated : 2024-11-20
  • Luka Tak Terlihat   BAB 12

    Bel pulang sekolah sudah berbunyi, Aris yang teringat ajakan Pak Rudi bergegas menuju pintu. Namun, hari ini tidak seperti biasanya. Hari ini, Aris merasa begitu semangat dan langsung pulang ke rumah.Sesampainya di rumah, Aris segera menuju kamarnya dan mengganti pakaian. Ia merasa bersemangat, lalu mulai membereskan rumah dan menyiapkan makan siang untuk keluarganya. Setelah semua tugas selesai, Aris berpamitan pada ibunya untuk pergi ke rumah Bu Siti.Awalnya, ibunya mengizinkan karena pekerjaan Aris sudah selesai. Namun, tiba-tiba Alena menghentikan langkah Aris dan mulai mengulur waktu agar ia tidak segera pergi."Tunggu, Aris! Kamu harus bantu aku menyelesaikan tugas sekolah dulu!" ujar Alena dengan sedikit berteriak.Namun, Aris kini sudah lebih tegas dan menolak perintah Alena karena ia merasa ada hal yang lebih penting untuk dikerjakan.Melihat Aris mulai berani membantahnya, Alena langsung mengadu pada ibunya. Ibunya, yang sangat menyayangi Alena, segera memarahi Aris dan me

    Last Updated : 2024-11-21
  • Luka Tak Terlihat   BAB 13

    Pagi ini, Aris terbangun dengan perasaan berat. Sejak kejadian kemarin di kantin, ia tahu bahwa situasinya semakin buruk. Di rumah, ibunya selalu menatapnya dengan mata penuh kebencian, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya untuk mengkritik atau menyalahkan Aris. Pagi ini, Aris tahu ia tidak bisa menghindari pertemuan dengan ibunya yang akan menanyakan tentang kejadian di sekolah. Saat ia memasuki ruang makan, ia melihat ibunya sudah duduk dengan tatapan dingin. Di sampingnya, Alena tampak berpura-pura sibuk dengan ponselnya, namun jelas ia sedang mengawasi Aris dengan tatapan yang penuh kebencian. "Kenapa kamu nggak pernah belajar? Kemarin saja malah bikin keributan di kantin!" bentak ibu Aris tanpa basa-basi. Aris menundukkan kepala, berusaha menahan rasa sakit dalam hatinya. "Aku tidak bikin keributan, Bu. Itu cuma salah paham," jawabnya pelan, mencoba menjelaskan meski tahu ibunya tidak akan pernah percaya. Ibu Aris menatapnya tajam. "Salah paham? Kamu memang sel

    Last Updated : 2024-11-21
  • Luka Tak Terlihat   BAB 14

    Malam itu, Aris masih duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang kosong. Sudah lebih dari setengah jam, jari-jarinya tidak bergerak di atas keyboard. Pikiran Aris begitu kacau. Di luar jendela, suara hujan yang rintik semakin deras, menciptakan suasana yang semakin menambah kegelisahannya. Sejenak, ia menutup mata dan berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan ibunya yang memarahinya dan wajah Alena yang sinis terus mengganggu pikirannya."Kenapa aku merasa seperti ini?" pikirnya dalam hati. "Ini kesempatan besar. Aku harus menyelesaikan naskah ini, tapi kenapa rasanya begitu berat?"Meskipun hatinya ragu, Aris tahu ia tak punya pilihan lain. Waktu perlombaan sudah semakin dekat. Meskipun ia masih merasa tertekan, ia harus berusaha mengumpulkan semangat. Ia menghela napas panjang dan mulai mengetik beberapa kalimat, mencoba mencari alur yang tepat untuk ceritanya. Tapi tetap saja, pikirannya terus teralihkan.Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan. Bu Siti masuk dengan secangkir

    Last Updated : 2024-11-22
  • Luka Tak Terlihat   BAB 15

    Keesokan harinya, Aris datang ke sekolah dengan semangat baru. Naskah yang ia tulis semalaman rapi dalam map berwarna biru, siap untuk diserahkan kepada Bu Fitri, guru pembimbing lomba menulis. Ia merasa lega karena berhasil menyelesaikan langkah pertama dalam perjalanan mimpinya.Namun, begitu ia melangkah ke koridor sekolah, beberapa siswa terlihat menatapnya dengan aneh. Bisik-bisik terdengar, membuat Aris merasa tidak nyaman.“Kamu dengar? Katanya, naskah Aris itu bukan dia yang tulis,” bisik salah seorang siswi kepada temannya.“Aku dengar juga. Ada yang bilang dia pakai bantuan guru supaya menang,” sahut temannya dengan suara pelan tapi tetap terdengar oleh Aris.Aris menghentikan langkahnya. Dadanya terasa sesak mendengar tuduhan tersebut. Tapi ia memutuskan untuk tetap berjalan menuju ruang guru. Ia tidak ingin rumor itu menghentikannya.Konspirasi DimulaiSementara itu, di taman belakang sekolah, Alena duduk bersama dua sahabatnya, Vivi dan Maya. Mereka tertawa kecil sambil m

    Last Updated : 2024-11-22

Latest chapter

  • Luka Tak Terlihat   BAB 97

    Pagi berikutnya, markas Victor kembali bergeliat. Setelah menerima informasi penting dari Clara, setiap anggota tim terlihat sibuk dengan tugas mereka. Ada yang mempersiapkan peralatan, ada pula yang memperkuat sistem keamanan seperti yang dirancang oleh Aris.Victor berdiri di ruang rapat bersama Andre, Aris, dan Clara, menatap peta besar yang memenuhi layar. Peta itu menampilkan lokasi-lokasi strategis yang dikendalikan oleh Raven Syndicate.“Prioritas kita sekarang adalah mengamati pergerakan mereka,” kata Victor sambil menunjuk salah satu titik merah di peta. “Basis utama mereka ada di sini, tapi mereka punya tiga lokasi cadangan yang digunakan untuk menyimpan persenjataan dan dokumen penting.”Andre mengangguk. “Kalau kita bisa menyerang lokasi cadangan itu, mereka akan kehilangan banyak sumber daya.”“Tapi itu berisiko,” Clara menimpali. “Raven Syndicate bukan organisasi kecil. Mereka punya penjaga bersenjata di setiap lokasi.”Aris yang berdiri di belakang Clara angkat bicara,

  • Luka Tak Terlihat   BAB 96

    Pagi itu, markas Victor tampak sibuk seperti biasa. Meskipun bekas-bekas pertempuran masih terlihat di beberapa sudut bangunan, para anggota tim tidak membiarkan semangat mereka surut. Mereka saling membantu memperbaiki kerusakan, mengatur ulang peralatan, dan memastikan markas kembali berfungsi optimal.Aris bergabung dengan kelompok yang sedang memperbaiki area penyimpanan. Ia memegang alat berat di tangannya, membantu mengangkat puing-puing yang menumpuk. Keringat mengalir di wajahnya, tetapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya."Aris, kau pasti bisa jadi tukang bangunan setelah ini," canda Andre yang lewat sambil membawa papan kayu.Aris tertawa kecil. "Kalau begini terus, aku mungkin bisa buka jasa renovasi rumah setelah semua ini selesai."Tawa kecil di antara mereka membuat suasana kerja terasa lebih ringan, meskipun tugas yang mereka hadapi cukup berat.---Rapat Strategi BaruSetelah beberapa jam bekerja, Victor memanggil seluruh tim inti untuk berkumpul di ruang rapat utam

  • Luka Tak Terlihat   BAB 95

    Setelah mendapatkan informasi lengkap dari Jovan, Victor memutuskan untuk bertindak cepat. Dengan peta markas utama Raven Syndicate yang Jovan berikan, mereka mulai menyusun strategi untuk menyerang balik."Kita tidak bisa membiarkan mereka menyerang kita lagi," ujar Victor tegas. "Ini saatnya kita mengambil alih kendali."Aris mengangguk setuju. "Tapi kita harus berhati-hati. Raven Syndicate tidak akan membiarkan kita masuk tanpa perlawanan."Victor membagi tim menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama akan menangani keamanan dan menyerang langsung, kelompok kedua bertugas menciptakan pengalihan, sementara kelompok terakhir, yang dipimpin Aris, akan fokus menyusup ke dalam markas untuk menghancurkan sistem komunikasi mereka."Kita harus membuat mereka lumpuh sebelum mereka sadar apa yang terjadi," tambah Andre, yang berada di kelompok pertama.Aris mengepalkan tangannya. "Aku siap memimpin timku."---Persiapan Sebelum PerangMalam itu, suasana di markas Victor sangat tegang. Semua ang

  • Luka Tak Terlihat   BAB 94

    Tim Victor kembali ke markas utama menjelang fajar. Udara pagi terasa dingin, namun tidak ada yang lebih menyejukkan daripada rasa lega setelah pertempuran panjang. Meskipun begitu, suasana di antara mereka tetap tegang. Mereka tahu bahwa kemenangan ini hanya sementara.Aris melangkah keluar dari kendaraan, wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. Lina mendekatinya, membawa segelas kopi hangat yang ia buat di ruang sementara."Kau butuh ini," katanya lembut sambil menyerahkan kopi tersebut."Terima kasih," jawab Aris, meminum seteguk kopi. "Bagaimana keadaan tim lainnya?"Lina menghela napas panjang. "Beberapa masih dalam perawatan. Tapi kita kehilangan tiga orang."Aris terdiam. Setiap kehilangan adalah beban berat, terutama saat dia melihat mereka sebagai bagian dari keluarganya.---Victor Merancang Strategi BaruSementara itu, Victor langsung memimpin rapat darurat di ruang utama. Darius, pemimpin Raven Syndicate, telah ditahan di ruang bawah tanah untuk diinterogasi."Ini be

  • Luka Tak Terlihat   BAB 93

    Malam itu, markas dipenuhi dengan ketegangan yang terasa di udara. Setiap orang bergerak cepat, mempersiapkan diri untuk serangan yang hampir pasti datang. Aris berdiri di salah satu pos penjagaan, matanya tajam mengamati kegelapan di depan gerbang utama."Lina, pastikan timmu sudah siap di posisi masing-masing," ujar Aris melalui radio."Semua sudah siap," jawab Lina singkat namun tegas.Sementara itu, Victor berada di ruang komando, memantau layar monitor yang menampilkan rekaman dari kamera pengawas. Dia tahu ini adalah momen yang menentukan. Jika mereka kalah malam ini, seluruh jaringan mereka bisa runtuh."Kita tidak bisa membiarkan mereka mengambil alih," kata Victor dengan nada penuh keyakinan.---Serangan DimulaiTepat tengah malam, suara mesin kendaraan terdengar mendekat. Lampu sorot dari truk dan mobil SUV menerangi area depan markas, mengungkapkan belasan orang bersenjata lengkap yang keluar dari kendaraan tersebut."Semua di posisi masing-masing!" teriak Aris melalui rad

  • Luka Tak Terlihat   BAB 92

    Pagi hari setelah insiden di gudang, Victor memimpin pertemuan besar di markas. Seluruh tim inti hadir, termasuk Aris, Lina, Andre, dan beberapa orang kepercayaan Victor. Mereka tahu bahwa waktu semakin menipis untuk menghadapi ancaman dari Raven Syndicate."Aris sudah membawa dokumen penting tadi malam," Victor membuka pertemuan. "Dan informasi ini memastikan bahwa mereka tidak hanya mengincar kita. Mereka berencana menguasai semua wilayah yang selama ini menjadi bagian dari jaringan kita."Andre mengamati peta yang terbentang di meja. "Mereka tahu semua lokasi strategis kita. Kalau informasi ini benar, maka ada pengkhianat di dalam tim kita."Kata-kata Andre membuat suasana menjadi tegang. Semua orang saling memandang, mencoba mencari tanda-tanda siapa yang mungkin berkhianat.Victor mengangguk setuju. "Aku sudah memikirkan hal itu. Karena itu, kita harus bergerak cepat. Sebelum kita menemukan siapa yang membocorkan informasi, kita perlu melindungi tempat-tempat yang rentan terhadap

  • Luka Tak Terlihat   BAB 91

    Kembali ke MarkasAris dan tim tiba di markas utama yang kini dalam keadaan kacau. Pintu-pintu terbuka, barang-barang berserakan, dan beberapa anggota tim terlihat terluka. Kekacauan ini tidak hanya fisik, tetapi juga mental.Victor segera memimpin rapat darurat. "Ada yang membocorkan informasi penting tentang markas kita. Ini bukan kebetulan."Sang Rubah mengangguk. "Kita perlu mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini."Aris memperhatikan suasana tegang di ruangan. Ia tahu bahwa pengkhianatan ini dapat merusak kepercayaan di antara mereka.---Penyelidikan DimulaiVictor membentuk tim kecil untuk menyelidiki kemungkinan adanya mata-mata di dalam kelompok mereka. Aris, Andre, dan Lina dipercaya untuk memimpin investigasi."Kita mulai dari siapa saja yang memiliki akses ke data penting," kata Victor. "Cari tahu siapa yang terakhir kali menggunakan sistem komunikasi kita."Andre menambahkan, "Kita juga perlu memeriksa semua orang yang berada di dekat lokasi kejadian saat seran

  • Luka Tak Terlihat   BAB 90

    Mentor Victor, pria tua yang dikenal dengan nama sandi Sang Rubah, mulai mempelajari situasi yang dihadapi oleh tim Victor. Ia meminta semua informasi terbaru mengenai Raven Syndicate, termasuk pola serangan mereka, struktur organisasi, dan segala data yang berhasil dikumpulkan."Raven Syndicate bukan hanya organisasi kriminal," kata Sang Rubah dengan nada serius. "Mereka adalah ahli dalam permainan psikologi. Mereka memanipulasi musuh untuk bertindak tergesa-gesa, kemudian menghancurkannya perlahan-lahan."Victor mengangguk. "Kami menyadari itu. Tapi kali ini, kami tidak akan membiarkan mereka memimpin permainan."Sang Rubah tersenyum kecil. "Bagus. Kalau begitu, kita harus memulai dengan serangan balik yang tidak mereka duga."---Misi RahasiaSang Rubah menyusun strategi yang melibatkan infiltrasi ke salah satu lokasi operasi kecil Raven Syndicate. Aris dan Andre ditugaskan untuk memimpin misi ini, dengan dukungan beberapa anggota terpercaya."Kalian harus bergerak tanpa terdeteksi

  • Luka Tak Terlihat   BAB 89

    Sementara itu, Victor menerima informasi penting dari salah satu informannya. Kelompok yang menyerang mereka dikenal sebagai Raven Syndicate, sebuah organisasi kriminal besar yang sudah lama mengincar wilayah Victor."Mereka tidak hanya ingin menghancurkan kita," kata Victor kepada Andre. "Mereka ingin mengambil alih seluruh jaringan kita."Andre menghela napas panjang. "Kalau begitu, kita harus bersiap menghadapi perang yang lebih besar."Victor mengangguk. "Tapi pertama-tama, kita harus memastikan Aris dan yang lain selamat."---Pengepungan di Tengah MalamMalam itu, situasi semakin tegang. Aris, Andre, dan beberapa anggota lainnya tetap berjaga di markas yang tersisa. Mereka tahu bahwa serangan berikutnya bisa datang kapan saja.Saat tengah malam, suara kendaraan mendekat membuat semua orang siaga. Aris memegang senjatanya erat-erat, bersiap menghadapi apa pun yang datang.Victor memberikan instruksi melalui radio, "Tetap di posisimu. Jangan bertindak gegabah."Namun, apa yang mer

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status